Part 4
"Memang kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku terdiam sejenak, menatap matanya. Tak ada perasaan bersalah sedikitpun dari pancaran matanya. Mas Damar pintar sekali menyembunyikan rahasia."Enggak. Cuma tadi aku habis nonton drama. Ceritanya itu bikin nyesek di hati. Sampai sekarang gak ilang-ilang," sahutku kemudian."Cerita apaan emang sampai membuatmu seperti ini?""Cerita layangan putus. Suami yang ditemani dari nol ternyata berkhianat dengan perempuan lain."Mendengar jawabanku, Mas Damar terdiam. Apa jawabanku cukup menyindirnya?Dia beranjak duduk. "Sayang, lebih baik jangan nonton drama seperti itu lagi, tak baik efeknya. Kamu jadi curiga kan sama suami sendiri?""Ya soalnya seru banget, Mas. Suami yang begitu sayang dan setia tapi nyatanya bermain di belakangnya.""Sudahlah, tak perlu membahas sinetron. Tidur yuk, tubuhmu butuh istirahat lho."Aku mengangguk lemah. Rapi sekali kamu bersandiwara, Mas.***"Iya, nanti kuusahakan ya. Kamu tahu sendiri kan aku sudah cuti tiga hari, tidak mungkin bisa lebih dari itu, kerjaanku terbengkalai," ucap Mas Damar di seberang telepon.Aku masih mencuri dengar, pagi-pagi sekali Mas Damar menerima telepon, entah dari siapa, pasti dari Melinda.Pura-pura aku tak mendengar, sembari bermain dengan bayiku."Telepon dari siapa, Mas?" tanyaku."Dari teman kantor, Dek," sahut Mas Damar. "Aku langsung berangkat ya!""Gak sarapan dulu, Mas?""Gak sempat, Dek. Nanti aku makan di kantin saja. Dan kemungkinan aku lembur, pulang malam. Kamu tidak perlu nungguin aku ya."Aku mengangguk."Oh ya Dek, apa tadi kau buka-buka handphoneku?""Iya, Mas, tadi aku mau nebeng wifi tapi gak jadi soalnya gak bisa buka, gak tau kodenya. Kok sekarang hp mas dikunci sih? Kenapa? Ada privacy ya?" kilahku.Mas Damar tampak gugup. "Eh, enggak Dek. Kemarin tuh Farah jail buka-buka HP mas terus jadi terpaksa aku kunci layarnya.""Oh.""Kamu kehabisan kuota ya? Nanti aku belikan paket datanya ya.""Uang mentahannya saja sini, Mas, biar aku beli sendiri di counter. Sekalian uang belanja ya, Mas, aku pengen beli ayam buat masak ayam goreng kesukaan Raffa."Lelaki itu tersenyum. "Iya, sayang." Mas Damar menyerahkan 3 lembar uang seratus ribuan."Segini cukup kan?"Aku mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, Mas Damar bergegas pergi dengan mobilnya menuju ke kantor tempatnya bekerja. Untung saja, aplikasi WA-nya sudah kusadap pagi tadi sebelum Mas Damar terbangun.Setelah kepergian suamiku, aku menyiapkan Raffa yang akan berangkat sekolah TK. Biasanya aku mengantarnya jalan kaki, lalu kutitipkan dia di sekolah pada gurunya, aku pulang lagi karena masih harus berkutat dengan segudang pekerjaan dan bayi kami. Untunglah, Raffa tak rewel, sekolah TK-nya pun tak terlalu jauh."Eh Bu Wulan, gimana kabarnya? Kayaknya tambah sibuk aja sekarang?" sapa salah seorang ibu-ibu yang juga tengah mengantar anaknya sekolah."Alhamdulillah, Bu. Iya, sibuk ada baby.""Bu Wulan, meskipun habis melahirkan dan sibuk ngurus anak, tapi kita perlu juga merawat diri lho, biar tetap tampil cantik di depan suami. Ih amit-amit ya jangan sampai suami malah diambil pelakor karena kita cuek sama penampilan."Aku tersenyum, ucapan ibu itu lagi ada benarnya juga. Di sampingnya ada Mbak Rasti yang menyikutnya. Entah mungkin mereka tengah bergosip membicarakanku. Selama ini memang aku terlalu berpakaian sederhana dan seadanya saja toh Mas Damar tak pernah komplen dengan penampilanku. Ia tetap memperlakukanku dengan istimewa. Tapi semua itu berubah sejak ada perempuan bernama Melinda itu. Wanita masa lalu Mas Damar."Maaf ya Bu Wulan, saya bilang seperti ini karena Bu Wulan ini kan masih muda, cantik apalagi kalau ke salon, pasti jadi makin cantik, jadi Pak Damar makin betah deh di rumah. Suami kerja itu buat kita, jadi manfaatin aja!" selorohnya sambil tertawa.Aku mengangguk lagi sembari mengulum senyum. Memang harusnya aku menjaga penampilan agar tetap cantik. Aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan rumah, hingga cuek pada diri sendiri.Selama ini aku tak pernah menghambur-hamburkan uang suami. Karena merasa kasihan pada Mas Damar yang sudah bekerja keras, jadi lebih baik aku menyisihkan uang sisa belanja untuk ditabung, biar bisa digunakan bila ada keperluan mendesak. Itu yang dipikiranku selama ini, tapi sepertinya pola pikirku harus diubah karena hal ini.Kubuka aplikasi WA ku dan tertegun melihat story WA adik ipar.[Senangnya dibelanjain banyak barang sama kakak ipar]Statusnya disertai foto aneka barang, baju, celana, tas juga sandal. Aku tersenyum masam, jadi ini cara Melinda mengambil hati keluarga suami?[Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi ya, Mbak. Terima kasih banyak udah manjain adikmu satu ini]Aku tersenyum masam. Bahkan adik suamiku tak menganggapku ada justru menganggap orang lain sebagai kakak iparnya.[Kakak ipar? Maksudnya siapa ya, Farah? Mbak kan ada di sini?]Balasku pada statusnya. Farah tampak mengetik balasan.[Ini tetangga yang kemarin tunangan mbak, kami dekat, jadi aku manggilnya kakak ipar]Farah mengirimkan balasan lagi. Entah benar atau tidak, tapi hal itu makin membuatku curiga.[Namanya siapa, Farah?][Mbak Meli] jawabnya singkat.Aku beralih akun WA. Kuperiksa whattsap yang sudah kusadap. Dengan dada berdebar lebih kencang, lagi-lagi perempuan bernama Mel yang instens sekali menghubungi Mas Damar.[Mas, nanti sore jadi kesini kan? Aku tunggu lho][Iya. Kamu mau dibelikan apa?] Balas Mas Damar singkat.[Kalau gitu aku mau pizza ukuran jumbo itu ya, Mas. Buat makan malam kita nanti. Jangan lupa baju dan tas yang aku pengen kemarin, sama mainan baru buat Lola][Oke. Nanti aku mampir ke toko dulu]Dada makin berdebar dengan kencang melihat percakapan mereka. Sakit, tentu saja. Air mata ini hampir saja menetes. Tapi anak-anak masih butuh kekuatanku.Baiklah, Mas, diam-diam kau mengkhianatiku. Diam-diam juga aku akan membuatmu menyesal. Akan kubuat kamu bangkrut, Mas! Bolehlah kau pergi bersama wanita lain. Tapi, mulailah lagi dari nol. Mungkin aku matrealistis, tapi aku juga harus realistis. Anak-anak masih membutuhkan biaya yang besar. Dan aku harus berjuang sendirian itu pasti rasanya sangat sulit.***[Sayang, maaf ... Mas gak jadi pulang cepat. Hari ini Mas lembur banyak pekerjaan, harus selesai malam ini juga, paling cepat mas pulang jam 12 malam]Mas Damar mengirimiku pesan. Aku menatap jam bundar yang bertengger di dinding waktu masih menunjukkan pukul 9 malam.[Bilang juga ke Raffa, belum bisa beliin mainan kereta Thomas. Nanti kalau weekend, kita jalan-jalan ya, biar kamu dan Raffa pilih sendiri apa yang kalian suka][Iya mas, tidak apa-apa. Kalau pulang hati-hati di jalan] balasku meski tangan gemetaran.[Iya sayang, I Love You. Jangan tunggu mas, kau tidur duluan saja. Jaga anak baik-baik ya]Aku tersenyum masam. Dulu, aku pasti sangat senang membaca kata i love you darinya, tapi sekarang rasanya begitu muak. Kata itu juga mungkin diucapkannya pada Melinda. Dasar lelaki buaya. Entah sejak kapan Mas Damar berubah seperti ini, bahkan aku tak menyadarinya.Tak ada pesan WA darinya lagi. Pesan itupun dikirim 1 jam lalu. Memang tidak biasanya seperti ini. Walaupun ada lembur, paling telat dia akan pulang jam 8 malam lalu membawa sebagian pekerjaannya yang belum selesai itu ke rumah. Aku yang selalu menemaninya lembur di rumah, dan membuatkannya segelas kopi. Tapi sekarang ... ada perempuan lain yang juga tengah menunggu kedatangannya.Aku terhenyak membaca chat yang masuk di nomor suami yang kusadap.[Mas, sudah sampai mana?] Pesan dari Mel.[Bentar lagi sampai] balas Mas Damar. Seketika membuat hati ini sakit.Kamu jahat, Mas!Part 5Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya. Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar. Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya] [Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?][Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya s
Part 6"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam."Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus."Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda.""Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..." "Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar."Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong."Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya." Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah."Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tet
Part 7"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?" Deg! Pertanyaan Wulan sungguh membuatku terkejut dan shock. Astaga! Bisa-bisanya Melinda salah ambil tas belanja. Sebisa mungkin aku beralasan agar Wulan tak curiga. Entah setelah kepulanganku dari kampung halaman sikap Wulan sedikit berbeda, dia sering kali menyindirku. Disengaja maupun kebetulan akupun tak tahu. Tapi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku tak ingin hubunganku dengan Melinda diketahui olehnya. Wulan pasti akan sangat kecewa padaku. Gegas aku masuk ke dalam mobil, tujuanku? Tentu rumah Melinda. Melinda kuboyong ke kota ini, jadi jika aku pulang dan ingin melihatnya aku tak perlu perjalanan jauh menghabiskan banyak waktu. Sebuah rumah minimalis, kusewakan untuk ia tempati bersama dengan anak perempuannya dari pernikahannya yang pertama. Hubunganku dengan Melinda? Dia adalah istri siriku. Ya, kami sudah menikah kemarin. Acara yang seharusnya hanya pe
Part 8"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa. "Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian. Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk k
Part 9"Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ....""Asalkan apa? Kamu membuatku penasaran saja, Dek," ucapnya dengan raut penasaran."Tanda tangani surat perjanjian yang sudah kubuat," ucapku lagi."Perjanjian apa?" Keningnya berkerut mendengar ucapanku.Gegas aku mengambil surat perjanjian yang sudah kusiapkan sejak kemarin dengan materai 10000. Diam-diam aku menyiapkan beberapa rencana, jadi bila rencana pertama gagal maka ada rencana cadangan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, semampuku, sebisaku.Mas Damar menatapku penuh tanya. Matanya memandang sebuah map yang kusodorkan padanya."Silakan tanda tangan disini, Mas," ujarku. "Ini apa sayang?" tanyanya. "Bukankah tadi katanya kamu mau melakukan apapun asal dalam batas kesanggupanmu?" jawabku sambil tersenyum. Mas Damar terdiam. Ia membaca lembaran surat perjanjian itu. Sesekali ia tampak menautkan alisnya."Bagaimana Ma
Part 10"Mana kutahu, kali aja jatuh. Jangan tuduh aku sembarangan, Mas!" pungkas Wulan. Ia tampak kesal. Ah, harusnya aku tak menuduhnya begitu. Bodoh! Akhir-akhir ini dia jadi gampang tersulut emosi.Aku menghela nafas dalam, menatap wajah Wulan yang tampak tidak bersalah."Ya, maafkan aku, Wulan, aku tak bermaksud menuduhmu. Tolong kalau pas kamu bersih-bersih dan nemu kartu ATM-nya, simpankan dulu ya.""Iya Mas.""Ya sudah aku berangkat dulu. Paling lama satu jam aku balik lagi. Dan kamu harus siap-siap ya, biar nanti langsung berangkat," ujarku.Aku merutuk pada diri sendiri. Sial! Bisa-bisanya kartu ATM hilang. Tapi aku tak mungkin terus menerus menuduh Wulan di sana. Memang akulah yang ceroboh.Wulan mengangguk lagi. Gegas akupun pergi karena aku yakin Melinda pasti tengah menunggu kabar dariku. Sengaja aku tak menghubunginya lebih dulu. Selama di rumah aku meminimalisir pegang HP, takut Wulan tambah curiga. Mobil yang kukemudikan membelah jalan raya. Suasana pagi weekend cuku
Part 11"Rambutmu masih basah juga bau shampo, kamu habis keramas lagi ya, Mas? Terus ini bekas bibir siapa di pipimu?"Deg deg deg, jantungku berpacu dengan cepat. Sial, Melinda membuatku jadi tersudut begini. Kacau kalau Wulan tahu semuanya. "Anu Dek, ini ... ini tadi rambutku kena kotoran jadi aku mandi lagi." Suara di tenggorokan terasa tersendat, aku bingung mesti jawab apa."Oh, kotoran yang nikmat ya, Mas?" sindirnya lagi seraya menatapku tajam. Aku memalingkan wajah, tak berani menatapnya. Nada dering di ponsel menghenyakkan kami, lebih tepatnya membantuku keluar dari ketegangan.Kutatap layar ponsel. Farah, deretan huruf yang tertera di sana."Vicall dari Farah, aku angkat dulu ya, Dek," ujarku. Lega rasanya, adikku telah menyelamatkanku meski sementara waktu.Aku mengangkat panggilan videonya, terlihat Farah dengan senyuman yang manis."Mas, ini ibu mau bicara," ucapnya. Tak lama gambar ibu sudah berada dibalik layar ponsel."Bu, lagi apa? Kabar ibu sehat?" tanyaku ramah.
Part 12Aku menatap punggung lelaki itu yang pergi menuju mobilnya. Secepat kilat kendaraan roda empat itu melesat meninggalkan rumah. Kuyakin kali ini Mas Damar pergi ke rumah wanita itu.Selagi Amanda masih tidur dan Raffa tengah bermain, aku membersihkan rumah. Kutemukan barang yang ia cari di bawah tempat tidur. Kartu ATM miliknya. Dasar ceroboh. Aku jadi penasaran berapa saldo yang ia punya di tabungan.Selama ini, selama aku jadi istrinya, aku tak pernah tahu berapa gaji dan uang suamiku. Ia hanya menjatahku 4 juta rupiah saja untuk kebutuhan kami selama sebulan. Aku memang tak pernah protes dengan pemberiannya, toh bila aku kekurangan uang, dia memberiku lagi tanpa banyak bicara.Kutatap bayi mungilku yang sesekali bersuara karena kaget. Selesai beres-beres, gegas aku menggendong Amanda. Nekad, aku membawa Amanda dan Raffa pergi ke gerai ATM terdekat."Lho, Mbak Wulan mau kemana bawa anak-anak?" tanya Mbak Rasti. Ia langsung berjalan menghampiriku."Mau ke ATM sebentar, Mbak, c
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,