Majandra tersenyum, seraya menerima kartu yang Julien sodorkan padanya. Di sana, tertera nama perusahaan tempat Damien bekerja. Harapan besar kembali hadir dalam diri. Musim semi ini, mungkin bukan hanya bunga-bunga yang akan tumbuh dan bermekaran.Dengan membawa senyum penuh kepuasan, Majandra kembali mengendarai mobilnya melintasi keramaian jalanan utama Kota Paris. Dia akan pulang membawa semangat, yang sempat hilang dalam beberapa waktu terakhir.“Kau sudah pulang?” Alexandre menyambut kedatangan Majandra di ruang tamu. Paras tampan sang pemilik La Bougenville tadi, terlihat sangat cerah dan berseri.“Kau lihat sendiri aku ada di sini,” jawab Majandra tak acuh. Dia melangkah begitu saja, melintas di hadapan Alexandre yang tak mengalihkan perhatian darinya.
Majandra berdiri mematung. Kedua kakinya terpaku dengan kuat pada jalanan yang dia pijak. Wanita itu tak tahu harus berkata apa. Terlebih, karena debaran dalam dadanya kian tak karuan. Sementara, si pria pemilik suara tadi pun sama saja. Raut terkejut tampak jelas di paras tampannya. Namun, pria itu tak mengatakan apa pun. Dia hanya mematung. Menatap lekat Majandra, dengan sepasang iris mata abu-abu yang masih terlihat indah dan bercahaya. “Damien,” ucap Majandra pelan. Ragu, dia menyebutkan nama pria yang dalam beberapa waktu terakhir terus mengusik ketenangan hidupnya. Pria yang tak lain adalah Damien, tak segera membalas. Dia masih asyik memandang wanita cantik di hadapannya. Seseorang yang telah berhasil membawa dirinya pada pelabuhan indah, hingga Damien berpikir untuk melabuhkan kapal dari segala petualangan panjang. “Who is she?” tanya pria di sebelah Damien sambil berbisik. “She is my old friend,” jawab Damien terdengar yakin, meski raut wajahnya menyiratkan keraguan
Majandra tersenyum kelu. Dia tak ingin menyaksikan pemandangan menyakitkan itu. Pergi adalah satu-satunya jalan terbaik bagi wanita cantik tersebut. “Kalau begitu, aku permisi dulu. Sekali lagi, senang bisa bertemu denganmu, Nona Hudson.” Majandra kembali mengajak Jeanice bersalaman, sebelum membalikkan badan. Lemah, Majandra merasakan tubuhnya tak bertenaga lagi. Seluruh tulang yang menjadi penopang agar dirinya bisa berdiri tegak, seperti hancur berkeping-keping. Majandra memaksakan diri melangkah di trotoar. Layu, bunga-bunga dalam hati Majandra tak jadi berkembang. Musim semi telah terhapus dari hidup wanita cantik itu. Dia merasakan musim dingin berkepanjangan. Beku dan muram. Tak ada gairah sama sekali. Damien berdiri terpaku menatap kepergian wanita yang sebenarnya sangat dia rindukan. Hingga sosok Majandra menghilang dari pandangan, pria tampan berambut gelap tersebut masih belum beranjak dari tempatnya. “Siapa wanita tadi? Apakah dia merupakan salah satu dari sekian banya
Damien mengendarai jeep kesayangan, yang selama ini hanya dia pergunakan sesekali. Selama tinggal di Inggris, pria itu lebih senang berjalan kaki atau memakai transportasi umum. Setelah beberapa saat di perjalanan, pria itu akhirnya tiba di depan hotel berbintang tempat Majandra menginap. Akan tetapi, Damien tak segera turun dari kendaraan. Dia merasa ragu untuk menemui Majandra secara langsung. Pri tampan tersebut tampak gelisah. Berkali-kali, dirinya mengembuskan napas berat penuh keluhan. Setelah berpikir cukup lama, pria itu memutuskan pulang ke flat-nya. Damien merasa begitu bodoh. Dia seperti remaja belasan tahun, yang baru pertama kali menghadapi permasalahan dalam cinta. Kenyataannya, Damien tak bisa tenang. Sepanjang malam, dia merasa gelisah. Pikiran pria berambut gelap itu terus melayang, pada sosok wanita yang selama ini telah membuat hidupnya menjadi sangat berbeda. Hingga lewat tengah malam, barulah Damien dapat memejamkan mata. Pria itu terbangun, ketika merasakan s
“Apa?” Dokter yang sedang memberikan penjelasan kepada Damien dan Alexandre, terperanjat mendengar laporan perawat tadi. Dia bergegas masuk ke ruang observasi, untuk memeriksa kondisi Majandra. Sementara, Damien dan Alexandre dibuat semakin khawatir. Kedua pria itu saling pandang sesaat, sebelum memilih duduk kembali dengan posisi sama. Damien dan Alexandre mencondongkan tubuh ke depan, lalu meraup kasar wajah masing-masing. Helaan napas berat penuh beban pun, menghiasi kegelisahan para pria tadi. “Majandra terus meminta agar aku menceraikannya,” ucap Alexandre memecah kebisuan. Pria itu berkata tanpa mengubah posisi duduk, atau menoleh kepada Damien yang meliriknya sekilas. “Dia ingin agar kami segera berpisah. Namun, jujur saja bahwa aku memang mengulur waktu. Kupikir, selama itu aku bisa menarik perhatiannya lagi. Akan tetapi, semua yang kulakukan hanya sia-sia,” tutur Alexandre pelan. Sementara, Damien hanya diam mendengarkan. “Dalam beberapa bulan terakhir, aku melakukan b
Hening. Miguel tak segera menanggapi ucapan Alexandre. Sikap ayahanda Majandra tersebut membuat Alexandre tak menentu. Alexandre menjadi kian gelisah. Rasa bersalah pun semakin menjadi. “Apa kau mendengarku, ayah?” tanya Alexandre memastikan. Meski ragu, tapi dia harus menerima apa pun konsekuensi yang akan dirinya terima nanti, andai kedua orang tua Majandra mengetahui kejadian yang sebenarnya. Ya, semua permasalahan yang dulu tertutup rapat dan hanya menjadi rahasia berdua, mungkin sudah saatnya untuk diketahui seluruh anggota keluarga. “Apa maksudmu, Alex?” Nada bicara Miguel tiba-tiba berubah. “Beberapa bulan yang lalu, aku mendapat kabar mengejutkan tentang ayahmu. Lalu, sekarang … apa-apaan ini?” Miguel terdengar tak menyukai laporan Alexandre tentang kondisi Majandra. “Sebaiknya ayah segera datang kemari. Saat ini, aku sedang berada di rumah sakit pusat Kota London. Ayah bisa melihat sendiri keadaan Majandra yang sebenarnya,” ucap Alexandre tetap berusaha tenang. “Aku juga
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe