Damien terperangah mendengar penuturan Majandra. Hati kecilnya bersorak dan berkata bahwa itu merupakan kesempatan emas baginya, agar dapat memasuki kehidupan wanita cantik tersebut. Tuhan seakan memberinya jalan yang teramat mudah, untuk bisa meraih simpatik meski harus didapat dari konflik.
Akan tetapi, satu sisi hati Damien yang lain mengatakan bahwa dirinya terlalu jahat, jika merasa bahagia atas rasa sakit yang disembunyikan Majandra. “Apa ada orang lain yang mengetahui perselingkuhan itu?” tanya Damien penasaran.“Hanya aku dan seorang teman dekat. Dia yang pertama kali memberitahukan perselingkuhan suamiku dengan wanita itu. Aku bahkan diajak untuk membuktikan sendiri semua yang lakukannya.” Majandra kembali mengembuskan napas pendek. Untuk kali ini, tarikannya terdengar lebih berat. Wanita itu sadar. Semua yang sudah terucap dari bibirnya, tak dapat dia tarik kembali.“Kenapa kau tidak terbuka kepada keluargamu?” tanya Damien lagi. Dia tampak se[Bagaimana kabarmu?]Begitulah isi pesan yang Damien kirimkan untuk Majandra. Dia masih memberikan perhatian yang begitu manis, meski wanita cantik tersebut sudah bersikap tidak bersahabat padanya. “Ah, Damien,” desah Majandra pelan. Rasa bersalah kembali hadir. Namun, Majandra tidak membalas pesan tadi. Dia meletakkan telepon genggamnya begitu saja di kasur, lalu merebahkan diri. Tanpa sadar, wanita itu kembali tertidur cukup lama. Majandra bahkan tidak makan siang, karena dirinya baru bangun sekitar pukul 14.30. “Astaga!” Majandra terduduk, lalu meraup kasar wajahnya. Sakit kepala yang tadi mengganggu, telah berangsur sirna. Dia merasa mulai stabil kali ini. Namun, istri Alexandre tersebut belum membersihkan tubuh atau sekadar berganti pakaian. Majandra beranjak ke kamar mandi. Dia berendam air hangat beberapa saat, hingga dirinya merasa puas. Setelah membersihkan diri, wanita cantik berambut cokelat tembaga itu memilih dress yang akan dikena
“Damien …,” desah Majandra parau, ketika pria itu merangkulnya erat. “Aku tahu kau sangat menginginkannya,” bisik Damien seraya membelai lembut pipi Majandra. Dia seakan tengah berusaha menghilangkan keresahan, dari paras cantik wanita dua puluh lima tahun tersebut. Damien kembali melumat bibir Majandra beberapa saat, lalu beralih ke leher. Sementara, tangannya begitu cekatan melepas pengait bra yang wanita itu kenakan. Tanpa melepas pertautan mesra mereka, pria tampan bertato tersebut mengangkat tubuh Majandra, yang hanya tertutupi di bagian bawah. Damien mendudukkannya di kayu pembatas, yang memagari beranda tempat mereka berada. “Astaga. Kau jauh lebih indah dari yang kubayangkan,” sanjung Damien penuh rayuan. Sambil terus memegangi pinggang ramping Majandra. Dia tak sungkan menyentuh, lalu menjalarkan ciumannya ke dada. “Oh … kau membuatku geli.” Majandra tertawa manja di sela desahan yang sejak tadi menghiasi kemesraan mereka, ketika Damien mengisap pelan lalu memainkan bagian
“Menginaplah di sini,” bisik Damien sambil mendekap Majandra dari belakang. Pria itu seakan tak puas menciumi pundak Majandra, yang hanya mengenakan handuk sebatas dada. “Kenapa aku harus menginap di sini? Kamar penginapanku tidak kalah nyaman,” ujar Majandra seraya tersenyum kecil. Sesekali dia mendesah pelan, saat merasakan bulu-bulu halus di wajah Damien yang bersentuhan dengan kulit lehernya. “Karena di sini kau tak akan merasa kesepian.” Damien tersenyum kalem, seraya menatap bayangannya dan Majandra dari pantulan cermin dekat wastafel. “Kau memiliki banyak tato. Apa tubuhmu tidak sakit saat membuatnya?” tanya Majandra dengan tatapan tertuju ke cermin, di mana dirinya dapat melihat bayangan paras tampan Damien. “Ada beberapa tempat yang memang tidak terasa sakit, tapi ada juga yang ….” Damien meringis kecil, menandakan bahwa dirinya kesakitan. Ekspresi pria itu membuat Majandra seketika tertawa. “Hey! Apanya yang lucu?” protes Damien. “Kau sangat konyol,” ledek Majandra. Dia
Majandra refleks bergerak mundur. Namun, di belakangnya ada seorang pria lain yang tertawa pelan, saat wanita itu menabrak tubuhnya dari depan. “Hati-hati, Sayang,” ucap pria di belakang Majandra, yang berusaha menyentuh kedua lengan wanita itu. Bau alkohol menguar dari mulut si pria. “Jangan menyentuhku!” sergah Majandra tegas. “Ow, galak sekali.” Pria itu tertawa sambil mengangkat kedua tangannya. “Gadis latin yang sangat cantik. Berteriaklah padaku, tapi jangan di sini,” ujarnya setengah berbisik. “Menjauh dariku!” sentak Majandra. Dia menepiskan tangan si pria yang kembali berusaha menyentuhnya. Ketiga pria yang rupanya dalam kondisi mabuk tersebut, tertawa bersamaan. Entah apa yang lucu, tapi mereka terus melakukan itu. “Aku selalu ingin mengencani gadis latin. Lihatlah kulitnya yang eksotis,” tunjuk salah seorang dari mereka dengan senyum nakal. “Kau ingin mencicipinya, Kawan?” tawar rekan si pria tadi. “Ya,
Beberapa saat kemudian, Majandra telah tiba di bandara. Dia sengaja datang mendekati waktu keberangkatan, karena dirinya malas harus menunggu seorang diri. Sambil duduk di ruang tunggu khusus, wanita dua puluh lima tahun tersebut memeriksa pesan masuk di ponselnya. Majandra mendapati nomor baru, yang mengirimkan beberapa foto saat tengah berada di pantai. Tentu saja, dia sudah tahu bahwa nomor itu milik Damien Curtis. Majandra tersenyum manis. Namun, senyuman wanita cantik tersebut seketika memudar, ketika dia membuka pesan teks yang dikirimkan paling akhir. [Sampai bertemu lagi di Perancis]“Astaga, Damien.” Majandra menggeleng pelan. Pria itu memang seorang pemaksa dan pantang menyerah. Kembali terbayang dalam benak Majandra, kebersamaan terakhir antara dirinya dengan pria tampan pemilik beberapa tato tersebut. Majandra memejamkan mata saat meresapi setiap sentuhan si pemilik mata abu-abu, yang diterimanya kemarin malam. Harus dia akui, bahwa
Majandra terdiam memperhatikan selembar foto. Di sana, terlihat dirinya tengah duduk di cafe, bersama pria yang tak lain adalah Damien. Namun, karena foto itu diambil diam-diam dari belakang, sehingga tak terlihat secara jelas wajah pria itu. “Siapa yang memberikan foto ini padamu?” tanya Majandra. Dia menoleh sekilas kepada Alexandre, yang tetap fokus pada jalanan di depan. “Seorang teman. Dia kebetulan sedang berlibur di sana,” jawab Alexandre tanpa mengalihkan pandangan kepada Majandra, yang menanggapi ucapannya dengan tawa renyah. Alexandre awalnya hanya fokus ke depan. Sesaat kemudian, pria itu menoleh. “Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?” tanyanya seraya memicingkan mata karena tak mengerti.Majandra menghentikan tawanya. Dia menatap sang suami dengan sorot yang sulit diartikan. “Seorang teman? Jangan katakan jika kau mengirim seseorang untuk menguntitku dengan sengaja,” tukas wanita cantik bermata abu-abu itu. Alexandre menyunggingkan senyuman sama
Majandra menatap pria berambut gelap yang baru selesai mencium punggung tangan Estelle. Ini merupakan kiamat baginya. Tak pernah diduga, bahwa dia akan kembali melihat sosok tampan bermata abu-abu, yang kali ini melirik ke arahnya sambil tersenyum kalem. “Selamat malam, Nyonya,” sapa pria itu sopan. Majandra balas tersenyum. Tak sulit bagi dirinya untuk bersandiwara. Berpura-pura, sudah menjadi bagian dari bakatnya setelah menikah dengan Alexandre. “Selamat malam, Tuan,” balas wanita itu seraya mengangguk pelan. Gestur tubuhnya begitu indah dan tampak sangat tertata, menandakan bahwa dia merupakan wanita terdidik dan memiliki tata krama. Padahal, itu juga hanyalah kedok. Kenyataannya, Majandra tidak selembut itu. Wanita cantik tersebut bahkan membenci senyuman hambar, yang selalu menjadi penghias paras menawannya di hadapan keluarga besar LaRue. Terlebih, saat ini. Bagaimana mungkin Majandra melihat Damien Curtis ada di sana? Pria tampan tersebut ada di
“Kau di sini?” Alexandre menaikkan sebelah alisnya. “Ya, sayang. Kebetulan aku lewat ….” Alexandre tidak membiarkan Lea melanjutkan kata-katanya. Dia langsung menutup sambungan telepon, lalu berjalan keluar dari aula. Pria itu tak tahu bahwa Majandra yang telah kembali dari toilet, memperhatikan gerak-geriknya sejak tadi. Majandra yang tengah bersama Estelle dan dua adik perempuan Alexandre, langsung berpamitan kepada mereka. Wanita cantik bergaun merah tersebut melangkah cepat, agar bisa menyusul Alexandre yang lebih dulu meninggalkan aula. Majandra bahkan sampai menaikkan bagian bawah gaun pestanya, agar tidak menghambat langkah. Dari jarak beberapa meter, tampak Alexandre yang tengah berjalan gagah melintasi koridor cukup lebar, dengan ornamen dan ukiran-ukiran dinding khas eropa. Majandra tak tahu pria itu akan ke mana atau menemui siapa. Namun, pertanyaannya terjawab, saat Alexandre berjalan keluar halaman. Majandra sempat berse
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe