Sekar masih terus terngiang-ngiang dengan ucapan sang ibu terkait menentukan pilihan hatinya sebab ia sendiri terkadang merasakan nikmatnya mendua. Ia kadang membenci kekosongan, saat ia berada di kota untuk kuliah, Aryo terasa jauh darinya. Ia bosan jika hanya saling mengirim pesan dan menelpon. Kehadiran Galih seolah mengisi ruang hampa yang bersemanyam dihatinya, seolah-olah menyamarkan keberadaan Aryo. Begitu pula saat di desa, Galih sudah tak terjangkau olehnya maka kehadiran Aryo seolah mengisi ruang hampa dihatinya. Begitulah pikiran yang mendera Sekar hingga ia sulit menentukan pilihannya. Di tempat lain, Aryo mulai mendapat pertentangan keras dari ayahnya, akhirnya sang ayah menumpahkan seluruh kekesalan yang selama ini dipendam. "Sudah ku bilang jangan berhubungan dengan perempuan dari desa seberang! Ayah akan mencarikanmu gadis dari keluarga baik-baik!" Bentak sang ayah dengan suara meninggi, ia telah habis kesabaran melihat kelakuan sang anak. "Ayah! Namanya Sekar, di
Aryo nampak pasrah saat dibawa oleh kedua orang tuanya menuju rumah sang kepala desa. Kedua orang tuanya telah sepakat untuk melakukan pertemuan kedua keluarga. Akhirnya mereka sepakar untuk mengunjunginya tiga hari kemudian atau pasca Aryo tiba di rumah. Setibanya di rumah kepala desa, Aryo masih dalam lamunannya. Tak ada rona kebahagiaan di wajahnya seolah ia berada dalam keterpaksaan. Ditatapnya rumah itu, masih tetap terasa hampa namun dia terlihat pasrah menjalani takdirnya. "Selama datang keluarga Pak Wiryo," sambut kepala desa dengan senyum ramahnya. Ia nampak sumringah saat melihat sang calon besan akan memasuki rumahnya. Aryo melangkahkan kakinya secara perlahan, tiba-tiba hawa dingin menyeruak ke tubuhnya, sangat dingin hingga terasa menusuk kulit. Ia menatap sekitar terlihat seorang nenek renta tengah berdiri mengamati setiap pergerakan orang yang datang. "Kedatangan kami kemari untuk membicarakan rencana pertunangan Aryo dan Siti," ungkap sang ayah membuka percakapa
Seminggu sudah Sekar berada di rumah, ia berniat untuk kembali berkuliah keesokan harinya. Hari-hari di kampung halaman ia lalui dengan penuh banyak pikiran sebab ia mulai menyadari sudah saatnya ia memilih antara Aryo dan Galih. Dalam masa kebimbangan itu, ia menghindari pesan dan telepon dari kedua lelaki yang teruji tulus mencintainya. Terdengar suara mobil yang diparkir di depan halaman rumah Sekar. Lalu ketukan pintu berulang, menunjukkan ada seorang tamu yang hendak berkunjung ke rumah yang nampak sederhana itu. Sang ibu nampak tengah sibuk memasak makanan untuk makan malam hingga ia seolah tak mendengar ketukan pintu. Sekar yang mulai menyadari hal tersebut bergegas mengintip dari jendela. Sekar terkejut melihat siapa lelaki yang kini berdiri di balik pintu luar rumah. Mulutnya menganga kemudian ditutup dengan kedua tangannya seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk memastikan penglihatan itu ia membuka pintu dan mencoba menutupi keterkejutannya dengan senyum ram
Aryo terlihat mencoba memendam amarahnya, ia tak ingin terus menerus dibakar api cemburu mengingat kebersamaannya dengan sang dosen. Ia mulai memikirkan perjodohan yang ditawarkan padanya, tak ada salahnya membuka hati pikirnya. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang dan mulai memasuki area halaman rumah. Aryo memarkirkan mobilnya ke garasi lalu membantu sang ibu membawa beberapa makanan yang diperoleh dari rumah kades desa seberang. Adzan maghrib mulai berkumandang, Aryo bergegas mandi untuk melaksanakan sholat. Tak lupa ia panjatkan doa-doa setelah menyelesaikan ibadah wajibnya. Sebenarnya hatinya masih bimbang, ia tak yakin dengan keputusannya untuk menerima perjodohan itu. Ditengah lamunannya, ia mendengar jendela kamarnya diketuk beberap kali, awalnya ia mengabaikan karena mungkin itu orang iseng. Ketukan itu semakin keras, hingga membuat Aryo penasaran, ia mulai menyibak gorden untuk melihat siapa pelakunya namun nihil. Tak ada seorangpun disana. Terdengar ketukan pintu d
Ibu Sekar tengah memotong sayur, ia nampak bersemangat untuk menyuguhkan sarapan pada tamu istimewa yang tak diundang. Senyumnya mengembang saat melihat perhatian dari lelaki yang berprofesi sebagai dosen itu. Ekspektasinya tinggi, berharap sang dosen kelak berjodoh dengan anaknya agar status sosial mereka dapat meningkat. "Ibu, aku ingin bicara," ujar Sekar sambil membantu sang ibu yang tengah sibuk memasak di dapur. "Ada apa, Nak? katakan saja," jawab sang ibu tanpa mengalihkan pandangannya, ia nampak fokus memotong sayuran. "Aku akan kembali dengan Pak Galih hari ini, aku berencana akan ikut proyek penelitian dengannya. Hasilnya lumayan untuk biaya hidup selama aku berkuliah di kota," ujar Sekar sambil memandangi sang ibu, ia khawatir tidak mendapat persetujuan darinya. "Pergilah, Nak. Dosen itu sepertinya orang baik, dia tidak mungkin aneh-aneh," sahut sang ibu sambil beranjak menuju kompor, ia mulai mengecek terkait tingkat kematangan nasi. Sekar tersenyum melihat reaksi
Ki Arjuno menghela nafas panjang, masalah yang dihadapi keluarga itu nampak kompleks, tidak sesederhana mengusir gangguan demit dari rumah, tapi juga melepaskan jiwa aryo yang sedang terbelenggu oleh perjodohan yang membawanya menjadi tumbal desa sesat. "Apa bapak melakukan perjanjian dengan kades desa seberang?" tanya Ki Arjuno sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang, usia jelas nampak tak muda tapi kesaktiannya bisa diadu sebab dia adalah satu-satunya keturunan dukun sepuh yang tersakti pada masanya. Kedua orang tua itu saling pandang, mereka nampak ingin menjawab namun masih takut-takut, ia khawatir kejujurannya akan menjadi sebuah kesalahan besar yang sulit termaafkan. Dengan penuh kebimbangan, akhirnya sang ibu mulai bersuara. "Kami berjanji dengan kades desa seberang akan melakukan pertunangan dua minggu lagi dan pernikahan sebulan setelahnya," jawab sang ibu dengan ragu-ragu, ia merasa bersalah sebab menyebabkan sang anak dalam kondisi bahaya. "Kalian sungguh cerobo
Pak Wiryo bergegas menuju rumah Sekar, waktunya tentu tidak banyak, ia harus bergegas mencari pertolongan dalam rangka upaya penyembuhan sang anak. Ia mengendari motor butunya dengan kecepatan tinggi, berharap masih ada waktu bertemu dengan Sekar yang sebenarnya telah pergi selama dua jam yang lalu. Ia segera memarkinkan motornya lalu mengetuk pintu beberapa kali dengan keras, berharap ada yang segera membukanya. "Pak Wiryo, ada perlu apa ke sini?" ungkap Surti, Ibu Sekar. Ia sangat terkejut melihat pria tua yang kini berada dihadapanya nampak gelisah. "Surti, ijinkan aku masuk dan menjelaskan semuanya," Pinta Wiryo dengan sopan, ia merasa harus melakukannya demi sang anak, Aryo. "Iya Pak, silahkan masuk." ucap wanita tua itu, ia merasa kaget atas kehadiran yang pria yang pernah dicintainya di masa lalu. "Kedatanganku ke sini adalah memohon bantuan Sekar atas kemalangan yang menimpa Aryo, pacarnya," ujar Wiryo dengan tatapan sedih, seolah ia tak mampu lagi menutupi perasaanny
Sekar mengatakan pada Galih sebaiknya mereka segera pergi dari rumah makan tak biasa ini. Gadis itu merasa ada yang janggal dari rumah makan itu. Namun, ia tak dapat mengatakannya sebab itu hanya berdasarkan firasatnya saja. Mata batinnya belum terbuka sebab sosok khodam itu masih pergi entah kemana. "Pak, sebaiknya kita pergi dari tempat ini, firasatku mengatakan tempat ini menganut pesugihan, coba minta mereka bungkus makanannya," bisik Sekar danp berharap sang dosen mau mendengar permintaannya. Galih yang sudah terlanjur bucin, meski kelaparan akhirnya nurut saja, ia berjalan ke meja kasir dan meminta makanan yang sudah dipesan sebaiknya dibungkus saja. Ketika ia hendak membalikkan badannya, ia dikejutkan dengan penampakan khodam yang selalu mengikutinya. Sang khodam menutup mata Galih dengan tangannya sepersekian detik lalu membukanya. Galih terkejut saat melihat beberapa pocong tengah berdiri di depan pintu, ada juga yang meludah ke beberapa makanan yang sedang di santap ol
Kejadian pertama hilangnya warga desa. "Pak Kades baik ya, hampir tiga bulan sekali selalu mengadakan hajatan," ujar pria berkaos hitam, sambil menghisap rokoknya yang tinggal sebatang."Iya, bahkan bu kades sering datang ke rumahku untuk membagikan sembako," sahut Udin, pemuda desa yang cukup tampan tapi memilih untuk menikah muda."Masak sih? Kok ke rumahku enggak ya?" sahut Suro, pria yang berusia sekitar tiga puluh tahun."Ah ... Kamu kan memang jarang di rumah, tau dari mana kalau bu kades bagi-bagi sembako," ujar Udin diiringi dengan gelak tawa meremehkan.Ketiga pria itu sedang asyik menyantap berbagai cemilan yang tersaji di depannya. Mereka terlihat tidak memperdulikan istrinya yang mengajak pulang. Terlalu asyik dalam iringan musik dangdut.Hajatan di desa itu berlangsung selama dua hari, hari pertama diisi dengan pengajian yang mendatangkan seorang penceramah dari desa lain. Sedangkan hari kedua diisi dengan konser musik dangdut yang sangat meriah karena menghadirkan bidua
Pov Sekar "Aku juga nggak suka dengan dia! Cewek gampangan banget! Belum nikah sudah mau tinggal seatap! Benar-benar nggak tahu malu!" sambung Gina, kakak perempuan Galih yang sejak awal memang tidak menyukaiku. Aku bisa melihat Galih tengah menahan amarah, wajahnya memerah, menatap tajam ke arah ibu dan kakak perempuannya. "Bu, sudahlah! Galih sudah dewasa, dia tahu apa yang diperbuat, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri! Gina, kamu tidak boleh menuduh orang sembarangan!" bentak Ayah Galih sambil melotot ke arah istri dan anak perempuannya. Dibentak sang ayah, Gina memilih diam. Ia melanjutkan makannya sambil melirik tajam ke arah Galih. "Ayah! Bukankah kamu tahu bahwa hidup kita berkecukupan sampai saat ini karena Khodam Raja Jawa selalu bersama kita! Artinya jika Galih melanggar perjanjian dengan menikahi gadis yang berbeda khodam dengan kita maka hidup kita akan sengsara! Aku tidak mau kita miskin, Yah!" sanggah Ibu Galih. Aku hanya menjadi penonton dalam perdeb
Pov Sekar Tidak terasa aku telah seminggu berada di rumah Galih. Sulastri tak pernah muncul semenjak pertengkaran kami. Tidak ada luka serius dalam tubuhku hanya saja rasanya susah sekali untuk sekedar menggerakkan badan. Aku tersadar dua hari kemudian pasca kecelakaan tunggal, itulah yang kudengar dari anggota keluarga Galih. Hari ketiga aku mulai bisa membuka mataku, yang tentu disambut gegap gempita oleh anggota keluarga ini terutama sang ayah. Aku bisa melihat senyuman manis di wajahnya yang mengingatkanku pada Galih, orang yang telah tiada tapi jiwanya seolah tetap berada di sisiku. Hari selanjutnya, aku mulai bisa menggerakkan tubuhku hingga kini tepat seminggu, aku telah duduk di meja makan ini, bersama keluarga Galih. "Bagaimana kondisimu Sekar? Apa perlu kita ke kota untuk mencari dokter terbaik? Selama ini kami hanya bisa memanggil bidan desa untuk memeriksa kondisimu?" tanya Ayah Galih yang perhatian padaku seperti biasanya. "Aku baik-baik saja Pak, terima kasih s
Pov Sekar Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Meski aku dapat merasakan kasur empuk telah menopang tubuhku yang mati rasa. Perlahan aku mulai membuka mata meski terasa berat. Samar-samar aku mendengar percakapan dua pria yang berada di dekatku. "Bagaimana kondisinya, apakah dia baik-baik saja? Warga menemukannya pingsan di jalanan dekat pabrik terbengkalai. Dia seperti mengalami kecelakaan tunggal dengan menabrak pohon besar yang berada di pinggir jalan dekat pabrik tua itu," ujar pria dengan suara beratnya. "Dia baik-baik saja, hanya sedikit luka di bagian kepala akibat benturan kepala, mungkin dia hanya kelelahan," sahut pria lain. "Jika baik-baik saja mengapa tak kunjung sadarkan diri sejak kemarin? Dia sudah pingsan selama dua hari!" Aku terkejut mendengar pernyataan pria dengan suara berat itu, sepertinya aku mengenal suaranya! Tidak salah lagi, dia adalah Ayah Galih! lalu dengan siapa ia berbicara? Aku yang sebenarnya mulai perlahan tersadar dari pingsanku, mencoba unt
POV Sekar "Maaf, Mbak tahu dari mana info bahwa saya adalah istri Galih?" tanyaku penasaran. "Pak Kades kemarin memberitahukan pada kami jika istri Mas Galih yang akan membantu kami melakukan pencarian orang-orang hilang," jawab wanita muda itu. Aku kasihan melihatnya, wanita muda tengah menggendong seorang bayi yang terlelap beserta kedua anak laki-laki yang bermain di sekitar halaman. Aku rasa tidak ada salahnya mengikuti permainan Pak Kades atau Ayah Galih. Status palsuku sebagai Istri Galih tentu akan memudahkanku menyelidiki atas hilangnya beberapa pemuda desa. "Tolong Mbak ceritakan padaku, kronologi kejadian tentang hilangnya suami Mbak?" tanyaku. "Waktu itu, kami sekeluarga menghadiri hajatan yang diselenggarakan oleh pak kades. Menjelang tengah malam, suamiku berkata padaku jika ia berniat kembali untuk begadang bersama teman-temannya, aku yang sudah lelah hanya menganggukkan kepala lalu lanjut tidur dan keesokan harinya hingga saat ini, ia tak pernah kembali," sahu
Pov Sekar Arum Tok... Tok... Tok. Aku mendengar ketukan pintu yang begitu keras hingga membangunkanku dari tidur lelapku. Perlahan aku membuka mata, mengamati sekitarku yang terasa begitu dingin. Mungkin hujan semalam membuat hawa di desa ini semakin membuat tubuhku menggigil. Perlahan aku bangkit dari ranjang milik pacarku, Galih. Tatapanku terpaku pada setangkai mawar yang tergeletak di samping ranjangku, apakah benar ini dari Galih? Mawar itu masih basah, seperti baru saja diambil dari kebunnya. Aku mencoba membuka pintu, melihat siapa yang mengetuk pintu di pagi buta ini. Ku lirik jam di dinding masih pukul 5 pagi. Pintu perlahan terbuka dan aku celingukan melihat siapa yang berada di balik pintu tapi nihil, tidak ada seorangpun di sana. Mungkin aku salah dengar, itulah yang kupikirkan lalu kututup pintu kembali. Tiba-tiba terdengar suara dari belakangku, "Sekar, jika kamu terus berada di sini, kamu akan mati!" bisiknya seperti memperingatkanku. Saat aku menoleh ke arah sua
Pov Sekar Aku terkejut mendengar perkataan Ayah Galih tentang kemampuanku menemukan orang hilang hanya berdasarkan pada penglihatanku atas arwah Galih. Apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga ini? "Sekar, aku sangat berterima kasih atas kesediaanmu membantu keluarga kami untuk menemukan beberapa warga yang hilang selama kurang lebih tiga bulan ini," ujar Ayah Galih membuka percakapan di meja makan yang makanannya tidak hangat lagi. Aku menghentikan makanku untuk sekedar mendengarkan keluh kesah pria yang sangat Galih hormati. "Awal mulanya bagaimana Pak? Apakah sudah melapor pada polisi?" tanyaku mencoba berempati atas kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. "Aku masih ingat saat kami mengadakan hajatan desa dalam bentuk rasa syukur kami atas panen berlimpah. Semua orang hadir untuk memeriahkan acara yang digelar sampai tengah malam. Aku masih ingat ada beberapa pria yang memilih untuk bertahan karena mereka ingin begadang, sekitar lima orang," ungkap Ayah Galih sambil mena
POV Sekar "Masuklah, anggap rumah sendiri," ujar Ayah Galih sambil tersenyum padaku, lalu kubalas dengan senyum ramah pula. Aku memutuskan untuk mengiyakan permintaan pacarku karena rasa bersalah yang begitu besar padanya. Aku mengkhianatinya dengan bercinta dengan rekan kerjaku tapi ia justru tetap mencintaiku sampai akhir. Warisan yang diberikan padaku menunjukkan bahwa perasaanya tidak main-main. Aku bisa merasakan tatapan tidak suka dari kedua perempuan ini, ibu dan kakak perempuannya. Sebuah tatapan yang bermakna rasa tidak suka seolah aku adalah seseorang yang akan membahayakan mereka. Aku tidak menyangka bahwa Galih adalah seorang putra yang terlahir di keluarga kaya raya di sebuah desa yang terbilang maju. Keberadaan transportasi yang berlalu-lalang serta adanya minimarket membuatku yakin bahwa perekonomian desa ini lebih maju daripada desaku sendiri. Mereka memberiku kamar Galih sebagai tempatku beristirahat. Aku takjub melihat kamar yang begitu rapi dan wangi, sert
"Nak, apa kamu yakin pergi bersama keluarga dosen itu? Ibu khawatir akan terjadi hal buruk padamu," tanya Surti kembali memastikan keputusan anaknya. Sekar terdiam sejenak, menatap ibunya dengan tatapan penuh keyakinan meski air matanya belum mengering. Ia menghentikan aktivitasnya yang tengah sibuk memasukkan pakaian ke dalam tasnya. "Bu, aku sudah banyak melewati kesulitan hidup, hampir mati berkali-kali tapi untungnya, aku masih bisa bertemu ibu saat ini. Anggap saja sudah saatnya aku membalas budi Mas Galih, orang yang selama ini telah menolongku," sahut Sekar sambil memegang tangan ibunya, seolah meminta restu. Surti tak bisa lagi menahan keinginan anaknya, meski dalam hati rasanya berat. Ia mencoba mengikhlaskan kepergian anaknya dan berharap sang anak dapat pulang dengan selamat. "Mbak, tolong hubungi aku jika butuh bantuan, aku dan Mas Aryo akan siap membantu," ujar Seno, adik laki-lakinya yang selama ini selalu mengkhawatirkan kakaknya. "Kamu nggak perlu khawatir, c