PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR
Penulis : David KhanzBagian (49)Episode : Mood Swing Seorang ArumiUsai memenuhi kebutuhan khusus suaminya, Arumi segera membuang lembaran tisu bekas yang telah digunakan untuk membersihkan bagian terpenting dari badan Hamizan. Tampak telaten sekali dan dilakukan penuh keikhlasan.“Kamu gak merasa jijik, Dik?” tanya Hamizan seraya mengenakan kembali celana pendeknya.Arumi menoleh dan tersenyum manis.“Kenapa harus jijik? Aku lakukan ini demi Mas Izan dan pada suamiku sendiri,” jawab perempuan tersebut, masih sibuk membersihkan jemari tangan dan tepian bibir sendiri. “Aku pernah bilang, ‘kan? Bahkan hal terjorok sekalipun, aku rela menunaikannya untuk Mas Izan. Karena apa? Disamping atas dasar cinta, Insyā Allāh … ini adalah salah satu bagian dari bentuk pengabdian seorang istri terhadap suami dan bernilai ibadah.”Menurut Arumi, dalam urusan pemenuhan kebutuhan biologis seorang suamiPEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (50)Episode : Solusi Yang Memberatkan HatiTerkait pembelian sepeda motor oleh Arumi tersebut, Hamizan bisa memaklumi bahwa niat istri itu sebenarnya baik. Hanya saja yang menjadi masalah adalah tanpa konfirmasi sama sekali. Bahkan sebelum itu, sempat dibicarakan bersama dan pihak suami merasa keberaran. Apalagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yakni meminta izin keluar rumah tanpa kejelasan.“Memang benar, uang yang diberikan oleh Abah itu milik Adik sepenuhnya. Tapi … aturan di dalam sebuah rumah tangga itu, segala sesuatunya gak boleh dijalankan secara sepihak. Tetap harus melalui jalan musyawarah,” ucap Hamizan pada obrolan menjelang tidur. “Aku sangat menghargai usaha Adik untuk membantu suami dan berterima kasih atasnya.”Namun mempergunakan suatu kewenangan (izin) yang telah diberikan dari suami dengan cara keliru, tetaplah salah.“Tapi aku ‘kan, bermaksud
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (51)Episode : Metode Kehamilan Yang KeliruHamizan memasuki ruangan kerjanya dengan langkah gontai. Kemudian menghempaskan diri ke atas kursi dengan raut wajah sedikit muram. Hal tersebut tidak luput dari perhatian Ammar, rekan seprofesi terdekat, sejak melihat sosok suami Arumi tersebut dari area parkir kantor.“Assalāmu’alaikum, Zan,” ucap Ammar memberi salam begitu tiba di ruangan sama.Hamizan menoleh dingin dan membalas, “Wa’alaikumussalām.” Lantas kembali fokus hendak memulai untuk menunaikan tugas kerja. Pandangan Ammar tetap tidak lepas, memperhatikan sikap sahabatnya tersebut sambil duduk di area tempat kerjanya sendiri.“Ssttt … ssttt ….,” desis Ammar pada Hamizan.Yang dipanggil menoleh lagi untuk kali kedua, tapi masih dengan raut wajah sama seperti sebelumnya.“Apa ….?” tanya Hamizan dengan suara pelan.Ammar menatap
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (52)Episode : Kegundahan Seorang HamizanUsai menunaikan ibadah salat Zuhur, Hamizan dan Ammar balik lagi ke ruangan kerja. Semula dipikir oleh temannya suami Arumi tersebut, hanya untuk mengambil bekal makanan dan dibawa ke kantin —sebagaimana biasa—, tapi nyatanya tidak. Lelaki berberewok tipis itu malah kembali duduk di kursi menghadap komputer. “Hari ini kamu puasa, Zan?” tanya Ammar setelah memperhatikan temannya beberapa saat. Tidak ada tanda-tanda akan bergegas ke kantin. Bahkan misting di atas meja pun, belum juga disentuh.Hamizan menoleh sejenak diiringi senyum tipis, lalu menjawab, “Puasa apaan? Ini saya bawa bekel dari rumah.” Dia berbicara tanpa menoleh sama sekali. Malah sibuk membuka-buka halaman kerja melalui layar komputer.Ammar tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian menarik kursi dari tempat kerjanya sendiri dan duduk di sampi
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (53)Episode : Kehadiran Sosok BaruAmmar dan Hamizan memasuki ruangan rapat. Di sana sudah ada beberapa staf lain yang sudah hadir.“Ternyata bukan dari divisi kita saja, Zan,” kata Ammar berbisik seraya memilih tempat duduk. Hamizan melirik sejenak pada temannya tersebut. “”Berarti … ini bukan pembahasan proyek kerja, dong? Hi-hi,” imbuh lelaki berkacamata minus tersebut cekikikan sendiri.“Ssttt … jangan berisik, ah,” ujar Hamizan mengingatkan. “Rapat sudah mau dimulai, tuh.”Mereka berdua melihat-lihat ke arah deretan kursi-kursi di depan yang biasa digunakan oleh petinggi perusahaan saat rapat.Ammar menyorongkan badan ke dekat Hamizan dan berkata kembali dengan suara pelan. “Kayaknya ada pejabat baru, Zan,” katanya sambil menunjuk pada sosok yang dimaksud di depan mereka.“Mana? Yang perempuan itu?” tanya Hamizan dengan nada suara yang sama, mengikuti arah yang ditunjuk oleh temannya baru saja.Di antara deretan kursi-k
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (54)Episode : Dua Hati PerempuanMengenai kondisi rumah tangga Hamizan dan Arumi —terkhusus dalam soal keturunan—, baik Abah Bashori maupun Umi Afifah jarang sekali mempertanyakan. Kedua orang tua tersebut mempercayakan sepenuhnya pada anak-menantu mereka, sisanya turut berserah diri terhadap Yang Maha Kuasa. Kalaupun pernah dilakukan, paling hanya sebatas obrolan biasa.“Apa kalian berdua di-KB, Nak?” tanya Umi Afifah pada Arumi, sewaktu bertandang ke Tasikmalaya beberapa waktu lalu.Arumi menjawab, “Enggak, Umi. Dari sejak nikah juga, Arumi gak pernah ikut program KB. Mas Izan juga.”“Ooohhh ….,” sahut Umi Afifah hanya membalas jawaban dari anaknya dengan membulatkan bibir. “Umi kira, kalian berdua menunda dulu buat punya anak.”Maksud wanita tua tersebut, mungkin karena kondisi Arumi dan Hamizan sekarang yang belum memungkinkan untuk memiliki anak terleb
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (55)Episode : Kabar GembiraPada pagi hari itu, beberapa ratus meter lagi tiba di depan kantor, tiba-tiba Hamizan merasa laju sepeda motornya tidak stabil. Lekas laki-laki itu menarik pedal rem untuk berhenti di pinggir jalan.‘Yaa Allah, ada apa dengan motorku? Kempes ban mungkin, ya?’ Dia bertanya-tanya sendiri. Lantas segera turun dari atas kendaraan untuk memeriksa sebentar. Benar saja, kondisi ban belakang kempes. ‘Aduh, tanggung banget. Sebentar lagi nyampe.’Laki-laki itu mengamankan posisi berdiri motor dengan menurunkan penyangga tunggal. Kemudian merogoh saku baju untuk mengambil ponsel dan melihat tampilan waktu di layar.‘Kalau ditambal sekarang, mana ada waktu. Agak jauh pula tempat tambal ban. Duh, ‘gimana ya sekarang?’ membatin Hamizan di antara rasa bingung yang melanda.Akhirnya dengan sangat terpaksa, dia menuntun sepeda motornya hingga me
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (56)Episode : Di Balik Kegagalan HamizanKabar menggembirakan itu pun langsung disampaikan kepada Arumi begitu Hamizan pulang. Tentu saja perempuan tersebut menyambutnya dengan penuh sukacita.“Berarti kita gak perlu cari pinjaman uang itu ‘kan, Mas?” tanya Arumi dengan benak penuh harap. “Mungkin harus lebih bersabar saja sambil nabung ya, Mas?”Hamizan mengangguk. “Ya, seperti itulah, Dik. Mudah-mudahan saja kita bisa segera mewujudkannya. He-he. Aamiin.”Entahlah, bagi pasangan suami-istri ini, memiliki keturunan adalah lebih penting ketimbang mempunyai tempat tinggal sendiri. Padahal usia pernikahan mereka sudah memasuki ke-5 tahun.Lantas, apakah pengharapan Hamizan akan perkembangan karirnya di kantor berbuah manis? Kenyataannya tidak. Dari hasil seleksi yang telah dilakukan, dia tidak terpilih ke dalam tim khusus kantor.“Saya minta maaf, Pa
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (57)Episode : Rencana Bellanca Aurora“Kamu gak sholat, Nak?” tanya Pak Waluyo pada Bellanca Aurora, putri semata wayangnya. “Waktu Maghrib cuma dikit, loh.”Jawab perempuan itu diiringi gelengan kepala, “Enggak, Pah. Bella lagi halangan.” Padahal pada saat itu, Bella sama sekali tidak sedang dalam masa haid. Dia hanya merasa malas saja, juga dera lelah yang mengalungi sekujur badan.Pak Waluyo membulatkan bibir sesaat, lalu kembali duduk di sofa. Tidak jauh dari keberadaan Bella sendiri.“Malam ini kamu nginep di sini ‘kan, Nak? Sudah lama sekali kamu gak lagi tidur di rumah sendiri,” ucap lelaki tua itu beberapa saat kemudian. “Semenjak almarhum Mamahmu meninggal dan kamu memilih buat hidup mandiri, Papah jadi sering kesepian.” Lalu dia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan rumah. “Tempat seluas ini, gak lagi kayak dulu. Sepi. Paling cuma ada Bi Odah, Mang Sukri