“Ayo, turun! Tadi di jalan minta-minta, sekarang waktunya turun malah mati!”Memang tidak ada pengertiannya sama sekali pria itu. Tidak tahukah Panji bahwa Selma kehilangan tenaga untuk melanjutkan hidupnya? Lobby hotel berbintang yang sudah ada di depan mata begitu ramai oleh lalu-lalang manusia, beberapa di antaranya sibuk mengusung sejumlah properti. Itu gedung yang dipesan Panji, gadis itu tahu.Blam!Selma mengembuskan napas berat, mulutnya mendadak pahit hanya untuk mencaci pria yang tengah berbincang dengan pramusaji hotel itu. Jiwa mudanya serasa layu hanya dengan mendengar Panji memperkenalkannya sebagai si calon mempelai wanita.“Ayo, masuk! Kita periksa sudah sejauh mana persiapannya.” Panji menyerahkan lengannya yang ditekuk segitiga, bermaksud agar digandeng Selma.Ah, lama! Pria itu mengambil sendiri telapak tangan Selma dan menyangkutkannya pada lipatan siku. Ia tidak berpikir jika gadis yang digandengnya seangkuh itu, bahkan menoleh kanan-kiri pun tidak. Kalau Panji se
“Beraninya kamu muncul di depanku!” Panji mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi.Duagh!Bekas hajaran preman semalam saja belum hilang betul, sekarang pria itu malah menambah beban wajah dengan aksi saling serang dengan sosok yang asing di mata Selma. Umurnya mungkin sepantaran dengan Panji, bergaya necis dengan rambut gondrong sebatas leher. Siapa si anonim, itu urusan nomor sekian. Sekarang, Selma memiliki tugas lain untuk memisah dua pria yang saling hajar di depan matanya. Berat, gadis itu masih sedikit trauma oleh kejadian Panji kontra preman kemarin.Brugh!Momen yang bagus. Begitu sosok anonim itu tersungkur di lantai, Selma langsung tampil di depan Panji dan menggagalkan satu kepalan yang hampir mengenai dahi mulusnya sendiri. Napas gadis itu memburu, terbayang seperti apa sakitnya andai kepalan tangan berotot itu mencium keningnya.“Udah, Om, ini bukan ring tinju!” decak Selma, memberanikan diri beradu sorot setan dengan Panji.Selma tidak tahu, perkara apa yang singkat
“Selamat pagi, Tuan dan Nona.” Madam Runi baru memasuki butik, di mana Selma dan Panji sudah duduk di dalamnya.Wanita berusia hampir kepala lima itu terheran-heran meihat calon mempelai yang duduk dari sudut ke sudut kursi panjang. Daripada disebut sepasang pengantin, mereka–Selma dan Panji–lebih pantas disebut sebagai orang asing yang kebetulan memiliki kepentingan di butiknya.Panji berdiri. “Pagi, Madam,” sambutnya. “Bisa kita langsung ke intinya saja? Masih ada banyak yang harus kita urus setelah ini,” pinta pria itu.“Tentu, Tuan. Mari, Nona Selma bisa mengikuti saya, sementara Tuan sendiri bisa menunggu di sini.” Madam Runi setengah membungkuk, kedua tangannya mengarah ke tirai ruang ganti.Tanpa pamit, Selma menuntun kakinya ke lokasi yang ditunjukkan Madam Runi. Gadis itu mengunci suara sejak insiden amuk mendadak di depan rumah tadi. Seperti itulah dirinya yang cerewet dibuat anteng dengan mudah. Entah bagaimana kelanjutan ‘Renjani’ yang ia sebutkan, pria yang seharusnya
“Ah, segala hal yang ada di diri gue emang nggak pernah salah.” Selma mengedipkan sebelah mata pada bayangannya dalam cermin. “Kecuali tentang suami,” imbuhnya, bernada sesal. Senyum yang semula mengambang pun perlahan terbenam.Hari ini adalah tanggalnya, momen di mana gadis 21 tahun itu meresmikan status sebagai Nyonya Antaraxa, duda kaya yang memaut sepuluh tahun dari usianya. Sejarah hidup terkelam dalam lembaran Selma, kebahagiaan ratusan manusia yang memenuhi ballroom sama sekali tidak menjangkit pada hatinya.Masih dengan gaun cantik yang dijuluki sebagai busana duka oleh calon suaminya, tambahan kalung permata safir semakin membuat gadis itu bak putri dongeng yang kebetulan berjodoh dengan tokoh anime. Entah apa yang tengah dilakukan Panji di ruang sebelah, gadis itu tinggal menunggu nyonya penata busana kembali dari mengambil sepatunya.Ceklek!Selma menoleh ke arah pintu. “Apa sepatuku sud—Viko!” Kelopak mata gadis itu melebar, bulu mata lentiknya sampai terasa menusuk.
“Ah, kenapa mereka lama sekali?” Jemari Panji meremas-remas tidak tenang, tatapannya terpaku pada pintu besar yang akan menjadi jalan masuk bagi calon mempelai wanita.Ini sudah lewat sepuluh menit dari jam yang seharusnya. Akan tetapi, mata Panji tidak kunjung disapa gadis cantik yang ia tinggakan 25 menit lalu. Seharusnya dari pintu emas itulah Selma muncul bersama Sasmara, berjalan di tengah perhatian seluruh tamu undangan yang telah duduk menjamur, seraya membawa buket mawar putih ke arahnya.“Panji!” desis Damar, melambaikan tangan dari bawah pelaminan. “Ke marilah!” suruh pria itu.Tampak ada yang tidak beres, Panji merasakan gelagat aneh dari orang-orang sekitarnya. Akhirnya, pria itu turun dan menyapa iparnya tersebut. “Ada apa ini? Harusnya kita mulai dari tadi, tapi mana Selma?”“Itu dia masalahnya.” Damar menggaruk leher. “Selma … tidak ada,” lirih Damar, sangat hati-hati.“Apa maksudmu dengan tidak ada?” Bukan hanya volume, bahkan sekujur urat Panji ikut menanjak.“H
"Aaaa!" Selma memejamkan matanya rapat-rapat, kepalanya mengobat-abit. Sekian detik kemudian, terdengar pekikan Panji. "Mati saja kau, Gatra!" Pria itu bersiap menyerang musuh meski dengan tangan kosong. "Kamu yang sepantasnya mati!" Gatra beralih mengurusi Panji, mengangkat bangku kecil yang sebelumnya hendak dilemparkan pada Selma. Melihat kegaduhan dua pria itu, Selma berusaha melonggarkan ikat yang membelenggu kaki tangannya. Apalagi melihat Panji kewalahan menghadapi kegilaan Gatra, gadis itu semakin ingin terbebas. "Duh, gimana, nih? Om Panji bisa kalah kalau gitu caranya." Jika tidak ingat waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk memoles wajah, Selma tidak perlu menahan air cengengnya. Brak! Panji bergulung di lantai, beruntungnya bangku itu tidak berhasil mendarat di kepalanya. Dengan napas yang terengah, pria itu menyempatkan diri melirik Selma, memastikan gadis itu tidak mengakami hal buruk. Aman, tetapi ia harus mengulur waktu sebisa mungkin hingga
"Selamat, ya, kalian telah resmi menjadi pasangan suami-istri." Hampa. Bisa-bisanya ia yang baru saja menjadi korban sandera langsung diminta menempati singgasana mempelai tanpa diberi toleransi waktu sedikit pun. Selma menatap pria yang berdiri di sampingnya, tampak tenang seolah tidak memiliki masalah apa pun sebelumnya. "Istri?" lirih Panji, sengaja menyetel suaranya agar didengar Selma seorang. "Bodoh!" kutuk Selma, "Nggak usah ngelawak, nggak lucu," sahutnya, seraya mencebikkan bibir; menahan tangis. Panji merangkul pinggang gadis itu. "Nggak usah nangis, mana ada istrinya Panji tukang mewek," ledek pria itu. Tepat sekali. Lima menit lalu, Selma resmi mencantolkan marga Panji ke dalam nama indahnya. Sepasang mempelai yang berpura-pura bahagia di tengah riuh ratusan tamu undangan itu begitu rapat menyembunyikan inti masalah meski kabar kedatangan sejumlah aparat penegak hukum telah menyebar. Keduanya masih menamatkan wajah anggota keluarga masing-mas
“Tadi aku sudah bilang untuk tidak menangis, ‘kan?” Baik Panji maupun Randi, keduanya sama-sama menenangkan tangis pasangan masing-masing. Entah chemistry jenis apa yang sudah dibangun dua saudara sepersepupuan itu, tampaknya tidak seorang pun berhasil menerjemahkannya. “Hei, masih ada ponsel. Kalian bisa teleponan sampai puas nanti,” hibur Randi, tetapi tidak diindahkan sama sekali oleh dua wanita yang mengumbar air mata tanpa suara itu. “Kenapa mendadak, sih, San?” Selma mengelap ingusnya dengan tisu yang baru diserahkan Panji. “Tega, ya, lo!” decaknya. Sana meraih tangan Selma. “Maaf, Sel. Sebenarnya Kakek sama Papa yang udah siapin ini. Kamu sibuk ngurus pernikahan, makanya aku diam aja, nggak mau bikin kamu drop tiba-tiba,” paparnya. “Nggak! Gue nggak kasih izin buat kalian pergi!” Selma menarik tangannya dari jangkauan Sana. “Sel, come on.” Panji menolehkan wajah gadis itu agar menghadapnya. “Kamu nggak bisa egois kaya gini,” nasehatnya. “Om Panji
“Oh, jadi ini istrimu?” Tekankan sekali lagi, Selma benci ditatap remeh sedemikian itu. Rasanya percuma memperkenalkan diri manis-manis tadi. Inikah alasan orang-orang meremehkannya, karena dandanan childish dan tidak glamour seperti kebanyakan konglomerat lainnya? Hati-hati, khodam-nya kerap bangkit saat sensitif seperti ini. Andai Panji tidak melarang, sudah sejak tadi suaranya nyalak kepada pria yang konon katanya adalah kakak ipar suaminya itu. “Ekhem! Kenapa Kak Gerald dan Kak Mega nggak datang di hari pernikahan kita?” Panji menumpuk dua kakinya, tiada berniat melonggarkan tautan tangan dari Selma. “Oh, maaf soal itu,” ucap Gerald, tetapi terkesan tidak serius. “Sebenarnya aku baru saja pulang dari Singapore, sejak sebulan lalu berlibur di sana. Dan ternyata adikku satu ini benar-benar berhasil menggandeng royal princess Tuan Vallence, ‘ya? Kupikir kamu juga tidak bodoh untuk tahu tujuanku ke mari,” terang pria itu, sejak tadi tidak meluruskan se
“Punggung kamu kenapa, sih?” “Nggak tahu, ish! Jangan banyak tanya, ngapa, sih, Om!” Ditanya baik-baik, sahutannya malah galak. Panji gatal sendiri sejak tadi memperhatikan Selma memijit-mijit punggung sambil sesekali memuntiri leher. Apa itu kode untuk servis tambahan? Selagi mereka sudah ada di rumah, malam pun sebentar lagi membayang. Tidak salah, bukan? Namun, Panji harus menepati janjinya terlebih dahulu untuk tidak meminta aneh-aneh hingga urusan mereka di Swiss nanti selesai. Melihat istrinya berdiri, Panji menutup dokumen yang ada di pangkuannya. “Mau ke mana?” tanyanya, meletakkan folder tebal itu ke samping remote televisi. “Mau ke kamar sebentar,” pamit Selma, kemudian melangkah lesu hingga setiap langkahnya benar-benar dikawal mata sang suami sampai pijakan tangga terakhir. Pet! Setelah mematikan siaran televisi, Panji menyusul gadis itu. Namun, tidak sesudut pun dari kamar luas itu menampakkan kebaradaan
“Ck! Carikan posisinya, aku tidak mau tahu!” Bipp! Panji cekatan memutus sambungan mobile handsfree yang semula dikomunikasikan dengan Dafa. Ia memberikan tugas yang gampang-gampang susah untuk sekretarisnya itu, sementara dirinya sendiri memburu keberadaan sang istri. “Renjani sialan!” Panji menginjak gas lebih dalam. “Aku yakin dia tidak bodoh untuk tahu kabar pernikahanku dengan Selma. Tcih! Untuk itukah dia datang, ingin mengacau?” Black Jaguar yang menggotongnya itu lihai menyelinap di antara arus lalu lintas yang ramai lancar. Memang bukan jam-jam genting, jadilah jalanan metropolitan itu sedikit mendukung pergerakannya dalam mencari Selma. Kendati demikian, di mana ia harus menginjak rem? Ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Ting! Sebuah pesan masuk dari Dafa menunjukkan sebuah lokasi dengan keterangan ‘Nyonya’ di bawahnya. Panji segera mengikuti titik koordinat itu sambil sedikit memuji kelihaian sekreta
“Dafa, kenapa dia bisa sampai ke sini!” Sambil gelagapan dipelototi bos-nya, Dafa menjelaskan, “A–anu, Tuan, s–saya juga tidak tahu. Saya juga baru melihat Nyonya di sini.” “Call me ‘Nona’, please!” desis Selma, menambahi beban Dafa dengan lirikan pedasnya. Syut! “Ikut aku!” Panji menarik gadis itu menuju ke ruangannya, tetapi kaki mereka dihentikan paksa begitu mendapati wanita yang masih anonim itu berdiri di depan pintu. “Ini siapa, Panji?” Wanita berjas tosca itu meneliti penampilan Selma dari ujung ke ujung, lantas berakhir nyengir aneh. Ingin rasanya Selma mencolok mata yang menatapnya remeh itu. Memangnya kenapa dengan kaos dan jeans yang ia kenakan? Ia yakin wanita itu akan pingsan saat melihat banderol harganya, tetapi sayang embel-embel itu mungkin sekarang sudah dibakar atau entah apa di tempat pembuangan. “Dafa!” Pekikan Panji menguar di sepanjang lorong. Dengan tergopoh-gopoh, Dafa tampil di had
“Silakan, Nyonya.” Daripada teh yang disuguhkan padanya, mata Selma lebih tertarik pada maid yang mempersembahkan minuman itu. “Panggil ‘Nona’ aja, nggak, sih?” tanyanya, seraya memangku dagu. Tak! Benturan cangkir dan tatakannya semakin dramatis oleh pelototan mata Panji. “Kamu bercanda?” timpal pria yang kemas dengan setelan kantornya itu. “B–baik, Nona, maafkan saya.” Maid itu hampir tersedak napasnya sendiri, lalu segera undur diri ke dapur, diikuti tiga maid lain yang telah selesai merapikan sisa hidangan pagi di meja. Tentu para maid itu jauh lebih mengenal seperti apa perangai Panji bila pelototan matanya sudah menyala, sehingga mereka pilih segera menyingkir daripada terkena imbasnya. Namun, mereka belum tahu jika permaisuri baru di istana itu memiliki keberanian lebih untuk memecundangi ekspresi seram sang raja. “See, bibi itu nggak keberatan. Apa masalah Om?” tanya Selma, matanya sambil melirik ke arah kepergian maid-nya tadi.
“Tuan, apakah ada sesuatu dengan Nyonya?” Lirikan sebal Panji berpindah pada seorang maid yang menatap takut-takut di sampingnya. Ia tebak, pekikannya mengganggu wanita paruh baya itu, apalagi saat ini kondisinya tidak dalam balut pakaian yang benar. Sebentar, amarah Panji masih berusaha disurutkan sebelum akhirnya menjelaskan sesuatu pada pekerjanya itu. “Tidak ada,” elak Panji. “Pergilah beristirahat, besok kau harus mulai bekerja!” titahnya, tanpa lupa ditambahi tatapan menusuk. Setelah maid itu menyingkir dari pandangannya, Panji pun beringsut ke ruangan lain. Ia bisa saja merogoh kunci cadangan dan menghabisi Selma saat itu juga. Namun, rasa-rasanya lelah sekali untuk memulai perdebatan. Jadilah, ruang kerja dengan tambahan set kamar minimalis itu menemani lelapnya malam ini. Bumb! Setelah mendebamkan tubuhnya ke ranjang, Panji membayangkan atap putih yang menaung di ruangannya itu melukiskan wajah Selma. “Awas, kamu! Kita lihat saja, siapa yang akan
“Dis?” Kepala Selma mendusel pada lengan hangat yang tertata di sampingnya, lalu refleks memeluk tubuh si pemilik lengan tersebut. Namun, sepertinya ada yang aneh. Telapak tangannya meraba-raba dada bidang yang menurut bayangannya mirip kepunyaan aktor drama yang kerap ia tonton. Ia tidak mengira tubuh Diska akan sepadat ini. Apa sahabatnya itu rajin mengikuti fitness akhir-akhir ini? “Eumh, ekhem!” Mampus! Selma menelan ludahnya dengan susah, ia ingat siapa pemilik dehaman khas itu. Dengan mata yang senantiasa terpejam, perlahan ia ambil kembali lingkar tangannya. Akan tetapi, sebuah tarikan malah membuatnya semakin merapat. Akhirnya, gadis itu memberanikan diri membuka mata dan bersibobrok dengan pemilik netra gelap yang kini juga tertidur menyamping ke arahnya. “Untuk tidur siang saja kamu pilih menumpang pada ranjang orang lain?” Selma berkedip lambat meski jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. “Om … kok bisa?” Pria itu menggeleng. “Entah, tany
“Jangan diam aja. Bukannya kamu harus menjelaskan sesuatu?” Panji menunggu, matanya tidak lepas dari gadis yang memilih duduk jauh darinya itu. Beruntunglah ia belum meminta para pekerja rumahnya kembali dari cuti. Mulanya pria itu berniat mengerjai Selma agar mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi sepertinya kepergian para maid memberi manfaat tersendiri untuk sepasang pengantin baru yang dilingkupi aura panas tersebut. “Bukan aku.” Selma senantiasa menundukkan kepalanya. “Tapi, bagaimana bisa wajah kalian begitu mirip?” Pyar! Hamburan foto di pangkuan itu sedikit membuat Selma terjingkat. Ia berani bersumpah jika kegadisannya masih utuh, tetapi sedari tadi air muka hingga kata-kata Panji membuat kemampuan berbicaranya gulung tikar sebelum digelar. “Ak–aku nggak kenal sama cowok itu, Om. Sumpah, bukan aku,” bela Selma, diselingi isakan tertahan. Namun, akhirnya tangis gadis itu pecah juga saking takutnya. “Kalau bukan, kenapa nangis?” Nada tany
“Om, kenapa diam aja?” Panji menghela napas terlebih dahulu, lalu menjawab, “Terus, kamu mau aku gimana?” Selma menggigit bibirnya begitu rapat, menahan tawa yang hampir menyembur bebas. Sejak hengkang dari rumah, pria itu memasang wajah sebal. Ia sangat tahu penyebabnya, tetapi tidak merasa bersalah sama sekali. “Jadi mampir apotek, nggak?” Panji menyalakan sein ke kiri. “Beli apa tadi, aku lupa,” katanya. “Ke minimarket aja, Om,” usul Selma, “sekalian beliin pembalut, kayanya aku lupa nggak masukin tas.” Alis Panji terangkat sebelah. “Hah, pembalut?” Suaranya terdengar seperti terkejut daripada pertanyaan. Selma mengangguk begitu saja, lalu dengan sok memelas ia bertanya, “Om Panji nggak mau beliin pembalut buat aku?” Sesaat, pria itu menganalisa mimik aneh di wajah istrinya. Panji ingat, ini adalah pertama kali baginya melihat sisi manja Selma. Apa datang bulan bisa merubah perempuan menjadi seaneh ini? Seumur hidup, tidak pernah sekalipun dir