Satya dan Evan berlari di belakang Pak Pardi menuju dapur di mana Mbok Darmi tergeletak tak sadarkan diri. Sigap Satya mengecek kondisi Mbok Darmi. Ia menarik napas lega ketika tidak melihat luka serius. Denyut nadi perempuan itu juga masih di ambang batas normal meski agak melemah. "Sepertinya Mbok Darmi cuma pingsan biasa. Tapi kita bawa ke rumah sakit saja, Kang. Biar kalau ada luka dalam cepat tertangani." Satya memandang wajah cemas Pak Pardi lalu memintanya menyiapkan mobil. "Biar saya saja yang siapin dan bawa mobil, Pak." Evan memegang lengan Pak Pardi yang bersiap bangkit lalu berjalan cepat menuju halaman sementara Satya menyusul di belakangnya sembari membopong tubuh Mbok Darmi. "Kang, biar semua diurus Evan. Saya mau nunggu Hamdan di sini." Satya menepuk bahu Pak Pardi. “Semoga Mbok Darmi nggak ada luka dalam yang serius.”"Nggih, Mas." Pak Pardi mengangguk sopan lalu masuk ke dalam mobil. "Titip simbok, Van," ujar Satya sebelum Evan menginjak pedal gas. Tanpa menung
Hamdan membiarkan gumaman Satya dipeluk angin malam. “Tunggu hasil penyelidikan sidik jari saya,” putus Hamdan. Ia masih berusaha merangkai keping-keping puzzle yang berhasil dikumpulkannya dan masih belum lengkap. Ia tidak ingin gegabah memberi saran dan masukan. “Jangan-jangan kebakaran tempo hari juga bagian dari rencana mereka,” ujar Satya lesu. Bola matanya memandang ke arah luar. Lalu, ingatannya kembali melayang pada peristiwa belasan tahun silam saat kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi. Apakah semua saling terkait. Mendadak kepala Satya berdenyut nyeri ketika menyadari betapa pelik masalah yang dihadapinya. “Hasil pengamatan dan penyelidikan saya tidak ada unsur kesengajaan. Begitu pula hasil penyidikan polisi. Saya kira kasus itu murni kecelakaan. Anda teledor tidak memasang fire detection.” Nada suara Hamdan berubah dingin. Ia tidak suka ada yang menyangsikan hasil pekerjaannya. Ia bukan penyidik kemarin sore. “Well, bukan aku meragukan hasil penyelidikanmu da
Rena tersenyum lebar. “Justru itu. Sengaja aku nyebur ke laut biar ditolong Dana. Kan, romantis,” ujarnya kemudian. “Ya, kalau Mas Dana mau nolong. Kalau dibiarin gimana?” “Ya, nasib. Gitu saja, nggak usah dipikir dalem-dalem. Namanya juga lagi mengkhayal, bebas aja, kan, mau gimana?” Tawa keduanya pecah berderai. Mereka menyudahi duduk di belakang jendela ketika matahari telah sempurna keluar dari peraduannya. Keduanya bergegas bergabung dengan anggota tim lainnya untuk sarapan.Usai makan pagi, akhirnya Lintang berhasil menghubungi Satya. Belum sampai Sangihe saja komunikasi mereka seperti jembatan putus. Apalagi nanti kalau sudah tiba di pulau terluar Indonesia itu. Ia harus bisa menahan rindu.“Mas Satya sakit?” tanya Lintang cemas ketika telinganya menangkap suara Satya yang terdengar lesu.“He-em.” Satya menjawab malas-malasan. “Sudah minum obat?” Lintang semakin khawatir. Ia belum pernah melihat Satya sakit dan mendengar suaranya selesu ini. “Obatnya nggak ada di rumah.”
“Khusus buat Rena dan Lintang, kalian tinggal di rumah yang berbeda dengan Dana dan El meski satu kelompok. Rumah yang kalian tempati masih satu desa. Jadi tidak masalah.”Penjelasan Kevin melegakan hati Lintang. Ia sempat khawatir jika harus serumah dengan Dana. Rupanya Kevin sudah mengaturnya sehingga mereka akan tinggal terpisah. Bukan apa-apa, ia merasa tidak nyaman jika harus serumah dengan El dan Dana. Pesan Satya untuk tidak terlalu dekat dengan Dana masih terekam jelas dalam ingatan. “Saya harap semua bisa beradaptasi dengan tim, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Jangan ada yang melanggar larangan masyarakat di sana. Jangan cari masalah.” Nada suara Kevin penuh tekanan ketika mengucapkan dua kalimat terakhir. Melanggar adat dan kebiasaan masyarakat memang bisa berakibat fatal. “Bisa dimengerti penjelasan saya?” Lelaki berkulit cokelat terang itu kembali menyapukan pandangan. “Bisa!” Serempak semua anggota tim menjawab dengan lantang. “Oke. Silakan kembali ke kamar masing
Satya tersenyum lega melihat Mbok Darmi yang terlihat segar. Ia bersyukur tidak ada luka dalam dan pagi ini sudah diizinkan pulang. Tadi setelah menelepon Lintang, ia mendapat kabar dari Pak Pardi kalau istrinya dinyatakan sehat dan tidak ada gangguan kesehatan serius. Tanpa menunggu lebih lama, Satya memacu mobil ke rumah sakit untuk menjemput keduanya karena Evan sudah pulang semalam. “Semalam kenapa, Mbok, kok, bisa pingsan?” tanya Satya setelah berada di bangsal. Mbok Darmi terdiam sebentar, seolah berusaha mengumpulkan ingatan yang terserak. “Tadi malam saya baru selesai salat Isya. Waktu keluar dari musala, ada yang membekap mulut dan hidung saya dengan sapu tangan dari belakang. Setelah itu saya nggak ingat apa-apa lagi, Mas.” Satya tersirap. Berarti penjahat itu sudah berada di dalam rumah tanpa sepengetahuan Mbok Darmi. “A-apa ada barang yang hilang, Mas?” tanya Mbok Darmi khawatir. “Nggak ada, Mbok. Cuma perpustakaan saja diobrak-abrik.” “Barang-barang ibu?” “Kamar bu
Sejejenak Evan terdiam sebelum akhirnya membuka mulut. “Yang disebut dalam rekaman?” “Iya. Kamu sudah dengar, kan? Paklik Soeroso sempat bertanya kalau rencananya gagal dan disanggah Pak Handoko?” Evan mengangguk. “Sampai sekarang saya tidak bisa menebak rencana mereka, Mas.” Lelaki bertubuh tegap itu menjawab pasrah. Sel-sel kelabu di kepala Evan seolah mengejang dan tidak mampu berpikir jernih lagi. Tekanan bertubi-tubi membuatnya oleng dan nyaris jatuh. Di satu sisi ia harus memikirkan perusahaan, di sisi lain, ia juga harus membantu Satya memecahkan teka-teki yang semakin rumit. Alih-alih memberi titik terang, rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Ndoro Soeroso justru menambah benang ruwet di kepala Evan. “Oh iya, Pak Handoko juga pernah salah mengirim pesanan Hendrijk. Kamu tidak pernah bilang padaku?” “Oh itu, sudah lama kejadiannya, Mas. Waktu itu masih ada Bu Sekar.” “Kenapa Bunda tidak memecatnya?” “Pak Handoko berjanji akan memperbaiki kinerja. Kebetulan itu pertama
Raut muka Bayu sama sekali tidak berubah meski ucapan Satya terdengar intimidatif. “Sebenarnya kejadiannya sudah cukup lama, Mas. Sekitar enam bulan lalu kalau tidak salah. Pesanan Tuan Rheindt dari Munchen dan Tuan Hendrijk datang hampir bersamaan dan Pak Handoko salah menulis nama pada nota pesanan. Akibatnya pesanan keduanya tertukar.” Satya menggeleng. “How come?” serunya heran. “Mungkin Pak Handoko sedang banyak pekerjaan dan keduanya meminta untuk dilayani secepat mungkin, atau mungkin ada sebab lain saya kurang tahu. Tapi namanya manusia, kadang ada salah juga. Tidak ada pekerjaan yang sempurna.” “Lalu, kenapa barang Hendrijk tidak diganti?” “Pak Handoko tidak mengatakan pada kami untuk mengganti. Saya pikir masalahnya selesai karena Tuan Rheindt bersedia menerima batik modern yang terkirim. Kebetulan batik itu cukup diminati. Beliau memesan kembali ke customer service dan sampai sekarang masih repeat order. Musim panas ini beliau memesan cukup banyak batik modern dan klasi
Raut wajah Satya berkerut-kerut. Apa yang didapatinya dari akun Facebook Lintang membuat hatinya seperti diserang topan badai. Tiba-tiba saja, ia menyesal telah mengizinkan Lintang pergi ke Sangihe dengan Dana dan El. Bagaimana kalau kisah keduanya belum usai? Bagaimana kalau hati Lintang goyah setelah sebulan di sana dan selalu bersama ke mana pun pergi. Semua pikiran buruk seketika menjajah kepala Satya, membuatnya kesulitan memejamkan mata. Bara di dalam hatinya justru mendorongnya untuk terus membaca komentar yang terus bertambah. “Duh, Mas Dana, makin lama makin mirip Cha Eun-woo. Sama aku aja, deh. Katanya Mbak Lintang sudah ada yang punya, lho.” “Nah, ini baru bener,” sungut Satya. Ingin sekali ia membalas komentar-komentar ngawur teman-teman Lintang. Satya menggenggam erat ponsel di tangan seolah ingin meremasnya hingga lumat ketika membaca komentar El. “Woi, Gaesss, bantuin Cha Eun-woo kw 10 ini buat move on, dong. Kasihan nih, bidadarinya sudah disamber orang. Cepetan gi
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers