Part 2
"Mas, tadi siapa perempuan yang ada di belakangmu? Kamu sedang ada dimana, Mas?"Meski aku tahu, ini adalah pertanyaan konyol. Mas Damar tak mungkin menjawab dengan jujur, ia pasti akan berkilah.Lelaki di balik layar itu tampak menoleh, kemudian langsung menghadapkan ponselnya ke langit-langit kamar. Mungkin ponsel itu ia letakkan begitu saja."Kenapa kamu masuk kesini? Tunggu aku di luar. Okey?" Samar terdengar suara Mas Damar berbicara dengen seseorang. Mungkin perempuan tadi.Aku menunggu beberapa puluh detik, lalu ia sudah ada di layar handphone kembali."Maaf tadi Farah masuk, katanya butuh sesuatu," jawab Mas Damar menjelaskan."Yakin itu, Farah? Kok penampilannya beda?""Setiap orang kan bisa berubah, Sayang. Sudah dulu ya. Jaga anak-anak dengan baik ya. Besok aku pulang, Love you."Seolah tak ingin aku bertanya lebih lanjut, Mas Damar mematikan panggilan teleponnya. Aku menghela nafas panjang. Pikiran negatif kembali berkecamuk. Sampai aku berpikir aneh, benarkah aku dikhianati usai melahirkan? Membayangkan saja rasanya sesak. Sesak sekali. Dadaku terasa seperti diremas-remas.***Keesokan paginya, sebelum jam berangkat kantor, aku mengunjungi rumah Faiz--teman putraku. Ingin bertemu dengan Mas Niko, ayahnya, serta memastikan ucapan istrinya pada anakku. Aku ingin memastikan apakah ada hal yang disembunyikan oleh suamiku. Barangkali dia tahu sesuatu."Eh, Mbak Wulan. Ada apa pagi-pagi datang kesini?" sambut Mbak Rasti, ibunya Faiz.Aku mengangguk dan tersenyum. "Maaf ganggu, Mbak. Apa ayahnya Faiz ada di rumah?""Ada apa ya cari suamiku?""Emmh, itu mbak, ada hal yang ingin aku bicarakan tentang Mas Damar. Aku juga mau tanya apa mbak kemarin bilang sama Raffa kalau suamiku menikah lagi? Maksudnya apa ya? Karena jujur itu sungguh mengganggu pikiranku."Seketika raut wajah Mbak Rasti berubah. Sepertinya ia merasa tak enak dengan pertanyaanku yang langsung to the points."Maaf Mbak Wulan, kemarin aku hanya bercanda saja. Aku tidak bermaksud--""Siapa yang bilang seperti itu, Mbak Wulan?" Tetiba sebuah suara laki-laki muncul dari dalam mengagetkan kami.Mas Niko sudah tampak rapi dengan kemeja kerjanya."Maaf Mas Niko, kalau saya bertanya ini langsung. Mas kan sahabatnya Mas Damar, apa mas tahu sesuatu?" tanyaku langsung."Tahu apa ya, Mbak?" tanyanya lagi."Tentang rahasia Mas Damar."Dia mengerutkan keningnya. "Kita bicara di dalam dulu, ayo masuk!" ajak Mas Niko. Ia pun memberi peringatan pada sang istri agar tutup mulut."Mas, aku mohon kalau tahu sesuatu tentangnya, tolong beri tahu aku. Perasaanku tidak tenang apalagi saat kemarin lihat status WA adik ipar.""Status apa ya?"Lalu akupun menceritakan hal ganjil tersebut padanya. Tentang kecurigaanku pada Mas Damar."Tolong beritahu aku, Mas. Jangan rahasiakan apapun dariku. Ini sangat penting untuk kehidupan pernikahan kami ke depannya.""Sebenarnya aku tidak tahu persisnya gimana dengan Damar. Di kantor dia biasa saja, tidak ada yang aneh-aneh. Hanya saja dia sedikit berubah lebih tertutup sejak reuni itu, sejak ia bertemu lagi dengan mantan pacarnya dulu."Deg! Seketika jantungku berdegup dengan kencang. Mantan pacar Mas Damar? Siapa?"Si-siapa, Mas?""Namanya Melinda. Kami dipertemukan lagi sekian lama saat acara reuni SMA tiga bulan yang lalu itu. Aku gak tahu sih sudah sejauh mana hubungan mereka. Aku pikir hanya temu kangen biasa saja. Namanya juga sudah pada berkeluarga.""Jadi, Mas Damar punya hubungan dengan Melinda? Apa dia sudah bersuami?""Maaf Mbak Wulan, aku gak berani bilang seperti itu, karena memang gak tahu persisnya seperti apa. Melinda sendiri sekarang ini sudah janda, anaknya satu."Aku terdiam sejenak."Begini saja, Mbak Wulan, aku akan coba cari tahu ya. Kalau memang dia benar-benar ada main dengan Melinda, aku akan nasehatin dia. Tapi saran saya, bersikaplah seperti biasa Mbak. Pura-pura saja tidak tahu apa-apa. Nanti kita bicarakan lagi ya, Mbak. Siapa tahu ada solusi lainnya."Aku mengangguk."Kamu juga ya, Bu, mulutnya jangan ember. Awas aja kalau ada gosip gak enak. Ayah yang akan menghukum ibu langsung!" tukas Mas Niko lagi. Istrinya hanya nyengir dan mengangguk."Mbak Wulan tenang saja, kami berada di pihak Mbak Wulan. Kalau suami mbak macam-macam dengan pelakor, aku siap menghajar pelakornya!" ujar Mbak Rasti.Perempuan kemudian mendekat ke arahku seraya berbisik. "Benar kata suamiku, pura-pura tidak tahu saja. Yang penting amankan aset dulu, Mbak! Harus atas nama mbak atau anak-anak. Jadi misal itu benar dan pahitnya kalian berpisah, Mbak tidak akan gigit jari. Pokoknya jangan biarkan pelakor menikmati hasil kerja keras suami kita."Dia menepuk-nepuk bahuku, lalu bercanda dengan bayi yang tengah kugendong. Benar juga ucapannya. Aku jadi punya ide untuk bermain cantik saja dulu, lalu hempaskan. Tak perlu bar-bar dan membuang energi.Mulai sekarang aku harus kuat dan tegar. Ada anak-anak yang membutuhkanku.***Pukul empat sore, terdengar suara deru mobil mendekat."Sayang, Mas pulang!" seru suara dari luar.Gegas aku beranjak, mengintip dari balik tirai, mobil suamiku sudah terparkir manis di sana. Segera aku membuka pintu, melihat Mas Damar berdiri di sana. Kucium punggung tangannya, sementara dia langsung memelukku hangat."Gimana kabarmu dan juga anak-anak?" tanya Mas Damar. Ya, begitulah Mas Damar, ia memang selalu perhatian pada kami. Rasanya tidak mungkin dia berkhianat. Tapi terkadang dibalik sikap perhatiannya ini menyimpan banyak rahasia.Aku meraih koper yang dia bawa. "Mereka baik-baik saja, Mas. Raffa yang seringkali bertanya padamu, kapan kamu pulang.""Dimana dia sekarang?" tanya Mas Damar."Lagi main, Mas. Sebentar lagi juga pulang. Oh ya, kamu mau makan apa? Biar aku masak dulu.""Apa saja yang kamu masak, pasti akan kumakan. Ya sudah, aku ke kamar dulu ya Dek, mau mandi, gerah."Aku mengangguk dan menatap punggungnya yang lebar. Setelah melepas sepatunya, Mas Damar pergi ke kamar, aku mengikuti di belakang. Segera kupungut kemeja yang ia lepas sembarangan di atas lantai dan menaruhnya ke keranjang baju kotor.Sekilas aku mencium aroma parfum yang berbeda, parfum perempuan. Aku menggeleng pelan seolah tak memedulikan. Pura-pura tidak tahu adalah jalan ninjaku saat ini. Mungkin saja ini wangi parfum Farah. Farah dan Mas Damar memang begitu dekat, adik perempuan satu-satunya itu sangatlah manja.Setelah itu, akupun memeriksa koper Mas Damar, untuk merapikan baju-bajunya kembali. Tetiba saat membuka resleting koper itu ada yang menyembul lalu terjatuh. Sebuah boneka barbie yang sudah usang, mungkin karena sering dibuat mainan.Keningku mengkerut. Buat apa Mas Damar membawa boneka barbie ini? Farah sudah kuliah tak mungkin dia main boneka barbie beginian, dekil pula.Aku merapikan baju-baju Mas Damar di koper yang terlihat begitu berantakan. Tak hanya boneka barbie yang membuatku bertanya-tanya, tapi juga selembar nota pembelian dua buah cincin atas nama Tn Damar dengan harga yang fantastis. Sepuluh juta rupiah."Dek, kamu sedang apa?"Part 3"Dek, kamu sedang apa?" Aku terperanjat kaget saat Mas Damar bertanya. Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiriku, seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Eh Mas, aku sedang merapikan baju-bajumu. Tapi ini apa?" Aku menunjukkan nota pembelian cincin serta boneka barbie itu padanya.Sesaat matanya terbelalak kaget. Tapi secepat kilat ia sembunyikan wajah terkejutnya dibalik senyuman."Nota cincin dan boneka barbie ini punya siapa, Mas?" Aku mengulangi pertanyaan.Mas Damar menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Emmh ... anu, ini punya Farah," sahut Mas Damar gugup. Jelas sekali ia tengah beralibi."Farah? Farah gak mungkin masih mainan barbie yang penuh coretan gini kan, Mas?" tanyaku lagi."Ehem, maksud mas, ini mainan anak tetangga sebelah yang sering main dengan Farah," jawabnya salah tingkah."Kok bisa ada di koper kamu?""Ya, aku gak tahu. Mungkin ketinggalan. Masalahnya anaknya jahil."Aku mengangguk, meski hati seperti diremas-remas."Terus nota cincin i
Part 4"Memang kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku terdiam sejenak, menatap matanya. Tak ada perasaan bersalah sedikitpun dari pancaran matanya. Mas Damar pintar sekali menyembunyikan rahasia."Enggak. Cuma tadi aku habis nonton drama. Ceritanya itu bikin nyesek di hati. Sampai sekarang gak ilang-ilang," sahutku kemudian."Cerita apaan emang sampai membuatmu seperti ini?""Cerita layangan putus. Suami yang ditemani dari nol ternyata berkhianat dengan perempuan lain."Mendengar jawabanku, Mas Damar terdiam. Apa jawabanku cukup menyindirnya?Dia beranjak duduk. "Sayang, lebih baik jangan nonton drama seperti itu lagi, tak baik efeknya. Kamu jadi curiga kan sama suami sendiri?""Ya soalnya seru banget, Mas. Suami yang begitu sayang dan setia tapi nyatanya bermain di belakangnya.""Sudahlah, tak perlu membahas sinetron. Tidur yuk, tubuhmu butuh istirahat lho."Aku mengangguk lemah. Rapi sekali kamu bersandiwara, Mas.***"Iya, nanti kuusahakan ya. Kamu tahu sendiri kan aku sudah cuti tig
Part 5Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya. Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar. Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya] [Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?][Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya s
Part 6"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam."Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus."Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda.""Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..." "Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar."Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong."Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya." Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah."Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tet
Part 7"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?" Deg! Pertanyaan Wulan sungguh membuatku terkejut dan shock. Astaga! Bisa-bisanya Melinda salah ambil tas belanja. Sebisa mungkin aku beralasan agar Wulan tak curiga. Entah setelah kepulanganku dari kampung halaman sikap Wulan sedikit berbeda, dia sering kali menyindirku. Disengaja maupun kebetulan akupun tak tahu. Tapi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku tak ingin hubunganku dengan Melinda diketahui olehnya. Wulan pasti akan sangat kecewa padaku. Gegas aku masuk ke dalam mobil, tujuanku? Tentu rumah Melinda. Melinda kuboyong ke kota ini, jadi jika aku pulang dan ingin melihatnya aku tak perlu perjalanan jauh menghabiskan banyak waktu. Sebuah rumah minimalis, kusewakan untuk ia tempati bersama dengan anak perempuannya dari pernikahannya yang pertama. Hubunganku dengan Melinda? Dia adalah istri siriku. Ya, kami sudah menikah kemarin. Acara yang seharusnya hanya pe
Part 8"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa. "Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian. Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk k
Part 9"Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ....""Asalkan apa? Kamu membuatku penasaran saja, Dek," ucapnya dengan raut penasaran."Tanda tangani surat perjanjian yang sudah kubuat," ucapku lagi."Perjanjian apa?" Keningnya berkerut mendengar ucapanku.Gegas aku mengambil surat perjanjian yang sudah kusiapkan sejak kemarin dengan materai 10000. Diam-diam aku menyiapkan beberapa rencana, jadi bila rencana pertama gagal maka ada rencana cadangan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, semampuku, sebisaku.Mas Damar menatapku penuh tanya. Matanya memandang sebuah map yang kusodorkan padanya."Silakan tanda tangan disini, Mas," ujarku. "Ini apa sayang?" tanyanya. "Bukankah tadi katanya kamu mau melakukan apapun asal dalam batas kesanggupanmu?" jawabku sambil tersenyum. Mas Damar terdiam. Ia membaca lembaran surat perjanjian itu. Sesekali ia tampak menautkan alisnya."Bagaimana Ma
Part 10"Mana kutahu, kali aja jatuh. Jangan tuduh aku sembarangan, Mas!" pungkas Wulan. Ia tampak kesal. Ah, harusnya aku tak menuduhnya begitu. Bodoh! Akhir-akhir ini dia jadi gampang tersulut emosi.Aku menghela nafas dalam, menatap wajah Wulan yang tampak tidak bersalah."Ya, maafkan aku, Wulan, aku tak bermaksud menuduhmu. Tolong kalau pas kamu bersih-bersih dan nemu kartu ATM-nya, simpankan dulu ya.""Iya Mas.""Ya sudah aku berangkat dulu. Paling lama satu jam aku balik lagi. Dan kamu harus siap-siap ya, biar nanti langsung berangkat," ujarku.Aku merutuk pada diri sendiri. Sial! Bisa-bisanya kartu ATM hilang. Tapi aku tak mungkin terus menerus menuduh Wulan di sana. Memang akulah yang ceroboh.Wulan mengangguk lagi. Gegas akupun pergi karena aku yakin Melinda pasti tengah menunggu kabar dariku. Sengaja aku tak menghubunginya lebih dulu. Selama di rumah aku meminimalisir pegang HP, takut Wulan tambah curiga. Mobil yang kukemudikan membelah jalan raya. Suasana pagi weekend cuku
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,