Aiaiai, readers ter-luvv! Panji mau minta pendapat kalian, nih! Coret-coret di ulasan, ya! Thanks!
Blam! “Selma!” Mengetahui sepupunya baru tiba, Damar segera menghampiri gadis itu. “Sel!” panggilnya, setengah berteriak. Gadis itu pun menoleh. “Kak Damar ….” Air mata Selma tumpah begitu saja di pelukan Damar. Mungkin para orang tua tidak tahu, tetapi sedalam-dalamnya perasaan tetap saja mereka bisa saling mengerti. Entah Sana sudah kembali atau belum, ia tidak bisa menduga hanya dengan menatap kerisauan di wajah Damar. Damar mengurai dekapannya, lalu menghapus air mata Selma. “Kamu dari mana aja? Aku khawatir, tahu,” lapor pria itu. “Sana mana, Kak? Dia udah pulang?” Enggan menjawab pertanyaan kakaknya, Selma justru mendapat perlakuan serupa dari Damar. Pria itu terlihat tidak memiliki penjelasan lewat ekspresi masamnya. Dilihat dari sisi garasi pun, gadis itu seharusnya tahu bahwa kendaraan yang ditumpangi Sana belum masuk kandang lagi. “Kita ngobrol di dalam aja, Sel,” ajak Damar, bermaksud menuju rumahnya. Setibanya di kamar pria itu, Selma langsung menghambur ke sudut fa
“Gimana, nih? Menjijikkan, itu kaya bukan gue banget.” Selma masih terbayang-bayang testpack temuannya kemarin. Namun, sejijik apa pun itu, tetap harus ia tempuh jika memang bisa menyelamatkannya dari Panji. Tidak apa, toh pada kenyataannya ia masih perawan. Asal perjodohan ini batal dahulu, setelahnya bisa dipikir nanti. “Mbak Selma, saya mau cari makan siang, mau nitip?” tawar Risda, karyawati florist milik Selma. Gadis itu menggeleng, lalu menjawab, “Terima kasih, kamu aja. Ajak yang lainnya makan juga biar saya yang handle di sini, mumpung sepi.” “Baik, Mbak. Saya duluan kalau gitu,” pamit Risda, lalu terlihat menghampiri dua rekannya yang lain. Toko bunga sederhana ini dirintis Selma sejak masih duduk di bangku kuliah, tentu menggunakan uang tabungannya sendiri. Dulu tidak sebesar ini, sekarang sudah cukup untuk menampung aneka jenis warna dan aroma kesukaan gadis itu. Hanya dengan menatap mahkota yang bermekaran, ia dengan mudah menanggalkan beban pikiran. Biasanya semua tr
“Sana?” Mata Selma sampai lupa diajak berkedip, begitu intens menelisik sosok yang mencegatnya di halaman. Dengan mata berkaca, Sana memeluk sepupunya tersebut. “I’m sorry, Sel,” lirihnya. Sejujurnya Selma bingung harus bereaksi seperti apa. Saking terkejutnya, ia sampai lupa mengangkat tangan untuk membalas sepupunya. Pantas beberapa waktu belakangan ia selalu ditolak setiap kali hendak memeluk, ternyata benjolan perut sepupunya itu sudah kentara dan cukup menggelikan. “Selma, kamu marah sama aku?” Sana mengakhiri dekapan, menghapus air mata yang mengalir tipis di pipi tembam miliknya. “Harusnya lo tahu perasaan gue, San.” Air mata Sana sedikit menderas. “Aku minta maaf, Sel,” mohonnya, mengguncang lengan Selma. “Tapi gue lebih marah sama diri sendiri karena nggak bisa marah sama lo.” Kedua ibu jari Selma menyingkirkan air mata Sana. “Are you okay, Dear?” Air mata itu kini berpindah sumber ke pelupuknya sendiri. Ini berat, sangat berat. Definisi pura-pura kuat di depan orang ya
“Aaa … g–gue, gue nggak mau!” Air mata Selma giat membasahi bantal Sana, tangannya geram sekali hingga meremas objek empuk itu dengan penuh luapan emosi. “Sorry, Sel, gue pikir lo udah tahu soal itu.” Sana menggigiti bibirnya, merasa bersalah. “Ngapain lo minta maaf? Justru salah kalau gue tahunya pas udah nikah.” Selma berdiri, membanting bantal yang semula begitu lekat dengan wajahnya. “Ini nggak adil! Gue bakal bikin perhitungan sama itu laki penipu!” Kaki gadis itu brutal menjejaki lantai, untungnya Sana tidak membuntuti. Bruk! Selma bergerak tanpa membawa akal sehat hingga kebablasan menubruk Damar di ruang tengah. Masih dengan energi putus-nyambung, gadis itu memperhatikan penampilan sepupunya yang sudah tidak mengenakan setelan kerja lagi. “Kak Damar mau ke mana?” Seraya mengenakan jaket kulit hitamnya, Damar menjawab, “Nggak ke mana-mana.” “Jangan bohong!” bantah Selma, “Kakak mau ke mana?” tedasnya, dengan tatapan mengintimidasi. “Jangan bilang siapa-siapa.” Pria itu m
Duagh, sruk!“Kurang ajar, kamu!”Kepalan tangan Panji dengan kilat menyasar rahang preman tersebut hingga terhuyung menimpa tubuh mungil Selma. Belum puas sampai di sana, pria itu langsung menarik kaos si preman dan kembali melayangkan sejumlah pukulan. Tidak sendiri, Dafa pun turut membantu. Dua lawan lima, tetapi kubu yang lebih sedikit tidak seperti kekurangan tenaga.Buagh! Dugh! Brak!Selma menyeret kakinya ke tepi jalan, celingukan seraya berharap ada seseorang yang bisa membantu di sana. “Save him, please ….”Bibir Selma melepas permohonan begitu saja, air matanya kian menganak sungai tanpa suara. Gadis itu terduduk lemas beralaskan aspal, menyaksikan pergulatan hebat di depan matanya. Sebrutal apa pun kelakuannya, itu hanya sebatas perangai dan kata-kata. Ingatannya melayang dan menyesali tangan yang lancang menonjok Randi tadi. Ia berusaha menutup mata dan telinga agar bunyi dan aksi kasar yang dilakukan Panji tidak semakin menekan batinnya.“Please, siapa pun, tolongin mere
Panji mengedipkan sebelah mata. “Mau check in sekarang?”Nyali Selma sukses menciut besar, bibirnya mencebik–menahan tangis–menatap seringai di wajah pria itu. Jangan samakan dirinya dengan gadis kecil yang doyan dikencani om-om hidung musang di luar sana, toh ia bisa mendapatkan segala kemewahan tanpa perlu repot keluar-masuk hotel berbintang. Gadis itu tidak bisa mengontrol debaran jantungnya, pun dengan Panji yang semakin mendekatkan wajahnya.Plak!“Ah!” Panji sontak menjauhkan wajahnya dari jangkauan Selma. “Bisa-bisanya tanganmu menampar mukaku! Ini muka yang sudah menyelamatkan kamu, babak-belur ini gara-gara kamu!” cerocos pria itu, sesekali meringis kesakitan.“Om Panji jangan bikin niat baik aku berubah jadi sebaliknya, ya!”“Tcih! Punya niat baik apa, kamu?” tanya Panji, terdengar meremehkan.Selma menoleh jendela, menghindari intimidasi mata Panji. Gadis itu lantas mengatakan, “Nggak jadi, mending aku pulang jalan kaki daripada sampai rumah udah rusak sama Om.”Pria itu ma
“Kalau kamu mau lihat kebenarannya, tunggu besok. Jam tiga sore, bersiaplah.”Kalimat terakhir Panji semalam masih menjadi gangguan tidur yang nyata bagi Selma. Jantungnya berdebar-debar hanya dengan menatap putaran jarum waktu yang sudah berdentang hingga pukul satu lewat lima belas menit. Kurang dari dua jam, ia akan diberitahu sesuatu yang entah apa itu masih dirahasiakan.Tok, tok, tok!“Sel, kamu nggak mau ke luar? Ada yang cari itu, lho!”Pet!Mata yang semula sibuk mengawang-awang bersama panorama langit kamar pun seketika terkatup begitu rapat. Begitulah Selma semenjak pagi, pura-pura tidur setiap kali ada suara yang menginterupsi. Jangankan tidur, baru memejamkan mata saja lamaran Panji langsung membuat benih-benih mimpi berhamburan. Sebelumnya, ia tidak pernah sekosong ini. Dikira malas atau tewas sekalipun Selma tidak peduli, pose cicak mati langsung diperagakan begitu gagang pintu diputar dari luar.“Astaga, Selma! Mau sampai kapan kamu tertidur, dasar pemalas!”Plak! Buag
“Kalau kamu tahu diri, ini saatnya untuk membalas budi.” Bahu Selma naik turun, dadanya pun kembang-kempis–menahan tangis. “Maksud Kakek apa ngomong begitu? Ternyata selama ini dugaan aku benar, itu alasan kenapa aku ngerasa disingkirin sama kalian. Bahkan perjodohan ini, Kakek sengaja mau buang aku, ‘kan?” Air muka Sagara menegang. Ia berkata, “Tenang, Selma. Bisakah kamu dengarkan penjelasan Kakek tanpa banyak menyahut?” Apa ini sejenis rahasia keluarga? Sungguh, Panji hanya bisa terbengong oleh drama kakek dan cucu di depan matanya. Seumur berkiprah dalam dunia bisnis, tidak pernah sekelebat pun ia mendengar pasal anak keturunan Vallence yang berasal dari panti asuhan. Jangankan masalah itu, wajah dua cucu perempuan keluarga tersohor itu saja baru ia kenali setelah gong perjodohan ini ditabuh. Sepertinya ini bukan pembicaraan yang singkat, Panji pilih mendarat di sofa kembali. Pria itu menyenggol paha Selma, seraya mengatakan, “Duduk!” “Apaan, sih!” balas Selma, tetapi akhirny
“Oh, jadi ini istrimu?” Tekankan sekali lagi, Selma benci ditatap remeh sedemikian itu. Rasanya percuma memperkenalkan diri manis-manis tadi. Inikah alasan orang-orang meremehkannya, karena dandanan childish dan tidak glamour seperti kebanyakan konglomerat lainnya? Hati-hati, khodam-nya kerap bangkit saat sensitif seperti ini. Andai Panji tidak melarang, sudah sejak tadi suaranya nyalak kepada pria yang konon katanya adalah kakak ipar suaminya itu. “Ekhem! Kenapa Kak Gerald dan Kak Mega nggak datang di hari pernikahan kita?” Panji menumpuk dua kakinya, tiada berniat melonggarkan tautan tangan dari Selma. “Oh, maaf soal itu,” ucap Gerald, tetapi terkesan tidak serius. “Sebenarnya aku baru saja pulang dari Singapore, sejak sebulan lalu berlibur di sana. Dan ternyata adikku satu ini benar-benar berhasil menggandeng royal princess Tuan Vallence, ‘ya? Kupikir kamu juga tidak bodoh untuk tahu tujuanku ke mari,” terang pria itu, sejak tadi tidak meluruskan se
“Punggung kamu kenapa, sih?” “Nggak tahu, ish! Jangan banyak tanya, ngapa, sih, Om!” Ditanya baik-baik, sahutannya malah galak. Panji gatal sendiri sejak tadi memperhatikan Selma memijit-mijit punggung sambil sesekali memuntiri leher. Apa itu kode untuk servis tambahan? Selagi mereka sudah ada di rumah, malam pun sebentar lagi membayang. Tidak salah, bukan? Namun, Panji harus menepati janjinya terlebih dahulu untuk tidak meminta aneh-aneh hingga urusan mereka di Swiss nanti selesai. Melihat istrinya berdiri, Panji menutup dokumen yang ada di pangkuannya. “Mau ke mana?” tanyanya, meletakkan folder tebal itu ke samping remote televisi. “Mau ke kamar sebentar,” pamit Selma, kemudian melangkah lesu hingga setiap langkahnya benar-benar dikawal mata sang suami sampai pijakan tangga terakhir. Pet! Setelah mematikan siaran televisi, Panji menyusul gadis itu. Namun, tidak sesudut pun dari kamar luas itu menampakkan kebaradaan
“Ck! Carikan posisinya, aku tidak mau tahu!” Bipp! Panji cekatan memutus sambungan mobile handsfree yang semula dikomunikasikan dengan Dafa. Ia memberikan tugas yang gampang-gampang susah untuk sekretarisnya itu, sementara dirinya sendiri memburu keberadaan sang istri. “Renjani sialan!” Panji menginjak gas lebih dalam. “Aku yakin dia tidak bodoh untuk tahu kabar pernikahanku dengan Selma. Tcih! Untuk itukah dia datang, ingin mengacau?” Black Jaguar yang menggotongnya itu lihai menyelinap di antara arus lalu lintas yang ramai lancar. Memang bukan jam-jam genting, jadilah jalanan metropolitan itu sedikit mendukung pergerakannya dalam mencari Selma. Kendati demikian, di mana ia harus menginjak rem? Ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Ting! Sebuah pesan masuk dari Dafa menunjukkan sebuah lokasi dengan keterangan ‘Nyonya’ di bawahnya. Panji segera mengikuti titik koordinat itu sambil sedikit memuji kelihaian sekreta
“Dafa, kenapa dia bisa sampai ke sini!” Sambil gelagapan dipelototi bos-nya, Dafa menjelaskan, “A–anu, Tuan, s–saya juga tidak tahu. Saya juga baru melihat Nyonya di sini.” “Call me ‘Nona’, please!” desis Selma, menambahi beban Dafa dengan lirikan pedasnya. Syut! “Ikut aku!” Panji menarik gadis itu menuju ke ruangannya, tetapi kaki mereka dihentikan paksa begitu mendapati wanita yang masih anonim itu berdiri di depan pintu. “Ini siapa, Panji?” Wanita berjas tosca itu meneliti penampilan Selma dari ujung ke ujung, lantas berakhir nyengir aneh. Ingin rasanya Selma mencolok mata yang menatapnya remeh itu. Memangnya kenapa dengan kaos dan jeans yang ia kenakan? Ia yakin wanita itu akan pingsan saat melihat banderol harganya, tetapi sayang embel-embel itu mungkin sekarang sudah dibakar atau entah apa di tempat pembuangan. “Dafa!” Pekikan Panji menguar di sepanjang lorong. Dengan tergopoh-gopoh, Dafa tampil di had
“Silakan, Nyonya.” Daripada teh yang disuguhkan padanya, mata Selma lebih tertarik pada maid yang mempersembahkan minuman itu. “Panggil ‘Nona’ aja, nggak, sih?” tanyanya, seraya memangku dagu. Tak! Benturan cangkir dan tatakannya semakin dramatis oleh pelototan mata Panji. “Kamu bercanda?” timpal pria yang kemas dengan setelan kantornya itu. “B–baik, Nona, maafkan saya.” Maid itu hampir tersedak napasnya sendiri, lalu segera undur diri ke dapur, diikuti tiga maid lain yang telah selesai merapikan sisa hidangan pagi di meja. Tentu para maid itu jauh lebih mengenal seperti apa perangai Panji bila pelototan matanya sudah menyala, sehingga mereka pilih segera menyingkir daripada terkena imbasnya. Namun, mereka belum tahu jika permaisuri baru di istana itu memiliki keberanian lebih untuk memecundangi ekspresi seram sang raja. “See, bibi itu nggak keberatan. Apa masalah Om?” tanya Selma, matanya sambil melirik ke arah kepergian maid-nya tadi.
“Tuan, apakah ada sesuatu dengan Nyonya?” Lirikan sebal Panji berpindah pada seorang maid yang menatap takut-takut di sampingnya. Ia tebak, pekikannya mengganggu wanita paruh baya itu, apalagi saat ini kondisinya tidak dalam balut pakaian yang benar. Sebentar, amarah Panji masih berusaha disurutkan sebelum akhirnya menjelaskan sesuatu pada pekerjanya itu. “Tidak ada,” elak Panji. “Pergilah beristirahat, besok kau harus mulai bekerja!” titahnya, tanpa lupa ditambahi tatapan menusuk. Setelah maid itu menyingkir dari pandangannya, Panji pun beringsut ke ruangan lain. Ia bisa saja merogoh kunci cadangan dan menghabisi Selma saat itu juga. Namun, rasa-rasanya lelah sekali untuk memulai perdebatan. Jadilah, ruang kerja dengan tambahan set kamar minimalis itu menemani lelapnya malam ini. Bumb! Setelah mendebamkan tubuhnya ke ranjang, Panji membayangkan atap putih yang menaung di ruangannya itu melukiskan wajah Selma. “Awas, kamu! Kita lihat saja, siapa yang akan
“Dis?” Kepala Selma mendusel pada lengan hangat yang tertata di sampingnya, lalu refleks memeluk tubuh si pemilik lengan tersebut. Namun, sepertinya ada yang aneh. Telapak tangannya meraba-raba dada bidang yang menurut bayangannya mirip kepunyaan aktor drama yang kerap ia tonton. Ia tidak mengira tubuh Diska akan sepadat ini. Apa sahabatnya itu rajin mengikuti fitness akhir-akhir ini? “Eumh, ekhem!” Mampus! Selma menelan ludahnya dengan susah, ia ingat siapa pemilik dehaman khas itu. Dengan mata yang senantiasa terpejam, perlahan ia ambil kembali lingkar tangannya. Akan tetapi, sebuah tarikan malah membuatnya semakin merapat. Akhirnya, gadis itu memberanikan diri membuka mata dan bersibobrok dengan pemilik netra gelap yang kini juga tertidur menyamping ke arahnya. “Untuk tidur siang saja kamu pilih menumpang pada ranjang orang lain?” Selma berkedip lambat meski jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. “Om … kok bisa?” Pria itu menggeleng. “Entah, tany
“Jangan diam aja. Bukannya kamu harus menjelaskan sesuatu?” Panji menunggu, matanya tidak lepas dari gadis yang memilih duduk jauh darinya itu. Beruntunglah ia belum meminta para pekerja rumahnya kembali dari cuti. Mulanya pria itu berniat mengerjai Selma agar mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi sepertinya kepergian para maid memberi manfaat tersendiri untuk sepasang pengantin baru yang dilingkupi aura panas tersebut. “Bukan aku.” Selma senantiasa menundukkan kepalanya. “Tapi, bagaimana bisa wajah kalian begitu mirip?” Pyar! Hamburan foto di pangkuan itu sedikit membuat Selma terjingkat. Ia berani bersumpah jika kegadisannya masih utuh, tetapi sedari tadi air muka hingga kata-kata Panji membuat kemampuan berbicaranya gulung tikar sebelum digelar. “Ak–aku nggak kenal sama cowok itu, Om. Sumpah, bukan aku,” bela Selma, diselingi isakan tertahan. Namun, akhirnya tangis gadis itu pecah juga saking takutnya. “Kalau bukan, kenapa nangis?” Nada tany
“Om, kenapa diam aja?” Panji menghela napas terlebih dahulu, lalu menjawab, “Terus, kamu mau aku gimana?” Selma menggigit bibirnya begitu rapat, menahan tawa yang hampir menyembur bebas. Sejak hengkang dari rumah, pria itu memasang wajah sebal. Ia sangat tahu penyebabnya, tetapi tidak merasa bersalah sama sekali. “Jadi mampir apotek, nggak?” Panji menyalakan sein ke kiri. “Beli apa tadi, aku lupa,” katanya. “Ke minimarket aja, Om,” usul Selma, “sekalian beliin pembalut, kayanya aku lupa nggak masukin tas.” Alis Panji terangkat sebelah. “Hah, pembalut?” Suaranya terdengar seperti terkejut daripada pertanyaan. Selma mengangguk begitu saja, lalu dengan sok memelas ia bertanya, “Om Panji nggak mau beliin pembalut buat aku?” Sesaat, pria itu menganalisa mimik aneh di wajah istrinya. Panji ingat, ini adalah pertama kali baginya melihat sisi manja Selma. Apa datang bulan bisa merubah perempuan menjadi seaneh ini? Seumur hidup, tidak pernah sekalipun dir