Cahaya matahari terasa begitu hangat, menerpa tubuh indah Majandra yang tengah berjemur dalam balutan bikini two piece berwarna putih. Kaca mata hitam ikut membuat wanita berusia dua puluh lima tahun tersebut merasa kian nyaman, karena tak terganggu oleh silaunya sinar sang surya. Sesekali, Majandra menggerakkan kaki jenjangnya. Wanita muda berambut cokelat tembaga itu mengeluh pelan, saat dering panggilan dari telepon genggamnya terus berbunyi.
“Astaga! Mengganggu sekali!” gerutu Majandra. Dia meraba meja di dekatnya, lalu mengambil ponsel yang diletakkan dalam dompet khusus keluaran brand ternama dunia. “Hallo,” sapa Majandra dengan gaya bicara anggun dan berkelas. Hal itu menunjukkan status sosial yang wanita cantik tersebut miliki.“Hallo, Nyonya LaRue,” balas suara seorang wanita dari seberang sana. Seseorang yang tak lain adalah Agathe.“Hai, Agathe. Ada apa? Kuharap, kau tidak mengganggu liburanku,” ujar Majandra tak acuh. Dia menaikkan kacamata hitam, meletakkannya di sela-sela rambut bagian atas.“Ah, maafkan aku. Kau pasti sedang menikmati hangatnya cahaya matahari di Maldives. Namun, aku merasa harus segera memberitahukan hal penting ini padamu, sayangku,” ujar Agathe.Seketika, Majandra membetulkan posisi duduknya. Wanita itu seakan sudah tahu berita penting apa yang akan Agathe sampaikan. Itu pasti tak jauh dari sesuatu yang berhubungan dengan Alexandre dan Lea.“Semoga kau sudah siap mendengarnya. Singkirkan benda-benda berbahaya yang ada di dekatmu, sayang,” ujar Agathe, seakan ingin bermain-main terlebih dahulu dengan rasa penasaran Majandra. “Satu lagi, aku juga tak ingin jika kau sampai mengamuk di tempat umum,” ledeknya disertai tawa renyah.“Aku akan melemparmu dengan gelas, karena kau terlalu bertele-tele!” gerutu Majandra. Dia kembali menurunkan kacamatanya. Majandra kemudian meneguk minuman yang sudah tersedia di meja.Agathe terus tertawa. Dia tak pernah sakit hati dengan apapun yang Majandra katakan. Wanita yang sudah berteman lama dengan Majandra tersebut, sangat mengenal sahabatnya itu. Majandra memang kerap berkata apa adanya. Namun, itulah yang Agathe sukai, karena sahabatnya tersebut bukan seseorang yang suka berpura-pura. “Aku melihat suamimu, sayang” ucap Agathe mengawali ceritanya.“Semua wanita senang melihat suamiku,” balas Majandra seraya meletakkan kembali gelas yang dipegangnya ke atas meja.“Ya. Akan jauh lebih menyenangkan andai dia berjalan seorang diri,” sahut Agathe. Ucapan wanita itu menyiratkan sesuatu.Majandra yang awalnya duduk sambil menyilangkan kaki, segera berdiri lalu melepas dan melemparkan pelan kacamata hitamnya di kursi santai. Dia meletakkan tangan kiri di pinggang. Sementara, sepasang mata abu-abunya bergerak dengan beraturan ke kiri dan kanan. Dia harus menyiapkan diri untuk apa yang akan didengarnya, dari kelanjutan kabar penting yang diberikan Agathe.“Apa kau melihatnya bersama wanita itu?” tanya Majandra setelah dirinya terdiam. Perasaan wanita itu mulai tak karuan.“Ya, tentu saja. Kau berharap suamimu dekat dengan wanita selain model cantik itu? Cukuplah berpikir bodoh, Majandra. Seorang Lea Farez saja sudah menjadi ancaman serius untukmu. Terlebih, dia memiliki tubuh yang sangat seksi,” ujar Agathe memanas-manasi.“Sialan kau!” Majandra mendengkus kesal. “Aku tidak peduli secantik apa dia?” gerutunya.“Ah, ya,” sahut Agathe menghentikan tawanya. “Aku akan mengirimkan fotonya padamu. Tetaplah di situ.” Tanpa berpamitan terlebih dulu, Agathe menutup sambungan telepon tadi.Beberapa saat kemudian, dering pesan di ponsel Majandra berbunyi. Wanita dengan bikini putih itu langsung membukanya. Di layar, tampaklah beberapa foto yang memperlihatkan kebersamaan Alexandre LaRue bersama Lea. Di salah foto yang dikirimkannya, Agatha menambahkan keterangan.[Cobalah untuk menelusuri profilnya di mesin pencarian. Aku tahu bahwa kau penasaran.]Majandra mengembuskan napas dalam-dalam. Dia tak berniat membalas pesan tadi. Wanita itu memilih kembali ke kamar untuk berdiam diri di sana. Majandra benar-benar tak melakukan apapun, selain menonton televisi hingga malam tiba. Namun, rasa jenuh mulai menyergapnya. Wanita bertubuh semampai tersebut turun dari tempat tidur, lalu mengeluarkan gaun malam yang sengaja dibawa dari Perancis.Majandra tak ingin memikirkan apa yang Alexandre lakukan. Dia datang ke Maldives untuk berlibur dan bersenang-senang. Wanita itu sudah terlalu lelah dengan masalah rumah tangga yang dijalaninya selama kurang lebih tiga tahun, bersama sang pemilik perusahaan property ‘La Bougenville’ tersebut. Kali ini, dia hanya ingin memanjakan diri dengan caranya.Wanita cantik itu mendatangi tempat hiburan malam di dekat penginapan. Hingar-bingar musik penuh keceriaan, menghentak kencang mengiringi kemeriahan suasana. Kebanyakan yang datang ke tempat tersebut, merupakan wisatawan mancanegara.Majandra duduk sendiri menikmati segelas minuman.Kecantikan serta kemolekan tubuh wanita dua puluh lima tahun tersebut, ternyata menarik perhatian seorang pria tampan berambut gelap. Pria itu menghampiri Majandra, yang tak peduli dengan suasana sekitarnya. “Permisi,” sapa pria tadi ramah.
Majandra menoleh, lalu menaikkan sebelah alisnya. “Astaga. Kau lagi.” Dia menggeleng seraya berdecak pelan.“Aku tak tega, jika melihat wanita cantik duduk sendiri,” ucap si pria sok akrab. Dia duduk di sebelah Majandra yang tak merasa terganggu. Wanita dengan gaun malam pendek itu justru lebih fokus pada minuman yang tengah dinikmatinya. “Kau tinggal di kota apa? Paris, Lyon, Nice, Nantes?”Majandra tak langsung memberikan jawaban. Dia justru memperlihatkan tangan kiri dengan jari manis berhiaskan cincin kawin. “Aku tinggal di Paris. Namun, sayangnya aku sudah menikah.”Pria tampan tadi menggaruk kening, lalu tersenyum kalem. “Oh, baiklah. Lalu, di mana suamimu? Sejak kemarin malam, kau selalu terlihat sendirian.” tanyanya. Dia tak mengalihkan tatapan, dari paras cantik Majandra yang sangat memesona.“Suamiku?” ulang Majandra seraya tersenyum kelu. “Suamiku ada di Perancis.” Dia menggoyang-goyangkan sisa minuman dalam gelas, lalu meneguknya hingga habis.Pria tampan itu manggut-manggut. “Suamimu pria yang sangat berani, karena membiarkan istrinya pergi jauh seorang diri. Apakah dia tidak takut, karena bisa saja kau diculik pria asing?” guraunya.Majandra tertawa renyah diiringi gelengan pelan. Dia meletakkan gelas kosong yang dipegangnya. “Itu tidak mungkin, Tuan. Percaya atau tidak, aku adalah pemegang sabuk biru. Aku bisa menjaga diri dari pria-pria nakal yang suka mencari perhatian.” Wanita cantik bermata abu-abu tersebut membalas tatapan lekat si pria. Ada kekaguman yang terpancar, dari sorot mata abu-abu pria tampan tadi. Dia mengembuskan napas berat, lalu tersenyum kalem. “Baiklah. Aku tidak akan berani berbuat macam-macam padamu,” ujarnya. “Namun, daripada kau hanya sendirian, izinkan aku untuk menraktirmu minum.”“Maafkan aku. Akan tetapi, aku akan kembali ke penginapan sekarang. Aku tidak suka jika terlalu mabuk. Dua gelas saja sudah cukup bagiku,” tolak Majandra. Dia turun dari bangku bulat yang yang didudukinya.“Kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Damien Curtis. Kita berasal dari negara yang sama.”“Damien Curtis?” ulang Majandra. “Baiklah. Aku akan mengingatnya.” Wanita itu merapikan gaun malamnya, kemudian berlalu dari hadapan pria bernama Damien tadi. Majandra pergi begitu saja, tanpa berbasa-basi terlebih dulu. “Hey!” cegah Damien. Dia bergegas menyusul wanita cantik berambut panjang itu. Damien menyejajari langkah Majandra yang bersikap jual mahal terhadapnya. “Kau curang,” ucap pria tampan dengan iris mata abu-abu tersebut. “Kita tidak sedang melakukan permainan apapun,” bantah Majandra tanpa menoleh. Dia melangkah anggun, di antara hiruk-pikuk para penikmat kehidupan malam yang tengah menikmati musik menghentak. “Ya, kau benar. Namun, tadi aku sudah memperkenalkan diri.” Damien tak putus asa mengajak wanita cantik itu berkenalan. “Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama. Aku rasa, suamimu tak akan tahu bahwa kau memberitahukan namamu padaku. Kecuali jika dia memiliki mata-mata.” Majandra tertegun sejenak, lalu menoleh. Dia kembal
“Astaga.” Majandra berdecak pelan. Dia tak percaya, karena pria bernama Damie itu benar-benar seorang pemaksa. Majandra menerima buket mawar berukuran besar, yang disodorkan oleh pegawai penginapan tadi.Setelah menutup pintu, wanita cantik bermata abu-abu itu meletakkan kiriman yang diterimanya di atas kasur. Dia memandangi beberapa saat, ratusan kuntum mawar merah yang terlihat segar dan indah. Di antara bunga cantik itu, terselip kartu ucapan bertuliskan tangan atas nama Damien Curtis. [Maaf, aku mengikutimu. Bila makan malam terlalu formal, bagaimana jika minum kopi? Kutunggu di The Sands Cafe sore ini pukul empat. -Damien Curtis-]Majandra meletakkan kembali kartu ucapan tadi ke dalam buket bunga. Dia mengembuskan napas pelan, lalu kembali mengempaskan tubuh ke kasur. “Astaga. Apa-apaan ini?” Wanita cantik berambut cokelat tembaga itu menggeleng tak mengerti. Belum sempat Majandra beranjak dari tempat tidur, suara dering telepon membuat dia semakin nyaman untuk tetap berada di k
Majandra sempat terlena hingga beberapa saat, ketika dirinya merasakan setiap lumatan yang Damien berikan. Selain tampan dan berkharisma, pria berambut gelap itu ternyata merupakan pencium yang luar biasa. Dia berhasil membuat Majandra terlupa, akan statusnya sebagai istri seorang pengusaha ternama Perancis, Alexandre LaRue. Tak hanya satu kali. Damien, menikmati bibir ranum Majandra bahkan hingga tiga kali. Namun, untungnya pria berusia tiga puluh empat tahun tersebut masih dapat menahan diri, karena dia tak meminta lebih. “Selamat beristirahat,” ucapnya setelah puas berciuman. Majandra tak langsung menanggapi. Wanita cantik bermata abu-abu itu berdiri dengan sorot tak percaya, atas apa yang baru saja dirinya lakukan. Semenjak tiga tahun menjalani pernikahan dengan Alexandre, ini adalah pertama kali bagi dirinya kehilangan kontrol seperti tadi. “Kenapa?” tanya Damien, dengan wajah yang masih berada tepat di hadapan Majandra. Jarak mereka hanya beberapa inci, karena hidung mancung
Masih tersisa beberapa hari untuk menikmati liburan di Maldives. Majandra tak ingin menyia-nyiakan hal itu. Setelah insiden ciuman tak terduga yang dilakukannya bersama Damien petang kemarin, wanita cantik yang gemar mengenakan midi dress selutut tersebut mencoba untuk kembali terlihat biasa. Majandra tak ingin mengingat-ingat lagi kesalahan yang telah dilakukannya, meskipun itu hanya berupa ciuman. Apa yang Majandra perbuat, memang tak sebanding dengan pengkhianatan Alexandre. Namun, wanita cantik berambut panjang tersebut, tetap tak membenarkannya.Angin di pagi itu terasa menyegarkan. Majandra asyik menyusuri pesisir pantai. Rasanya, dia ingin melepas pakaian lalu bermain di sana dengan hanya mengenakan bikini two pieces, yang akan membuat dirinya terlihat seksi. Akan tetapi, pikiran tersebut harus dia buang jauh-jauh. Pasalnya, sepasang mata abu-abu wanita dua puluh lima tahun tersebut menangkap sosok Damien, yang tengah berjalan gagah ke arahnya. “A
Majandra terdiam beberapa saat, dengan tatapan lekat tertuju kepada Damien. Sebagai wanita normal, tentu saja dia sangat menikmati segala sanjungan serta rayuan manis yang dilancarkan pria tampan tersebut. Namun, Majandra sadar bahwa dirinya tak boleh terlena oleh segala bujuk rayu Damien. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya wanita dua puluh lima tahun itu penuh selidik. “Aku?” tunjuk Damien pada dirinya. “Pertanyaanmu terdengar sadis,” ujar pria itu. Damien tersenyum simpul, sebelum kembali menikmati minumannya. Sementara, Majandra belum mengalihkan tatapan dari pria tampan berambut gelap tersebut. Sepasang iris mata abu-abunya yang bercahaya, terus mengikuti setiap gerakan tubuh Damien. Dia seakan ingin menguliti kejujuran pria yang juga mengaku berasal dari Perancis tersebut. “Kau terus merayu dan berusaha mendekatiku. Kau bahkan menciumku, meski tahu bahwa diriku sudah bersuami. Bolehkah jika aku memikirkan sesuatu yang ….” Majandra tidak melanjut
“Hentikan!” Tangan kekar itu meraih tubuh Majandra yang tak terkendali. “Lepaskan aku!” Majandra yang sudah dalam pengaruh alkohol, terus memberontak saat seseorang yang tak lain adalah Damien terus memeganginya dari belakang. Sebisa mungkin, Majandra berusaha mendekat kembali pada wanita berambut pirang yang sudah bangkit dan terlihat kesakitan. Majandra terus memakinya menggunakan Bahasa Perancis. “Terkutuklah kau di neraka bersama pria sialan itu!” makinya. “Sudah. Hentikan.” Damien terus menarik mundur Majandra agar keluar dari klub malam tadi. “Lepaskan aku!” Majandra terus memberontak. Dia bahkan berusaha menyerang Damien. Namun, tentu saja Damien telah mengantisipasi setiap pergerakan Majandra. Pria tampan tersebut menahan kedua tangan si wanita dengan cara memegangi pergelangannya. Setelah itu, dia memutar ke belakang, meletakkan keduanya di balik punggung. “Kau masih ingin melawanku?” tantang Damien. "Astaga. Ternyata kau sangat liar.
Damien mengembuskan napas berat. Pria tampan tiga puluh empat tahun tersebut, mengacak-acak rambutnya yang kusut karena baru bangun tidur. Namun, dia seolah tak peduli jika dirinya akan terlihat jelek di mata Majandra. “Um … sebaiknya kau ikut aku,” ajak pria itu. Dia meraih tangan Majandra, lalu menuntunnya ke satu ruangan yang ternyata adalah kamar mandi. “Untuk apa kita kemari?” tanya Majandra heran. Dia memperhatikan Damien yang tengah mengambilkan sesuatu untuknya. “Sebaiknya, basuh wajahmu, lalu gosok gigi. Dengan begitu, pikiran bisa menjadi jauh lebih segar,” saran Damien. Pria itu menyodorkan sikat gigi baru kepada Majandra. Tanpa merasa canggung, Damien menarik tangan si wanita agar mengikutinya berdiri dekat meja wastafel sambil menghadap cermin. Dengan tetap memasang wajah lusuh tak bersemangat, Majandra menuruti apa yang Damien katakan. Dia berdiri di sebelah pria itu, lalu menggosok gigi. Sesekali, pandangannya beradu dengan Damien lewat p
Damien terperangah mendengar penuturan Majandra. Hati kecilnya bersorak dan berkata bahwa itu merupakan kesempatan emas baginya, agar dapat memasuki kehidupan wanita cantik tersebut. Tuhan seakan memberinya jalan yang teramat mudah, untuk bisa meraih simpatik meski harus didapat dari konflik. Akan tetapi, satu sisi hati Damien yang lain mengatakan bahwa dirinya terlalu jahat, jika merasa bahagia atas rasa sakit yang disembunyikan Majandra. “Apa ada orang lain yang mengetahui perselingkuhan itu?” tanya Damien penasaran. “Hanya aku dan seorang teman dekat. Dia yang pertama kali memberitahukan perselingkuhan suamiku dengan wanita itu. Aku bahkan diajak untuk membuktikan sendiri semua yang lakukannya.” Majandra kembali mengembuskan napas pendek. Untuk kali ini, tarikannya terdengar lebih berat. Wanita itu sadar. Semua yang sudah terucap dari bibirnya, tak dapat dia tarik kembali. “Kenapa kau tidak terbuka kepada keluargamu?” tanya Damien lagi. Dia tampak se
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe