Pov Uma"Boleh kan, aku menjalin kedekatan dengan anak-anakku?" tanyanya pelan. "Apa selama ini anda perduli?" jawabku dingin. "Aku ---" "Maaf, ada pasien yang harus saya tangani, pemisi." Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, aku segera memotongnya. Malas aku ngobrol lama-lama dengan laki-laki egois ini. Huh! Kenapa kau harus bertemu dia lagi? Hidupku yang semula tentram, kini merasa terusik dengan kehadirannya. Jujur, aku lebih suka dia menghilang.Afnan Baadaillah, Laki-laki yang pernah menorehkan luka terdalam dihidupku, kini muncul lagi. Meski tak sengaja tetap saja aku tidak suka.Bukan hal yang mudah untuk melupakan pria yang pernah membersamaiku selama enam tahun itu. Demi dia, aku rela meninggalkan karir dan mimpiku, mengabdi sepenuh jiwa raga pada suami.Tapi apa yang kudapat? Penghargaan, atau sekedar ucapan terima kasih? Tidak! Dia menganggap itu adalah kewajibanku sebagai istri, memang seharusnya kulakukan tanpa pamrih."Kamu mikirin suamimu lagi, Uma?" tanya
Kejadian yang kualami pagi ini membuat moodku ambyar, susah fokus. Pekerjaanku tidak ada yang beres, teringat sikap dingin Uma. Tak kusangka, dia begitu arogan. Apalagi kata terakhirnya terus terngiang-ngiang di telingaku. "Bahkan saya lupa pernah menjadi istri anda" Uma benar-benar sudah berubah. Karena nggak konsen dengan kerjaan kantor, akhirnya aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Dengan alasan tak enak badan aku minta ijin Mbak Yeni. Sampai rumah, kudapati pagar tidak digembok, berarti ada orang di rumah, begitu pikirku. "Assalamualaikum .... Dek! Mas pulang!" seruku lantang."Waalaikum salam ... eh, Pak Afnan sudah pulang?" Wanita setengah baya yang kupanggil Bibi itu, tergopoh-gopoh menghampiriku. "Bu Sandi mana? Masih di kamar?" tanyaku pada Bi Murni, harusnya Sandi yang menyambutku, kenapa malah pembantu?."Bu Sandi pergi, Pak.""Kemana?""Nggak tahu Pak, nggak pamit tadi, kan biasanya emang begitu." Jadi tiap hari, kalau kutinggal kerja, Sandi pergi kel
Minggu pagi.... Menikmati secangkir kopi, bercengkrama berdua dengan istri tercinta, hanya ada dalam anganku saja. nyatanya Sandi, masih asik berlayar di alam mimpi. Kuputuskan untuk keluar mencari sarapan, biasanya week end begini alun-alun ramai, banyak yang olah raga, atau sekedar jalan-jalan. Dan biasanya, banyak juga penjual makanan yang menggelar dagangannya.Berharap Sandi memasakan sarapan untukku adalah satu kemustahilan. Lebih baik aku mengisi perutku sendiri, soal Sandi, biasanya juga pesan grab food. Sepanjang perjalanan, banyak orang yang sedang joging. Ada yang berdua dengan pasangannya, bahkan ada yang membawa anak-anaknya.Sisi hatiku tertampar, seandainya saja aku masih bersama Uma, pasti saat ini aku sedang jalan pagi bareng Uma dan anak-anak.Akhirnya aku sampai di alun-alun kota, setelah tengok kanan tengok kiri, aku mendapat parkir dekat penjual bubur ayam. Nampaknya semangkuk bubur ayam pedas, akan terasa nikmat pagi ini, gumam hatiku.Baru saja aku turun dar
Pov Uma"Uma!" Terdengar suara bariton yang asing di telingaku, memanggil.Reflek aku menoleh, sesosok pria jangkung berkaca mata menghampiriku. "Ya Allah, Uma .... Dari tadi aku ngikutin kamu lho. Buat mastiin, kalau ini beneran Uma temanku atau bukan. Soalnya kamu berubah banget, makin cantik sekarang," ucap pria itu, dengan nafas terengah-engah. Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat siapa sosok mahluk tampan yang berdiri di hadapanku. Seperti pernah lihat, tapi di mana? Aku benar-benar lupa."Kamu nggak ingat aku?" tanyanya padaku, aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Ini aku, Prabu Wijaya teman kuliah kamu. Kita dulu sering dijodoh-jodohin sama teman-taman, karena kita punya nama yang mirip. Kamu ingat 'Wijaya kuadrat'? Begitu kita dipanggil dulu." Saat dia menyebutkan namanya, aku jadi ingat. Dia adalah pria yang pernah membuatku jatuh cinta sekaligus patah hati dalam waktu bersamaan. Dia teman kuliahku, putra pejabat daerah di kota ini. Kami dulu sempat
Kuputuskan berangkat kantor pagi-pagi, sekalian nyari sarapan. Di rumah lama-lama juga buat apa? Sandi masih ngorok.Bicara soal Sandi, entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa hampa, apa aku sudah bosan dengan sikap membangkangnya? Mungkin saja. Seharian kemarin kami di rumah berdua saja. Setiap hari minggu Bi Murni libur, ingin menikmati waktu bersama keluarga katanya. Aku maklum saja, masak kerja nggak ada liburnya.Idealnya, ada waktu berdua saja di manfaatkan untuk ngobrol, saling cerita kesibukan masing-masing, atau mesra-mesraan lah. Lha ini?Sandi sibuk dengan gawainya, gegoleran di atas tempat tidur sambil nonton drakor favorit. Ada suami di rumah malah dicuekin, sebenarnya mau dia apa sih?Bukannya minta maaf karena ketahuan keluyuran kemarin, untuk memperbaiki hubungan kami. Dia malah bersikap tidak perduli, apa aku harus minta maaf duluan? Sorry! Not my style. Dalam perjalanan, tiba-tiba terlintas dalam fikiranku untuk melewati rumah mantan mertuaku, kebetula
Di gerai pakaian dalam wanita, kulihat Sandi istriku, sedang belanja di sana. Wajar wanita sekelas Sandi memilih belanja di sini, Mall besar menjual produk branded. Yang jadi masalah adalah, dia belanja ditemani seorang laki-laki tak kukenal. Dari tatapannya, aku tahu, dia berhasrat sekali terhadap Sandi. Apalagi saat Sandi menempelkan lingeri tipis ketubuhnya, pria itu seperti ingin menelan Sandi hidup-hidup.Sebenarnya aku bisa saja melabrak mereka, sekaligus menggampar laki-laki itu, Tapi untuk apa? Untuk mempermalukam diriku? Memperlihatkan betapa bodohnya aku, karena sudah menikahi wanita murahan seperti Sandi? Tidak, itu tidak akan kulakukan. Lagi pula ini tempat umum, kalau terjadi keributan, bisa mempuruk citra perusahaan tempatku bekerja, karena aku datang ke sini atas nama perusahaan.* * * * * "Gimana hasilnya, Af?" tanya Mbak Yeni, menyambut kedatanganku. "Beres Mbak," jawabku lesu."Syukurlah kalau begitu, semoga penjualan semakin meningkat usai ekspo ya?""Iya M
"Iya! Dia memang kaya dan royal padaku! Tidak seperti kamu! Sudah kere*! Pelit!" seru Sandi dengan suara tinggi.Ucapan Sandi berhasil memprofokasi aku, dan... "Plak!" Tamparanku mendarat tepat di pipi mulus Sandi, hingga meninggalkan bekas merah di sana.Untuk pertama kalinya, aku main tangan pada istri. Baik Uma, maupun Riyanti, tidak pernah berani bersuara tinggi di depanku, mereka hanya bisa menitikkan air mata bila aku marah. Padahal pertengkaran kami, biasanya disebabkan oleh kesalahanku. Sandi benar-benar sudah keterlaluan, jelas-jelas dia salah bukannya minta maaf malah berani memaki dan berkata kasar, yang merendahkan harga diriku sebagai suami, seketika rasaku padanya yang menggebu, padam.Aku sudah memenuhi semua kebutuhannya, bahkan aku memberinya uang untuk kebutuhannya sendiri, kenapa dia bilang aku pelit?Uma saja, kuberi uang kurang dari lima juta, karena waktu itu gajiku masih sedikit, tak sebanyak sekarang. Nyatanya uang itu cukup untuk biaya
Apa aku mulai menuai karma? Anak-anakku tidak mengenal aku sebagai ayahnya. Dan kini harus menerima kenyataan, bahwa Sandi yang ternyata wanita murahan.Entah apalagi, kejutan dalam hidupku nanti? Allah seperti sedang menjungkir balikkan kehidupanku, sejak menikah dengan Sandi. Dulu aku adalah suami dominan, keinginanku adalah titah, tak boleh dibantah.Tapi dengan Sandi, aku harus banyak mengalah, menuruti semua maunya, tapi nyatanya? Sandi tak lebih dari wanita murahan dan matrealistis, harusnya aku menyadarinya dari awal, sebelum kami menikah."Mas, kita resepsinya di hotel bintang lima ya? Aku mau busana pengantinya yang terbaik, beli di Cantik Boutique," ucapnya, kala kami baru merancang acara pernikahan."Kenapa harus beli? Kan bisa sewa? sanggahku waktu itu. "Sewa? Ogah aku Mas, pakai baju bekas orang lain, nanti kulitku alergi," ucapnya menolak mentah-mentah usulanku."Butuh biaya nggak sedikit itu, Dek. Uangku sudah kepakai buat bayar maharmu yan
"Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja
"Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me
Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,
Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje
"Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---
Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga
"Kamu kenapa sih, Mas? Sekarang kok jarang makan di rumah, nggak mau dibawain bekal," tanya Wina ketika aku menolak sarapan, dan tidak mau membawa bekal yang sudah dia siapkan. "Nggak pa-pa, hampir tiap hari ada aja yang bawa makanan, masak iya aku tolak, nggak enak," bohongku. Padahal aku males makan masakan Wina yang itu-itu saja. Lagi pula aku males bawa bekal dari rumah, kayak anak TK aja. Mending aku makan di warungnya Riyanti, rasanya enak plus bisa menatap wajah cantiknya. "Beneran itu alasannya? Bukan karena ada alasan lain?" tanyanya curiga. "Alasan lain apa? Kamu jangan ngarang ya?" "Mungkin aja kamu lebih suka makan di warung Mbak Janda, yang sekarang lagi viral itu.""Mbak Janda?" Aku membeo ucapan Wina. "Iya, warung sotonya Mbak Riyanti. Warga baru kompleks ini.""Kamu itu ngarang, aku memang pernah makan di sana, tapi nggak setiap hari juga. Nggak bosen apa, makan soto terus," sangkalku. Padahal aku hampir setiap hari makan di warung itu. Bagiku tidak ada kata bosa
Setelah kedatanganku yang pertama mendapat sambutan baik dari Riyanti, hampir setiap hari aku berkunjung ke warung itu. Tapi aku memilih jam makan siang, yang pengunjungnya tak terlalu ramai. Aku juga sering bantu Riyanti, beres-beres saat warungnya kalau mau tutup. Entah lah, apa yang kulakukan ini dosa atau tidak, aku hanya ingin meringankan sedikit saja beban janda muda itu. Meski berkali-kali dia menolak bantuanku. "Mas Afnan nggak usah repot bantu-bantu di sini. Ada anak-anak, biar mereka aja yang mengerjakan," ucap Riyanti ketika membantunya menurunkan belanjaan dari mobil. "Nggak pa-pa, aku seneng bisa bantu kamu.""Iya, tapi aku nggak enak. Apa kata orang nanti, melihat Mas Afnan bantuin aku di sini!" "Ya emang kenapa? Nggak salah, kan?""Mas, aku ini sudah berusaha sebisa mungkin menyembunyikan masa lalu kita lho, kalau kamu kayak gini nanti tetangga tahu, kalau aku ini mantan istrimu.""Kalau mereka tahu kenapa?""Kan bisa jadi bahan gunjingan, Mas. Aku malu.""Sudah ngg
Sejak Riyanti menghantui pikiranku, aku jadi penasaran ingin bertemu dengannya, meski tak bisa ngobrol lama, setidaknya aku bisa memandang wajahnya. Tapi setiap hari aku hanya bisa menatap pagar terkunci dari luar, rumah Riyanti selalu sepi. Paling-paling aku melihat pembantunya yang sedang nyapu halaman. Tak kehilangan akal, aku berusaha bangun pagi, agar bisa melihat Riyanti. Begitu azan berkumandang, aku segera bergegas ke mesjid terdekat, tapi rumah Riyanti sudah sepi. Usaha apa lagi yang harus kulakukan agar bisa bertamu Riyanti? Tiba-tiba terlintas ide dikepalaku, mengapa aku tidak ke warung makannya saja? Pura-pura makan. Selain bisa menatap wajahnya dari dekat, aku bisa merasakan enaknya masakan dia. "Tumben pagi-pagi sudah mau berangkat, Mas?" sapa Wina, ketika melihatku sudah rapi. "Iya, ada beberapa berkas yang harus diperiksa," bohongku. Berkas apaan? Aku hanya ingin sarapan di warung makan milik Riyanti. "Nggak sarapan dulu? Sudah mateng lho, aku ambilin ya?""Ngga