Share

5. Sindiran

Penulis: TrianaR
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Part 5

Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.

Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya.

Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar.

Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.

Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.

[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya]

[Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.

[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?]

[Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya sedang nonton tv di rumah]

[Oh. Suamiku belum pulang, Mbak. Dia bilang lembur sampai jam 12 malam]

[Astaga! Mas Damar kok keterlaluan, punya anak bayi malah gak pulang. Pergi kemana dia?] Balas Mbak Lastri.

[Aku juga gak tahu, Mbak. Bisakah besok pagi datang ke rumah kami dan pura-pura sandiwara denganku? Aku ingin memancing reaksi Mas Damar, kemana dia pergi semalam?]

[Beres, Mbak, bisa diatur! Sebelum sarapan deh aku kesana. Aku ikut sedih dengar cerita, Mbak. Yang sabar ya, harus kuat. Mbak Wulan punya dua anak kecil yang masih sangat membutuhkan ibunya]

[Iya, Mbak. Terima kasih]

[Kalau butuh bantuan, WA saja. Kalau bisa insyaallah kami akan membantu]

Bersyukur, aku masih punya teman yang bisa diajak sharing. Terima kasih, Allah.

***

Aku terperanjat kaget mendengar suara ketukan pintu. Tanpa terasa aku tertidur karena kelelahan. Melihat di dinding, jam bundar yang bertengger manis di sana menunjukkan pukul setengah satu malam.

"Dek, buka pintunya!" teriak suara dari luar.

Kuperiksa lebih dulu siapa yang datang, rupanya benar Mas Damar baru pulang selarut ini. Pintu terbuka pelan, aku memasang wajah malas untuk menyambutnya.

"Dek, maaf membangunkanmu. Kamu sudah tidur ya?"

Aku diam saja, meraih tas kerja dan jas yang ia lepaskan.

"Aduuuh, aku capek banget!" pungkasnya lagi sembari menjatuhkan tubuhnya di sofa.

Ia memijat pelipisnya sendiri. "Gimana anak-anak, Dek? Mereka gak rewel kan?"

"Ya namanya anak-anak ya past0i begitu Mas, kadang rewel kadang enggak."

Mas Damar tersenyum. "Kamu yang sabar ya menghadapi anak-anak. Maaf kalau mas gak ada waktu buat kalian. Nanti hari minggu jalan-jalan ya, kamu mau 'kan?"

"Sudahlah, Mas, aku ngantuk mau tidur."

Kutinggalkan dia begitu saja. Dia menyusulku dan langsung merangkul dari belakang.

"Lepasin aku, Mas!" tukasku. Entah kenapa rasanya makin marah saat ia menyentuhku. Bukan tak mungkin dia sudah menyentuh wanita itu. Jijik rasanya membayangkan berbagi suami dengan wanita lain.

"Lho kenapa? Aku bau keringat ya?" ucapnya tanpa rasa bersalah.

Aku mengibaskan cekalan tangannya.

"Dek, kamu kenapa?"

Kembali aku menarik nafas dalam-dalam. Aku hampir lupa kalau saat ini harus berpura-pura tidak tahu lebih dulu.

"Maaf Mas, mungkin aku yang terlalu lelah. Capek seharian ngurus si kecil dan rumah gak ada yang bantuin. Aku mau tidur dulu."

Mas Damar mengangguk dan membiarkanku pergi, meski tatapan matanya penuh tanya.

***

Pagi hari mulai menyapa. Suasana pagi masih terasa segar kala aku membuka jendela. Sedari subuh aku terbangun, kulihat Mas Damar pun sudah mandi dan rapi. Ia menggendong bayi kami yang tadi menangis.

Kesempatan bagiku untuk mengecek WA-nya.

[Pagi, Mas. Udah bangun belum? Kalau mau sarapan buatanku, ayo datang kesini ya, Mas. Aku mau masakin spesial untukmu] chat dari Melinda.

Kurang ajar, tak cukup kah semalam bersama suamiku? Pagi ini dia justru meminta suamiku datang lagi?

Aku menggeleng pelan. Meletakkan ponsel kembali, padahal tadinya aku ingin bersantai sejenak. Tapi tidak. Aku takkan biarkan Melinda makin merebut perhatian suamiku pada anaknya. Kecuali nanti saat aku sudah benar-benar siap.

"Mas, aku titip Amanda ya. Mau masak dulu."

"Iya Dek, mau masak apa?"

"Emmhh, seadanya bahan di kulkas ya, aku belum sempat belanja lagi."

"Oke, Sayang."

Gegas menuju ke dapur dan memasak ayam yang sudah kuungkep kemarin, bakwan jagung serta tumis bayam.

"Wah, baunya harum, Dek."

"Iya, Mas." Aku menoleh mendapati Mas Damar mengambil air minun sendiri.

"Amanda dah tidur, Mas?"

"Iya udah tidur lagi."

"Aku boleh minta tolong lagi gak, Mas?"

"Apa sayang, katakan saja."

"Bangunin Raffa ya, Mas, sekalian mandiin dia."

"Siap, Sayang."

Saat hendak melangkah, tiba-tiba ponsel Mas Damar berdering. Ia berhenti sejenak, mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya seolah orang lain tak boleh memegangnya.

Dia memeriksa ponselnya lalu menatapku cukup lama.

"Telepon dari siapa? Kok gak diangkat?"

"Gak, bukan siapa-siapa. Nomor asing, pasti salah sambung," jawabnya lagi.

"Siapa tahu panggilan penting, Mas."

"Biar ajalah. Ini waktuku bersama keluarga. Tak ingin digannggu dulu.

Mas Damar tersenyum, setelah mengatakan hal itu ia berlalu ke kamar Raffa.

Menu sarapan sudah terhidang di atas meja bersamaan dengan Raffa yang kelar mandi. Dia sudah berganti baju.

Mereka duduk di meja makan, kusiapkan sarapannya.

"Asyiik, ayam goreng lagi ya, Bu?"

Aku tersenyum. Tak lama terdengar suara pintu diketuk.

"Mas, kamu ambil lauk sendiri ya, aku buka pintu."

"Iya, Dek."

Dengan langkah tergesa berjalan ke depan.

"Pagi, Mbak Wulan."

"Pagi, Mbak Rasti."

Mata Mbak Rasti langsung berkedip dan aku mengangguk. Kami saling berbagi kode untuk bersandiwara.

"Ayo masuk sini, Mbak Rasti. Kebetulan kami lagi sarapan."

Kami melangkah masuk. Tak dinyana Mbak Rasti membawa bungkusan plastik berisi apa aku tidak tahu.

"Eh maaf ya, Mas Damar aku malah ikut masuk nih. Ini buat kalian oleh-oleh Mas Niko kemarin habis dari kebon pepaya!" celetuknya. Dia menyerahkan bungkusan plastik itu berisi satu buah pepaya berukuran sedang.

Mas Damar tersenyum. "Mari sarapan, Mbak."

"Walah terima kasih, kok malah repot-repot gini? Memangnya Mas Niko gak kerja, Mbak Rasti?"

"Kerja kok, kami berangkat sepulang Mas Niko kerja, jam setengah lima."

"Lho, Mas Niko gak lembur to? Kok semalam Mas Damar lembur, pulangnya malam banget malah sampai jam setengah satu!" sindirku sembari melirik ke arah Mas Damar.

Mas Damar berhenti mengunyah seketika.

"Whaatt? Yang bener aja, Mas Damar, lembur apa yang sampai tengah malam begitu? Kasihan anak istri ditinggal sampai malam begitu. Lagian nih ya Mbak Wulan, kata suamiku kalaupun lembur, biasanya cuma sampai jam delapan malam doang kok!"

Reaksi Mas Damar makin berubah, tak enak, raut wajahnya mulai memerah.

"Jadi maksud Mbak Rasti semalam gak ada lembur?" pancingku lagi.

"Iya. Mas Niko pastikan hari kemarin gak ada yang lembur, kantor sepi selepas maghrib, dia yang bilang sendiri padaku. Dia juga lihat kok kalau mobil Mas Damar menuju ke arah jalan pulang. Kalau Mas Damar sampai pulang tengah malam berarti ..."

"Uhuukk ... uhuuukk ...!" Tetiba Mas Damar terbatuk-batuk.

"Pelan-pelan dong, Mas, makannya," ujarku sembari menuangkan air putih di gelas minumannya.

"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
pokoknya Mbak Wulan beresin segala sesuatu yang menjadi hak miliknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Perempuan Rahasia Suamiku   6. Salah kejutan

    Part 6"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam."Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus."Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda.""Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..." "Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar."Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong."Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya." Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah."Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tet

  • Perempuan Rahasia Suamiku   7. Kepergok Bersama

    Part 7"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?" Deg! Pertanyaan Wulan sungguh membuatku terkejut dan shock. Astaga! Bisa-bisanya Melinda salah ambil tas belanja. Sebisa mungkin aku beralasan agar Wulan tak curiga. Entah setelah kepulanganku dari kampung halaman sikap Wulan sedikit berbeda, dia sering kali menyindirku. Disengaja maupun kebetulan akupun tak tahu. Tapi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku tak ingin hubunganku dengan Melinda diketahui olehnya. Wulan pasti akan sangat kecewa padaku. Gegas aku masuk ke dalam mobil, tujuanku? Tentu rumah Melinda. Melinda kuboyong ke kota ini, jadi jika aku pulang dan ingin melihatnya aku tak perlu perjalanan jauh menghabiskan banyak waktu. Sebuah rumah minimalis, kusewakan untuk ia tempati bersama dengan anak perempuannya dari pernikahannya yang pertama. Hubunganku dengan Melinda? Dia adalah istri siriku. Ya, kami sudah menikah kemarin. Acara yang seharusnya hanya pe

  • Perempuan Rahasia Suamiku   8. Sandiwara

    Part 8"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa. "Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian. Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk k

  • Perempuan Rahasia Suamiku   9. Surat Perjanjian

    Part 9"Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ....""Asalkan apa? Kamu membuatku penasaran saja, Dek," ucapnya dengan raut penasaran."Tanda tangani surat perjanjian yang sudah kubuat," ucapku lagi."Perjanjian apa?" Keningnya berkerut mendengar ucapanku.Gegas aku mengambil surat perjanjian yang sudah kusiapkan sejak kemarin dengan materai 10000. Diam-diam aku menyiapkan beberapa rencana, jadi bila rencana pertama gagal maka ada rencana cadangan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, semampuku, sebisaku.Mas Damar menatapku penuh tanya. Matanya memandang sebuah map yang kusodorkan padanya."Silakan tanda tangan disini, Mas," ujarku. "Ini apa sayang?" tanyanya. "Bukankah tadi katanya kamu mau melakukan apapun asal dalam batas kesanggupanmu?" jawabku sambil tersenyum. Mas Damar terdiam. Ia membaca lembaran surat perjanjian itu. Sesekali ia tampak menautkan alisnya."Bagaimana Ma

  • Perempuan Rahasia Suamiku   10. Mati Kutu

    Part 10"Mana kutahu, kali aja jatuh. Jangan tuduh aku sembarangan, Mas!" pungkas Wulan. Ia tampak kesal. Ah, harusnya aku tak menuduhnya begitu. Bodoh! Akhir-akhir ini dia jadi gampang tersulut emosi.Aku menghela nafas dalam, menatap wajah Wulan yang tampak tidak bersalah."Ya, maafkan aku, Wulan, aku tak bermaksud menuduhmu. Tolong kalau pas kamu bersih-bersih dan nemu kartu ATM-nya, simpankan dulu ya.""Iya Mas.""Ya sudah aku berangkat dulu. Paling lama satu jam aku balik lagi. Dan kamu harus siap-siap ya, biar nanti langsung berangkat," ujarku.Aku merutuk pada diri sendiri. Sial! Bisa-bisanya kartu ATM hilang. Tapi aku tak mungkin terus menerus menuduh Wulan di sana. Memang akulah yang ceroboh.Wulan mengangguk lagi. Gegas akupun pergi karena aku yakin Melinda pasti tengah menunggu kabar dariku. Sengaja aku tak menghubunginya lebih dulu. Selama di rumah aku meminimalisir pegang HP, takut Wulan tambah curiga. Mobil yang kukemudikan membelah jalan raya. Suasana pagi weekend cuku

  • Perempuan Rahasia Suamiku   11. 30 Juta

    Part 11"Rambutmu masih basah juga bau shampo, kamu habis keramas lagi ya, Mas? Terus ini bekas bibir siapa di pipimu?"Deg deg deg, jantungku berpacu dengan cepat. Sial, Melinda membuatku jadi tersudut begini. Kacau kalau Wulan tahu semuanya. "Anu Dek, ini ... ini tadi rambutku kena kotoran jadi aku mandi lagi." Suara di tenggorokan terasa tersendat, aku bingung mesti jawab apa."Oh, kotoran yang nikmat ya, Mas?" sindirnya lagi seraya menatapku tajam. Aku memalingkan wajah, tak berani menatapnya. Nada dering di ponsel menghenyakkan kami, lebih tepatnya membantuku keluar dari ketegangan.Kutatap layar ponsel. Farah, deretan huruf yang tertera di sana."Vicall dari Farah, aku angkat dulu ya, Dek," ujarku. Lega rasanya, adikku telah menyelamatkanku meski sementara waktu.Aku mengangkat panggilan videonya, terlihat Farah dengan senyuman yang manis."Mas, ini ibu mau bicara," ucapnya. Tak lama gambar ibu sudah berada dibalik layar ponsel."Bu, lagi apa? Kabar ibu sehat?" tanyaku ramah.

  • Perempuan Rahasia Suamiku   12. Pesan dari pelakor

    Part 12Aku menatap punggung lelaki itu yang pergi menuju mobilnya. Secepat kilat kendaraan roda empat itu melesat meninggalkan rumah. Kuyakin kali ini Mas Damar pergi ke rumah wanita itu.Selagi Amanda masih tidur dan Raffa tengah bermain, aku membersihkan rumah. Kutemukan barang yang ia cari di bawah tempat tidur. Kartu ATM miliknya. Dasar ceroboh. Aku jadi penasaran berapa saldo yang ia punya di tabungan.Selama ini, selama aku jadi istrinya, aku tak pernah tahu berapa gaji dan uang suamiku. Ia hanya menjatahku 4 juta rupiah saja untuk kebutuhan kami selama sebulan. Aku memang tak pernah protes dengan pemberiannya, toh bila aku kekurangan uang, dia memberiku lagi tanpa banyak bicara.Kutatap bayi mungilku yang sesekali bersuara karena kaget. Selesai beres-beres, gegas aku menggendong Amanda. Nekad, aku membawa Amanda dan Raffa pergi ke gerai ATM terdekat."Lho, Mbak Wulan mau kemana bawa anak-anak?" tanya Mbak Rasti. Ia langsung berjalan menghampiriku."Mau ke ATM sebentar, Mbak, c

  • Perempuan Rahasia Suamiku   13. Kedatangan mertua

    Part 13[Mas, malam ini menginaplah di rumah. Aku dah siapkan ramuan khusus untukmu biar kamu kuat][Ramuan apa, Sayang?] Balas Mas Damar.[Ramuan biar kamu kuat dan bisa berkali-kali] balasan dari Melinda seraya disertai emoticon love dan cium.Cih! Rasanya ingin muntah melihat percakapan mereka berdua. Menjijikan. Tenang, Wulan, kamu harus tenang. Tak boleh gegabah dan marah-marah sebelum mengumpulkan bukti.[Beneran nih? Kamu gak capek, Mel?][Buat lelaki tercinta apa sih yang enggak] balas Melinda lagi. [Baiklah, nanti aku otw jam 8][Oke sayang, aku tunggu]Oh jadi kau mau pergi lagi ke rumahnya, Mas? Padahal kau bilang tidak akan ke sana. Baru digoda saja seperti itu langsung luluh. Kenapa ya si Melinda getol banget, apa ada maksud tertentu darinya? Apakah karena uang? Ya, pasti karena uang. Tak mungkin dia mendekati suamiku karena tak ada maunya. Mustahil.Kubuatkan teh manis untuk Mas Damar, tak lupa kucampur obat tidur agar dia tak bisa kemana-mana. Ada untungnya juga aku be

Bab terbaru

  • Perempuan Rahasia Suamiku   73. Satu nama tetap di hati (END)

    Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar

  • Perempuan Rahasia Suamiku   72. Perpisahan

    Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b

  • Perempuan Rahasia Suamiku   71. Derita Melinda

    Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta

  • Perempuan Rahasia Suamiku   70. Roda berputar

    Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide

  • Perempuan Rahasia Suamiku   69. Karma tak semanis kurma

    Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah

  • Perempuan Rahasia Suamiku   68. Bertemu Damar

    Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta

  • Perempuan Rahasia Suamiku   67. Pelakor kena karma

    "Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena

  • Perempuan Rahasia Suamiku   66. Hadiah istimewa

    “Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin

  • Perempuan Rahasia Suamiku   65. Malam Spesial

    Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,

DMCA.com Protection Status