“Tadi orang tua Retta mengatakan jika pernikahannya akan dibatalkan.” Noah memulai pembicaraannya dengan adiknya.
Rylan sudah menebak hal itu yang akan terjadi, mengingat tadi terjadi pertengkaran hebat. Namun, kenapa kakaknya bicara begitu serius padanya, membuatnya keheranan. “Aku sudah tahu alasannya pernikahan batal.”
“Bagus jika kamu sudah tahu, jadi tidak terlalu sulit untukmu memahami apa yang akan aku jelaskan.” Noah merasa tidak perlu susah payah menjelaskan.
Rylan menautkan alisnya. Merasa bingung kenapa kakaknya bicara seperti itu. Padahal jelas-jelas. “Memang kamu ingin menjelaskan apa?” tanyanya.
“Aku ingin menjelaskan jika orang tua Retta meminta kamu untuk menikah dengan Retta.” Noah akhirnya mengatakan apa yang disampaikan oleh keluarga Retta.
Rylan membulatkan matanya ketika mendengar apa yang diucapkan oleh kakaknya itu. “Maksudnya pernikahan tetap akan dilanjutkan dan tidak jadi dibatalkan?” tanyanya memastikan.
“Iya, tetap dilanjutkan dengan pengantin pria yang berbeda,” jelas Noah, “orang tua Retta pasti tidak mau sampai menanggung malu. Jadi mereka memilih untuk melanjutkan dengan pengantin pria yang lain.”
Rylan tahu pasti, efek dari pembatalan pasti akan sangat banyak mengingat jika orang tua Retta adalah pengusaha sukses. Akan tetapi, dia tidak menyangka jika dirinya yang akan menjadi pengganti pria. Sejenak Rylan mengingat bagaimana orang tua Retta yang tadi sempat bertanya tentang dirinya. Namun, tidak menyangka jika pertanyaan itu adalah pertimbangan yang sedang dilakukan oleh orang tua Retta.
“Apa kamu mau menikah dengan Retta?” Noah akhirnya pada inti dari pembicaraannya.
Untuk sejenak Rylan terdiam. Dia masih merasa ini adalah sebuah mimpi. Dia memang berharap bisa menikah dengan Retta, tetapi tidak menyangka jika akan menjadi kenyataan. Padahal tadi dia sudah menyusun rencana untuk mendekat Retta jika pernikahannya gagal, tetapi ketika disodorkan pernikahan, membuatnya benar-benar bersyukur sekali, karena ini jauh lebih besar dari harapannya.
“Rylan, aku bertanya, apa kamu mau menikah dengan Retta?” Noah menepuk bahu adiknya yang tampak sedang melamun.
Rylan tersadar dari pikirannya. Senyumnya langsung tersimpul di sudut bibirnya. “Tentu saja aku mau.” Rylan tidak akan melepaskan kesempatan berharga ini. Dia tentu akan melakukan karena memang mencintai Retta.
“Baguslah kalau kamu setuju. Jadi aku bisa dengan mudah mengurusnya dengan Al. Sekarang siapkan semua data diri kamu. Aku dan Al akan mengurusnya.” Sudah menjelang siang. Pastinya mereka akan kalang kabut mengurus semuanya. Terlebih lagi waktunya begitu mepet.
“Baiklah, aku akan mengambilnya.” Rylan begitu senang ketika dia akan menikah dengan Retta. Dia bergegas untuk ke kamarnya. Menyiapkan semuanya dokumen yang diminta kakaknya. Saat yang berlari sempat terjatuh di lantai kamar. Beruntung di lantai kamar berlapis karpet bulu, sehingga saat terjatuh membuatnya tidak merasakan sakit.
Cia, Nora, dan Nick tertawa melihat Rylan yang terjatuh. “Uncle jatuh,” ucap Lora.
“Kamu bagaimana Rylan, kenapa bisa jatuh?” Cia masih tertawa melihat adik iparnya yang terjatuh.
“Iya, aku terlalu senang.” Rylan segera berangsur bangun. Kemudian berlalu keluar dari kamar. Dia benar-benar diliputi rasa bahagia karena akan segera menikah dengan pujaan hatinya.
Noah yang melihat tingkah adiknya hanya bisa menggeleng heran. Dia yang menoleh ke arah kamar, melihat adiknya terjatuh. Adiknya terlihat begitu senang sampai terjatuh. Sebenarnya Noah masih menyelipkan rasa ragu, mengingat usia Rylan masih sangat muda untuk menikah.
“Jadi dia akan menikah dengan Retta?” Tiba-tiba Cia menghampiri suaminya yang masih duduk di balkon.
“Iya,” jawab Noah, “tapi, aku ragu Rylan menjadi suami untuk Retta.” Noah mengembuskan napasnya. Mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
“Percayalah dia akan menjadi suaminya yang baik. Terlebih lagi dia begitu mencintai Retta.” Cia sudah tahu sejak lama jika adik iparnya itu begitu menyukai Retta. Saat kini dia mendapatkan wanita pujaannya, Cia merasa ikut senang.
“Iya, aku berusaha untuk percaya.” Noah tersenyum tipis. Terkadang keadaan dan cinta mengubah seseorang. Dia berharap dengan menikah dan mendapatkan tanggung jawab, adiknya bisa berubah. Dari sikapnya yang kekanak-kanakan menjadi lebih dewasa.
🌺🌺🌺
Di kamar Rylan mengacak-acak kopernya. Mencari beberapa berkas yang akan digunakan untuk administrasi. Sebenarnya dia ragu bisa selesai dalam sehari, tetapi dia sadar, terkadang dengan kekuasaan dan uang semuanya akan mudah dikerjakan, termasuk menyiapkan administrasi dalam sehari.
Setelah menemukan semua, Rylan bergegas untuk menemui kakaknya. Menyerahkan dokumen yang dibutuhkan.
“Apa aku harus ikut mengurus semua?” tanya Rylan.
“Tidak perlu, biar aku yang mengurus semua. Sebaiknya kamu gunakan waktu ini untuk beristirahat, karena besok akan menjadi hari panjangmu.” Noah menepuk bahu sang adik.
Rylan mengangguk. Dia memang memilih untuk beristirahat. Dia benar-benar baru sampai. Tubuhnya masih begitu letih. Jika tidak diistirahatkan yang ada besok bisa-bisa dia pingsan di hari pernikahan.
Noah yang mendapatkan dokumen bergegas menemui Al yang ada di restoran hotel. Saat di sana tidak hanya Al yang ada, tetapi juga El-sepupu Al sekaligus teman Noah.
“Kalian sudah di sini.” Noah menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya. Dua temannya itu hanya mengangguk saja. “Ini dokumen milik Rylan.” Noah menyodorkan beberapa berkas yang disiapkan adiknya.
“Baiklah, sepertinya kita akan bekerja keras hari ini.” Al benar-benar tidak bisa memikirkan apa-apa selain menyelesaikan dokumen pernikahan adik iparnya. Bersyukur, kemarin Retta memilih menikah di hari biasa, bukan di hari libur. Jika tidak, pasti Al akan lebih kalang kabut lagi.
“Apa akan selesai dalam sehari?” tanya Noah memastikan.
“Kali ini kita harus main belakang,” jawab El. Dia pun ikut membantu. Menghubungi beberapa kolega yang berada di pemerintahan untuk mengurus dokumen pernikahan.
Noah hanya tersenyum. Kali ini, dia hanya mengikuti saja dua temannya itu. Berharap benar-benar lancar seperti harapannya.
🌺🌺🌺
Di kamar Rylan tidak bisa tidur sama sekali. Dia benar-benar berdebar-debar karena menanti hari pernikahannya. Sambil memandangi langit-langit kamar, Rylan memikirkan jika semua yang diucapkannya akhirnya jadi kenyataan.
“Aku benar-benar datang untuk jadi pengantin,” ucap Rylan yang mengingat ucapannya pada Retta. Ucapannya sebenarnya hanya asal saja. Sebagai ungkapan hatinya saja. Padahal awalnya dia sudah pasrah ketika Retta menikah dengan kekasihnya.
“Ach … rasanya tidak sabar menikah denganmu. Memiliki anak denganmu dan hidup bahagia.” Untuk Rylan sesederhana itu harapannya, tetapi dia tidak pernah menyangka jika mencapai itu tidak akan mudah, terlebih lagi Retta tidak mencintainya.
🌺🌺🌺
Di kamar, Retta terus menangis. Dia masih begitu menyesali kesalahannya yang begitu percaya dengan kekasihnya. Padahal dia sudah begitu menaruh harapan besar pada sang kekasih.
“Kenapa aku bisa sebodoh itu?” Retta merutuki dirinya yang dengan bodohnya tak menyadari sama sekali yang calon suaminya selama ini rahasiakan.
Setahun yang lalu. Retta menghadiri acara pesta yang diadakan temannya di hotel milik keluarganya. Di sana tanpa sengaja dia bertemu dengan Gerald. Gerald hanya tamu undangan yang datang. Pria itu hanya diajak oleh temannya yang mengenal teman Retta. Awalnya Retta tidak tertarik, tetapi ketika mengobrol, Gerald dapat membuat Retta nyaman.
Gerald bukan pengusaha, dia mengatakan jika hanya seorang manajer salah satu perusahaan pertambangan. Bagaimana Gerald tak silau dengan Retta yang seorang anak pemilik hotel mewah di Indonesia, membuat Retta kagum. Padahal biasanya pria-pria yang mendekatinya adalah pria-pria yang melihat dirinya sebagai anak seorang Sean Wijaya.
Hubungan Retta dan Gerald berlanjut dengan pertemuan di restoran. Gerald menceritakan semua tentang keluarganya, tentang ibu dan ayahnya. Tak ada yang ditutupi sama sekali oleh Gerald. Saat Gerald mengatakan jika dia sudah tidak berminat mencari pacar, dan lebih memilih untuk mencari calon istri, di situ Retta terbuai. Pemikiran Gerald yang tak mau main-main lagi membuatnya luluh. Hingga akhirnya, mereka menjalani hubungan lebih serius.
Retta akui jika sebagai orang yang sibuk, mereka hanya bertemu seminggu dalam sekali. Itu hanya bisa dilakukan di akhir pekan. Retta yang merasa beruntung karena Gerald tidak menuntutnya untuk sering bertemu di tengah kesibukannya bekerja, merasa beruntung. Hal itu menandakan jika Gerald begitu dewasa.
Seminggu yang lalu Gerald melamarnya pada kedua orang tuanya, setelah dia melamar Retta di atas rooftop hotel. Retta begitu bahagia kala itu, hingga akhirnya keputusan menikah diambil. Gerald datang pada keluarga Retta. Melamarnya secara resmi bersama dengan orang tuanya. Mengungkapkan dengan sungguh-sungguh niatnya.
“Orang tua siapa yang kamu bawa waktu itu?” Mengingat bagaiman Gerald datang bersama orang tuanya, kini dia ragu jika itu adalah benar-benar orang tuanya. Menelisik lebih dalam lagi, tampaknya Gerald benar-benar melancarkan aksinya dengan sangat detail. Sampai benar-benar tidak Retta sadari jika itu hanya tipu daya saja.
“Aku bersumpah akan membuat perhitungan padanya jika bertemu lagi! Bisa-bisanya dia mempermainkan hatiku.” Di tengah air matanya yang terus mengalir, Retta meluapkan rasa kesalnya. “Aku tidak akan pernah memaafkanmu yang sudah berani menghancurkan hatiku.”
Kini Retta hanya bisa menangisi nasibnya. Sudah dikhianati, ditipu, dan disakiti, kini dia harus menanggung kemarahan sang papa. Keluarganya yang kecewa sekali padanya membuatnya benar-benar tak berdaya. Retta selalu saja ingin menjadi yang terbaik di depan papa dan mamanya. Sayangnya, semua harus ternoda dengan kecerobohannya.
“Maafkan aku, ma, pa.” Retta hanya bisa menyesali apa yang dilakukan. Hanya bisa menangis sendiri di kamar hotel yang ditempatinya.
Retta mengerjap. Perlahan dia membuka matanya yang terasa berat. Semalam Retta menangis. Jadi matanya terasa begitu sulit untuk dibuka. Semalam dia juga mengurung diri di dalam kamar. Dia masih meratapi semua yang terjadi padanya. Retta semakin terisak ketika mengingat hari ini adalah pernikahannya. Sungguh menyesakkan mengingat akan hal itu. Suara pintu terbuka, Retta yang berada dalam selimut mengintip sedikit dari balik selimut. Namun, dahinya berkerut dalam ketika melihat siapa dan apa yang dibawa. Dengan segera Retta membuka lebar selimutnya. Berangsur bangun dari tidurnya. “Kenapa gaun itu Kakak bawa ke sini?” Retta kesal sekali melihat gaun pernikahannya. Jika dulu dia begitu menyukai gaun itu, sekarang tidak. Dia membenci gaun itu karena mengingatkan rasa sakit yang sedang dirasakan. Retta sadar jika dia sendiri yang memilih gaun pernikahan itu. Gaun itu benar-benar sesuai dengan keinginannya. Gaun dengan potongan pendek itu sengaja dipilihnya mengingat jika pernikahan diadak
Retta melihat wajahnya dari pantulan cermin. Dulu bayangan bahagia selalu melintas di kepalanya, tetapi sekarang ketika berada dalam posisi yang sama dengan bayangannya, tak terlihat rasa bahagia sama sekali. Terlebih lagi harus menikah dengan Rylan. Pria yang tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Sekali pun tidak bisa menikah dengan kekasihnya, dia berharap bukan Rylan yang menikah dengannya, tetapi semua sudah jadi keputusan keluarga. Apalagi semua sudah menjadi konsekuensi dirinya yang memilih Gerald dan menyebabkan kegagalan dalam pernikahannya. Penata rias selesai merias wajah Retta, dia meminta Retta untuk mengganti gaunnya. Karena dia akan merapikan langsung gaun dan veil di rambut Retta. Dengan malas, Retta berangsur bangun. Bersiap untuk mengganti pakaiannya dengan gaun pernikahan. Gaun itu terlihat begitu cantik di tubuhnya. Membuat Retta mengagumi dirinya sendiri. Namun, tetap saja tak membuat Retta bahagia begitu saja. Pintu kamar dibuka, Mama Stella melihat sang put
Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat. Retta tidak bisa tersenyum sama sekali. Bagaimana bisa dirinya tersenyum ketika hatinya tidak merasa bahagia sama sekali. Rylan melihat jelas wajah Retta. Dia tahu jika istrinya itu tidak akan senang dengan pernikahan. Namun, bukan Rylan jika tidak bisa mengubah semua itu. “Tersenyumlah, orang akan mengira kamu terpaksa menikah.” Suara Rylan sedikit berbisik. Dia tidak menoleh sama sekali ketika berbicara. Pandangannya lurus ke arah depan. Melihat tamu tang satu persatu datang menghampirinya. Retta mendengus kesal. “Memang aku terpaksa.” “Tapi, bukan aku yang memaksa bukan?” ledek Rylan.Retta benar-benar semakin kesal. Bisa-bisanya Rylan meledeknya. Hal itu membuat suasana hatinya semakin kacau. Rylan masih melihat jelas Retta yang begitu kesal. Tidak menyangka jika Retta masih dengan posisi kesalnya. “Pejamkan matamu. Bayangkan jika ini adalah mimpi terindah yang kamu sedang rasakan. Maka kebahagiaan akan menghampirimu.” Rylan kali
Retta masih terkesiap dengan apa yang diucapkan Rylan. Membuat cucu untuk papanya berarti jika mereka akan melakukan hubungan suami istri. “Tidak-tidak.” Retta menggeleng. Dia tidak akan pernah melakukan hal itu. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu dengan orang yang tidak dicintainya. Retta dengan kesal masuk ke kamar. Dia mengangkat gaunnya agar langkahnya tidak terhalang. “Kenapa kamu mengatakan seperti itu?” tanyanya. “Karena itu alasan yang tepat.” Rylan dengan tenangnya menjawab akan hal itu. Tangannya bergerak membuka jas dan membuangnya ke sofa. “Tepat bagaimana? Jelas itu tidak tepat.” Retta tidak terima dengan alasan yang diberikan oleh Rylan. “Lalu aku harus memberikan alasan apa?” Rylan melonggarkan ikatan dasi. Kemudian melepas ikatan itu dari kerah kemejanya. Tak hanya disitu, dia bergerak melepaskan kancing lengannya, sambil langkahnya diayunkan menghampiri Retta. Retta memundurkan tubuhnya seiring langkah Rylan yang maju. “Ka-kamu bisa alasan saja aku bosan,” j
Rylan menangkis bantal hingga tidak mengenai wajahnya. Tawanya terdengar menggema diisi kamar. Retta yang melihat bantal tidak dapat dipakai lagi, dia memilih untuk memukul dengan tangannya. Dia melampiaskan kekesalannya. Namun, Rylan berusaha untuk mencekal Rylan. Retta yang meronta justru membuat tubuhnya terjatuh di tempat tidur. Membuat tubuh Rylan berada di atas. Untuk sejenak mereka beradu pandang. Rylan masih mencekal tangan Retta. Berusaha untuk menghentikan istrinya itu memukulnya. Namun, jarak yang begitu dekat dengan Retta membuatnya begitu berdebar-debar. Apalagi tubuhnya menempel di tubuh Retta. Untuk sesat mereka terbuai dengan pandangan mereka. Membuat mereka berada dalam pikiran masing-masing. Rylan memikirkan betapa cantiknya ketika dilihat dari dekat. Tidak salah jika memang dirinya begitu tergila-gila. Di saat Rylan memikirkan kecantikan Retta, Retta sendiri justru memikirkan begitu menyebalkannya Rylan. “Lepaskan aku!” Akhirnya suara Retta terdengar juga. Tidak
Rylan yang tersedak langsung mengambil tisu untuk menghapus air yang tumpah. Dia begitu terkejut dengan ajakan Retta yang mengatakan jika akan membuat perjanjian. Perjanjian macam apa yang diinginkan istrinya itu. “Perjanjian apa maksudmu?” tanya Rylan. “Kamu tahu bukan jika aku terpaksa melakukan pernikahan ini. Jadi aku ingin kita buat perjanjian agar pernikahan ini hanya dalam beberapa waktu saja. Setelah itu kita bisa bercerai.” Retta tidak mencintai Rylan. Karena itu dia tidak mau pernikahan dilanjutkan jika tidak ada cinta. Rylan tersenyum. “Setiap wanita memimpikan pernikahan impian mereka. Menikah dengan orang yang dicintainya dan menjalani hidup dengan orang yang dicintai. Namun, tidak semua mendapatkan apa yang diinginkannya. Aku tahu kamu tidak merasakan semua itu, tetapi apa kamu pikir pernikahan adalah sebuah permainan?” tanya Rylan. Retta terkesiap. Apa yang dikatakan Rylan begitu sangat bijak. Seperti Retta tidak melihat sifat Rylan yang kekanak-kanakan. Apa dia me
“Sayang, kamu jangan bisik-bisik seperti itu?” Rylan merasa geli sekali dengan apa yang dilakukan oleh Retta.Retta hanya bisa tercengang dengan apa yang dilakukan oleh Rylan. Bagaimana bisa suaminya itu bertingkah seolah dirinya yang menggoda. “Jangan menggada-ada!” Kali ini Retta mencubit pinggang Rylan. “Auchh ….” Rylan yang merasakan sakit menjerit. Suara itu membuat Mama Stella dan Papa Sean menoleh ke belakang. “Ada apa?” tanya Papa Sean yang mendengar menantunya menjerit. “Ada semut, Pa. Dia menggigitku.” Rylan tersenyum. Berharap jika alasan itu bisa membuat papa mertuanya tidak curiga. “Pak, tolong bersihkan mobil yang membawa tamu hotel. Saya tidak mau ada semut di dalam mobil dan mengganggu tamu hotel.” Papa Sean memerintahkan supir hotel untuk lebih memerhatikan kebersihan mobil. “Baik, Pak.” Supir mengangguk mengerti. Retta memandang Rylan kesal. Suaminya itu benar-benar membuat gaduh seisi mobil. Padahal hanya dicubit kecil saja. Mungkin tidak sakit, tetapi berlebi
Makan malam kali ini banyak sekali menu makanan di atas meja. Rylan yang melihat makanan tampak begitu enak. Membuat Rylan begitu tergoda. “Wah … aroma masakannya benar-benar menggugah selera.” Rylan yang baru datang mengungkapkan apa yang dilihatnya. “Ayo, duduklah, Mama memasakkan khusus untuk kamu.” Mama Stella tersenyum. Meminta sang menantu untuk segera mencicip makanan yang dimasaknya. Karena Rylan adalah anggota keluarga baru, dia ingin Rylan merasakan betah di rumah. “Duduklah, Ry. Kamu harus mencicip masakan dari mamamu.” Papa Sean pun meminta Rylan untuk duduk manis. Retta yang melihat kedua orang tuanya yang begitu manis itu hanya bisa menggeleng heran. Sejak kapan mereka begitu manis sekali. Padahal dengannya saja dia tidak pernah bersikap manis. Dengan semangat Rylan mendudukkan tubuhnya di kursi. Rasanya dia begitu bersemangat untuk menikmati makanannya. Retta yang melihat Rylan hanya memutar bola matanya jengah. Dia kegirangan sekali melihat makanan di depannya. R
“Baiklah, tarik napas dan embuskan sambil berusaha mengejan.” Dr. Lyra kembali memberikan pengertian pada Retta. Retta menarik napas dan mengembuskannya sambil berusaha mengejan. “Uch ....” “Tarik napas dan embuskan kembali.” Dr. Lyra kembali memberikan aba-aba. Retta kembali mengambil napas dan mengembuskannya. “Uch ....”“Uch ....” Dia berusaha untuk mengejan. Retta benar-benar merasakan seluruh tulangnya patah. Rasanya benar-benar menyakitkan sekali. Dia benar-benar baru tahu jika menjadi seorang ibu bukan suatu yang mudah. “Ayo, Sayang.” Rylan berusaha memberikan semangat pada sang istri. “Uch ....” Retta terus berusaha mengejan. Dia mencengkeram erat lengan Rylan. Melampiaskan rasa sakitnya dengan menancapkan kuku-kukunya di lengan sang suami. Rylan mengabaikan apa yang dilakukan sang istri. Baginya rasa sakit itu tidak sebanding dengan yang dirasakan oleh sang istri. “Kepalanya sudah mulai kelihatan. Sedikit lagi, Re.” Dr. Lyra pun memberitahu posisi bayi. “Ayo, Sayang.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Shera. “Perut aku sakit, Kak,” keluh Retta. “Tadi dia sudah mengeluhkan sakit.” Ghea pun menjelaskan pembicaraan tadi dengan Retta. “Ada apa?” tanya para ibu yang panik. “Perut Retta sakit, Ma.” Shera menatap sang mama mertua. Mama Stella dan Mama Ella pun langsung mendekat pada Retta. Mama Stella memegangi lengan Retta bersama dengan Shera. “Sebaiknya kita segera ke Rumah sakit saja.” Mommy Selly pun memberikan ide. Tidak mau terjadi apa-apa pada Retta. “Frey, Ghe, hubungi para suami.” Mommy Shea memberikan perintah pada Freya. Mereka sangat butuh bantuan. “Bilang kita menunggu di lobi.” “Baik, Mom.” Freya dan Ghea mengangguk. Mereka langsung bergerak menghubungi para pria. Ghea menghubungi Daddy Bryan, sedangkan Freya menghubungi El. Para pria yang berada di area bermain yang dihubungi pun seketika panik. Mereka yang menunggu anak-anak bermain pun langsung menghentikan permainan anak-anak. Mereka langsung membawa anak-anak untuk ke mobil. Rylan
Rylan menjemput papa, mama, dan kakaknya ke Bandara. Mereka semua sengaja datang jauh-jauh untuk menunggu Retta yang akan melahirkan. Usia kandungan Retta sudah mencapai sembilan bulan. Sudah hampir waktunya melahirkan. Hal itu tentu saja membuat semua keluarga siap siaga untuk menjaga Retta. Papa Darwin dan Mama Ella tak mau ketinggalan. Mereka juga ingin menemani proses yang akan dilalui oleh Retta. Noah dan Cia pun tak mau kalah. Mereka juga ingin melihat keponakan mereka. Selain itu memang Cia ada beberapa hal yang harus dikerjakan di toko kue miliknya. Beberapa bulan sekali memang Cia pulang. Dia akan memberikan resep untuk produk-produk baru di tokonya. Dia akan mengajari langsung pegawai di tokonya. Mobil Rylan sampai di rumah. Tadi dia ke Bandara dengan El. El menjemput Cia dan Noah, sedangkan Rylan menjemput papa dan mamanya. Papa dan mamanya akan menginap di tempatnya, sedangkan Cia dan Noah akan ke rumah Papa Felix dan Mama Chika. Saat sampai di rumah Mama Ella dan Papa
Retta mengerjap ketika merasakan perutnya tiba-tiba lapar. Saat membuka matanya, dia melihat sang suami yang masih tertidur. Retta mengalihkan pandangannya pada jam dinding yang berada di kamarnya. Dilihatnya waktu menunjukan jam satu malam. Artinya sudah dini hari. Perut Retta yang begitu lapar membuat Retta akhirnya membangunkan sang suami. “Sayang.” Retta Menggoyang-goyangkan tubuh sang suami. Retta mengerjap ketika merasakan tubuhnya digoyangkan. Saat membuka matanya, dia melihat dilihatnya sang istri yang sudah bangun. “Kamu bangun?” tanya Rylan. “Iya, aku lapar.” Retta memberikan alasannya bangun. “Kamu mau makan, Sayang?” Rylan langsung berangsur bangun. Mendudukkan tubuhnya sambil menatap sang istri yang masih merebakkan tubuhnya. “Iya,” ucap Retta. “Kamu mau makan apa?” Rylan tidak mau sampai sang istri kelaparan. Retta memikirkan apa yang dia inginkan malam-malam seperti ini. “Aku mau burger.” Dia pun menyampaikan apa yang diinginkannya. Rylan berpikir jika is
Dua minggu sudah Retta dan Rylan menikmati babymoon. Mereka sangat puas menikmati waktu di kota kelahiran Rylan. Retta benar-benar disunguhkan keindahan London dengan cara yang berbeda oleh Rylan. Makan malam ditempat spesial, kuliner di street food London, berkunjung ke museum, pergi ke taman bunga yang begitu indah di musim semi. Dua minggu benar-benar dimanfaatkan Rylan dan Retta. Hari ini mereka akan pulang. Kembali ke tanah air tercinta Indonesia. Dua minggu bersama, tentu saja membuat Mama Ella berat melepaskan putra dan menantunya. “Mama akan ke sana menjelang kelahiran.” Mama Ella membelai lembut pipi sang menantu. “Iya, Ma.” Retta begitu terharu jika memang benar sang mama mertua akan datang. Pastinya akan sangat bahagia sekali baginya bisa ditemani kedua orang tua Rylan di saat melahirkan. “Jaga Retta baik-baik.” Mama Ella menatap Rylan. Dia berharap sang putra bisa menjaga kandungan sang istri. "Tentu, Ma.” Rylan mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Papa Darwin meme
Pagi ini Rylan mengajak Retta untuk pergi ke toko kue milik Cia. Mereka ingin menikmati makanan yang ada di toko milik Cia. Rylan dan Retta sengaja memilih untuk menaiki bus. Bus tingkat yang terkenal di London itu selalu menarik untuk dicoba. Bus yang melawati jalanan kota London, menampilkan deretan bangunan-bangunan dari kota Ratu Elisabeth tersebut. Bangunan kuno yang tertata rapi begitu menarik sekali. Membuat mata begitu dimanjakan.Mereka sampai di halte pemberhentian. Mereka harus berjalan lagi ketika menuju ke toko milik Cia. Saat sampai di sana, penampilan toko hampir sama dengan toko-toko sebelahnya. Menampilkan bangunan kuno yang ekstetik. Saat masuk mereka disuguhi dengan interior khas Eropa. Kue-kue yang berjajar di etalase begitu menggugah selera sekali. Pengunjung yang datang pun cukup ramai. Beberapa menikmati makan kue di bangku-bangku yang berada di luar. Ada pun juga yang di dalam, yaitu berada di lantai dua. “Hai, kalian sudah datang.” Cia yang melihat adik-adik
Di rumah keluarga Asher semua orang berkumpul. Ada Mama Ella, Papa Darwin, Noah, Cia, Lora, Nick, Rylan, Retta, Dean, dan Bian. Semua berkumpul untuk merayakan kedatangan Retta dan Rylan.Makanan tersaji di atas meja. Semua menikmati makanan tersebut sambil mengobrol. “Makanlah yang banyak, Sayang.” Mama Sengaja membuat makanan ini untuk kalian.” Mama Ella menatap Retta dan Rylan secara bersamaan. “Jadi Bibi hanya membuatkan untuk Kak Retta dan Kak Rylan saja?” Bian yang berada di meja makan melayangkan protesnya. Dia pura-pura kecewa dengan wanita yang selalu dia datangi akhir pekan itu. Setiap akhir pekan Bian dan Dean mampir ke rumah keluarga Asher. Semua akan berkumpul untuk saling bercengkerama.“Kamu sudah sering makan masakanku. Jadi kini gantian mereka.” Mama Ella menatap Bian dan kemudian mengalihkan pandangan pada anak dan menantunya. “Baiklah, tetapi nanti saat mereka pergi. Masakkan makanan enak untuk aku, Bi.” Bian menggoda wanita yang kini berusia kepala lima itu. “
Tepat di jam satu malam, Rylan sudah terbangun. Kemarin jam sembilan dia sudah tidur. Jadi paling tidak, dia punya kesempatan untuk mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Dengan lembut dia membangunkan sang istri. Memintanya untuk bersiap. Retta sebenarnya masih sangat mengantuk. Namun, dia harus segera bersiap. Hari ini mereka akan pergi menikmati liburan mereka. Jadi tentu saja dia tidak akan melepaskan kesempatan itu. Retta dan Rylan yang sudah bersiap, keluar dari kamarnya. Alangkah terkejutnya mereka ternyata Papa Sean dan Al sudah ada di sana. “Papa di sini?” tanya Retta yang terkejut. “Apa kamu tidak tahu jika Papa dan Al yang akan mengantar?” Papa Sean justru balik bertanya.“Aku lupa memberitahu, Pa.” Rylan menjawab cepat. Kemarin karena sibuk, dia lupa hal penting ini. “Sudahlah kalau begitu, lupakan, sekarang ayo cepat kita berangkat ke Bandara.” Papa Sean mengakhiri pembicaraan. Jika diteruskan tentu saja akan memakan banyak waktu. Akhirnya Retta dan Rylan diantar oleh
Shera datang menjemput anaknya. Sudah sebulan ini anak-anaknya tinggal di rumah Retta. Anak-anak begitu senang sekali. Karena katanya setiap hari Retta membuatkan cemilan untuk anak-anaknya itu. Hal itu membuat Shera senang. Saat Shera tiba pun anak-anaknya masih menikmati puding yang dibuatkan oleh Retta. “Mereka masih makan. Tunggulah sebentar.” Retta meminta kakaknya untuk duduk menunggu keponakannya. “Sepertinya kamu akan membuat mereka menjadi gendut.” Shera yang merasa jika adiknya terus menjejali dengan makanan pun merasa jika anak-anaknya akan semakin gembul jika begitu ceritanya. “Aku memberikannya makanan sehat. Tenang saja. Pasti aman. Sekali pun mereka gemuk, pastinya gemuk sehat.” Retta pun menjelaskan pada sang kakak yang memprotesnya. Shera mendengus kesal. Bicara dengan adiknya memang akan percuma saja karena pada akhirnya dia kalah. Hobi baru sang adik justru menyenangkan sekali untuk anak-anaknya. Jadi wajar saja mereka betah di rumah aunty-nya itu. Setela