“Damien Curtis?” ulang Majandra. “Baiklah. Aku akan mengingatnya.” Wanita itu merapikan gaun malamnya, kemudian berlalu dari hadapan pria bernama Damien tadi. Majandra pergi begitu saja, tanpa berbasa-basi terlebih dulu.
“Hey!” cegah Damien. Dia bergegas menyusul wanita cantik berambut panjang itu. Damien menyejajari langkah Majandra yang bersikap jual mahal terhadapnya. “Kau curang,” ucap pria tampan dengan iris mata abu-abu tersebut.“Kita tidak sedang melakukan permainan apapun,” bantah Majandra tanpa menoleh. Dia melangkah anggun, di antara hiruk-pikuk para penikmat kehidupan malam yang tengah menikmati musik menghentak.“Ya, kau benar. Namun, tadi aku sudah memperkenalkan diri.” Damien tak putus asa mengajak wanita cantik itu berkenalan. “Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama. Aku rasa, suamimu tak akan tahu bahwa kau memberitahukan namamu padaku. Kecuali jika dia memiliki mata-mata.”Majandra tertegun sejenak, lalu menoleh. Dia kembali tertawa renyah, memperlihatkan deretan giginya yang putih sebagai pelengkap dari keindahan bibir berpoles lipstik merah. Kecantikan fisik yang dimiliki wanita itu sungguh luar biasa. Dia terlihat sangat sempurna, dari ujung rambut hingga ujung kaki.“Apakah namamu terlalu mahal untuk kau bagi denganku?” tanya Damien setengah merayu. Dia kembali menyertai langkah gemulai Majandra dari sisi sebelah kiri.“Jika memang mahal, memangnya akan kau bayar dengan apa?” Majandra menghentikan langkah, lalu menoleh kepada pria tampan, yang sedari tadi tak mengalihkan perhatian darinya..“Apapun yang setara dengan makhluk seindah dirimu,” jawab Damien dengan sorot penuh rayuan, yang mampu membuat wanita manapun pasti akan langsung bertekuk lutut di hadapannya.Majandra membalas tatapan mematikan yang dilayangkan Damien. Dia seolah ingin membuktikan bahwa dirinya memiliki kekuatan lebih, yang bisa menjadi tameng dari rayuan paling mematikan sekalipun. “Kau pikir apa yang setara dengan diriku?” tanyanya bernada menantang.Damien tersenyum kalem. Harus diakui bahwa pria berambut gelap tersebut memiliki ketampanan yang luar biasa. Postur tubuhnya sangat ideal. Atletis dan tampak begitu kokoh. Selain itu, Damien juga memiliki senyuman yang teramat memesona. “Bisakah kita bicarakan masalah ini di tempat lain?” Pertanyaan itu terdengar seperti undangan khusus untuk Majandra.“Di mana?” tanya Majandra.“Meja makan,” jawab Damien diiringi senyum kalem. Iris mata abu-abunya terlihat sangat bercahaya.Majandra tersenyum simpul seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. “Tuan pemaksa,” ujarnya. Dia melanjutkan langkah, bermaksud meninggalkan Damien yang masih berdiri disertai sorot penuh harap. Majandra melenggang santai dengan langkah gemulai. Setiap gerak tubuhnya, menjadi sihir yang sangat ampuh untuk menghipnotis seorang Damien Curtis.“Di mana aku bisa menemuimu lagi, Nona?” tanya Damien sedikit nyaring.Majandra yang sudah beberapa langkah menjauh dari pria tampan bermata abu-abu itu, langsung tertegun. Dia menoleh, lalu tersenyum. “Nyonya. Panggil aku ‘nyonya’,” ralatnya diiringi senyuman nakal. Setelah itu, wanita cantik tersebut kembali berbalik dan melanjutkan langkah.Majandra kembali ke kamar yang ditempatinya. Wanita cantik berambut cokelat tembaga itu melempar tas ke kasur, lalu melepas ankle strap heels di dekat pintu. Dia mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Majandra merogoh ponsel dari dalam tas, lalu memeriksanya.Keluhan pendek meluncur dari bibir berpoleskan lipstik merah Majandra. Tak ada pesan atau panggilan dari sang suami. “Ya, tentu saja. Kau sedang bersenang-senang dengan wanita lain,” gumamnya kesal. Dia melemparkan telepon genggam tadi ke sebelah. Sementara, dirinya berbaring dengan posisi telentang menghadap langit-langit ruangan.Akan tetapi, dorongan dalam hati Majandra mulai memberontak. Dia kembali mengambil ponsel tadi, lalu mencari nomor kontak Alexandre. Majandra menghubungi pria itu, meski dirinya harus menunggu beberapa saat hingga sang suami menjawab panggilan tersebut.“Hallo,” sapa Alexandre. Suara berat nan seksi yang sebenarnya sangat Majandra rindukan. “Bagaimana liburanmu?” tanya pria itu dingin.“Menyenangkan. Aku suka berada di sini,” jawab Majandra. Dia mengubah posisi tidur jadi menyamping.“Jangan katakan jika kau tak akan pulang,” ujar Alexandre. Pria tampan tersebut selalu berbicara seperlunya. Dia bahkan seperti tak memiliki selera humor.“Kenapa memangnya? Aku tidak akan berpikir bahwa kau merindukanku,” ujar Majandra sedikit menyindir sang suami.“Bukan masalah rindu atau tidak. Namun, beberapa hari lagi adalah ulang tahun pernikahan orang tuaku. Seperti biasa, kita harus datang ke sana dan ….”“Bersandiwara?” potong Majandra diiringi keluhan pendek. “Rasanya sangat melelahkan, juga membosankan.”Alexandre tidak menanggapi. Entah apa yang tengah pria itu lakukan. Beberapa saat kemudian, dia kembali bersuara. “Kau ingin aku datang sendiri ke sana? Kau ingin orang tuaku mengetahui kondisi hubungan kita yang buruk?”“Memang seperti itu kenyataanya?” ucap Majandra. “Kurasa, justru mungkin kau yang takut jika kedua orang tuamu mengetahui bahwa anaknya telah menipu mereka dan seluruh keluarga besar,” sindir Majandra. “Aku tidak tahu pernikahan macam apa ini?”“Kau yang bersikeras untuk tetap melanjutkan kegilaan ini, Majandra. Ingat itu!” Nada bicara Alexandre penuh penekanan. “Sejak dua tahun yang lalu, aku sudah berniat untuk menceraikanmu. Namun, kau tetap menolak. Entah apa alasan yang melatarbelakangi sikap keras kepalamu ini.”“Aku hanya mencoba mempertahankan pernikahan kita. Jika kau menganggap itu sebagai suatu kegilaan, maka biarkanlah aku mati dalam keadaan seperti itu. Lagi pula, kurasa kau tak akan peduli dengan apapun yang terjadi padaku.” Majandra mengembuskan napas dalam-dalam, setelah berkata demikian. Rasanya, dia ingin melempar ponsel yang sedang dirinya pegang sekencang mungkin.“Kau sudah mengetahuinya,” balas Alexandre dingin.Seketika, Majandra kehilangan selera untuk melanjutkan perbincangan. Dia langsung memutus sambungan telepon. Tak ada hal lain yang mengisi pikirannya kali ini, selain rasa kesal. Majandra akhirnya memutuskan untuk tidur, tanpa berganti pakaian atau membersihkan riasan.Tanpa terasa, Majandra tidur dengan begitu nyenyak. Wanita cantik tersebut baru membuka mata, karena mendengar suara ketukan di pintu. Dia bangkit perlahan, lalu duduk sebentar untuk mengumpulkan segenap kesadaran yang belum sepenuhnya kembali. “Mengganggu saja,” gerutu Majandra seraya bangkit dari tempat tidur.Sebelum membuka pintu, Majandra merapikan rambut terlebih dulu. Dia juga merapikan gaun malamnya. Setelah itu, barulah istri Alexandre tersebut membuka pintu kamar penginapan mewah yang ditempatinya. Seketika, wanita cantik itu tertegun saat mendapati seorang pelayan, berdiri sambil memegangi buket bunga mawar berukuran besar.“Selamat pagi, Nyonya LaRue,” sapa pelayan itu sopan. “Maaf mengganggu pada jam seperti ini. Namun, orang yang memberikan bunga ini, memintaku agar segera mengirimkannya kepada Anda."“Oh, ya. Tidak apa-apa,” balas Majandra seraya tersenyum kaku. Dia tak segera menerima buket bunga mawar itu.“Silakan diterima, Nyonya. Ini adalah kiriman untuk Anda dari Tuan Damien Curtis,” ucap pelayan tadi, yang membuat Majandra hanya bisa terpaku di tempatnya berdiri.“Astaga.” Majandra berdecak pelan. Dia tak percaya, karena pria bernama Damie itu benar-benar seorang pemaksa. Majandra menerima buket mawar berukuran besar, yang disodorkan oleh pegawai penginapan tadi.Setelah menutup pintu, wanita cantik bermata abu-abu itu meletakkan kiriman yang diterimanya di atas kasur. Dia memandangi beberapa saat, ratusan kuntum mawar merah yang terlihat segar dan indah. Di antara bunga cantik itu, terselip kartu ucapan bertuliskan tangan atas nama Damien Curtis. [Maaf, aku mengikutimu. Bila makan malam terlalu formal, bagaimana jika minum kopi? Kutunggu di The Sands Cafe sore ini pukul empat. -Damien Curtis-]Majandra meletakkan kembali kartu ucapan tadi ke dalam buket bunga. Dia mengembuskan napas pelan, lalu kembali mengempaskan tubuh ke kasur. “Astaga. Apa-apaan ini?” Wanita cantik berambut cokelat tembaga itu menggeleng tak mengerti. Belum sempat Majandra beranjak dari tempat tidur, suara dering telepon membuat dia semakin nyaman untuk tetap berada di k
Majandra sempat terlena hingga beberapa saat, ketika dirinya merasakan setiap lumatan yang Damien berikan. Selain tampan dan berkharisma, pria berambut gelap itu ternyata merupakan pencium yang luar biasa. Dia berhasil membuat Majandra terlupa, akan statusnya sebagai istri seorang pengusaha ternama Perancis, Alexandre LaRue. Tak hanya satu kali. Damien, menikmati bibir ranum Majandra bahkan hingga tiga kali. Namun, untungnya pria berusia tiga puluh empat tahun tersebut masih dapat menahan diri, karena dia tak meminta lebih. “Selamat beristirahat,” ucapnya setelah puas berciuman. Majandra tak langsung menanggapi. Wanita cantik bermata abu-abu itu berdiri dengan sorot tak percaya, atas apa yang baru saja dirinya lakukan. Semenjak tiga tahun menjalani pernikahan dengan Alexandre, ini adalah pertama kali bagi dirinya kehilangan kontrol seperti tadi. “Kenapa?” tanya Damien, dengan wajah yang masih berada tepat di hadapan Majandra. Jarak mereka hanya beberapa inci, karena hidung mancung
Masih tersisa beberapa hari untuk menikmati liburan di Maldives. Majandra tak ingin menyia-nyiakan hal itu. Setelah insiden ciuman tak terduga yang dilakukannya bersama Damien petang kemarin, wanita cantik yang gemar mengenakan midi dress selutut tersebut mencoba untuk kembali terlihat biasa. Majandra tak ingin mengingat-ingat lagi kesalahan yang telah dilakukannya, meskipun itu hanya berupa ciuman. Apa yang Majandra perbuat, memang tak sebanding dengan pengkhianatan Alexandre. Namun, wanita cantik berambut panjang tersebut, tetap tak membenarkannya.Angin di pagi itu terasa menyegarkan. Majandra asyik menyusuri pesisir pantai. Rasanya, dia ingin melepas pakaian lalu bermain di sana dengan hanya mengenakan bikini two pieces, yang akan membuat dirinya terlihat seksi. Akan tetapi, pikiran tersebut harus dia buang jauh-jauh. Pasalnya, sepasang mata abu-abu wanita dua puluh lima tahun tersebut menangkap sosok Damien, yang tengah berjalan gagah ke arahnya. “A
Majandra terdiam beberapa saat, dengan tatapan lekat tertuju kepada Damien. Sebagai wanita normal, tentu saja dia sangat menikmati segala sanjungan serta rayuan manis yang dilancarkan pria tampan tersebut. Namun, Majandra sadar bahwa dirinya tak boleh terlena oleh segala bujuk rayu Damien. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya wanita dua puluh lima tahun itu penuh selidik. “Aku?” tunjuk Damien pada dirinya. “Pertanyaanmu terdengar sadis,” ujar pria itu. Damien tersenyum simpul, sebelum kembali menikmati minumannya. Sementara, Majandra belum mengalihkan tatapan dari pria tampan berambut gelap tersebut. Sepasang iris mata abu-abunya yang bercahaya, terus mengikuti setiap gerakan tubuh Damien. Dia seakan ingin menguliti kejujuran pria yang juga mengaku berasal dari Perancis tersebut. “Kau terus merayu dan berusaha mendekatiku. Kau bahkan menciumku, meski tahu bahwa diriku sudah bersuami. Bolehkah jika aku memikirkan sesuatu yang ….” Majandra tidak melanjut
“Hentikan!” Tangan kekar itu meraih tubuh Majandra yang tak terkendali. “Lepaskan aku!” Majandra yang sudah dalam pengaruh alkohol, terus memberontak saat seseorang yang tak lain adalah Damien terus memeganginya dari belakang. Sebisa mungkin, Majandra berusaha mendekat kembali pada wanita berambut pirang yang sudah bangkit dan terlihat kesakitan. Majandra terus memakinya menggunakan Bahasa Perancis. “Terkutuklah kau di neraka bersama pria sialan itu!” makinya. “Sudah. Hentikan.” Damien terus menarik mundur Majandra agar keluar dari klub malam tadi. “Lepaskan aku!” Majandra terus memberontak. Dia bahkan berusaha menyerang Damien. Namun, tentu saja Damien telah mengantisipasi setiap pergerakan Majandra. Pria tampan tersebut menahan kedua tangan si wanita dengan cara memegangi pergelangannya. Setelah itu, dia memutar ke belakang, meletakkan keduanya di balik punggung. “Kau masih ingin melawanku?” tantang Damien. "Astaga. Ternyata kau sangat liar.
Damien mengembuskan napas berat. Pria tampan tiga puluh empat tahun tersebut, mengacak-acak rambutnya yang kusut karena baru bangun tidur. Namun, dia seolah tak peduli jika dirinya akan terlihat jelek di mata Majandra. “Um … sebaiknya kau ikut aku,” ajak pria itu. Dia meraih tangan Majandra, lalu menuntunnya ke satu ruangan yang ternyata adalah kamar mandi. “Untuk apa kita kemari?” tanya Majandra heran. Dia memperhatikan Damien yang tengah mengambilkan sesuatu untuknya. “Sebaiknya, basuh wajahmu, lalu gosok gigi. Dengan begitu, pikiran bisa menjadi jauh lebih segar,” saran Damien. Pria itu menyodorkan sikat gigi baru kepada Majandra. Tanpa merasa canggung, Damien menarik tangan si wanita agar mengikutinya berdiri dekat meja wastafel sambil menghadap cermin. Dengan tetap memasang wajah lusuh tak bersemangat, Majandra menuruti apa yang Damien katakan. Dia berdiri di sebelah pria itu, lalu menggosok gigi. Sesekali, pandangannya beradu dengan Damien lewat p
Damien terperangah mendengar penuturan Majandra. Hati kecilnya bersorak dan berkata bahwa itu merupakan kesempatan emas baginya, agar dapat memasuki kehidupan wanita cantik tersebut. Tuhan seakan memberinya jalan yang teramat mudah, untuk bisa meraih simpatik meski harus didapat dari konflik. Akan tetapi, satu sisi hati Damien yang lain mengatakan bahwa dirinya terlalu jahat, jika merasa bahagia atas rasa sakit yang disembunyikan Majandra. “Apa ada orang lain yang mengetahui perselingkuhan itu?” tanya Damien penasaran. “Hanya aku dan seorang teman dekat. Dia yang pertama kali memberitahukan perselingkuhan suamiku dengan wanita itu. Aku bahkan diajak untuk membuktikan sendiri semua yang lakukannya.” Majandra kembali mengembuskan napas pendek. Untuk kali ini, tarikannya terdengar lebih berat. Wanita itu sadar. Semua yang sudah terucap dari bibirnya, tak dapat dia tarik kembali. “Kenapa kau tidak terbuka kepada keluargamu?” tanya Damien lagi. Dia tampak se
[Bagaimana kabarmu?]Begitulah isi pesan yang Damien kirimkan untuk Majandra. Dia masih memberikan perhatian yang begitu manis, meski wanita cantik tersebut sudah bersikap tidak bersahabat padanya. “Ah, Damien,” desah Majandra pelan. Rasa bersalah kembali hadir. Namun, Majandra tidak membalas pesan tadi. Dia meletakkan telepon genggamnya begitu saja di kasur, lalu merebahkan diri. Tanpa sadar, wanita itu kembali tertidur cukup lama. Majandra bahkan tidak makan siang, karena dirinya baru bangun sekitar pukul 14.30. “Astaga!” Majandra terduduk, lalu meraup kasar wajahnya. Sakit kepala yang tadi mengganggu, telah berangsur sirna. Dia merasa mulai stabil kali ini. Namun, istri Alexandre tersebut belum membersihkan tubuh atau sekadar berganti pakaian. Majandra beranjak ke kamar mandi. Dia berendam air hangat beberapa saat, hingga dirinya merasa puas. Setelah membersihkan diri, wanita cantik berambut cokelat tembaga itu memilih dress yang akan dikena
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe