“Kemarin kamu bilang akan melakukan selayaknya sebagai istri, sekarang lakukan.” Rylan menyodorkan dasi pada Retta. Retta yang melihat Rylan dari pantulan cermin merasa heran. Bagaimana bisa dia terjebak dengan perjanjiannya sendiri. Dia hanya minta Rylan pindah ke apartemen. Hanya satu hal saja. Namun, Rylan meminta dirinya menjadi istri sesungguhnya, dan itu terlalu luas artinya. Seperti sekarang, memakaikan dasi adalah hal yang biasa dilakukan oleh seorang istri. Dengan tubuh lemas, Retta bangkit dari duduknya. Menghampiri Rylan yang sedang berdiri menyodorkan dasi padanya. Dengan kasar dia meraih dasi itu lalu mengalungkan di leher Rylan. “Astaga kamu kasar sekali. Aku jadi takut kamu mencekik aku dengan dasi ini.” Rylan bergidik ngeri. Merasa takut sekali dengan apa yang dilakukan oleh Retta. Retta menatap Rylan. Pagi-pagi sudah membuatnya naik darah. “Aku belum mau menjanda sekarang.” Retta bergerak membuat simpul dasi. Dengan kasar dia menarikkan dagu Rylan ke atas agar mu
Retta menggososok-gosok hidungnya yang geli karena kakaknya, dia yang melihat sang kakak berada di lantai tepat di depannya merasa curiga. “Apa yang kamu lakukan saat aku tidur?” tanyanya. Shera tertawa. “Kamu tidur pulas sekali, jadi aku gemas.” “Kamu tidur, Ta?” Papa Sean menatap Retta. Retta menundukkan kepalanya merasa malu karena ketahuan tidur. “Jika kamu masih lelah, sebaiknya kamu pulang saja. Jangan tidur di kantor seperti itu.”“Maaf, Pa.” Retta merasa tidak enak. “Baiklah, nanti siang kalian berdua ikut Papa ke hotel. Ada beberapa yang harus kita cek.” Papa Sean langsung berbalik. Meninggalkan ruangan Retta. Retta dan Shera mengangguk. Mengiyakan apa yang dikatakan oleh papanya. Selepas papanya pergi, Retta menatap sang kakak kesal. Dia kemudian melempar bantal sofa. “Makanya jangan tidur di kantor.” Shera berdiri, kemudian berlalu keluar dari ruangan Retta. Dia merasa jika apa yang dilakukannya tidaklah salah. Retta hanya menatap malas pada Shera. Kakaknya itu suda
“Sudah cepat makan. Jangan mengoceh terus.” Retta yang malas menanggapi pujian sang suami pun memilih mengakhirinya. Menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya. Rylan hanya bisa tersenyum. Dia mengikuti Retta yang akan makan. Ingin segera merasakan masakan yang dibilang Retta adalah buatannya. Rylan menyodorkan piringnya. Meminta Retta untuk mengisinya dengan makanan. Retta yang melihat itu pun mengisi makanan di piring Rylan. Tak mau berdebat di meja makan. Apalagi dia sudah begitu lapar. Rylan senang ketika sang istri melayani dengan baik. Tak membuang banyak waktu, dia pun bergegas memakan masakan Retta. Rylan akui rasa masakan begitu enak. Jadi membuatnya semakin tidak percaya jika istrinya itu yang memasak. “Rasa masakan ini mengalahkan rasa masakan chef bintang lima.” Rylan benar-benar merasakan masakannya begitu enak. 'Ini yang buat chef bintang lima, bagaimana bisa mengalahkan? Aneh!' Retta hanya bisa menggerutu dalam hatinya. “Ini pakai saus apa?” Rylan menunjuk satu masak
Retta tidak bisa berbuat apa-apa ketika Rylan mengajaknya ke supermarket. Saat turun dari mobil, dia memilih mengekor saja di belakang Rylan, sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Jika sampai Rylan bertanya akan masak apa, dia pasti akan kebingungan. “Jangan berjalan di belakangku seperti itu.” Rylan menarik tangan Retta. Membawanya ke sampingnya. “Kamu ini adalah pendampingku yang harusnya berjalan di sampingku, bukan di belakangku.” Jika mungkin wanita lain yang mendengar apa yang dikatakan Rylan, pastinya mereka akan terpesona. Terbuai dan merasa begitu berharga dirinya. Sayangnya, bagi Retta, itu tampak biasa saja. Karena belum ada cinta di hati Retta. Mereka masuk ke supermarket. Rylan dengan sigap mengambil troli belanjaan. Kemudian mendorongnya masuk. Retta yang seharusnya berjalan di depan untuk menuntun ke mana mereka harus melangkah, memilih untuk berjalan di samping Rylan. Dia tidak tahu ke mana harus melangkah. Lorong mana yang harus mereka tuju. “Masak apa ki
Rylan langsung tertawa. “Kamu yang menjanjikan akan memasak. Jadi aku mau tahu seberapa besar usahamu untuk memenuhinya. ““Sejak kapan kamu tahu?” tanya Retta yang ingin tahu. “Sejak kita makan di rumah.” Rylan tersenyum. “Kamu tidak sama sekali membantu mama, jadi pasti jelas kamu tidak belajar dari mama.” Dia melanjutkan ucapannya. “Jadi kemarin kamu tahu jika makanan yang aku siapkan bukan makanan yang aku masak?” Retta mencoba menebak kembali. “Iya, jelas aku tahu. Tidak ada sisa masak sama sekali di dapur. Sisa bahan juga tidak ada, lalu bagaimana bisa kamu bilang jika memasak.” Rylan semakin tertawa keras. Sesaat setelah makan kemarin, Rylan memang langsung mengecek keadaan dapur. Mengecek isi lemari pendingin. Sayangnya, tidak ditemukan apa-apa di sana. Sehingga, Rylan memastikan jika istrinya tidak memasak. Retta menekuk bibirnya. “Jika kamu sudah tahu, aku tidak akan repot-repot berusaha masak.” Rasanya Retta benar-benar kesal. “Oke, maaf.” Rylan tersenyum. “Sebagai p
“Tidak masalah apa pun alasannya. Yang terpenting adalah kamu sudah mau masuk ke kehidupanku.” Rylan melebarkan senyumnya. Rasa senangnya kali ini melebihi apa pun.Retta yang melihat Rylan hanya bisa menautkan alisnya keheranan. Sepertinya apa yang dilakukannya sudah membuat Rylan besar kepala. “Terserah apa yang kamu pikirkan.” Retta tidak mau berdebat dengan Rylan. Dia memilih untuk segera kembali ke kamar. Malas jika urusan semakin panjang. Rylan yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum saja. Dia sadar mungkin Retta belum sepenuhnya bisa menerimanya. Namun, jika dia memberikan celah sedikit seperti ini, pastikan dia akan bisa membuatnya masuk ke dalam hati Retta. “Berjuanglah, Rylan.” Rylan memberikan semangat untuk dirinya sendiri. ⭐⭐⭐Rylan dan Retta masih tidur dengan pembatas guling di tengah-tengah. Rylan pun tidak pernah melewati batasannya. Terlebih lagi Retta selalu berjaga karena takut Rylan melakukan apa-apa. Hal itu membuat Rylan akhirnya memutuskan untuk tidak men
Retta duduk di depan cermin. Dia bingung apa yang harus dilakukannya. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Namun, tiba-tiba Retta berubah pikiran. Hal yang harusnya dilakukan adalah memoles wajahnya lebih dulu. Hal itu bisa sambil menunggu rambutnya sedikit kering. Saat menatap kaca, dia melihat suaminya dari pantulan cermin. Sang suami masih duduk manis di sofa. Tidak beranjak sama sekali. “Kamu sedang apa di sana?” Retta begitu penasaran dengan yang dilakukan oleh suaminya. “Menunggu.” Rylan dengan tenangnya menjawab. Retta mengerutkan dahinya. Tidak mengerti yang dimaksud oleh Rylan. “Menunggu apa?” “Menunggu sesuatu turun.” Rylan pria normal. Tadi ketika melihat sang istri. Sesuatu yang bawah sana terbangun dari tidurnya. Hal itu membuat Rylan merasakan sesak di celananya. “Apa yang turun?” Retta melihat ke langit-langit kamarnya. Memastikan apa yang dimaksud oleh Rylan. Rylan ikut melihat ke langit-langit. Dia pun langsung
Retta membulatkan matanya ketika suara Rylan tepat di telinganya. Hal itu membuat jantungnya semakin berdesir. Suara Rylan yang begitu merdu di telinganya, membuatnya seperti mendapat sengatan listrik. “Tolong tuangkan ke botolku.” Rylan mengulang kembali permintaannya. Retta mengangguk. Namun, dia tiba-tiba begitu gugup. Dia yang menuang air ke botol minum milik Rylan pun justru menumpahkannya. Rylan yang melihat hal itu pun langsung memegang tangan Retta. Membantu Retta agar tidak tumpah menuang air. “Kenapa harus gemetar? Aku bukan hantu.” Rylan menarik senyum di sudut bibirnya. Sedari tadi dia melihat Retta yang begitu gemetar. Hal itu membuatnya gemas sekali. Seketika Retta menatap Rylan. “Kamu memang hantu yang datang secara tiba-tiba di hidupku!” ucapnya. Rylan meletakkan jar yang dipegangnya bersama dengan tangan Retta. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Retta. “Aku hantu tampan?” Rylan menatap Retta yang menatapnya. Tatapan Rylan yang penuh damba, membuat Retta terd
“Baiklah, tarik napas dan embuskan sambil berusaha mengejan.” Dr. Lyra kembali memberikan pengertian pada Retta. Retta menarik napas dan mengembuskannya sambil berusaha mengejan. “Uch ....” “Tarik napas dan embuskan kembali.” Dr. Lyra kembali memberikan aba-aba. Retta kembali mengambil napas dan mengembuskannya. “Uch ....”“Uch ....” Dia berusaha untuk mengejan. Retta benar-benar merasakan seluruh tulangnya patah. Rasanya benar-benar menyakitkan sekali. Dia benar-benar baru tahu jika menjadi seorang ibu bukan suatu yang mudah. “Ayo, Sayang.” Rylan berusaha memberikan semangat pada sang istri. “Uch ....” Retta terus berusaha mengejan. Dia mencengkeram erat lengan Rylan. Melampiaskan rasa sakitnya dengan menancapkan kuku-kukunya di lengan sang suami. Rylan mengabaikan apa yang dilakukan sang istri. Baginya rasa sakit itu tidak sebanding dengan yang dirasakan oleh sang istri. “Kepalanya sudah mulai kelihatan. Sedikit lagi, Re.” Dr. Lyra pun memberitahu posisi bayi. “Ayo, Sayang.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Shera. “Perut aku sakit, Kak,” keluh Retta. “Tadi dia sudah mengeluhkan sakit.” Ghea pun menjelaskan pembicaraan tadi dengan Retta. “Ada apa?” tanya para ibu yang panik. “Perut Retta sakit, Ma.” Shera menatap sang mama mertua. Mama Stella dan Mama Ella pun langsung mendekat pada Retta. Mama Stella memegangi lengan Retta bersama dengan Shera. “Sebaiknya kita segera ke Rumah sakit saja.” Mommy Selly pun memberikan ide. Tidak mau terjadi apa-apa pada Retta. “Frey, Ghe, hubungi para suami.” Mommy Shea memberikan perintah pada Freya. Mereka sangat butuh bantuan. “Bilang kita menunggu di lobi.” “Baik, Mom.” Freya dan Ghea mengangguk. Mereka langsung bergerak menghubungi para pria. Ghea menghubungi Daddy Bryan, sedangkan Freya menghubungi El. Para pria yang berada di area bermain yang dihubungi pun seketika panik. Mereka yang menunggu anak-anak bermain pun langsung menghentikan permainan anak-anak. Mereka langsung membawa anak-anak untuk ke mobil. Rylan
Rylan menjemput papa, mama, dan kakaknya ke Bandara. Mereka semua sengaja datang jauh-jauh untuk menunggu Retta yang akan melahirkan. Usia kandungan Retta sudah mencapai sembilan bulan. Sudah hampir waktunya melahirkan. Hal itu tentu saja membuat semua keluarga siap siaga untuk menjaga Retta. Papa Darwin dan Mama Ella tak mau ketinggalan. Mereka juga ingin menemani proses yang akan dilalui oleh Retta. Noah dan Cia pun tak mau kalah. Mereka juga ingin melihat keponakan mereka. Selain itu memang Cia ada beberapa hal yang harus dikerjakan di toko kue miliknya. Beberapa bulan sekali memang Cia pulang. Dia akan memberikan resep untuk produk-produk baru di tokonya. Dia akan mengajari langsung pegawai di tokonya. Mobil Rylan sampai di rumah. Tadi dia ke Bandara dengan El. El menjemput Cia dan Noah, sedangkan Rylan menjemput papa dan mamanya. Papa dan mamanya akan menginap di tempatnya, sedangkan Cia dan Noah akan ke rumah Papa Felix dan Mama Chika. Saat sampai di rumah Mama Ella dan Papa
Retta mengerjap ketika merasakan perutnya tiba-tiba lapar. Saat membuka matanya, dia melihat sang suami yang masih tertidur. Retta mengalihkan pandangannya pada jam dinding yang berada di kamarnya. Dilihatnya waktu menunjukan jam satu malam. Artinya sudah dini hari. Perut Retta yang begitu lapar membuat Retta akhirnya membangunkan sang suami. “Sayang.” Retta Menggoyang-goyangkan tubuh sang suami. Retta mengerjap ketika merasakan tubuhnya digoyangkan. Saat membuka matanya, dia melihat dilihatnya sang istri yang sudah bangun. “Kamu bangun?” tanya Rylan. “Iya, aku lapar.” Retta memberikan alasannya bangun. “Kamu mau makan, Sayang?” Rylan langsung berangsur bangun. Mendudukkan tubuhnya sambil menatap sang istri yang masih merebakkan tubuhnya. “Iya,” ucap Retta. “Kamu mau makan apa?” Rylan tidak mau sampai sang istri kelaparan. Retta memikirkan apa yang dia inginkan malam-malam seperti ini. “Aku mau burger.” Dia pun menyampaikan apa yang diinginkannya. Rylan berpikir jika is
Dua minggu sudah Retta dan Rylan menikmati babymoon. Mereka sangat puas menikmati waktu di kota kelahiran Rylan. Retta benar-benar disunguhkan keindahan London dengan cara yang berbeda oleh Rylan. Makan malam ditempat spesial, kuliner di street food London, berkunjung ke museum, pergi ke taman bunga yang begitu indah di musim semi. Dua minggu benar-benar dimanfaatkan Rylan dan Retta. Hari ini mereka akan pulang. Kembali ke tanah air tercinta Indonesia. Dua minggu bersama, tentu saja membuat Mama Ella berat melepaskan putra dan menantunya. “Mama akan ke sana menjelang kelahiran.” Mama Ella membelai lembut pipi sang menantu. “Iya, Ma.” Retta begitu terharu jika memang benar sang mama mertua akan datang. Pastinya akan sangat bahagia sekali baginya bisa ditemani kedua orang tua Rylan di saat melahirkan. “Jaga Retta baik-baik.” Mama Ella menatap Rylan. Dia berharap sang putra bisa menjaga kandungan sang istri. "Tentu, Ma.” Rylan mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Papa Darwin meme
Pagi ini Rylan mengajak Retta untuk pergi ke toko kue milik Cia. Mereka ingin menikmati makanan yang ada di toko milik Cia. Rylan dan Retta sengaja memilih untuk menaiki bus. Bus tingkat yang terkenal di London itu selalu menarik untuk dicoba. Bus yang melawati jalanan kota London, menampilkan deretan bangunan-bangunan dari kota Ratu Elisabeth tersebut. Bangunan kuno yang tertata rapi begitu menarik sekali. Membuat mata begitu dimanjakan.Mereka sampai di halte pemberhentian. Mereka harus berjalan lagi ketika menuju ke toko milik Cia. Saat sampai di sana, penampilan toko hampir sama dengan toko-toko sebelahnya. Menampilkan bangunan kuno yang ekstetik. Saat masuk mereka disuguhi dengan interior khas Eropa. Kue-kue yang berjajar di etalase begitu menggugah selera sekali. Pengunjung yang datang pun cukup ramai. Beberapa menikmati makan kue di bangku-bangku yang berada di luar. Ada pun juga yang di dalam, yaitu berada di lantai dua. “Hai, kalian sudah datang.” Cia yang melihat adik-adik
Di rumah keluarga Asher semua orang berkumpul. Ada Mama Ella, Papa Darwin, Noah, Cia, Lora, Nick, Rylan, Retta, Dean, dan Bian. Semua berkumpul untuk merayakan kedatangan Retta dan Rylan.Makanan tersaji di atas meja. Semua menikmati makanan tersebut sambil mengobrol. “Makanlah yang banyak, Sayang.” Mama Sengaja membuat makanan ini untuk kalian.” Mama Ella menatap Retta dan Rylan secara bersamaan. “Jadi Bibi hanya membuatkan untuk Kak Retta dan Kak Rylan saja?” Bian yang berada di meja makan melayangkan protesnya. Dia pura-pura kecewa dengan wanita yang selalu dia datangi akhir pekan itu. Setiap akhir pekan Bian dan Dean mampir ke rumah keluarga Asher. Semua akan berkumpul untuk saling bercengkerama.“Kamu sudah sering makan masakanku. Jadi kini gantian mereka.” Mama Ella menatap Bian dan kemudian mengalihkan pandangan pada anak dan menantunya. “Baiklah, tetapi nanti saat mereka pergi. Masakkan makanan enak untuk aku, Bi.” Bian menggoda wanita yang kini berusia kepala lima itu. “
Tepat di jam satu malam, Rylan sudah terbangun. Kemarin jam sembilan dia sudah tidur. Jadi paling tidak, dia punya kesempatan untuk mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Dengan lembut dia membangunkan sang istri. Memintanya untuk bersiap. Retta sebenarnya masih sangat mengantuk. Namun, dia harus segera bersiap. Hari ini mereka akan pergi menikmati liburan mereka. Jadi tentu saja dia tidak akan melepaskan kesempatan itu. Retta dan Rylan yang sudah bersiap, keluar dari kamarnya. Alangkah terkejutnya mereka ternyata Papa Sean dan Al sudah ada di sana. “Papa di sini?” tanya Retta yang terkejut. “Apa kamu tidak tahu jika Papa dan Al yang akan mengantar?” Papa Sean justru balik bertanya.“Aku lupa memberitahu, Pa.” Rylan menjawab cepat. Kemarin karena sibuk, dia lupa hal penting ini. “Sudahlah kalau begitu, lupakan, sekarang ayo cepat kita berangkat ke Bandara.” Papa Sean mengakhiri pembicaraan. Jika diteruskan tentu saja akan memakan banyak waktu. Akhirnya Retta dan Rylan diantar oleh
Shera datang menjemput anaknya. Sudah sebulan ini anak-anaknya tinggal di rumah Retta. Anak-anak begitu senang sekali. Karena katanya setiap hari Retta membuatkan cemilan untuk anak-anaknya itu. Hal itu membuat Shera senang. Saat Shera tiba pun anak-anaknya masih menikmati puding yang dibuatkan oleh Retta. “Mereka masih makan. Tunggulah sebentar.” Retta meminta kakaknya untuk duduk menunggu keponakannya. “Sepertinya kamu akan membuat mereka menjadi gendut.” Shera yang merasa jika adiknya terus menjejali dengan makanan pun merasa jika anak-anaknya akan semakin gembul jika begitu ceritanya. “Aku memberikannya makanan sehat. Tenang saja. Pasti aman. Sekali pun mereka gemuk, pastinya gemuk sehat.” Retta pun menjelaskan pada sang kakak yang memprotesnya. Shera mendengus kesal. Bicara dengan adiknya memang akan percuma saja karena pada akhirnya dia kalah. Hobi baru sang adik justru menyenangkan sekali untuk anak-anaknya. Jadi wajar saja mereka betah di rumah aunty-nya itu. Setela