Sudah seminggu setelah terakhir kali aku bertemu dengan Ara, rencananya sepulang kerja aku ingin kembali membuka buku itu sesuai perjanjianku dengannya. Aku sudah tidak sabar untuk dapat bertemu kembali dengannya, bahkan aku sering memimpikannya dalam tidurku belakangan ini. Terakhir kali, aku memimpikan berjalan di taman yang luas bersama Ara. Dengan pemandangan yang sangat indah, serta cuaca saat itu yang sangat mendukung.
Hari ini aku memiliki jadwal yang sangat padat, jadi tidak ada waktu bagiku untuk sarapan tadi pagi. Saat melihat jam ternyata sudah menunjukkan pukul 13.45, pantas saja perutku sudah keroncongan sejak tadi. Meeting pagi dengan para penulis, memakan waktu yang cukup lama dari sebelum-sebelumnya. Padahal setelahnya aku juga sudah berusaha, untuk menganalisa setiap dokumen yang ada di meja kerjaku dengan lebih cepat. Namun tetap saja, waktu berjalan dengan sangat cepat.Untunglah Bima yang pengertian, sudah memesankan tempat untuk kami makan siang diluar. Bima cukup cekatan dalam bekerja, inisiatifnya kadang membuatku takjub kepadanya. Aku benar-benar beruntung, bisa menjadikannya salah satu karyawan di perusahaanku. Jika tidak ada Bima, mungkin aku sudah keteteran untuk mengatur semua hal.Baru saja aku mau bersiap untuk keluar, tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk kedalam ruanganku.Aku melihat Bima yang menahan lengannya dari belakang, untuk menahan orang itu agar tidak masuk namun gagal. Orang itu tidak lain adalah pamanku, Brandon Adi Padantya. Dia masih tetap berusaha, untuk mendapatkan hak waris dari nenek. Padahal aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk berdebat dengannya, bayangan makanan yang sudah membuatku lapar, langsung lenyap karena kedatangan pamanku ini."Deffa, ayo segera jual rumah Ibu. Aku sebagai anaknya punya hak untuk rumah itu.""Sudahlah Paman, aku sudah sangat lelah dan lapar saat ini. Aku sudah tidak ada tenaga untuk meladeni omongan Paman yang tidak tahu malu.""Kamu tidak punya sopan santun dengan orang tua, begitulah kalau anak tidak dapat didikan dari orang tuanya."Padahal aku sudah berusaha menahan emosiku, tapi orang tua ini bukannya sadar tapi malah semakin menjadi. Hampir saja aku kehilangan kendali, karena aku sangat tidak terima orang tuaku di sangkut pautkan. Bima langsung sigap memahami, dia menahan dan menenangkanku untuk tidak bertindak gegabah. Jika sampai aku lepas kendali, pasti akan dimanfaatkan oleh Pamanku ini. Karena aku yakin memang itulah rencananya, hingga dia menerobos masuk ke ruanganku seperti ini."Apa? Kamu mau memukul Pamanmu sendiri? Pukul sini pukul! Memang anak tidak punya pendidikan, makanya sangat serakah menguasai warisan sendiri."Mendengar kembali kata-katanya, kekalutanku semakin memuncak. Bima semakin kuat menahanku yang terus berontak, hingga aku kembali tenang karena melihat Bima yang menggelengkan kepalanya berkali-kali. Beberapa detik kemudian aku menganggukkan kepala kepadanya, tanda untuk dia bisa melepaskanku."Maaf Paman, setahu saya Paman juga mendapatkan bagian warisan dari nenek. Jadi Paman tidak bisa mengatakan kalau aku menguasai warisan sendirian. Dan asal paman tahu, yang menduduki selama ini adalah nenek. Paman berani menghina Nenek, tapi masih mengharapkan warisan yang lebih besar?""Aku hanya mendapatkan bagian sedikit, sedangkan kamu mendapatkan rumah utama. Apa itu adil? Padahal aku yang anak kandungnya bukan kamu!"Entah pemikiran apa yang ada di kepalanya, hingga dia bisa terlihat serendah itu dimataku. Dia yang tidak menganggap nenek selama bertahun-tahun, bahkan ketika aku memberi kabar kalau nenek sakitpun dia tidak menanggapinya sama sekali. Sekarang dia bertanya tentang pantas atau tidaknya aku mendapat rumah nenek, urat malunya benar-benar sudah putus."Baiklah begini saja, berapa yang Paman minta?""Maksud kamu apa?""Paman ingin uang bukan? Aku tidak akan menjual rumah itu sampai kapanpun, jadi berapa yang Paman inginkan? Jangan pura-pura lagi, aku sudah cukup lelah, jadi paman tidak perlu berputar-putar dan langsung saja ke intinya.""Ternyata kamu masih punya sopan santun, kenapa tidak dari kemarin saja kamu seperti ini. Tidak baik membuat orang tua kelelahan sepertiku."Damn. Aku sudah tidak menemukan lagi, kata-kata yang tepat untuk mendiskripsikan orang ini. Jika membunuh orang tidak berdosa, pasti aku sudah membunuhnya saat ini juga. Bagaimana ada yang bisa tahan menghadapi orang sepertinya, bahkan nenek dulu sudah tidak mau ambil pusing dengan anaknya yang satu ini. Aku sungguh kasihan dengan nenek, jika melihat dulu beliau yang menangis saat teringat anak yang tidak tahu malu ini."Sudahlah Paman, jangan berbelit-belit. Jika tidak mau saya akan pergi sekarang, karena aku sudah terlambat untuk makan siang.""Tenang-tenang, anak muda selalu tidak sabaran. Terlalu ambisius juga tidak baik Deffa.""Ya, ya. Terserah Paman mau berkata apa. Jadi berapa?""Aku mau dua ratus juta!"Bersambung..."Hah, dua ratus juta? Sepertinya Paman mengajak bercanda.""Itu nominal sedikit dibanding harga rumah ibu, Deffa. Memang seharusnya aku layak untuk mendapatkan nominal itu.""Aku sudah bilang, kalau aku tidak akan menjual rumah itu.""Itu terserah kamu akan menjualnya atau tidak, tapi aku tidak akan berhenti untuk memintamu menjualnya, jika kamu kesulitan memberiku sejumlah itu.""Paman benar-benar tidak tahu malu. Seratus juta kalau Paman mau, jika tidak maka aku tidak akan memberikan sama sekali.""Pak!"Bima menginterupsi ucapanku, sepertinya dia keberatan mendengar aku akan membayarnya sebesar itu. Tapi aku langsung mengangguk-anggukkan kepala, tanda tidak ada masalah bagiku. Aku sudah sangat lelah untuk selalu berdebat dengan Paman, yang selalu meributkan untuk menjual rumah peninggalan nenek. Sebenarnya aku bisa saja melaporkan Paman, karena sesuai hukum memang rumah itu sudah menjadi hak ku. Tapi aku tidak tega jika harus melaporkan keluarga sendiri, walau bagaimanapun Paman te
Aku sedikit tidak menyangka kalau Bima akan menanyakan hal itu, padahal obrolan kami sedari tadi tidak mengarah kesana. Saat ini aku sangat ingin bercerita kepadanya, tapi aku sudah berjanji kepada Ara untuk tidak menceritakan tentangnya pada siapapun sebelum mendapat izin darinya. Walaupun aku tidak terlalu yakin dia akan mengizinkan, tapi aku akan berusaha meyakinkan Ara agar mempercayai Bima juga nantinya."Rencananya aku akan bertemu dengannya malam ini. Tapi aku belum terlalu yakin dengan semuanya, jadi aku belum bisa bercerita lebih kepadamu."Aku berharap dia tidak terlalu kecewa, karena aku tidak menceritakan semua padanya. Aku tidak ingin ada keretakan dalam pertemanan kami hanya karena hal ini, tapi janji tetaplah janji dan aku tidak mungkin mengingkarinya."Baiklah, tidak masalah Daf. Aku sudah cukup senang mendengar pada akhir ada wanita yang membuatmu tertarik. Aku sudah sangat khawatir, karena kamu selalu hanya tertarik kepadaku."Awalnya aku cukup lega mendengar ucapann
Cahaya itu masih sangat terang untukku, walaupun aku sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Sebenarnya aku sangat khawatir, kalau cahaya terang tadi bisa terlihat oleh orang dari luar. Tapi selama tidak ada yang mengetok pintu, aku anggap kalau tidak ada orang lain yang melihat cahaya terang itu."Ara. Maaf jika aku menarikmu kesini dengan tiba-tiba.""Tidak masalah Deffa, kita sudah punya perjanjian bukan. Aku juga sudah menunggu, kapan aku akan tertarik ke dimensi ini lagi.""Aku senang kalau kamu juga menantikannya, aku sangat khawatir sejak tadi untuk menggosok kotak itu. Aku takut kamu marah, karena membukanya disaat kamu belum siap.""Aku selalu siap jika aku sudah berjanji. Ngomong-ngomong kenapa ruangannya menjadi lebih luas dari sebelumnya, ini juga terlihat sangat berbeda.""Iya benar, sebelumnya kamu hanya di kamar Nenek, jadi aku pikir kamu akan senang jika aku memperlihatkanmu seisi rumah.""Ya, aku sangat senang Deffa. Aku tidak menyangka kalau luar ruangan akan seperti in
Dia terlihat sangat polos ketika memainkan benda itu, sambil merabanya dengan sangat takjub. Apa tidak ada ayam di tempat asalnya, hingga dia begitu heran dengan kemoceng. Memang Nenek masih memakai barang-barang jaman dulu, walaupun kini sudah ada kemoceng microfiber atau bisa memakai penyedot debu. Tapi Nenek selalu bilang kalau rumah tidak lengkap kalau tidak ada kemoceng itu, akupun menurutinya walaupun benda itu kini hanya sebagai pajangan dan tidak pernah difungsikan lagi. "Itu namanya kemoceng, itu terbuat dari bulu ayam untuk membersihkan debu di dalam rumah.""Ke-mo-ceng? A-yam? Apa itu Deffa?"Aku bingung melihat Ara tampak heran dan juga bingung, mendengar nama-nama itu. Padahal aku mengatakan ayam begitu saja mengira di tempat asal Ara ada, namun nyatanya Ara malah seperti baru melihat bulu itu."Di tempat asalmu tidak adakah hewan berbulu seperti itu?"Aku tidak menyebutkan kata ayam kembali, siapa tahu penyebutan nama hewan itu berbeda. Tapi setelah aku tanyakan seperti
"Apa yang pertama ingin kamu ketahui?""Emb...Tapi apa aku boleh menanyakan banyak hal setelahnya?""Tentu boleh Ara, kamu bisa bertanya apapun kepadaku. Aku sendiripun masih memiliki banyak hal, yang juga ingin aku tanyakan padamu. Anggap saja kita saling belajar, tentang kehidupan lain selain kehidupan yang biasa kita jalani.""Baiklah, apa semua manusia disini berpakaian lucu seperti itu? "Dia bertanya sambil menunjuk kearahku, padahal jika aku melihat pakaianku tampak lebih normal daripada pakaiannya. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana mereka bisa memakai pakaian seperti itu ketika sekolah atau bekerja. Mungkin karena kebiasaan, sehingga menganggap sesuatu yang baru menjadi asing dan aneh. Tapi melihat dari sudut manapun, sepertinya pakaian di bumi lebih nyaman untuk dipakai."Lucu? Disini pakaian seperti ini disebut casual, karena aku hanya sedang santai dirumah. Kami juga memiliki beragam model, dan disesuaikan dengan keadaan dan tempat. Bukannya lebih lucu pakaian yang kam
Aku melihat kearah yang di tunjuk oleh Ara, ternyata dia tertarik dengan hiasan dinding berbentuk lukisan yang memperlihatkan pemandangan gunung. Aku sebenarnya kurang yakin kalau benar itu yang dia maksud, karena kalau gunung bukannya itu pasti ada di dimensinya. Tapi setelah melihat dia mendekati lukisan itu dan merabanya, aku menjadi yakin kalau itu benar yang dia maksud."Itu hanya sebuah lukisan, apa kamu baru melihatnya?"Aku menatapnya dengan ekspresi bingung, sedangkan dia terlihat jengah dengan jawabanku barusan."Aku tahu kalau ini lukisan, Deffa. Yang aku tanyakan ini lukisan apa? Aku baru pertama kali melihatnya, ini sangat indah."'Berarti benar dugaanku diawal, kalau yang dia maksud gambar gunung itu. Jadi maksudnya di tempat asalnya sama sekali tidak ada gunung? Didunia yang seluas ini apa mungkin tidak ada gunung satupun? Tapi kalau benar, lalu seperti apa dunia yang dia tinggali selama ini?'"Jadi namanya gunung? Ini benar-benar indah, memang di tempat asalku tidak ad
"Aku tidak tahu, Ara. Kita juga sama-sama tidak tahu, kalau lorong itu akan hilang jika kotak ini rusak dan terkena air. Aku akan coba mengupayakan sebisaku untuk memperbaikinya, jadi kamu jangan terlalu khawatir."Ara terlihat seperti akan menangis, aku tahu seberapa takut dan khawatirnya dia. Tapi aku sendiripun tidak tahu harus berbuat apa, sedangkan semua sudah aku coba. Bahkan aku mengeringkan dan memperbaiki setiap sudut kotak itu, tapi tetap saja tidak dapat kembali seperti semula. Aku ingin sekali memeluk Ara untuk menenangkannya, tapi aku khawatir dia akan menjadi tidak nyaman nantinya. Aku tidak tahu bagaimana cara menghibur di tempat asalnya, dan itu membuatku ragu setiap akan melakukan sesuatu untuknya."Bagaimana ini Deffa? Aku tidak akan bisa kembali lagi, bagaimana dengan keluargaku? Bagaimana jika kakak mencariku, lalu bagaimana jika aku tidak bisa kembali selamanya?""Tenang, Ara. Jangan terlalu khawatir, nanti kita cari cara bersama agar kamu bisa kembali. Kakakmu pa
"Tenang Ara, ini hanya gambar, kita harus memesannya terlebih dahulu. Makanan apa yang biasanya kamu makan?"Perlahan aku mengambil kembali ponsel yang tadi telah direbutnya, untung saja dia tidak salah menekan tombol apapun. Jika dia menekan untuk memesan makanan dalam porsi besar, itu akan menjadi masalah baru lagi. Bukan aku tidak mau membayarnya, tapi jika nantinya tidak sesuai dengan selera dia, siapa yang akan memakannya."Kami dulu pernah makan roti kering, kadang juga jelly pengenyang. Tapi setelah teknologi kami lebih unggul, kami selalu mengkonsumsi kapsul untuk kekebalan tubuh dan mengasah bakat. Rasanya juga sangat enak dan membuat kenyang.""Jadi kalian hanya makan kapsul, m-maksudku minum kapsul bukan makan? Apa itu saja benar-benar bisa membuat kenyang?"Aku bertanya dengan nada tidak percaya, bagaimana mungkin kita hanya minum pil seharian. Padahal kadang disini makan tiga kali sehari saja, masih harus mencari camilan untuk tambahan."Ya, tapi kapsul itu sudah mencakup
"Bukankah tidak masalah, kitakan suami istri, Ara," ucapku dengan nada menggoda."Tetap saja... Aku malu, Deffa. Kamu tidak mengatakan apa-apa sebelumnya."Jawaban Ara malah membuatku semakin semangat untuk menggodanya, wajah merahnya terlihat sangat menggemaskan saat ini."Jadi kalau aku bilang sebelumnya, kamu akan mengizinkannya?" tanyaku semakin menggoda Ara."Emb... Entahlah! Kamu benar-benar jahat, Deffa!""Kenapa aku yang jahat? Aku hanya bertanya, Ara," jawabku membela diri.Namun ucapanku tidak dihiraukan olehnya, dan aku hanya bisa membujuknya untuk tidak marah kepadaku. Ara langsung keluar dari ruang kesehatan, tanpa memperdulikan panggilanku.Entah Ara benar-benar marah, atau dia hanya menyembunyikan rasa malunya dariku. Tapi aku tidak ingin terlalu lama seperti ini, padahal aku sudah sangat bahagia bisa bersama dengannya terus seperti ini.Saat aku menyusulnya keluar dari ruang istirahat, ternyata Ara kembali membaca buku catatan selanjutnya. Aku mencoba mendekatinya, dan
Aku mengikuti arah yang Ara tunjuk, dan melihat tulisan yang ada di buku itu. kemudian membacanya dengan suara yang cukup lantang, sesuai apa yang diminta olehnya."Semua penerus dari masing-masing dimensi, akan melanjutkan penelitian untuk menciptakan dunia yang indah bagi semua dimensi.""Bukankah penelitian itu yang dimaksud dalam buku ramalan tadi, Deffa?""Sepertinya benar, Ara. Dan hasil penelitian itu, hanya bisa membuat bumi yang memiliki tanaman dan hewan semakin berkembang dengan api dan teknologi. Sedangkan di dimensi Eunoia sudah memiliki satu jenis 'Non Human', mungkin itu juga hasil penelitian itu.""Jadi hanya pemilik api, yang belum bisa mendapatkan manfaat dari penelitian. Dan menjadikan mereka marah dan menghentikan penelitian itu?""Entahlah, Ara. Kita tidak bisa menilai hanya seperti itu, aku merasa tidak mungkin hanya itu akar dari permasalah ini. Jika memang hanya itu, tidak mungkin semua terasa rumit seperti ini."Kami sama-sama diam dengan pikiran masing-masing
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Ara, entah karena aku terlalu fokus dengan buku ini atau masih memikirkan tulisan terakhir itu. Aku menatap Ara berusaha tersenyum untuk menyembunyikan perasaanku saat ini, agar terlihat seperti biasa saja."Aku baik-baik saja, Ara. Lebih baik kita lanjutkan membacanya. Bagaimana kalau kita lanjut dengan buku rangkuman yang kamu temukan?""Sebenarnya aku menemukan rangkuman yang lain, Deffa. Setiap keturunan dari dimensi Eunoia, sepertinya memiliki buku catatan itu.""Mengapa hanya dimensi Eunoia yang memilikinya? Apakah orang tuaku tidak meninggalkan catatan apapun?""Entahlah, aku hanya menemukan buku-buku ini, Deffa."Aku melihat semua buku yang ditemukan oleh Ara, sambil memperhatikan dengan seksama. Mereka memiliki bentuk fisik yang hampir sama, yang membedakan hanyalah angka yang sepertinya nomor urut yang tertulis bersebelahan dengan tulisan 'Summary' dan bahan kertas yang digunakannya.Ternyata apa yang dikatakan oleh Ara benar, mungkin b
Ara menunjuk sebuah lukisan yang terpajang di salah satu dinding, dalam lukisan itu tergambar lambang yang ada di ujung kunci dan pintu masuk ruangan. Namun yang membedakan, lambang itu terlihat lebih jelas dengan tiga dimensi yang menjadi lambang utamanya."Jadi arti lambang itu adalah penggabungan tiga dimensi?""Sepertinya begitu, Deffa. Lebih baik kita mencari tempat terlebih dahulu, untuk membaca buku-buku yang sudah kita temukan tadi.""Iya, Ara. Lebih baik kita mengetahui semua hal terlebih dahulu, daripada kita hanya menebak-nebak semuanya."Aku dan Ara berjalan menuju salah satu meja yang cukup luas, kemudian meletakkan semua buku yang kami bawa di atasnya. Ternyata buku yang kami kumpulkan lumayan banyak, karena masing-masing dari kami menemukan cukup banyak buku yang bersangkutan."Kita akan membaca dari buku yang mana?""Bagaimana menurutmu, Ara? Apa lebih baik kita membaca hal baik atau hal buruk terlebih dahulu?""Emb... Lebih baik kita ketahui hal buruknya terlebih dahu
Aku mendekat ke arah Ara, yang saat ini berada di depan meja di ujung ruangan ini. Tatapannya mengarah ke dalam laci meja yang sudah dibukanya, sambil sesekali mengarahkan pandangannya ke arahku untuk segera datang."Apa yang kamu temukan, Ara?" tanyaku sambil melihat ke dalam laci meja itu."Sepertinya ini sebuah buku catatan, Deffa. Terlihat disana tertulis 'Summary' di sudut sampulnya, bukankah itu tandanya itu sebuah rangkuman?""Sepertinya dugaanmu benar, Ara. Bisa jadi kita bisa tahu apa yang terjadi kepada orang tua kita, dan kita tahu permasalahan apa yang akan kita hadapi."Dugaanku untuk mencari petunjuk di ruangan ini sepertinya tepat, karena semua petunjuk hampir kami temukan semuanya. Dalam hati aku sungguh berharap jika hal yang akan kami hadapi bukanlah hal yang berbahaya, tapi mengingat kematian kedua orang tuaku yang begitu tiba-tiba membuatku ragu akan hal itu."Sebenarnya aku juga menemukan sesuatu, Ara. Tapi aku tidak yakin kalau ini hal bagus, aku menjadi memiliki
"Sepertinya benar, Ara. Tapi entah kenapa aku merasa ruangan ini berbeda, daripada ruangan yang aku ingat saat kecil.""Aku juga merasa seperti itu, Deffa. Apa kita salah ruangan?""Aku yakin kalau ini ruangannya, Ara. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sini."Aku melihat sekitar, ruangan ini hanya terlihat seperti perpustakaan yang ada di bumi. Di dalam sini terasa hangat, padahal tidak ada yang pernah masuk ke dalam ruangan ini setelah kepergian orang tua kami.Aku berusaha mencari sesuatu yang tampak aneh, namun cukup lama aku melihat hingga sudut-sudut ruangan tetap tidak menemukan keanehan itu. Sedangkan Ara malah tertarik dengan sebuah buku, dan dia kini sedang membacanya dengan wajah yang tampak serius."Buku apa yang kamu baca, Ara?""Deffa, lihatlah! Sepertinya buku ini menceritakan tentang kita dan keluarga kita."Aku sedikit ragu dengan apa yang dikatakan oleh Ara, karena tidak mungkin sebuah buku dibuat untuk menceritakan keluarga kami. Tapi melihat sampul buku saat Ara
Ara langsung berlari ke arahku, untuk melihat benda yang aku maksudkan. Dan saat dia melihat benda itu, sepertinya memang dia mengingat benda ini. Walaupun benda ini lebih berguna untuk Ara, dibandingkan aku yang menggunakannya."Deffa, ini kan jam tangan dimensi. Apa benar ini bisa menjadi petunjuk? Padahal aku selalu memakainya saat di dimensi Eunoia, karena kakak terus menyuruhku memakainya.""Jadi kamu tidak ingat fungsi dari jam ini, Ara?""Aku hanya ingat kalau itu jam tangan dimensi, emb... Sepertinya aku masih tidak ingat kalau tentang fungsinya."Aku cukup bingung dengan jawaban yang dia berikan, padahal kini aku paham dengan semua keganjilan tentang Ara karena jam ini. Benda itu tidak jauh berbeda, dengan jam tangan digital yang ada di bumi. Namun fungsi dari jam ini sangat luar biasa, karena dapat menyesuaikan waktu dengan tempat yang sudah diaturkan ke dalamnya.Sepertinya jam ini sudah di atur dengan waktu Bumi, yang membuatku akhirnya bisa menerima dengan perbedaan usia
"Deffa! Bangunlah!"Suara Ara seperti menarikku dari kegelapan, dan akhirnya aku terbangun dan mendapati Ara sedang ada di hadapanku dengan tatapan khawatirnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi tadi, kenyataan yang membuatku tidak bisa berpikir secara rasional lagi."Kamu tidak apa-apa, Ara?""Aku baik-baik saja sekarang, Deffa. Tapi tadi benar-benar terasa sangat menyakitkan, tapi entah kenapa sekarang perasaan itu sudah tidak bersisa.""Sekarang kamu juga bisa mengingat semuanya?"Ara mengangguk menjawab pertanyaanku, sambil tersenyum simpul dan wajahnya sedikit memerah. Bagaimana tidak jika ternyata kami sudah menikah saat kecil, itu kesepakatan dari kedua orang tua kami. Walaupun pada akhirnya, orang tua kami jugalah yang memisahkan kami dan membuat kami kehilangan semua ingatan itu."Emb... Jadi sebenarnya kita suami istri... emb... maksudku..." Aku mengatakannya dengan tergagap, namun langsung dipotong oleh Ara."Iya, Deffa. Kita suami istri, tapi sepertinya kita bisa membahas
"Deffa! Maaf aku malah ketiduran barusan!""Tidak apa-apa, Ara. Kamu pasti juga kelelahan, karena memasak juga. Kemarilah! Kita buka kotak ini sekarang."Ara turun dari tempat tidur, dan duduk di bawah tepat di sampingku menghadap kotak. Aku benar-benar penasaran, ragu dan takut disaat yang bersamaan. Jantungku terasa berdetak lebih cepat, dan tanganku sudah berkeringat dingin karena cemas. Padahal saat ini aku baru memegang kotak itu, belum mencoba untuk membukanya.Tiba-tiba perasaanku merasa lebih tenang, saat tangan Ara menggenggam tanganku. Entah dia bisa membaca pikiranku saat ini, atau dia melihat ekspresi cemasku yang menurutku akan terlihat dengan jelas. Tapi perlakuan Ara ini benar-benar memberiku kekuatan untuk lebih berani, entah apa yang aku hadapi setelah ini, selama itu bersama Ara sepertinya aku akan sanggup menghadapinya.Mungkin terdengar sangat berlebihan, tapi itu yang aku rasakan. Mungkin aku bisa menjadi lebih berani, karena berpikir kalau aku tidak sendiri. Dan