“Kau siapa? Untuk apa mencari Flo?”Julliet tahu, selama ini Floryn selalu dikelilingi orang yang ingin mencelakainya, dia harus memastikan orang yang mencari temannya itu adalah seseorang yang tidak berbahaya. Julliet tidak boleh tertipu oleh penampilannya yang indah.Alfred menghela napasnya dengan berat, pria itu mengangkat tas kecil yang dijinjingnya dan menunjukannya kepada Julliet. “Aku harus mengantar obat ini untuk Flo karena dia sedang terluka. Jadi, apa Flo tinggal di gubuk, maksudku rumah itu?” tanya Alfred setelah serangkaian penjelasan singkatnya.Julliet mendengus kasar, dia sempat ingin bertanya siapa namanya, namun mendengar pria asing itu berbicara dengan nada arrogant, mendadak Julliet jadi kesal.Julliet bersedekap dan mengangkat dagunya dengan angkuh. “Biar aku melihatnya terlebih dahulu isi di tas yang kau bawa, siapa tahu kau membawa senjata,” pinta Julliet.Alfred terperangah kaget mendengar kat-kata Julliet yang mencurigainya. “Nyonya, apa penampilanku ini te
“Duduklah,” suara Alfred yang memanggil dan memerintah akhirnya terdengar.Floryn mengedarkan pandangannya mencari tempat untuk dia duduk selain kursi rotan yang kini tengah di duduki Alfred. Dilihatnya pintu rumahnya yang terbuka lebar, dia sangat berharap Julliet segera datang membawa obat untuknya.“Kenapa diam saja? duduklah.” Alfred menepuk sisi kursi yang didudukinya masih kosong. “Tapi, Tuan Muda.” Suara Floryn menghilang diudara, tubuhnya sedikit tersentak mendengar Alfred menepuk lebih kuat kursi rotan mengisyaratkan Floryn untuk segera duduk dan tidak banyak bicara.Ragu-ragu Floryn duduk di sisi Alfred, dia harus patuh dengan begitu Alfred bisa segera pergi dari kediamannya. Kembali terjebak berdua dengan Alfred Morgan begitu membuatnya sesak, Floryn selalu tidak mengerti dengan jalan pikirannya yang sulit dipahami.Sejak awal bertemu, Alfred menunjukan ketidaksukaannya, malam inipun dia bersikap demikian, namun apa yang membuat Alfred kembali datang? Jika Alfred benar-be
“Cepatlah, jangan membuang waktuku.”Floryn bergeser ragu-ragu, tanpa terduga gadis itu mendekatkan wajahnya dan menempatkan dagunya di tangan Alfred.Tubuh Alfred menegang kaku dengan mata terbelalak, terkejut oleh suatu tindakan Floryn yang tidak terduga. Kepala Floryn berada di tangannya, gadis itu menatap polos seperti seekor anak kucing yang sedang menunggu mendapatkan usapan dikepalanya.Alfred menarik napasnya kesulitan, merasakan degup jantungnya memacu cepat seakan mau meledak, darahnya berdesir panas menciptakan sempurat merah dipipinya.Bibir Alfred terkatup rapat menahan teriakan makian, memarahi kelancangan Floryn yang sudah membuatnya salah tingkah seperti seorang remaja yang berada dalam gejolak masa pubertasnya.Apa yang harus Alfred lakukan sekarang? Dia tidak tahan ingin mengusap kepalanya seperti seekor kucing peliharaan.Tangan Alfred terkepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih, berusaha kuat untuk tetap bersikap tenang tanpa menunjukan seberapa kacau pikiranny
Mata Emier menyala-nyala dipenuhi oleh amarah. Sudah cukup dia dibuat pusing dengan keborosan Issabel akhir-akhir ini, kini dia Issabel kembali membuat ulah yang semakin membebani pikiran Emier.“Kemana saja sebenarnya kau pergi Issabel? Mengapa kau tidak pernah berhenti membuat masalah yang membuatku terus kesulitan?”Issabel terdiam seribu bahasa, dia kesulitan untuk membela diri dalam situasi yang sulit ini, satu-satunya cara yang bisa Issabel lakukan adalah dengan membujuk Emier. “Nolan!” teriak Emier memanggil.“Emier.” Dengan terburu-buru Issabel memeluk lengan Emier. “Jangan salahkan Nolan, dia tidak tahu apa-apa, aku membawanya sendiri saat pergi ke butik malam kemarin, maafkan aku. Kau jangan khawatir, aku akan memperbaikinya dengan uang tabunganku,” bujuk Issabel berusaha meredakan amarah Emier.Issabel harus melindungi Nolan agar dia terhindar dari masalah apapun yang kemungkinan bisa membuat Nolan dipecat.“Ini bukan hanya masalah tentang uang Issabel, ini tentang kebiasa
Diantara lalu lalang orang-orang yang berjalan, Emier melihat keberadaan Floryn yang tengah duduk sendirian sambil makan, pandangan mereka saling bertemu dan mengunci.Sorot mata Emier begitu tajam dipenuhi kebencian yang tidak terelakan.Cerita Floryn dimalam itu tidak cukup mampu membuat Emier luluh apalagi memaafkan tindakannya. Cara kepergian Rafaela dan Abra jelas berbeda.Emier mengakui kesalahannya, namun kematian Rafaela bukanlah tanggung jawabnya dengan Issabel.Rafaela pergi atas keputusannya sendiri yang menyerah begitu saja, berbeda dengan Abra yang pergi karena dibunuh.Tangan Emier terkepal kuat, matanya bergerak meneliti penampilan Floryn yang kini terlihat rapi dan mampu berpakaian bagus, dia tidak lagi kusut kotor seperti gelandangan, tidak ada tas yang dia gendong.Floryn mampu makan tanpa mengais sampah dan mengantri makanan gratis.Batin Emier mulai bertanya-tanya, darimana Floryn bisa mendapatkan itu semua dalam waktu cepat? Seharusnya kini dia luntang-lantung da
“Aku bukan pembunuh,” jawab Floryn gemetar, membela dirinya sendiri dari tuduhan yang sama.Issabel tersenyum sinis mendengar jawaban Floryn. “Bukan pembunuh katamu?” Issabel mendorong Floryn sampai gadis itu itu mundur beberapa langkah. “Jika kau tidak membunuh, kau tidak mungkin mendekam dipenjara!” “Cukup Issabel,” bisik Emier kembali mengingatkan, “ini bukan saat yang tepat.”“Tidak Emier. Pembunuh ini sudah mendapatkan hukuman didalam penjara, namun sampai detik ini aku tidak pernah sekalipun mendengarkan permintaan maafnya setelah dia membunuh putraku!” jawab Issabel menunjuk mata Floryn.Ucapan Issabel yang menggebu-gebu penuh amarah bercampur kesedihan membuat Emier tidak tega untuk menahannya.“Minta maaf dan bersujud di kakiku!” tuntut Issabel kembali mendorong Floryn agar terjatuh ke lantai.Floryn memeluk lebih kuat paper bagnya agar tidak jatuh, gadis itu mengedarkan pandangannya hanya untuk melihat jika tidak ada satu orangpun yang berusaha merelai. Orang-orang yang ber
Issabel berjalan tergesa, suara ketukan heelsnya terdengar tajam disetiap langkah yang dia ambil. Wajah Issabel terlihat suram karena amarah yang sangat sulit untuk dikendalikan.Dibandingkan merasa puas karena telah meluapkan amarahnya dan mempermalukan Floryn didepan umum, justru kini Issabel menjadi semakin kesal pada gadis itu.Setelah sekian lama tidak bertemu, ternyata Floryn tidak pernah berubah, dia masih keras kepala, angkuh dan berani kepadanya.Watak gadis itu sungguh membuat Issabel semakin ingin menyakitinya dan melihat keterpurukannya hingga titik dimana Issabel menyaksikan dia berlutut dibawah kakinya untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi.Issabel menyibak rambutnya dengan kasar, dilihatnya Emier yang sejak tadi tidak banyak berbicara dan sibuk dengan pikirannya sendiri. “Ada apa denganmu? Kenapa kau tidak melakukan apapun untuk mendukungku Emier? Sejak tadi kau hanya menonton apa yang tengah terjadi,” cecar Issabel meluapkan kekesalannya.”“Memangnya apa yan
Gerbang besar didepan Floryn terbuka begitu dia sampai didepan kediaman keluarga Morgan.“Selamat pagi Paman,” sapa Floryn tersenyum kepada seorang lelaki yang kini tengah duduk di bangku pos menikmati sarapan pagi.“Selamat pagi Flo.” Seperti hari-hari sebelumnya, Floryn menyapa tukang kebun yang tengah memotong rumput dan menyirami bunga, pelayan yang berlalu lalang Floryn senang dia bisa langsung akrab dengan semua orang, terkecuali Daisy.Pelayan itu masih gigih berusaha mengingat Floryn, dia kukuh dengan pendiriannya bahwa dia pernah melihat Floryn, dalam beberapa kesempatan setiap kali mereka berpapasan dan makan bersama, Daisy tidak pernah berhenti menatap Floryn hingga harus ditegur oleh beberapa pelayan lain.Floryn berharap rasa penasaran Daisy akan segera berakhir seiring dengan berjalannya waktu. Floryn bekerja di rumah ini dengan niat yang baik meski ada sebuah kebohongan yang telah dia ciptakan dibaliknya.Keberadaan kamar Nara berada di bagian utara, Floryn membelokan