“Damien?”
Suara itu pelan, tapi terdengar jelas di telinga Damien yang seperti kehilangan akal sehatnya. Dia dan Delphine seketika menoleh, pada seseorang yang tak lain adalah Majandra.
Melihat kehadiran wanita itu di sana, Delphine segera membetulkan bra yang dikenakannya. Dia turun dari meja, lalu mengancingkan kemeja yang terbuka.
Majandra berjalan masuk, meski masih memberi jarak beberapa langkah dari Damien dan Delphine. Dia menatap tajam dua orang yang hampir bercinta, andai dirinya tak datang ke sana. Sorot penuh kemarahan, wanita itu layangkan kepada pria tampan yang sepertinya tak terpengaruh dengan kehadirannya di sana.
“Keluar kau!” suruh Majandra, seraya menoleh sekilas kepada Delphine. Sinis dan teramat dingin.
“Katakan sekali lagi, Damien. Katakan sekali lagi!” Majandra tak percaya dengan apa yang pria itu ucapkan. Bagaimana mungkin Damien tega membuangnya dengan sangat mudah, hanya karena merasa tersisihkan. “Seperti yang kau dengar tadi,” ucap Damien enteng. Namun, sesaat kemudian pria itu menelan ludahnya dalam-dalam, demi menetralkan perasaan bergemuruh dalam dada. “Pergilah, Majandra. Aku harus bekerja.” Damien membalikkan badan. Dia melangkah ke meja kerja, kemudian duduk di kursi kebesarannya. Pria itu membuka, lalu memeriksa map berisi laporan tentang perusahaan. Damien bersikap seolah-olah tak ada siapa pun di sana selain dirinya. “Damien,” panggil Majandra pelan sambil menahan tangis. Dia terus memperhatikan pria yang justru tak menganggapnya ada. Damien lebih memilih fokus pada lembaran kertas yang sedang diperiksa. Hingga beberapa saat, Majandra berdiri mematung. Wanita cantik itu berharap Damien menoleh padanya. Namun, setitik harapan yang dia pertahankan ternyata tak berbua
“Apa? Kau akan kembali ke Inggris?” Julien menunjukkan raut terkejut, atas keputusan yang diambil Damien.“Ya,” jawab Damien berat. “Aku ingin memulai hidupku lagi di sana.”“Kenapa tidak di Perancis saja? Kau ingin meninggalkan lagi ayahmu seorang diri?” protes Julien tak terima.Damien mengembuskan napas panjang, seraya beranjak dari duduk. Dia melangkah ke dekat jendela, lalu berdiri di sana sambil memandang ke luar. Tatapan pria tampan tiga puluh empat tahun tersebut menerawang jauh, menembus langit yang menyelimuti Kota Paris. Bayangan paras cantik Majandra hadir di sana. Terlukis sempurna, bagai pahatan mahakarya indah sang maestro.“Jika terus berada di sini, aku akan kesulitan melupakan
Musim panas tak lama lagi akan segera berakhir, berganti dengan musim gugur yang membuat perasaan Majandra semakin kelabu. Belum genap satu minggu semenjak Damien memutuskan jalinan cinta mereka, rasa gundah gulana telah memenuhi hati wanita cantik tersebut Damien datang dan menghiasi hari-hari Majandra, dengan segala keunikan yang dimiliki pria itu. Dia berhasil membawa Majandra keluar dari sisi gelap pernikahannya yang gagal bersama Alexandre. Putra Julien Curtis tersebut, memberikan cahaya serta angin segar penuh harapan indah, yang membuat Majandra seperti menemukan kembali gairah dalam hidupnya. Akan tetapi, kini Damien telah pergi. Dia memutuskan mundur dan tak ingin berjuang lagi demi cintanya terhadap Majandra. Pria tampan berambut gelap itu berniat untuk mengubur segala kenangan indah, yang pernah mereka lalui bersama.Mobil sedan hitam yang Alexandre kemudikan, telah memasuki halaman kediaman mewah Keluarga LaRue. Kendaraan mahal dengan merk ternama yang biasa dimiliki ole
