Masih tersisa beberapa hari untuk menikmati liburan di Maldives. Majandra tak ingin menyia-nyiakan hal itu. Setelah insiden ciuman tak terduga yang dilakukannya bersama Damien petang kemarin, wanita cantik yang gemar mengenakan midi dress selutut tersebut mencoba untuk kembali terlihat biasa. Majandra tak ingin mengingat-ingat lagi kesalahan yang telah dilakukannya, meskipun itu hanya berupa ciuman. Apa yang Majandra perbuat, memang tak sebanding dengan pengkhianatan Alexandre. Namun, wanita cantik berambut panjang tersebut, tetap tak membenarkannya.Angin di pagi itu terasa menyegarkan. Majandra asyik menyusuri pesisir pantai. Rasanya, dia ingin melepas pakaian lalu bermain di sana dengan hanya mengenakan bikini two pieces, yang akan membuat dirinya terlihat seksi. Akan tetapi, pikiran tersebut harus dia buang jauh-jauh. Pasalnya, sepasang mata abu-abu wanita dua puluh lima tahun tersebut menangkap sosok Damien, yang tengah berjalan gagah ke arahnya. “A
Majandra terdiam beberapa saat, dengan tatapan lekat tertuju kepada Damien. Sebagai wanita normal, tentu saja dia sangat menikmati segala sanjungan serta rayuan manis yang dilancarkan pria tampan tersebut. Namun, Majandra sadar bahwa dirinya tak boleh terlena oleh segala bujuk rayu Damien. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya wanita dua puluh lima tahun itu penuh selidik. “Aku?” tunjuk Damien pada dirinya. “Pertanyaanmu terdengar sadis,” ujar pria itu. Damien tersenyum simpul, sebelum kembali menikmati minumannya. Sementara, Majandra belum mengalihkan tatapan dari pria tampan berambut gelap tersebut. Sepasang iris mata abu-abunya yang bercahaya, terus mengikuti setiap gerakan tubuh Damien. Dia seakan ingin menguliti kejujuran pria yang juga mengaku berasal dari Perancis tersebut. “Kau terus merayu dan berusaha mendekatiku. Kau bahkan menciumku, meski tahu bahwa diriku sudah bersuami. Bolehkah jika aku memikirkan sesuatu yang ….” Majandra tidak melanjut
“Hentikan!” Tangan kekar itu meraih tubuh Majandra yang tak terkendali. “Lepaskan aku!” Majandra yang sudah dalam pengaruh alkohol, terus memberontak saat seseorang yang tak lain adalah Damien terus memeganginya dari belakang. Sebisa mungkin, Majandra berusaha mendekat kembali pada wanita berambut pirang yang sudah bangkit dan terlihat kesakitan. Majandra terus memakinya menggunakan Bahasa Perancis. “Terkutuklah kau di neraka bersama pria sialan itu!” makinya. “Sudah. Hentikan.” Damien terus menarik mundur Majandra agar keluar dari klub malam tadi. “Lepaskan aku!” Majandra terus memberontak. Dia bahkan berusaha menyerang Damien. Namun, tentu saja Damien telah mengantisipasi setiap pergerakan Majandra. Pria tampan tersebut menahan kedua tangan si wanita dengan cara memegangi pergelangannya. Setelah itu, dia memutar ke belakang, meletakkan keduanya di balik punggung. “Kau masih ingin melawanku?” tantang Damien. "Astaga. Ternyata kau sangat liar.
Damien mengembuskan napas berat. Pria tampan tiga puluh empat tahun tersebut, mengacak-acak rambutnya yang kusut karena baru bangun tidur. Namun, dia seolah tak peduli jika dirinya akan terlihat jelek di mata Majandra. “Um … sebaiknya kau ikut aku,” ajak pria itu. Dia meraih tangan Majandra, lalu menuntunnya ke satu ruangan yang ternyata adalah kamar mandi. “Untuk apa kita kemari?” tanya Majandra heran. Dia memperhatikan Damien yang tengah mengambilkan sesuatu untuknya. “Sebaiknya, basuh wajahmu, lalu gosok gigi. Dengan begitu, pikiran bisa menjadi jauh lebih segar,” saran Damien. Pria itu menyodorkan sikat gigi baru kepada Majandra. Tanpa merasa canggung, Damien menarik tangan si wanita agar mengikutinya berdiri dekat meja wastafel sambil menghadap cermin. Dengan tetap memasang wajah lusuh tak bersemangat, Majandra menuruti apa yang Damien katakan. Dia berdiri di sebelah pria itu, lalu menggosok gigi. Sesekali, pandangannya beradu dengan Damien lewat p
Damien terperangah mendengar penuturan Majandra. Hati kecilnya bersorak dan berkata bahwa itu merupakan kesempatan emas baginya, agar dapat memasuki kehidupan wanita cantik tersebut. Tuhan seakan memberinya jalan yang teramat mudah, untuk bisa meraih simpatik meski harus didapat dari konflik. Akan tetapi, satu sisi hati Damien yang lain mengatakan bahwa dirinya terlalu jahat, jika merasa bahagia atas rasa sakit yang disembunyikan Majandra. “Apa ada orang lain yang mengetahui perselingkuhan itu?” tanya Damien penasaran. “Hanya aku dan seorang teman dekat. Dia yang pertama kali memberitahukan perselingkuhan suamiku dengan wanita itu. Aku bahkan diajak untuk membuktikan sendiri semua yang lakukannya.” Majandra kembali mengembuskan napas pendek. Untuk kali ini, tarikannya terdengar lebih berat. Wanita itu sadar. Semua yang sudah terucap dari bibirnya, tak dapat dia tarik kembali. “Kenapa kau tidak terbuka kepada keluargamu?” tanya Damien lagi. Dia tampak se
[Bagaimana kabarmu?]Begitulah isi pesan yang Damien kirimkan untuk Majandra. Dia masih memberikan perhatian yang begitu manis, meski wanita cantik tersebut sudah bersikap tidak bersahabat padanya. “Ah, Damien,” desah Majandra pelan. Rasa bersalah kembali hadir. Namun, Majandra tidak membalas pesan tadi. Dia meletakkan telepon genggamnya begitu saja di kasur, lalu merebahkan diri. Tanpa sadar, wanita itu kembali tertidur cukup lama. Majandra bahkan tidak makan siang, karena dirinya baru bangun sekitar pukul 14.30. “Astaga!” Majandra terduduk, lalu meraup kasar wajahnya. Sakit kepala yang tadi mengganggu, telah berangsur sirna. Dia merasa mulai stabil kali ini. Namun, istri Alexandre tersebut belum membersihkan tubuh atau sekadar berganti pakaian. Majandra beranjak ke kamar mandi. Dia berendam air hangat beberapa saat, hingga dirinya merasa puas. Setelah membersihkan diri, wanita cantik berambut cokelat tembaga itu memilih dress yang akan dikena
“Damien …,” desah Majandra parau, ketika pria itu merangkulnya erat. “Aku tahu kau sangat menginginkannya,” bisik Damien seraya membelai lembut pipi Majandra. Dia seakan tengah berusaha menghilangkan keresahan, dari paras cantik wanita dua puluh lima tahun tersebut. Damien kembali melumat bibir Majandra beberapa saat, lalu beralih ke leher. Sementara, tangannya begitu cekatan melepas pengait bra yang wanita itu kenakan. Tanpa melepas pertautan mesra mereka, pria tampan bertato tersebut mengangkat tubuh Majandra, yang hanya tertutupi di bagian bawah. Damien mendudukkannya di kayu pembatas, yang memagari beranda tempat mereka berada. “Astaga. Kau jauh lebih indah dari yang kubayangkan,” sanjung Damien penuh rayuan. Sambil terus memegangi pinggang ramping Majandra. Dia tak sungkan menyentuh, lalu menjalarkan ciumannya ke dada. “Oh … kau membuatku geli.” Majandra tertawa manja di sela desahan yang sejak tadi menghiasi kemesraan mereka, ketika Damien mengisap pelan lalu memainkan bagian
“Menginaplah di sini,” bisik Damien sambil mendekap Majandra dari belakang. Pria itu seakan tak puas menciumi pundak Majandra, yang hanya mengenakan handuk sebatas dada. “Kenapa aku harus menginap di sini? Kamar penginapanku tidak kalah nyaman,” ujar Majandra seraya tersenyum kecil. Sesekali dia mendesah pelan, saat merasakan bulu-bulu halus di wajah Damien yang bersentuhan dengan kulit lehernya. “Karena di sini kau tak akan merasa kesepian.” Damien tersenyum kalem, seraya menatap bayangannya dan Majandra dari pantulan cermin dekat wastafel. “Kau memiliki banyak tato. Apa tubuhmu tidak sakit saat membuatnya?” tanya Majandra dengan tatapan tertuju ke cermin, di mana dirinya dapat melihat bayangan paras tampan Damien. “Ada beberapa tempat yang memang tidak terasa sakit, tapi ada juga yang ….” Damien meringis kecil, menandakan bahwa dirinya kesakitan. Ekspresi pria itu membuat Majandra seketika tertawa. “Hey! Apanya yang lucu?” protes Damien. “Kau sangat konyol,” ledek Majandra. Dia
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe