“Ini tidak mungkin.” Tubuh Cia lemas, hingga membuatnya duduk di lantai kamar mandi. Netranya masih terus memandangi alat tes kehamilan yang menunjukan dua garis merah. Air matanya lolos begitu saja dari mata indahnya. Seketika isak tangis pun terdengar begitu menyayat hati. Merasakan sedih yang begitu luar biasa.
“Aku tidak mau.” Hanya kalimat itu yang bisa diucapkan Cia. Akan tetapi, itu tidak dapat mengubah apa pun. Karena pada kenyataannya, dia benar-benar hamil. Hancur sudah hidup Cia ketika mendapati kenyataan jika dirinya hamil. Dia pikir hidup akan semanis kue yang dibuatnya selama ini. Namun, hidup tak semanis itu. Kini, perjuangannya di negeri orang untuk menimba ilmu dan berakhir dengan bahagia, hanya tinggal angan belaka. Karena semua hancur seketika.Membayangkan lulus kuliah dan merintis usaha bakery selalu menghiasi pikirannya selama ini. Tiga tahun sudah Felicia Amaya Julian menempuh pendidikan di salah satu universitas ‘culinary’ yang bercabang di London. Kelulusan pun sudah diraihnya sebulan yang lalu dan rencananya, satu minggu lagi, dia akan kembali ke Indonesia. Sayangnya, semua tidak sesuai dengan yang direncanakannya. Pulang dalam keadaan hamil, tidak masuk dalam daftar rencana Cia. Gadis dua puluh tiga tahun itu, kini bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Di dalam kamar mandi, Cia duduk dengan melipat kakinya. Menyembunyikan wajahnya di antara dada dan kakinya. Air matanya tak henti menetes. Perasaannya kali ini benar-benar tidak karuan. Rasanya, Cia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika keluarganya tahu akan hal ini. Bisa jadi mereka akan sangat kecewa. Padahal, mereka tidak henti-hentinya mengingatkan Cia untuk berhati-hati. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Cia bangkit. Mengayunkan langkahnya ke tempat tidur. Air matanya masih mengalir di wajah cantiknya. Belum surut sama sekali. Merebahkan tubuhnya di atas tempat, Cia meringkuk di atas tempat tidur. “Kenapa bisa seperti ini?” Pertanyaan itu yang terlintas di pikirannya. Tak bisa membayangkan kembali bagaimana semua kejadian ini menimpanya. ***Sebulan yang lalu. Angin berembus kencang menggoyangkan pepohonan. Daun-daun kering yang tertiup angin, berjatuhan ke jalanan dan memenuhi jalanan. Terlihat indah ketika mata memandang jalanan yang dipenuhi dengan dedaunan kering. Cia keluar dari rumah, mendapati pemandangan yang begitu indah di hadapannya, senyumnya merekah. Daun-daun yang berjatuhan itu menandakan jika sekarang sudah masuk musim gugur di London. Namun, sayangnya musim gugur kali ini, tidak akan bisa dinikmati sepenuhnya, karena sebulan lagi dia akan kembali ke Indonesia.Cia mengeratkan mantel yang dikenakannya. Tak memberikan celah udara dingin yang ingin menerobos masuk dan menerpa kulitnya. Senyuman manis mengembang di wajahnya. Tidak terasa sudah tiga tahun Cia tinggal di negara orang. Jauh dari keluarga demi mengejar cita-citanya. Rencananya, setelah lulus, Cia akan melanjutkan usaha kue yang dirintis sang nenek. Membuka cabang lebih banyak lagi dan memperluas usaha sang nenek yang selama ini hanya kue saja. Cia mengayunkan langkahnya. Menuju ke salah satu halte yang terdekat dengan rumah yang selama ini ditempatinya. Tinggal di negara kerajaan Inggris itu membuatnya benar-benar mandiri. Ke mana-mana dia pergi sendiri menggunakan bus umum yang tersedia. Siang ini Cia bersiap untuk menghadiri acara pesta yang kelulusan yang diadakan teman-temannya. Sebelum pergi ke pesta tersebut, Cia menyempatkan diri untuk pergi ke kantor Sebastian Noah-pria yang selama ini mengisi relung hatinya. Selama ini, Cia mencintai dalam diam pria yang menjadi teman kakak iparnya itu. Noah sudah memiliki kekasih, sehingga tidak mungkin bagi Cia untuk menjalin hubungan dengan Noah. Sengaja Cia pergi ke kantor Noah untuk memberikan hadiah perpisahan. Paling tidak, itu akan menjadi kenang-kenangan untuk Noah. Di dalam bus double decker, Cia memandangi jalanan yang dilalui. Bangunan-bangunan kuno yang dilihatnya, tampak begitu indah. Seolah menjelaskan bagaimana peninggalan sejarah begitu dihargai, dijaga dan dirawat. Selalu, saja Cia tak hentinya mengagumi tempat yang menjadi tempat tinggalnya sekarang ini. Itulah yang membuatnya begitu antusias ketika memilih London sebagai tempat kuliah, tiga tahun yang lalu. Bus sampai di halte dekat kantor Noah. Cia turun dan berjalan kaki untuk mencapai kantor Noah. Dulu saat awal datang ke London, dia sering sekali datang ke kantor Noah untuk mengantarkan kue, tetapi sayangnya, setelah mengetahui Noah memiliki kekasih, dia memilih untuk tidak mendatangi Noah. Menjauh perlahan dari pria itu. Setelah bertemu dengan resepsionis di kantor Noah, Cia diarahkan untuk langsung ke ruangan Noah. Tidak perlu ditanya lagi, dia sudah sangat hapal di mana ruangan Noah. Jadi, dengan cepat dia ke ruangan pria dua puluh delapan tahun itu. Sekretaris Noah yang menyambutnya langsung mengantarkannya ke ruangan Noah. Dengan senyuman manis di wajahnya, Cia pun berterima kasih. “Hai, Kak,” sapa Cia saat masuk ke ruangan Noah. Dilihatnya, pria tampan dengan mata biru itu terlihat duduk manis di kursinya. “Ada angin apa kamu ke sini?” Noah berdiri seraya mengancingkan jas yang melekat pada tubuhnya. Menghampiri Cia yang masih berdiri di depan pintu. “Aku ingin memberikanmu sesuatu.” Cia membuka tasnya untuk mengambil hadiah yang disiapkannya untuk Noah.“Duduklah dulu!” perintah Noah. Langkahnya, terus diayunkan menuju ke sofa di ruangannya. Kemudian, mendudukkan tubuhnya perlahan di sofa yang berbahan kulit berwarna navy, sesuai dengan warna kesukaannya itu.Cia mengurungkan niatnya untuk mengambil hadiahnya. Sesuai dengan permintaan Noah, dia duduk di sofa yang sama dengan Noah. Tak butuh waktu lama, Cia kembali mengambil hadiah untuk Noah. “Ini,” ucap Cia seraya menyerahkan kotak kecil berbentuk persegi panjang. Kotak berwarna biru navy itu dibungkus dengan pita putih yang cantik. “Apa ini?” tanya Noah seraya menerima kotak tersebut. “Itu, hadiah perpisahan dari aku untuk Kakak.” Noah yang hendak membuka kado itu langsung menghentikan gerakannya. Sejenak mencerna ucapan Cia. Sampai akhirnya, dia mengingat jika Cia sudah menyelesaikan pendidikannya dan berniat kembali ke tanah airnya. “Apa ini sebagai tanda jika kita tidak akan bertemu lagi?” tanya Noah menyindir. “Bukan begitu, Kak. Ini hanya sekedar hadiah karena aku akan kembali. Bukan tanda seperti yang Kak Noah bilang.” Cia memutar bola matanya malas ketika melihat pria di depannya itu menyindirnya.“Baiklah.” Noah membuka kotak dan mendapati sebuah bolpoin berwarna navy bertuliskan ‘Sebastian Noah’. Senyum terbit di wajah Noah ketika melihat hadiah indah dari Cia. “Terima kasih,” ucapnya. “Sama-sama,” jawab Cia. Usai menjawab, dia merapikan tasnya. Kegiatan hari ini masih akan panjang karena dia harus ke rumah temannya untuk merayakan kelulusannya. “Kamu sudah akan kembali?” tanya Noah yang mendapati Cia sudah akan pergi. “Iya, aku harus ke rumah temanku karena akan merayakan kelulusanku.” Cia berdiri dan bersiap untuk pergi. “Sampai malam?” tanya Noah ingin tahu. “Tidak, sore aku sudah pulang,” jawab Cia seraya menyelempangkan tasnya ke bahunya.“Kalau begitu aku pergi dulu.” Cia berlalu sambil melambaikan tangannya. Ponselnya sedari tadi sudah bergetar. Sudah bisa ditebak jika itu adalah teman-temannya yang memintanya untuk segera datang. “Cia …,” panggil Noah. “Jangan dekat-dekat dengan pria asing.” Sambil membuka pintu, Cia mengatakan apa yang sering dikatakan oleh Noah. Kalimat itu sudah diingatnya dengan baik karena Noah selalu mengatakannya. “Aku akan ingat,” ucapnya. Berlalu keluar dari ruangan Noah. “Dasar!” ucap Noah menggelengkan kepalanya. Netranya kembali pada hadiah yang diberikan oleh Cia.Cia mengayunkan langkahnya dengan penuh semangat menuju rumah temannya. Kali ini mereka akan berpesta. Mereka akan kembali ke negara masing-masing setelah lulus kuliah, jadi perpisahan ini akan menjadi sangat spesial. Di rumah temannya, sudah banyak berkumpul teman-teman Cia yang lain. Semua teman menunggu Cia yang sedari tadi tak kunjung datang. Mereka semua pun memasak tanpa Cia. Cia yang datang langsung disambut riuh teman-temannya. Mereka memprotes Cia yang datang terlambat. Namun, gadis cantik itu mengabaikannya.“Cia, tinggal kamu yang buat cupcake!” teriak seorang teman. “Iya-iya.” Cia tak mau jadi bulan-bulanan teman-temannya. Dia langsung berlalu ke dapur. Rumah temannya memang memiliki peralatan memasak yang lengkap. Cia sering sekali memasak di rumah temannya. Belajar bersama dengan teman-temannya. Dengan cekatan, Cia membuat cupcake. Teman-teman Cia begitu menyukai cupcake buatan Cia. Rasanya selalu pas di lidah mereka. C
Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah gorden, membuat Cia yang sedang menikmati tidurnya-mengerjap. Mata indahnya yang dihiasi bulu mata lentik-berkedip berkali-kali untuk menyadarkan dirinya. Saat kesadarannya mulai terkumpul, Cia menyadari jika dia tidak sedang berada di kamarnya. Langit-langit kamar yang berwarna putih polos berbeda sekali dengan yang berada di rumah kediaman Maxton.Selama ini, Cia tinggal di rumah kediaman Maxton. Keluarga Maxton sudah seperti keluarganya sendiri. Jika telisik lebih dalam, hubungan keluarganya dengan keluarga Maxton cukup jauh. Papanya-Felix Julian berteman dengan Bryan Adion. Kakak dari Bryan Adion yaitu Selly Adion menikah dengan Regan Alvaro Maxton. Dari hubungan itulah, akhirnya Cia bisa dekat dengan keluarga Maxton. Selama ini, Cia tinggal bersama dengan anak dari Bryan Adion-teman papanya, yaitu Nolan Fabian Adion. Mereka sama-sama kuliah di London, hanya berbeda universitas.Cia mencoba berkali-kal
Isak tangis masih terdengar di dalam kamar. Namun, sayangnya tidak bisa mengembalikan semua yang ada sudah terjadi. Menyadari jika semua sudah tak bisa kembali lagi, Cia menghentikan tangisnya. Meraih pakaiannya dan memakainya. Netranya tak berkedip ketika melihat sekujur tubuhnya dipenuhi tanda merah. Entah apa saja yang dilakukan pria itu saat dia tidak sadar, Cia benar-benar tidak tahu.Dengan sekuat tenaganya, Cia berusaha untuk pulang. Sambil menahan perih di tubuhnya dan di hatinya, dia keluar dari hotel. Pandangannya menunduk agar orang tak melihat wajahnya yang baru saja menangis.Keluar dari hotel, Cia mencari halte bus terdekat. Satu tempat yang ditujunya adalah kediaman Maxton. Sepanjang jalan, Cia hanya melamun. Pikirannya kosong ketika mendapati semua yang terjadi dalam hidupnya serasa mimpi. Tak ada harapan yang bisa digantungkan lagi. Mungkin jika terluka, masih dia bisa menahannya, tetapi melukai orang tuanya. Rasanya,
Bian yang bingung pun akhirnya menghubungi kakak iparnya-sekaligus kakak dari Cia. Paling tidak dia bisa mendapatkan saran apa yang harus dilakukannya. Di ruang keluarga, Bian mengusap ponselnya. Menghubungi kakak iparnya. “Kenapa menghubungi kakak iparmu? Apa kamu lebih merindukannya dari pada aku?” El dari sambungan telepon menggoda adiknya. “Untuk apa aku merindukanmu. Aku lebih merindukan kakak ipar dan si kembar dari pada kamu.” El terdengar tertawa. “Ini.” Terdengar suaranya yang tampak memberikan ponsel pada istrinya. “Hai, Bi, ada apa?” Freya terdengar ceria sekali. Mendengar sedari tadi suaminya menggoda sang adik. “Hai, Kak.” Bian terdengar ceria. “Kak, ada yang aku ingin bicarakan tentang Kak Cia.” Suara Bian mulai serius. Tak seperti awal berbicara dengan kakak iparnya. Freya terdiam. “Sepertinya penting?” tebak Freya. “Tiga hari ini Kak Cia tidak keluar kamar. Tadi mencoba membuka pintu secara paksa.
“Kak Cia,” teriak Bian yang terkejut saat membuka pintu kamar. Dia yang melihat Cia sedang memegangi pecahan gelas langsung berlari masuk ke kamar Cia. Saat sampai di pinggir tempat tidur, dia meletakkan makanan yang dibawanya dan bergegas mencegah Cia yang sedang ingin memotong nadinya. “Biarkan aku, Bi,” ucapnya menangis. Berusaha keras untuk melepaskan tangannya yang dicengkeram oleh Bian. “Jangan gila, Kak. Apa begini caramu menghadapi hidup?” tanyanya. Tangannya terus berusaha menghalau Cia yang berusaha memotong nadinya. Bian berusaha keras untuk melepas pecahan gelas yang berada di tangan Cia. Setelah bersusah payah, akhirnya Bian dapat melepaskan pecahan gelas tersebut. Namun, tangan Cia sudah tergores sedikit. “Hidupku sudah tidak berarti lagi, Bi.” Air mata Cia mengalir deras dari mata indahnya. Merasa dirinya hancur setelah mendapati jika dia akhirnya hamil. Sedari tadi dia memikirkan bagaimana menghadapinya, dan mati adalah ja
El memegangi bahu Freya. Saat istrinya menatapnya, dia memberikan isyarat untuk tidak menekan Cia. Dalam waktu ini, Cia adalah orang yang paling terluka. Jika orang-orang dekatnya ikut menekan, pastinya akan membuat mentalnya lebih hancur. Freya pun langsung memeluk adiknya. Merasa bersalah dengan apa yang baru saja dilakukannya. Cia pun hanya bisa menangis di dalam pelukan kakaknya. Kali ini dia tidak bisa memaksa Cia untuk menceritakan lebih dalam lagi dengan apa yang terjadi padanya. Memilih membiarkan Cia lebih tenang dulu. El menatap Bian dengan tajam. Dia berdiri dan keluar dari kamar Cia. Bian tahu jika kakaknya memberikan isyarat dari sorot matanya untuk ikut dia keluar. Akhirnya, dia pun mengikuti sang kakak keluar dari kamar. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu jika Cia hamil?” El langsung melayangkan pertanyaan tajam padanya. “Aku benar-benar tidak tahu, Kak.” Memang itu yang terjadi. Dia memang tidak tahu sama sekal
Cia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Freya yang ingin mengorek lebih dalam, kesulitan dalam hal ini. El hanya bisa pasrah menunggu karena dia tidak akan dapat memulai usaha pencarian jika Cia tidak mengatakannya.“Aku akan pergi ke tempat Noah. Kabari jika kamu sudah dapatkan hotel mana yang ditempati Cia waktu itu.” El mendaratkan kecupan di dahi Freya. Dari sejak datang ke London, El belum bertemu dengan Noah. Dia pun sama ingin sekali memukul temannya itu karena tidak menjaga adiknya dengan baik. “Baiklah, aku kabari jika Cia mau menceritakan di mana hotel tempatnya dulu menginap.” Sejauh ini Freya masih mengali informasi pelan-pelan. Tak mau terlalu memaksakan karena takut Cia kembali terpuruk. Untuk saat ini Cia sudah mau makan dan mulaimendengarkannya. Jadi tidak mau Freya kembali membangkitkan ingatan Cia yang buruk.El pergi dengan menaiki bus menuju ke kantor Noah. Sepanjang jalan, dia memikirkan bag
Belum banyak yang berubah dari Cia. Dia masih diam dan sesekali menangis. Freya berusaha keras menenangkan. Sesekali menyelipkan dukungan jika kini Cia akan memiliki anak. Bujuk rayu Freya pun berhasil membuat Cia mau makan. Namun, tidak mengubah kesedihan yang dirasakannya. “Menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan. Terlepas apa yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka lahir dengan keadaan suci. Tanpa dosa sama sekali,” ucap Freya di sela-sela Cia makan. “Jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih dilahirkan di rahim ibu yang mau menerima mereka dengan suka cita. Bukan mereka yang menolak kehadiran mereka.” Cia terdiam sambil menunduk. Kalimat itu terdengar seperti kalimat sindiran yang dilontarkan sang kakak. Karena selama ini, dia tidak mau anak yang dikandungnya.“Jika semua calon ibu menerima dengan lapang anak yang dikandungnya, terlepas apa yang terjadi. Aku rasa tidak akan ada wanita yang menggugurkan an
Hari ini Cia diizinkan untuk pulang. Beberapa keluarga ikut menjemput, beberapa yang lain menunggu di apartemen. Menyambut kedatangan Baby Nick. Di apartemen mereka sudah disambut oleh anak-anak yang memberikan sambutan selamat datang. Sungguh rumah begitu ramai. “Selamat datang.” Shera dan Freya menyambut Cia.“Terima kasih.” Cia begitu senang ketika melihat semua menyambutnya dengan meriah. Keluarga berkumpul merayakan kedatangannya. “Ayo, masuk.” Noah menuntun pelan tubuh Cia. Membawanya masuk ke apartemen.Lora, Kean, Lean, Rigel, dan Anka pun itu menyambut. Lima anak itu begitu riuh ingin melihat adik mereka. “Itu dedek aku.” Dengan bangganya dia memamerkan adiknya. “Mommy, mau lihat!” Kean yang tak sabar pun merengek. Cia yang duduk di sofa langsung diserbu anak-anak. Mereka begitu gemas melihat Baby Nick. Sayangnya, Lora begitu pelit. Setiap ingin memegang adiknya,
Noah membawa istrinya ke Rumah sakit. Cia yang sudah merasakan sakit hanya bisa merintih kesakitan. Setelah sekian lama, kini Cia merasakan kembali rasa sakit ini. Jika dulu, dia malu-malu saat mencengkeram Noah. Kini dia dengan beraninya mencengkeram erat tangan Noah. Hingga membuat Noah kesakitan. Namun, Noah rela saja melakukannya. Yang terpenting dapat mengurangi sakit yang dirasakan oleh istrinya. Di ruang UGD para perawat langsung memasang jarum infus ke pergelangan tangan Cia. Memastikan cairan infus bisa masuk ke dalam tubuh Cia. Dokter Lyra yang dihubungi langsung datang. Dia memang sudah bersiap sejak pagi. Terlebih lagi keluarga Adion dan Maxton sudah berisik menghubunginya. “Air ketubannya sepertinya sudah pecah, Ra.” Mama Chika memberitahu. Dokter Lyra mengangguk. Kemudian memakai sarung tangan untuk mengecek sudah pembukaan berapa. Saat mengecek jalan lahir anak Cia, Dr. Lyra mendapati jika Cia sudah siap untuk melahirkan. D
Cia mengatur napasnya setelah keliling taman. Dilihatnya anaknya masih asyik bermain dengan daddy-nya, jadi dia harus menunggu lebih dulu. Perut Cia yang sudah mulai besar, membuatnya kesulitan untuk duduk. Kini usia kandungan Cia sudah mencapai delapan bulan. Dengan usia kandungan yang besar membuat Cia sulit bergerak. “Mommy.” Lora berlari menghampiri Cia. Cia mengulurkan tangannya. Membawa anaknya ke dalam pelukannya. “Dedek.” Lora mendaratkan kecupan di perut mommy-nya. Noah menghampiri anak dan istrinya. Ikut duduk di sebelah istrinya. Mengatur napas setelah lari mengejar anaknya. Pandangannya tertuju pada anak dan istrinya yang sedang bercengkerama. “Hari ini kamu jadi ke toko?” tanya Noah sambil membelai lembut perut Cia. Hari ini Noah libur, jadi dapat mengantar istrinya ke toko kapan saja. “Iya, aku mau mengecek dulu toko. Sekalian nanti pulang kita cari baju bayi.” “Bukannya sudah banyak yang kamu beli bersama dengan mama.” Noah yang
“Lima, enam, cembilan.” Lora menghitung ketika sedang duduk manis di atas punggung daddy-nya. Daddy-nya yang sedang push up, naik turun dengan membawa Lora di atasnya. “Tujuh dulu, Kak.” Cia yang sedang memainkan ponselnya membaca beberapa artikel, beralih pada anaknya. “Ulang, Daddy.” “Jangan, Sayang, lanjutkan saja.” Noah yang sedang push up dengan tubuh Lora di atas punggungnya, tidak kuat jika anaknya mengulang lagi. Tadi dia meminta dua puluh hitungan, jika diulang, yang ada dua kali kerja. Bisa-bisa dia pingsan nanti. “Lalu belapa?” “Sepuluh.” Noah menurunkan tubuhnya. Kemudian mengangkatnya lagi. “Cepuluh.” “Sebelas … dua belas … tiga belas ….” “Cebelas … dua belas … tiga belas ….” Lora mengikuti daddy-nya yang berhitung. Sampai akhirnya sang daddy terkapar di lantai. Lora yang selesai berhitung begitu senangnya. Karena dia bisa naik di punggu
Di depan cermin Noah mengikat rambut anaknya. Sebulan ini dia belajar mengikat rambut anaknya. Tak ada lagi ikatan miring yang membuat Lora menangis. Kini Noah bisa mengikat rambut anaknya dengan simetris. Cia yang mencatat seragam apa yang dipakai Lora setiap hari juga membuat Noah mudah untuk memakaikan pada anaknya. Sudah tak ada lagi drama Lora menangis pagi-pagi. Hal itu membuat Cia senang. Sebulan ini Cia tak henti-hentinya mual. Dia terpaksa ke toko setelah siang, saat tubuhnya kuat. Semua orang melarang Cia, tetapi dia merasa bosan terus berada di rumah. Suara bel yang terdengar membuat Cia yang sedang tidur langsung berangsur bangun. Dia tahu jika itu adalah kurir yang mengantarkan bubur buatan mommy Shea. Bubur dengan campuran udang dan kepiting. Rasanya benar-benar enak di mulut Cia. Hanya bubur itu yang bisa masuk ke perutnya. Karena makanan lain tidak sama sekali bisa masuk dan justru keluar lagi. Saat membuka pintu, ternyata bukan kurir yang da
Papa Felix dan Mama Chika yang dihubungi oleh El, langsung bergegas ke Rumah sakit. Mereka begitu khawatir ketika mendengar anaknya sakit. Setelah tadi menghubungi Freya menanyakan di mana ruangan perawatan, mereka langsung menuju ke sana. Saat tiba di ruang perawatan tampak Cia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Melihat Infus yang menancap di pergelangan tangannya, mereka merasa tidak tega. “Kenapa bisa sampai di sini?” Mama Chika yang masuk langsung menghampiri anaknya. Tangannya membelai erat rambut Cia. Wajah tuanya begitu tampak khawatir. “Aku tidak apa-apa, Ma.” Cia berusaha menenangkan sang mama yang terlihat panik. “Sebenarnya ada apa ini? Sakit apa hingga harus dirawat?” Papa Felix memang jauh lebih tenang, tetapi sebenarnya jauh lebih panik. “Cia tidak sakit, Pa, Ma.” Freya menatap mama dan papanya bergantian. “Dia hamil,” ucapnya tersenyum. Mama Chika dan Papa Felix terkeju
Cia dan Noah pergi ke Rumah sakit. Sepanjang jalan Noah merasa tidak tega sekali melihat istrinya yang terlihat begitu pucat. “Masih mual?” tanya Noah menoleh sejenak pada Cia. “Masih.” Cia berusaha keras untuk menahan rasa mualnya itu. “Mau beli permen saja?” Noah terpikir permen bisa mengurangi rasa mual yang dirasakan oleh istrinya. “Boleh juga.” Noah membelokkan setir mobilnya untuk menuju ke supermarket. Membeli permen yang dapat mengurangi mual yang dirasakan oleh istrinya. Di dalam supermarket dia memilih beberapa permen, karena tidak tahu permen apa yang dapat meredakan mual yang dirasakan oleh Cia. Saat kembali ke mobil, dia memberikan satu kantung permen pada istrinya. Hingga membuat Cia keheranan. “Sebanyak ini kamu mau membuat gigiku sakit?” Cia membuka kantung berisi beberapa bungkus permen. “Aku tidak tahu mana yang dapat me
Noah dan Cia bersiap untuk acara peresmian perumahan tahap pertama. Lora yang diajak pergi tak kalah heboh. Ketika sang mommy sedang memakai alat pengeriting rambut, dia juga ikut-ikutan, meminta untuk membuat agar rambutnya juga keriting. Cia yang gemas pun menuruti permintaan anaknya. “Daddy, lihat lambut aku keliting.” Ketika Noah keluar dari kamar mandi, suara anaknya sudah menyambutnya. “Kenapa kamu cepat sekali dewasa, Daddy berasa semakin tua,” gerutu Noah. Dia yang melihat anaknya itu pintar sekali membuatnya takut anaknya tumbuh dengan cepat. Cia hanya tersenyum melihat suaminya yang kesal. Terlihat begitu mengemaskan ketika mendengar suaminya menggerutu. Noah, Cia, dan Lora yang sudah siap langsung berangkat ke tempat acara. Saat tiba di lokasi sudah ada keluarganya yang sudah berkumpul. Anak-anak juga ikut serta. Mereka ikut orang tua mereka untuk menghadiri acara. Had
Sesuai dengan rencana, akhirnya Papa Darwin dan Rylan kembali ke London. Lora yang melihat kepergian kakeknya menangis, hingga sulit sekali di tenangkan. Berteriak ingin ikut kakeknya.“Au ikut Glandpa.” Dia masih terisak ketika tadi sudah bergulung-gulung di lantai. Lora memang sering menangis, tetapi tidak seperti ini biasanya, dan kali ini Lora begitu tak terkendali. Cia yang melihat anaknya seperti itu hanya bisa menunggu hingga tenang. Mengamankan semua yang di sekitar yang kira-kira bahaya. Sampai saat Lora sudah tenang, dia membawa anaknya ke dalam pelukannya. “Au ikut Glandpa.” Kata itu yang terucap diiringi isak tangis. Cia terus mendekap erat anaknya. Menangkan anaknya itu. Sampai suaminya pulang sehabis mengantar papa dan adiknya, Lora baru saja tenang. Anaknya itu baru saja tertidur. Masih di dalam dekapan sang mommy. Perlahan Cia memindahkan anaknya itu ke tempat tidur. Agar sang anak lebih pulas lagi saat tidur. Noah yang melihat wajah anak