Riak-riak yang sejak awal tertahan menyeruak di wajah Dana. “Maksud kamu? Kita cuma foto bareng dan nggak ada satu pun foto kita berdua.” Helaan napas panjang Dana memutus kalimatnya. “Kamu berpikir terlalu jauh.” Duh, Lintang seperti ingin mencubit dua lelaki di depannya yang mendadak bebal dan tidak peka. “Komentarnya itu lho, Bang, Mas. Aku tahu pasti kalian sudah baca komentar teman-teman di sana. Aku nggak nyaman banget.” “Sampai sekarang aku nggak ngerasa ada yang aneh, Lin. Ya kalau suami kamu mikir macem-macem, kasih tahu saja kalau kita bertiga cuma temenan dan yang ada di kolom komentar itu hanya becanda.” El berujar santai. “Udah, ah, kirain kamu mau ngomong apa gitu yang penting. Ternyata cuma masalah receh gini.” “Aku setuju sama El. Masalah sepele seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Lebih baik energi kita untuk mempersiapkan ekspedisi sebulan ke depan daripada meributkan foto.” Dana mengikuti jejak El. Melihat wajah El yang tidak merasa bersalah dan Dana yang s
Selarik senyum terbit di wajah Lintang. “Nggak ada, Kak. Hanya kluster tiga sepertinya cukup berat medannya. Dari data yang saya baca ada beberapa titik yang rawan longsor.” Otaknya mencoba mencari alasan paling rasional yang bisa diterima Kevin.“Justru karena itu kalian aku tempatkan di kluster tiga. Kalian sudah berpengalaman di berbagai ekspedisi. Apalagi El dan Dana. Mereka hampir tidak pernah absen dari program konservasi hutan dan selalu bisa melewati masa-masa sulit. Kalian tim terbaik paling tepat di kluster tiga yang lebih kompleks permasalahannya.” Lagi-lagi Lintang harus mengakui kebenaran ucapan Kevin. El dan Dana adalah dua orang dengan jam terbang tinggi karena sudah terlibat program WWF sejak masih semester awal kuliah. Bahkan Dana mengisi jeda antara SMU dan kuliah dengan mengikuti ekspedisi panjang di Leuser, Aceh dan hutan-hutan Sumatera lainnya. Konsentrasinya mendalami pencemaran air tidak menyurutkannya untuk mengikuti berbagai ekspedisi konservasi hutan. “Hutan
Satya memarkir mobil di halaman rumah berarsitektur Jawa klasik dengan halaman luas. Pohon tabebuya berbunga pink berada di sudut kiri dan kanan halaman seperti dua orang penerima tamu bersiap menyambut siapa pun yang berkunjung. Di depan pendopo, Satya menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Hatinya masih berusaha memastikan apakah yang dilakukannya hari ini sudah benar. “Ayo, masuk, Sat.” Ndoro Soeroso membuka pintu depan lebar-lebar. Senyum hangat menghias wajah sepuh itu. Satya mencium takzim punggung tangan Ndoro Soeroso. “Nggih, Paklik.” Satya menjawab sopan.“Mana istrimu? Kok, nggak diajak?” tanya Ndoro Soeroso setelah mereka duduk di ruang tamu. “Lagi keluar kota, Paklik. Lintang titip salam saja buat Paklik sekeluarga.” Satya menjawab sesopan mungkin meski hatinya bergemuruh. “Pandai sekali Paklik Soeroso berakting,” batinnya kesal. “Wah, pengantin baru kok, malah sering pisah kalian ini. Nanti Paklik nggak segera dapat ponakan.” Lel
Nyala api terlihat pada sepasang mata kelam Ndoro Soeroso. “Bocah gemblung! Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Bocah nggak tahu adab. Jadi seperti ini Mbakyu Sekar mendidik kamu, hah?” “Tidak usah bawa-bawa bunda, Paklik. Ini urusan kita berdua. Sekali lagi saya ingatkan jangan coba-coba mengganggu saya atau sisa hidup Paklik akan berakhir di penjara. Kalau Paklik memang butuh uang, tinggal bilang saja, tidak usah segan. Saya akan berikan selama tidak berlebihan dan uangnya ada.” Nyala api di mata Ndoro Soeroso semakin membesar. “Dengar, Le, aku tidak pernah punya pikiran mengganggu usahamu apalagi meminta uang darimu. Aku dan keluargaku masih punya harga diri. Kamu pikir setelah semua kesuksesan hidupmu, bisa bertingkah jumawa? Ingat, di atas langit masih ada langit. Di atas manusia ada Gusti Allah yang menguasai alam semesta. Sikapmu yang jumawa itu akan menghanguskanmu!”Ndoro Soeroso mengganjur napas, mencoba meredam amuk badai di hati. Setelah sekian waktu tidak pernah bert
Detik itu, Satya benar-benar menyesal mengizinkan Lintang pergi. Kalau tahu begini jadinya, ia akan berusaha lebih keras menahan Lintang. [Mas Satya baik-baik di rumah. Jangan kemalaman tidur biar nggak telat bangun subuh. Aku sudah pesen Mbok Darmi buat bangunin Mas Satya kalau sudah azan belum bangun juga.][Duuh, pesen kamu lebih panjang dari bunda.] Emot tertawa kembali masuk ke ponsel Satya. [Soalnya subuh itu kunci hari kita. Kalau subuh kita di awal waktu, insyaallah hari itu tidak akan ada yang sia-sia, rencana-rencana kita akan diberi kemudahan sama Allah.][Iya, Bu Ustazah.] Sepertinya semua perempuan memang ditakdirkan cerewet sehingga hal kecil seperti bangun pagi saja dia harus mengurus. Padahal sejak Lintang pergi, Satya sudah memasang alarm sehingga tidak perlu khawatir akan terlambat bangun. Dia bukan bocah. [Maaf, Mas. Aku cuma ngingetin.][Kamu di sana gimana? Baik-baik semua? Gimana makanan di sana? Cocok nggak sama perut kamu?] Salah satu hal yang mengkhawatir
Dua petugas polisi sudah berada di lokasi ketika Satya tiba di Omah Lowo. “Ada yang terluka?” tanya Satya pada Evan yang tergopoh menyambutnya. Raut muka Evan menguarkan rasa lelah. “Ketiganya hanya pingsan. Satu orang sudah sadar dan dua lagi sudah saya bawa ke puskesmas terdekat. Kebetulan ada layanan dua puluh empat jam.” Evan menyapu wajah dengan setangan. “Syukurlah.” Satya menghela napas lega. “Ada barang yang hilang?” “Saya belum ngecek semuanya. Yang diobrak-abrik hanya ruang kafe. Kalau melihat pintu tengah yang tertutup, sepertinya pelaku nggak masuk ke dalam,” jawab Evan. Keduanya berjalan cepat menuju ruang depan Omah Lowo yang difungsikan sebagai kafe. Satya mengganjur napas melihat kafe yang terlihat berantakan. Meja kursi berserakan dengan posisi terbalik. Pecahan gelas dan cangkir berhamburan di lantai dekat coffee bar sementara bunga-bunga plastik dan foto-foto di dinding juga bertebaran di lantai. Salah satu petugas tengah berbicara dengan satpam yang sudah siu
Satya mengganjur napas. Sungguh salat paling kacau yang pernah dijalaninya. Pikirannya centang-perenang tak menentu. Ia mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk ketika suara merdu Evan membaca Al Quran menerobos telinganya. Ayat demi ayat yang dibaca Evan seperti tali yang menarik tubuh Satya untuk mendekat. Lelaki itu berdiri lalu duduk di sebelah Evan. “Njenengan mau pulang sekarang?” Evan menghentikan bacaan Qurannya. Sekian detik keduanya saling berpandangan. Lelaki itu tidak lagi terlihat kusut. Air wudu membuat wajah Evan terlihat segar dan menawarkan kedamaian. Tatapannya menawarkan keteduhan. “Lanjutkan ngajimu.” Satya mengalihkan pandangan ke mimbar dari kayu jati berukir yang ada di dekat tempat imam. Evan mengangguk. Jenak berikutnya ayat-ayat surah Ali Imron meluncur dari bibir Evan, memenuhi ruangan berukuran seratus meter persegi itu. Setengah jam berlalu. Matahari mulai menampakkan diri di celah langit. Sinarnya menerobos masuk melalui jendela-jendala kaca di ba
Dahi Satya berlipat. “Jadi ini hanya gertakan awal? Masih ada sesuatu yang lebih besar dari ini?” Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi setelah ini. Satya sudah menerima transkrip pembicaraan Pak Handoko dan Paklik Soeroso, tetapi tidak banyak yang bisa diketahui dari sana. Keduanya memakai banyak sandi dan istilah yang takbisa dimengerti. Hamdan pun tidak bisa mengurai sandi-sandi itu. Keduanya terlalu lihai. “Kalau melihat pelaku yang mengambil flashdisk yang berisi nama calon kontraktor dan desain bangunan kantor pusat, mungkin nggak Paklik Soeroso mau menggagalkan pembangunan kantor pusat kita? Bisa jadi dia menguhubungi kontraktor yang kita tunjuk untuk membatalkan kerja sama. Setelah itu dia menghubungi calon kontraktor lainnya dan meminta mereka menolak kerja sama dengan kita.” Evan menyandarkan tubuh ke kursi. Matanya menatap ikan di akuarium sementara otaknya mencoba merangkai potongan-potongan puzzle yang berserakan se
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers