“Beri aku waktu sepuluh menit,” potong Alfred mengurung Floryn di dinding.Floryn menahan napasnya di dada, posisi Alfred terlalu dekat dengannya hingga sapuan napasnya bisa dia rasakan di ujung kepala, cengkraman lembut tangannya di pergelangan masih tidak terlepas.“Apa mau Anda sebenarnya?” tanya Floryn dengan suara bergetar menahan perasaan yang bercampur aduk. Kehilangan masa remaja di penjara membuat Floryn tidak memiliki pengalaman menghadapi seorang pria, dan cara Alfred mendekatinya terlalu berani hingga membuat Floryn tidak tahu bagaimana cara menanganinya.Sebagai seorang perempuan yang sudah dewasa, Floryn tidak pernah bisa menampik, dia terpesona dengan wajah rupawan Alfred, terkadang dia kagum dengan sosoknya yang terlihat berwibawa tanpa melakukan apapun, pria itu memiliki daya tarik yang luar biasa hingga bisa membuat orang-orang tidak puas melihatnya sekali saja.Disisi lain, Floryn sadar betul itu adalah sebuah kekaguman yang manusiawi, mungkin setiap perempuan yang
“Maafkan saya.”Hati Alfred tertohok cukup sakit mendengar permintaan maaf yang tidak sepantasnya dia dengar setelah ciuman panas yang dilakukan. Eurofia kebahagiaan yang menggelitik perut menghilang dengan cepat. Floryn telah membawanya terbang melayang tinggi, dan secara kejam dia menjatuhkannya dengan keras.Atmosfer disekitar mereka berubah menjadi hening dan dingin..Floryn berbalik, terburu-buru meninggalkan gelasnya di atas meja dan berlari menuju pintu yang terkunci. “Saya ingin keluar, saya mohon buka pintunya,” pinta Floryn memecah kesunyian yang menyakitkan.Alfred mendekat dengan perasaan yang sulit untuk dia pahami saat ini. Dia tidak marah, namun kekecewaan yang asing telah mengganggu hatinya. Ini adalah sebuah kekecewaan yang tidak akan pernah membuat Alfred menyesal dan menyerah, ini adalah perasaan kecewa karena ditolak yang membuat Alfred penasaran, sampai sejauh sesungguhnya Floryn bersedia menempatkan Alfred dalam hidupnya.Dilihatnya punggung rapuh Floryn yang me
Suara musik yang lembut terdengar diantara keramaian yang orang teratur, sebuah kue ulang tahun bertingkat besar berada di bawah tangga, lampu besar bergelantung dibawah langit-langit ruangan berbentuk kubah.Ini untuk pertama kalinya Floryn melihat sesuatu yang menyilaukan mata. Segalanya terbalut dengan sempurna tanpa cela, suasana pesta yang didominasi kuning keemasan dihiasi berada diantara bunga-bunga segar berkualitas yang menyebarkan aroma manis diantara alcohol dan masakan lezat yang dihidangkan.Orang-orang penting hingga aktris dan model papan atas terlihat berkeliaran dia depan mata, mereka berinteraksi satu sama lainnya. Floryn tersenyum simpul, suatu keberuntungan dia dapat menyaksikan pesta malam ini. Dia tidak tahu, apakah masih ada kesempatan untuknya melewati pengalaman seperti ini lagi.Kejadian di kamar Alfred satu jam yang lalu terus membayangi pikiran Floryn, mempengaruhi perasaannya yang mulai goyah. Floryn ingin segera menyelesaikan kontrak kerjanya yang ting
Saat Nara tengah bermain dengan anak-anak lainnya di sudut ballroom, Piper datang menghampiri Floryn yang tengah menunggu bersama perawat lain. “Flo, panggilkan nona Nara, lima menit lagi nyonya akan potong kue dan nona Nara harus ikut untuk didokumentasikan.”“Baik.” Floryn mengangguk. Tanpa membuang Floryn menghampiri Nara dan memberitahunya untuk segera bersiap-siap.Meski sempat cemberut tidak begitu senang waktu bermainnya terganggu, dengan patuh Nara pergi dibawa oleh Piper ke tengah-tengah pesta, sementara Floryn masih berdiri menunggu di tempatnya dan melihat keramaian dari kejauhan.Steve Morgan yang sempat pergi, kini telah kembali bersama beberapa tamunya.Diantara banyak orang yang berjalan di tangga, pandangan mata Floryn langsung terfokus pada satu sosok yang sama sekali tidak pernah sedikitpun dia bayakangkan akan bertemu di tempat ini.Seluruh kulit Floryn meremang, menggigil sakit, napasnya tertahan ditenggorokan begitu melihat Emier berada diantara mereka. Emier ters
Diantara keramaian yang meriah, Floryn tertunduk terjebak dengan kesepian dan takut yang mencekiknya. Disetiap tarikan napasnya, dia hanya bisa merapalkan do’a agar Emier tidak menghampirinya dan mempermalukannya. Floryn tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi bila hal itu terjadi. Menit demi menit dia lalui dengan perasaan yang tidak menentu, menatap lantai dengan pandangan mengabur. Sangat sesak, Floryn tidak tahan ingin segera pergi namun ada tanggung jawab yang menahannya untuk tetap di tempat. “Flo, Anda terlihat pucat,” ucap seorang perawat yang ikut menjaga. Wajah Floryn terangkat, tatapan matanya sendu menahan tangisan namun bibirnya dia paksakan untuk tersenyum. “Saya hanya sedikit tidak enak badan,” jawabnya dengan suara yang terdengar serak karena telah banyak menangis. Senyuman Floryn kembali menghilang begitu tanpa sengaja dia melihat Alfred yang memperhatikannya dari kejauhan seolah tengah mengawasi. Betapa memalukannya pria itu, bagaimana bisa matany
Alfred berlari dengan cepat melewati satu persatu anak tangga yang sempit menuju lantai tiga, dia harus menahan Floryn agar tidak bertemu dengan ayahnya. Sayangnya, begitu pintu darurat terbuka, dia melihat Piper baru keluar dari kamar Nara. “Dimana Flo?” tanya Alfred degan napas tersenggal.Piper tersenyum sopan menutupi rasa penasarannya. “Flo sudah saya suruh pulang, saya yang mengantar nona Nara ke kamar. Mungkin, sekarang dia pergi mess untuk mengambil tasnya.”Alfred membuang napasnya dengan kasar, pria itu memaki di dalam hati, memarahi dirinya sendiri yang telah gagal menemukan Floryn.“Ada apa Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Piper berhati-hati.“Siapa yang bertanggung jawab ballroom? Dia membawa handpone?”Masih dengan senyuman tiga jarinya, Piper menjawab, “Alexan yang berjaga disana. Tentu saja Tuan, pasti dia membawa_”“Hubungi dia sekarang! Aku ingin berbicara!” sela Alfred dengan tidak sabaran.Tanpa bertanya apapun, Piper langsung menghubungi Alexan yang d
Lorong panjang berpilar tinggi Alfred lewati, dia terus berjalan tidak berhenti mencari meski sudah hampir sepuluh menit lamanya dia meninggalkan ballroom.Derap langkah terdengar dari arah berlawanan, Alfred menarik napasnya dalam-dalam dengan tangan terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih, Alfred menahan tindakan bar-bar yang sangat ingin menghajar wajah Emier begitu dia melihatnya keluar dari belokan arah taman.Emier menurunkan handponenya, dengan ramah dia tersenyum begitu tahu siapa yang berpapasan dengannya. Suatu kebetulan yang menyenangkan untuknya, akhirnya memiliki kesempatan untuk menyapa orang penting secara pribadai.Tubuh Emier menegak memperbaiki postur berdirinya. “Tuan Alfred, senang bertemu Anda di sini,” sapa Emier dengan senyuman formal.Alfred sedikit mengangguk tanpa ekspresi, menyembunyikan badai kebencian yang begitu besar pada lelaki tidak tahu malu yang kini berdiri di hadapannya.Sebenarnya, Alfred ingin segera menemukan Floryn, berhubung Emier menya
“Kemana perginya Alfred? Aku tidak melihatnya setelah pesta berakhir,” tanya Steve.“Tuan Muda mengantar teman-temannya ke bandara.” Dengan sopan Piper mempersilahkan Steve untuk berjalan lebih dulu memasuki ruangan kerjanya.“Apa yang mau kau bicarakan Piper?” tanya Steve seraya menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Piper.“Ini tentang kejadian tadi siang Tuan,” jawab Piper menggantung, dalam satu tarikan napas panjangnya dia kembali berkata, “mungkin ini terdengar sederhana, namun karena ini menyangkut nona Nara, saya rasa Anda berhak tahu.”Steve mengangguk dengan tenang, dia mempersilahkan Piper untuk menceritakan apa yang ingin dia sampaikan, termasuk siapa dalang dari kejadian hilangnya anjing Nara yang bisa terluka di hutan.Piper tidak hanya sekadar bercerita, dia juga menyerahkan bukti rekaman saat menginterogasi Daisy untuk memperkuat pernyataanya.Ketenangan Steve perlahan berubah begitu mendengar nama Melisa disebutkan oleh Piper.Selama ini, Steve sudah bisa menduga b