#Penyesalanku 1
"Saya, mau istri saya diperiksa oleh dokter wanita, suster," ucapku pada perawat yang menjaga meja resepsionis.
"Bisa Pak, tapi Bapak harus menunggu satu jam lagi. Masalahnya, di sini dokter kandungan wanitanya adalah direktur rumah sakit, dan sekarang sedang ada rapat dewan direksi.
Kalau Bapak dan Ibu buru-buru, bisa diperiksa dokter Agus sekarang," jelas perawat bertag name Sita itu ramah.
Aku berfikir sejenak, menunggu itu melelahkan, tapi tak apalah, daripada istriku diobok-obok dokter laki-laki. Jujur aku tidak rela meski dengan alasan medis.
"Ya nggak pa-pa Suster, saya akan menunggu," ucapku mantap.
"Silahkan ditunggu, Pak," pungkasnya, kemudian kembali dengan kesibukannya.
Tak salah aku memilih rumah sakit ini, untuk memeriksakan kehamilan istriku. Rumah sakit milik ormas berlambang matahari terbit ini memang memuaskan pelayanannya.
Dari satpam, hingga resesionisnya ramah semua. Cepat tanggap, lihat saja saat aku minta dokter kandungan wanita, direkturnya sendiri bersedia turun tangan.
Pantas saja rumah sakit ini berkembang pesat, padahal awalnya hanya klinik kecil. Ormas ini memang selalu total kalau membangun fasilitas untuk umum, lihat saja sekolah, kampus, hingga rumah sakit besutannya, yang ada dihampir seluruh kota di Indonesia. Semuanya maju.
Anganku kembali pada masa lalu, dulu mantan istriku pernah dinas di sini, tapi mengundurkan diri setelah menikah denganku. Dia seorang dokter umum, yang baru beberapa bulan bekerja, tapi rela melepas karir dan mimpinya, demi mengabdi kepadaku, suaminya.
Tapi sayang, aku yang kurang bersyukur mendapat istri secantik dan sebaik dia. Justru tidak menghargai pengorbanannya dan menganggap dia manja, saat dia berkeluh kesah.
Ah, andai waktu bisa diulang kembali, aku tidak akan membuat dia terluka, apalagi menceraikannya. Aku akan membahagiakannya, tapi sayang itu hanya anganku saja.
"Lama banget sih, dokternya," keluh istriku, membuat lamunanku buyar seketika. Wajahnya terlihat suntuk, bibirnya mengerucut.
Kulihat jam di tanganku sekilas, rupanya sudah satu jam lebih aku menunggu. Tapi dokter wanita yang dijanjikan perawat itu tidak kunjung muncul juga. Aku yang sudah bosan menunggu akhirnya gusar juga.
"Suster, kok Bu Dokternya belum datang juga, hampir dua jam saya menunggu lho?" protesku pada Suster bertagar name Sita.
"Sabar ya Pak, Bu Uma sedang perjalanan ke sini," sahut Suster Sita dengan senyum ramahnya.
"Deg!" Jantungku berdesir lembut, Uma nama dokter yang akan memeriksa istriku? Apaka Uma yang sama? Uma mantan istriku? Ah, pasti hanya kebetulan saja, Uma hanya dokter umum, sedangkan dr. Uma ini spesialis kandungan.
Sesosok wanita berjas putih masuk ke ruang periksa. Dia tinggi semampai, berpenampilan elegan, jadi itu bukan Uma, mantan istriku, melainkan orang lain, yang bernama sama.
"Nyonya Arisandi!" Nama istriku dipanggil dari ruang periksa, aku dan Sandi segera bangkit dan menuju ruangan.
"Silahkan duduk," sapa dokter itu ramah.
"Nyonya Arisandi, umur dua puluh delapan tahun, kehamilan pertama, sudah telat dua bulan," dokter itu membaca kertas karton berwarna biru muda, di genggamannya.
"Keluhannya apa?" tanya dokter itu ramah, dilihat dari matanya yang menyipit, aku yakin dia sedang tersenyum, meski wajahnya ditutupi masker.
"Setiap pagi mual, trus gampang capek, lemes Dokter," jawab istriku menceritakan masalahnya.
"Manja!" desisku dalam hati.
Iya, istri ketigaku ini memang manja sekali. Baru hamil saja, kerjanya malas-malasan, dengan alasan bawaan bayi. Beda dengan Uma dulu, meski dia hamil, tapi tetap gesit mengerjakan tugas rumah, bahkan sambil merawat ibuku yang sakit-sakitan.
Kalau Sandi? Beuh! Jangankan mengurus diriku, mengurus dirinya sendiri saja tidak becus. Apa-apa minta dilayani, bahkan aku terpaksa membayar pembantu, untuk mengerjakan semua kebutuhan rumah termasuk aku dan Sandi.
"Oh, itu biasa Bu, tri semester pertama biasanya mengalami morning sickness, gampang lelah, itu wajar. Tapi tetap harus gerak ya, nggak perlu berat-berat, jalan kaki misalnya.
Kalau dipakai malas-malasan malah nanti nggak baik buat janinnya, kurang sehat." Nasehat dokter Uma.
"Nggak bed res saja Bu Dokter?" sanggah istriku.
"Hah? Bed res? Yang bener aja?" gerutuku dalam hati.
"Nggak perlu, kecuali sudah nggak kuat, nggak ada lagi makanan yang bisa masuk, memang harus bed res. Ibu masih doyan makan, kan?"
"Masih Dokter, terutama yang enak-enak," selorohku.
"Deg!" tiba-tiba jantungku berdetak lebih keras, mata di balik kaca mata itu mirip milik mantan istriku, Uma.
Pandanganku beralih ke dada bagian kiri Dokter cantik itu, "dr. Kusuma Wijayanti Spog", begitu yang nama tertera. Sama persis dengan nama lengkap mantan istriku.
Setelah lima tahun kami berpisah, dia menjelma menjadi wanita berkelas. Tidak seperti saat bersamaku, kusam, kucel, dan kusut.
"Wanita hamil memang begitu Pak, pengennya diperhatikan dan dimanja, turuti saja, selama masih mampu."
Aku merasa tersindir dengan ucapan Uma, atau memang dia sengaja menyindirku? Untuk menyadarkanku, memang begitulah kodrat wanita, ingin selalu disayang dan dimanja.
Dulu, saat dia hamil, aku tak ambil peduli, saat dia pengen ini dan itu, atau mengeluh badannya pegal-pegal. Kuaggap itu semua hanya cara dia cari perhatian saja.
"Mari ke ranjang periksa, biar saya USG," lanjut Uma.
Sandi merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Suster Sita, menutupi tubuh bagian bawah istriku dengan selimut, lalu membuka baju istriku, dan mengoleskan semacam gel, ke perut Sandi.
"Ini janinnya, ukurannya normal, ketubannya juga normal, semuanya normal. Ini artinya kehamilan anda baik-baik saja, " ucap Uma pada Sandi, seolah tidak menganggapku ada.
Uma bersikap seolah kami tidak saling kenal, padahal kami pernah hidup seatap selama 6 tahun.
Usai periksa, kuminta Sandi untuk antre di apotek, sementara aku sengaja menunggu Uma, di depan ruang periksa.
Tak lama kemudian, Uma keluar dari ruang periksa dengan tergesa-gesa.
"Uma!" seruku memanggil namanya.
Uma berhenti sejenak, dan menoleh kearahku. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" ucapnya formal.
"Apa kabarmu?"
"Oh, baik, saya baik-baik saja," ucapnya canggung.
"Anak-anak---" belum sempat kuselesaikan ucapanku, Uma sudah memotongnya.
"Maaf saya buru-buru Pak, ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja.
Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, atau perhatian sebagai ayah. Bahkan sekedar bertanya kabar pun, tak pernah. Aku sudah menelantarkan mereka.
Bersambung...
Cerita ini alurnya maju mundur ya.
Penyesalanku 2"Maaf, saya buru-buru Pak. Ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja.Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, atau sekedar perhatian, aku sudah menelantarkan mereka.Aku bahkan tidak menyerahkan dia secara baik-baik kepada orang tuanya, aku tidak pernah menengok anak kami, atau sekedar menanyakan kabarnya. Bagiku mereka sudah mati, meski terkadang terselip rasa rindu, tapi ego sebagai lelaki menahanku. Kupandang punggung mantan istriku itu, hingga menghilang di lorong rumah sakit. Jujur ada getaran aneh dalam dadaku, saat bertemu dengannya tadi. Apa masih ada cinta untuknya? Entahlah, dari tiga pernikahanku, dialah istri terbaik yang pernah kupunya. "Kok berhenti Mas? Kan Mas Afnan tahu sendiri, menjadi dokter itu impianku sejak kecil," protes Uma, saat ku-utarakan keinginanku ag
Penyesalanku 3 Ah Uma, andai kamu tahu ngenesnya hidupku setelah bercerai denganmu.Lihat saja, pagi-pagi bukannya bangun menyiapkan sarapan untuk suami, Sandi malah asik molor. "Dek, bangun! Sudah siang!" Ku guncang-guncang kaki Sandi, yang masih terlelap dalam mimpi."Dek, kamu belum solat subuh lho!" sekali lagi kubangunkan Sandi.Tapi Sandi tak bergerak sama sekali, tak memberi respon meski kubangunkan berulangkali. Begitulah istriku ini, kalau sudah tidur seperti orang mati.Tak pernah ada sarapan pagi, atau menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, aku ini beristri tapi rasanya seperti duda saja. Apa-apa melakukan sendiri. Gontai ku langkahkan kaki ke dapur, terpaksa aku membuat telur dadar sendiri, nasi kemarin yang dimasak Bi Murni masih ada di magic com. Bosan tiap hari hanya sarapan roti, karena Sandi tak pernah mau masak. "Sebelum menikah dulu, Kan aku sudah bilang, Mas. Aku mau jadi istrimu, melayani urusan ranjangmu, tapi urusan dapur dan sumur a
Penyesalanku 4Aku menatap wajah bocah itu, aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Dia mirip dengan....apa mungkin?.Lalu pandanganku beralih ke papan nama di dada baju seragamnya, "Muhammad Alfarizi Baadillah" Nama itu.... "Auw!" Anak itu menjerit kesakitan, saat berusaha berdiri. Membuat lamunanku buyar seketika."Mana yang sakit, Dek?" tanyaku panik."Pergelangan kakiku, Om," lirihnya. Ku buka sepatu dan kaos kakinya, kulihat memang ada memar di sana, Mungkin dia terkilir saat jatuh tadi."Kamu terkilir ini, Om antar ke rumah sakit ya?" Bocah itu diam, sepertinya sedang berfikir, kemudian menjawab. "Antar ke PKU aja Om, Bunda dinas di sana," ucapnya kemudian.Aku memapah bocah itu menuju mobilku, mendudukkanny di kursi depan, lalu tancap gas ke rumah sakit yang dimaksud. Rumah sakit yang sama, di mana Sandi memeriksakan kehamilan, dan tempat kerja Uma. "Kamu tadi mau kem
Penyesalanku 5Sebelum mencapai pintu Bapak berbalik menatapku. "Kalau terjadi sesuatu pada Uma, saya pastikan kamu akan menyesal!" ancam Bapak kemudian pergi. Tanpa menunggu jawabanku, Bapak pergi begitu saja.Tanganku mengepal, ego kelaki-lakianku menggelegak, aku tidak terima harga diriku sebagai suami diinjak. Seorang Ayah menjemput paksa anaknya dari rumah suaminya sendiri, ini penghinaan bagiku "Sekali Uma keluar, maka pintu rumah ini akan tertutup selamanya untuk, Uma!" ujarku lantang, Bapak menghentikan langkahnya sejenak, menoleh kearahku sekilas, dengan tatapan sinis, pun Ibu mertua. Kemudian mereka semua pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Uma lagi. Bahkan saat anak kedua kami lahir, aku pun tak menjenguknya, untuk apa? Merendahkan harga diriku? "Af, Uma sudah melahirkan, kita kesana yuk, njenguk cucu Ibu." Rengek Ibu padaku."Ibu tahu
Penyesalanku 6Dengan langkah gontai, kutinggalkan ruangan Uma. Entah apa yang sudah terjadi pada diri Uma, hingga membuatnya berubah 180 derajat. Tak lagi lemah lembut. Sebenarnya aku punya satu mantan istri lagi selain Uma. Tapi entah mengapa hanya kenangan bersama Uma yang tak bisa kulupakan, mungkin sudah ada anak diantara kami, dan kebersamaan kami lumayan lama, 6 tahun. Namanya Riyanti, gadis manis berlesung pipi. Aku mengenalnya enam bulan setelah resmi bercerai dengan Uma. Ibu yang mengenalkannya padaku, dia anak sahabat ibuku. Meski dijodohkan, aku dan Riyanti saling mencintai. Aku jatuh cinta pada sosoknya ramah, lembut dan perhatian.Singkat kata kami menikah, setelah menjalani proses pendekatan selama dua bulan. Dia kalem, tak banyak menuntut, dan bersedia menjadi Ibu rumah tangga seutuhnya.Usia Riyanti waktu itu dua puluh dua tahun, jauh lebih muda dibanding Uma. Dia baru saja lulus kuliah, belum punya pengalaman kerja, mungkin itu yang membuat dia t
Pov Uma"Boleh kan, aku menjalin kedekatan dengan anak-anakku?" tanyanya pelan. "Apa selama ini anda perduli?" jawabku dingin. "Aku ---" "Maaf, ada pasien yang harus saya tangani, pemisi." Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, aku segera memotongnya. Malas aku ngobrol lama-lama dengan laki-laki egois ini. Huh! Kenapa kau harus bertemu dia lagi? Hidupku yang semula tentram, kini merasa terusik dengan kehadirannya. Jujur, aku lebih suka dia menghilang.Afnan Baadaillah, Laki-laki yang pernah menorehkan luka terdalam dihidupku, kini muncul lagi. Meski tak sengaja tetap saja aku tidak suka.Bukan hal yang mudah untuk melupakan pria yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Demi dia, aku rela meninggalkan karir dan mimpiku, mengabdi sepenuh jiwa raga pada suami.Tapi apa yang kudapat? Penghargaan, atau sekedar ucapan terima kasih? Tidak! Dia menganggap itu adalah kewajibanku sebagai istri, memang seharusnya kulakukan tanpa pamrih."Kamu mikirin suamimu lagi, Uma?" tanya
Kejadian yang kualami pagi ini membuat moodku ambyar, susah fokus. Pekerjaanku tidak ada yang beres, teringat sikap dingin Uma. Tak kusangka, dia begitu arogan. Apalagi kata terakhirnya terus terngiang-ngiang di telingaku. "Bahkan saya lupa pernah menjadi istri anda" Uma benar-benar sudah berubah. Karena nggak konsen dengan kerjaan kantor, akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Dengan alasan tak enak badan aku minta ijin Mbak Yeni. Sampai rumah, kudapati pagar tidak digembok, berarti ada orang di rumah, begitu pikirku. "Assalamualaikum .... Dek! Mas pulang!" seruku lantang."Waalaikum salam ... eh, Pak Afnan sudah pulang?" Wanita setengah baya yang kupanggil Bibi itu, tergopoh-gopoh menghampiriku. "Bu Sandi mana? Masih di kamar?" tanyaku pada Bi Murni, harusnya Sandi yang menyambutku, kenapa malah pembantu?."Bu Sandi pergi, Pak.""Kemana?""Nggak tahu Pak, nggak pamit tadi, kan biasanya emang begitu." Jadi tiap hari, kalau kutinggal kerja, Sandi pergi kel
Minggu pagi.... Menikmati secangkir kopi, bercengkrama berdua dengan istri tercinta, hanya ada dalam anganku saja. nyatanya Sandi, masih asik berlayar di alam mimpi. Kuputuskan untuk keluar mencari sarapan, biasanya week end begini alun-alun ramai, banyak yang olah raga, atau sekedar jalan-jalan. Dan biasanya, banyak juga penjual makanan yang menggelar dagangannya.Berharap Sandi memasakan sarapan untukku adalah satu kemustahilan. Lebih baik aku mengisi perutku sendiri, soal Sandi, biasanya juga pesan grab food. Sepanjang perjalanan, banyak orang yang sedang joging. Ada yang berdua dengan pasangannya, bahkan ada yang membawa anak-anaknya.Sisi hatiku tertampar, seandainya saja aku masih bersama Uma, pasti saat ini aku sedang jalan pagi bareng Uma dan anak-anak.Akhirnya aku sampai di alun-alun kota, setelah tengok kanan tengok kiri, aku mendapat parkir dekat penjual bubur ayam. Nampaknya semangkuk bubur ayam pedas, akan terasa nikmat pagi ini, gumam hatiku.Baru saja aku turun dar
"Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja
"Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me
Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,
Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje
"Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---
Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga
"Kamu kenapa sih, Mas? Sekarang kok jarang makan di rumah, nggak mau dibawain bekal," tanya Wina ketika aku menolak sarapan, dan tidak mau membawa bekal yang sudah dia siapkan. "Nggak pa-pa, hampir tiap hari ada aja yang bawa makanan, masak iya aku tolak, nggak enak," bohongku. Padahal aku males makan masakan Wina yang itu-itu saja. Lagi pula aku males bawa bekal dari rumah, kayak anak TK aja. Mending aku makan di warungnya Riyanti, rasanya enak plus bisa menatap wajah cantiknya. "Beneran itu alasannya? Bukan karena ada alasan lain?" tanyanya curiga. "Alasan lain apa? Kamu jangan ngarang ya?" "Mungkin aja kamu lebih suka makan di warung Mbak Janda, yang sekarang lagi viral itu.""Mbak Janda?" Aku membeo ucapan Wina. "Iya, warung sotonya Mbak Riyanti. Warga baru kompleks ini.""Kamu itu ngarang, aku memang pernah makan di sana, tapi nggak setiap hari juga. Nggak bosen apa, makan soto terus," sangkalku. Padahal aku hampir setiap hari makan di warung itu. Bagiku tidak ada kata bosa
Setelah kedatanganku yang pertama mendapat sambutan baik dari Riyanti, hampir setiap hari aku berkunjung ke warung itu. Tapi aku memilih jam makan siang, yang pengunjungnya tak terlalu ramai. Aku juga sering bantu Riyanti, beres-beres saat warungnya kalau mau tutup. Entah lah, apa yang kulakukan ini dosa atau tidak, aku hanya ingin meringankan sedikit saja beban janda muda itu. Meski berkali-kali dia menolak bantuanku. "Mas Afnan nggak usah repot bantu-bantu di sini. Ada anak-anak, biar mereka aja yang mengerjakan," ucap Riyanti ketika membantunya menurunkan belanjaan dari mobil. "Nggak pa-pa, aku seneng bisa bantu kamu.""Iya, tapi aku nggak enak. Apa kata orang nanti, melihat Mas Afnan bantuin aku di sini!" "Ya emang kenapa? Nggak salah, kan?""Mas, aku ini sudah berusaha sebisa mungkin menyembunyikan masa lalu kita lho, kalau kamu kayak gini nanti tetangga tahu, kalau aku ini mantan istrimu.""Kalau mereka tahu kenapa?""Kan bisa jadi bahan gunjingan, Mas. Aku malu.""Sudah ngg
Sejak Riyanti menghantui pikiranku, aku jadi penasaran ingin bertemu dengannya, meski tak bisa ngobrol lama, setidaknya aku bisa memandang wajahnya. Tapi setiap hari aku hanya bisa menatap pagar terkunci dari luar, rumah Riyanti selalu sepi. Paling-paling aku melihat pembantunya yang sedang nyapu halaman. Tak kehilangan akal, aku berusaha bangun pagi, agar bisa melihat Riyanti. Begitu azan berkumandang, aku segera bergegas ke mesjid terdekat, tapi rumah Riyanti sudah sepi. Usaha apa lagi yang harus kulakukan agar bisa bertamu Riyanti? Tiba-tiba terlintas ide dikepalaku, mengapa aku tidak ke warung makannya saja? Pura-pura makan. Selain bisa menatap wajahnya dari dekat, aku bisa merasakan enaknya masakan dia. "Tumben pagi-pagi sudah mau berangkat, Mas?" sapa Wina, ketika melihatku sudah rapi. "Iya, ada beberapa berkas yang harus diperiksa," bohongku. Berkas apaan? Aku hanya ingin sarapan di warung makan milik Riyanti. "Nggak sarapan dulu? Sudah mateng lho, aku ambilin ya?""Ngga