Alexandre dan Majandra saling pandang. Dari apa yang Estelle tuturkan tadi, mereka berdua sudah bisa memahami sesuatu. Namun, baik Alexandre atau Majandra, tak berani menarik kesimpulan terlalu cepat. “Aku tak tahu secara pasti, apakah ayahku ada di balik kematian kakek atau tidak. Namun, entah mengapa tiba-tiba benakku dipenuhi oleh pikiran-pikiran tak karuan, setelah mendengar percakapan itu. Terlebih, Phillipe selalu berkata bahwa nama baik ayah ada di tangannya,” tutur Estelle lirih. “Jika memang kakek ada kaitannya dengan penyebab dari kematian kakek buyut ….” Alexandre memicingkan mata, seolah tengah memikirkan sesuatu. “Alasan apa yang melatarbelakangi dia melakukan itu?” pikir Alexandre lagi. “Daripada kita terus bertanya-tanya, kurasa akan jauh lebih baik menyerahkan kasus itu pada pihak yang berwajib. Mereka lebih kompeten untuk urusan seperti ini,” ucap Majandra menyarankan. Alexandre mengangguk setuju. Dia beranjak dari tempat duduk, lalu pindah ke hadapan Estelle. Pria
Majandra tersadar. Dia segera bangkit, lalu menyusul Julien ke dalam. “Tunggu, Tuan Curtis!” cegahnya cukup nyaring.Julien yang sudah hendak pergi ke bagian dalam rumah, seketika tertegun. Dia lalu menoleh.“Aku ingin alamat Damien di Inggris,” pinta Majandra tanpa basa-basi, sambil berjalan ke hadapan pria paruh baya itu. “Berikan padaku,” desaknya.“Maafkan aku, Nak. Damien tak ingin diganggu,” tolak Julien penuh sesal.“Aku bukan pengganggu, Tuan.” Tangis Majandra kembali hadir. Kesedihan serta rasa sakit, tak mampu dielakkan.“Pulanglah, Nak.” Julien tetap bersikap lembut. Dia tersenyum simpul, seraya menyentuh pucuk kep
“Majandra …,” ucap Alexandre tertahan. Satu sisi hati pria itu tergoda. Namun, sisi lainnya menolak. Dia sadar bahwa sang istri tengah dalam kondisi mabuk.“Jangan tinggalkan aku,” pinta Majandra seraya bangkit, lalu duduk. Dia membuka mata. Menatap sayu kepada Alexandre yang tampak samar. Wanita cantik dengan tubuh hampir telanjang itu menyunggingkan senyuman manja penuh rayuan, tanpa melepas genggaman tangannya dari T Shirt yang Alexandre kenakan.“Aku akan mengambilkan baju ganti untukmu,” ucap Alexandre, setelah berhasil menetralkan debaran dalam dada. Namun, perasaan itu kembali hadir dan semakin kuat, saat Majandra menariknya kencang. Alexandre terpaksa duduk di tepian tempat tidur, dengan posisi menghadap sepenuhnya kepada sang istri.“K
Hari berganti. Ini adalah penghujung musim dingin, di mana salju mencair dan sirna dari permukaan tanah. Majandra menyambut musim semi dengan raut masam. Tak ada yang menarik baginya, meski rembulan turun ke bumi. “Lama sekali kita tidak bertemu. Sejak kapan kau mulai merokok lagi?” tanya Agathe. Dia mengambil sebatang, dari kotak rokok yang Majandra letakkan di meja. Wanita cantik berambut pirang itu menyulut, lalu mengepulkan asap tipis dari bibirnya. “Aku hanya merokok ketika sedang suntuk,” jawab Majandra, seraya membuang abu rokok di dalam asbak. Wanita cantik itu mengembuskan napas panjang penuh keluhan. “Kupikir, kau tak akan kembali dari Nice.” Majandra menatap sekilas sahabat baiknya tadi. “Aku mencari mangsa di sana,” celetuk Agathe diakhiri tawa. Dia mengisap rokoknya, sebelum kembali berbicara. “Saat kembali ke Paris, aku dibuat terkejut dengan pemberitaan tentang ayah mertuamu. Apakah dia benar-benar ….” Agathe ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Majandra mengangguk,
Majandra tersenyum, seraya menerima kartu yang Julien sodorkan padanya. Di sana, tertera nama perusahaan tempat Damien bekerja. Harapan besar kembali hadir dalam diri. Musim semi ini, mungkin bukan hanya bunga-bunga yang akan tumbuh dan bermekaran.Dengan membawa senyum penuh kepuasan, Majandra kembali mengendarai mobilnya melintasi keramaian jalanan utama Kota Paris. Dia akan pulang membawa semangat, yang sempat hilang dalam beberapa waktu terakhir.“Kau sudah pulang?” Alexandre menyambut kedatangan Majandra di ruang tamu. Paras tampan sang pemilik La Bougenville tadi, terlihat sangat cerah dan berseri.“Kau lihat sendiri aku ada di sini,” jawab Majandra tak acuh. Dia melangkah begitu saja, melintas di hadapan Alexandre yang tak mengalihkan perhatian darinya.
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe