Dylan dan Ruby menemani Stella ke sebuah pusat perbelanjaan yang berada di pusat kota. Stella yang terlihat sederhana pada penampilannya, membuat beberapa pasang mata melirik ke arahnya dan menatap dengan tatapan menghina.
Stella tak ambil pusing, dia memiliki cukup uang untuk membeli apa pun yang ada di dalam mall tersebut.
“Aku dengar, mall ini merupakan milik salah satu orang terkaya nomor tiga di Kota Greenford, apa itu benar?” tanya Stella pada Dylan yang tak begitu menanggapi pertanyaannya, karena sibuk membalas pesan di ponsel miliknya.
“Iya, kalau tidak salah namanya Christine Jones. Dia tak lama lagi akan mengadakan acara ulang tahun besar-besaran di sebuah hotel mewah. Aku yakin, Dominic—suamimu—pasti turut diundang olehnya. Aku dengar, dulu sekali Christine menaruh hati pada Dominic,” goda Ruby seraya melirik Stella, ingin melihat reaksi gadis itu.
Tapi sayangnya, Stella seakan tak peduli apa yang mau diperbuat oleh Dominic. Meski dia mencintai Dominic setengah mati, tapi Dominic sepertinya tak akan pernah peduli dengan apa yang telah diberikan Stella selama ini padanya.
“Kau pikir, aku peduli?” ucap Stella kesal. Dia mempercepat langkahnya, mendahului Ruby dan Dylan.
Terlalu banyak kenangan selama tiga tahun ini, tapi kalau diingat kembali, tak ada kenangan yang manis baginya.
“Ruby, kita ke butik itu.” Tunjuk Stella pada sebuah butik yang menjual gaun-gaun pesta.
Ketika ketiganya masuk ke dalam, terlihat seorang wanita bertubuh gemuk dengan anak gadisnya turut memilih-milih gaun di sebuah rak. Gaun yang berada di salah satu rak, merupakan gaun-gaun terbaru dengan harga di atas $10,000.
Wanita bertubuh gemuk itu adalah salah satu sosialita yang cukup terkenal di kota, Stella mengenalinya, karena wanita itu sering sekali memamerkan setiap kegiatannya di akun media sosial miliknya. Anak gadisnya seorang artis baru yang belum lama menginjakkan kakiknya di dunia hiburan.
Stella memanggil seorang pelayan toko, gadis kurus, dengan wajah penuh bintik itu menghampiri Stella. Dia melihat, Stella menyodorkan padanya sebuah gaun dengan harga yang sangat mahal.
Menilik dari penampilan Stella, pelayan toko itu memandangan dengan tatapan mengejek.
Dia berpikir, memangnya Stella mampu untuk membeli gaun semahal itu?
Sedangkan saat itu Stella sendiri terlihat begitu sederhana, tak ada yang memberikan kesan apa pun pada dirinya, jika Stella adalah orang yang memiliki cukup uang untuk membeli gaun tersebut.
“Nona, apa Anda yakin ingin membeli gaun itu?” tanyanya pada Stella dengan tatapan yang sangat merendahkan Stella. Tentu saja, hal itu membuat Stella merasa tersinggung. Memangnya dia pikir, Stella tak bisa membeli gaun tersebut?
Di dalam kartu ATM miliknya, bahkan dia bisa membeli tiga buah gaun dengan harga yang sama.
“Apa menurutmu, aku benar-benar terlihat seperti orang miskin yang tak mampu membeli barang yang ada di sini?” Stella bertanya, kini tatapannya benar-benar menjadi kelam, raut wajahnya berubah menjadi sangat dingin, membuat gadis pelayan dengan wajah penuh bintik, menundukkan kepalanya.
Wanita bertubuh gemuk beserta anak gadisnya menutup mulut menahan tawa. Tak henti-hentinya mereka menatap Stella dengan pandangan mencemooh.
“Nona, apa kamu yakin, uang di dalam kartu ATM kamu akan cukup untuk membayar gaun mahal itu?” Elise—puteri dari Maggie—bertanya dengan nada mengejek. Dia pun mengambil gaun berwarna abu-abu itu dari tangan Stella.
Stella menarik nafas panjang, dadanya terlihat naik turun berusaha untuk tetap bersikap sabar pada anak beranak di hadapannya saat ini, yang terus saja menghinanya.
“Nona, kebetulan anakku juga sedang mencari gaun. Tadi, aku tak melihat gaun itu, apakah kamu bersedia memberikannya pada anakku, dan mencari gaun yang lebih murah?” ejek Maggie pada Stella.
Ruby bisa melihat perubahan raut wajah pada Stella. Bagaimana bisa semua orang di dalam butik itu mengolok-olok sahabatnya?
“Dylan, kamu lihat? Mereka benar-benar ingin ditampar!”
Dylan hanya memperhatikan wanita bertubuh gempal beserta anak perempuannya yang terus saja memaksa Stella untuk menyerahkan gaun yang dipegangnya untuk diserahkan pada puterinya.
Stella terlihat dongkol dengan kelakuan kedua orang itu, tapi tak bisa melakukan apa pun ketika gaun itu direbut dari tangannya. Dengan bangganya, Maggie mengayun-ayunkan gaun itu di hadapan Stella.
“Dylan, lakukan sesuatu. Apa kamu mau jika Stella terus menerus dipermalukan seperti itu?”
Dylan mungkin di mata Maggie tampak seperti pria yang sederhana dan tak mampu membeli barang-barang bermerk. Seandainya dia tahu jika Dylan adalah pemilik perusahaan rumah produksi terkenal tempat Elise sedang mencari nafkah di film perdana yang belum lama ini syutingnya masih berjalan, mungkin wanita gemuk itu bisa mati di tempat karena terkena serangan jantung.
Hanya saja gaya hidup Dylan yang selama ini jauh dari kemewahan membuat orang lain menganggapnya remeh seakan dia tak perlu diperhitungkan.
Stella semakin jengkel ketika Elise terus menatapnya dengan tatapan yang semakin lama semakin membuat Stella muak
“Hei, apa kamu pikir, aku tidak mampu membayar gaun itu, sampai-sampai aku harus menyerahkannya pada puterimu?” tanya Stella dengan nada marah, lalu berkacak pinggang di hadapan Maggie.
“Astaga Nona, jangan mempermalukan dirimu sendiri. Aku tahu, kamu sangat mengagumi gaun ini, tapi aku yakin kamu tidak akan sanggup membelinya. Jadi biarkan gaun ini dimiliki oleh puteriku, aku akan membelikanmu gaun lain yang lebih murah dan cocok untuk dipakai olehmu,” jawab Maggie terkesan sangat merendahkan Stella.
Oh, rasanya dia ingin sekali merobek mulut wanita bertubuh gempal, dengan rambut yang sudah dipenuhi uban itu, dan membuatnya malu!
“Pelayan, aku akan membayar gaun itu, sekarang ini kartuku,” ucap Stella lalu memberikan kartu ATM biasa miliknya.
Siapa pun pasti tak akan menyangka jika Stella memiliki banyak uang di dalam kartu ATM yang terlihat sangat biasa. Kartu yang digunakannya memang bukan kartu Black Card seperti yang dikembalikannya pada Dominic tadi pagi, tapi isinya sangat cukup untuk membuat wanita gempal itu menutup mulutnya.
Saat pelayan toko akan menggesek kartu tersebut, Dylan dengan cepat menarik kartu ATM milik Stella, lalu menyerahkan Amex Black Card miliknya. Kedua mata Maggie bahkan tak sempat berkedip begitu melihat kartu berpindah tangan dari Dylan ke penjaga toko.
“Stella, ambil saja tiga gaun atau berapa pun gaun yang kamu inginkan. Kamu tak perlu takut, uangku tak akan habis, bahkan jika harus membeli sekaligus beserta tokonya,” ucap Dylan dengan nada sombong, ingin membuat wanita bertubuh gempal itu kesal padanya.
Elise yang merasa kesal, karena tak bisa mendapatkan gaun yang diinginkannya, mengangkat sebuah pot kecil hiasan meja dan hendak melemparkan ke arah Stella namun terhenti ketika sebuah tangan kekar mencengkram pergelangan tangannya dari belakang.
“Kalau kamu sempat melemparkan pot itu padanya, aku tak segan memotong-motong tanganmu sekarang,” ucap suara seorang pria di belakang Elise itu.
Pria itu menyeringai lebar, dan memuntir pergelangan tangan Elise sampai pot bunga terbuat dari kristal terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.
Stella berdiri mematung, enggan untuk menoleh ke belakang, karena dia mengenal dengan baik suara yang baru saja didengarnya itu. “Hei, kamu gila?” pekik Maggie yang melihat satu tangan puteri kesayangannya dipuntir oleh seorang pria. Tak ada yang berani bersuara, mereka mengenal dengan betul siapa pria yang saat ini berada di toko pakaian itu. Stella berbalik dan menatap dengan tajam pria yang saat ini masih belum melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Elise. “Tuan Muda Anderson Yang Terhormat, buat apa kamu berada di sini?” tanya Stella. Dia tak mengerti bagaimana bisa Dominic bisa berada di dalam toko, dan baru saja dia membantu Stella, sehingga pot kaca itu tak mengenai kepalanya? Apakah ada seorang malaikat yang hinggap di bahu kanan Dominic, sehingga pria itu menjadi agak jinak dan baik padanya? Tapi tunggu .... “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Stella mengulang kembali pertanyaannya. Dominic menyentak tangan Elise, lalu beralih pada Stella. Dia menarik dengan kasar
Setelah Dominic selesai membelikan sebuah gaun pada Stella, mereka pun keluar dari pusat perbelanjaan. Saat tiba di parkiran, Dominic menatap Stella, seumur-umur, selama tiga tahun mereka bersama, pria itu tak pernah mengijinkan Stella untuk duduk di dalam mobilnya. Dominic menatap Stella dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu dia berkata, “Sebaiknya kamu naik taksi saja. Aku sudah memberikan banyak uang padamu, jadi kamu naik taksi. Ingat, tujuanmu ke mansion, bukan kembali ke apartemen sempitmu!” “Kamu masih merasa jijik untuk satu mobil denganku? Lalu kenapa tadi kamu memintaku untuk menggandengmu?” Dominic seperti seekor tikus yang tertangkap basah, cepat-cepat dia memalingkan wajahnya ke arah lain menghindari tatapan dari Stella padanya. “Sampai rumah, aku akan membersihkan diri,” ucap Dominic ketus, membuat perasaan Stella sakit mendengarnya. Selama bertahun-tahun, Dominic selalu menghujamnya dengan kata-kata yang sangat pedas, bahkan tak peduli saat Stella mengeluar
Stella berusaha menendang Dominic yang semakin kesetanan, tatapan Dominic berubah, tak lagi dingin, tapi ... tatapan itu adalah tatapan penuh gairah. Stella tak bisa berkutik ketika Dominic menangkap kedua kakinya dan mencengkramnya dengan kencang, membuat Stella meringis menahan sakit.“Dominic, lepaskan aku!” teriak Stella. Meski dia mencintai Dominic dengan separuh jiwanya, dia tak bisa menerima perlakuan Dominic yang begitu kasar padanya saat ini. Pria itu mulai menggila.Pakaian yang dikenakan Stella koyak tak berbentuk, bahkan rok yang dikenakannya pun sobek di beberapa bagian akibat ulah Dominic.Pria itu mencekik leher Stella, dan berkata, “Melepaskanmu, Sayang? Apakah aku harus menurutinya?”“Aku ... sudah menurutimu, lalu apa lagi yang kau inginkan dariku, Dominic Anderson? Katakan!” seru Stella tak kuasa menahan rasa sakit di bagian leher.“Kau benar-benar ingin bercerai dariku? Apa karena kau ingin bersama pria yang tadi bersamamu di mall? Jawab, Bajingan!” maki Dominic de
Dominic melenguh panjang, selesai menuntaskan hasrat dan kemarahan dalam dirinya. Stella beringsut menjauh dari tubuh Dominic, lalu mendekap kedua kakinya di depan dada. Tatapan kebencian terlihat dari kedua bola mata indah Stella. “Kau ... aku menyesal, karena pernah mencintaimu, Dominic Anderson!” seru Stella terisak, bahu bergetar, tatapan itu semakin dalam, dan menusuk. Dia tak pernah berharap, Dominic meminta hak dengan cara brutal. Dia tak tampak seperti pemerkosa tanpa hati, ketimbang sebagai seorang suami! “Kau pikir, aku peduli?” balas Dominic, dengan tatapan sekelam malam. Seringan tajam terlukis tipis di wajah tampan Dominic. Dia bangkit turun dari tempat tidur, meraih kemeja yang berada di lantai, lalu memakainya. Dia menoleh sedikit, melihat tubuh Stella yang masih bergetar. Lalu kedua matanya terpaku pada satu titik noda darah yang ada di atas seprei berwarna krem. Hatinya terasa dicubit melihat noda darah itu, tapi apa pedulinya? Dia sudah mendapatkan segalanya, dan
Tidak ada yang mampu dikatakan Stella begitu mendengar kata-kata Dominic padanya. Stella yang masih merasakan sakit di sekujur tubuh akibat perlakuan Dominic sebelumnya, berusaha bangkit berdiri. Sementara Dominic masih terus menatapnya dengan tatapan menyalang. “Kenapa? Kau masih belum cukup menyakitiku, Tuan Davis?” tanya Stella seraya tersenyum getir. Stella merangkak perlahan dengan tangan bertumpu pada tepi ranjang, berusaha untuk naik ke tempat tidur. Masih ada yang harus dikerjakan setelah ini. Dia harus menemani Dominic ke sebuah acara yang sama sekali tidak diinginkan olehnya. Dominic terkekeh mendengar apa yang baru saja dikatakan Stella padanya, lalu membalas kata-kata Stella, “Itu baru permulaan, Stelly. Seperti yang aku katakan, karena aku tidak ingin menceraikanmu, maka bersiaplah setelahnya kau benar-benar akan merasakan apa yang namanya neraka!” “Kalau begitu selesaikan sekarang, beritahu aku seperti apa neraka itu. Neraka apa yang akan kau berikan kepadaku!” tantan
Pada akhirnya Dominic dan Stella pun bergegas menuju ke pesta ulang tahun seorang almarhum, menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya. Sepanjang perjalanan, Dominic mendiamkan Stella. Untuk pertama kali dalam hidup Stella, dia berada di dalam satu mobil dengan Dominic—suaminya. Tak perlu menunggu lama, keduanya pun tiba di sebuah mansion besar milik Keluarga Wilson. Degup jantung Stella terasa berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Dia sudah lama tidak mendatangi kediaman Keluarga Wilson, hampir selama pernikahannya dengan Dominic. Keluarga Wilson sendiri seolah telah melupakan jika Stella adalah bagian dari keluarga mereka. Sederet mobil mewah berada di halaman luas rumah keluarga, mereka sepertinya mengadakan pesta besar-besaran. Konyolnya lagi, pesta itu adalah pesta untuk orang yang—mungkin—sudah mati dan tidak pernah diketahui di mana keberadaan jasadnya. Dominic menyikut bahu Stella lalu berkata dengan nada dingin, “Tersenyum. Aku tidak ingin tamu melihatmu seperti orang
Sebuah pertanyaan di mana tidak seorang pun bisa menjawab, mengapa dan kenapa? Jujur saja, wanita di hadapan Dominic saat ini benar-benar membuat Dominic semakin tidak fokus. Dia benar-benar cantik, tubuhnya indah dalam balutan dress ketat, yang memperlihatkan seluruh lekuk tubuh Shania, belum lagi cara berbicaranya yang begitu tertata menunjukkan jika Shania memang seorang wanita bangsawan yang memiliki etika dalam berperilaku. “Dia adalah janda dari Gareth Travis, putera tunggal Keluarga Travis yang meninggal tiga tahun lalu di sebuah kecelakaan,” imbuh Ken pada menantunya. Dominic yang diajak berbicara menganggukkan kepalanya, dia terpesona pada kecantikan Shania, sekaligus membangkitkan kenangan lamanya pada Stefani, gadis satu-satunya yang sangat dicintai Dominic! Alunan musik di aula besar membuai tamu, beberapa di antara mereka turun ke lantai dansa secara berpasangan. Dominic sendiri hanya berdiri seraya memperhatikan mereka semua. Shania menyadari jika pria tampan beristr
Selesai acara, rupanya Shania masih saja menempel pada Dominic seperti seekor ulat bulu. Stella dibuatnya jengah menyaksikan adegan mesra dari janda Travis itu pada suaminya. Maaf, akan menjadi mantan suami secepatnya! Dominic sesekali melirik ke arah Stella, diperhatikan wajah wanita itu yang mulai cemberut, menahan amarah di dalam dada. Entah apa yang ada di dalam pikiran Dominic, dengan masa bodohnya dia melayani Shania yang terus saja mengikutinya hingga ke luar mansion. Tidak lama kemudian sebuah mobil bugatti chiron berhenti tepat di depan Shania. “Sampai bertemu lagi, Tuan Muda Anderson. Senang bertemu dan berbicara dengan Anda,” ucap Shania dengan gayanya yang sedikit centil dan cukup mengganggu Stella. Apa yang bisa dilakukannya? Dominic pun tampaknya menikmati sikap berlebih dari wanita yang baru saja dikenalnya di pesta. Setelahnya mobil milik Shania pun berlalu dari hadapan keduanya. “Jadi ... apa kau akan ikut denganku, atau kau kembali ke apartemen seorang diri?” ta
Keesokan harinya, Stella diperbolehkan dokter untuk meninggalkan rumah sakit, dan menjalani perawat rumah. Dia terpaksa mengambil cuti beberapa hari di tempatnya bekerja, tidak mungkin memaksakan diri dengan tetap bekerja dalam kondisi tubuh yang benar-benar rentan.Ia sudah membaca pesan yang dikirimkan Dominic padanya, jika menerima tawaran Dominic, sama saja dia akan masuk kembali ke dalam sebuah perangkap yang membuatnya terjebak di dalam neraka bernama ‘cinta’. Saat kembali, hanya Dylan yang menemaninya di apartemen, Ruby telah mengatakan pada kedua orang itu, jika dia tidak bisa mengantar Stella pulang, karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan Ruby.Sesampainya di depan pintu, Dylan tidak bisa mengantar Mari sampai ke dalam ruangan. Dia harus bergegas pergi, ada sesuatu yang harus dikerjakannya. Beberapa klien di perusahaannya sedang menunggu untuk mengadakan rapat hari ini. Ada rasa berat di dalam dada Dylan, untuk meninggalkan wanita yang begitu dikasihinya seorang
Stefani terisak di dalam dekapan Dominic, berkali-kali dia merutuki dirinya sendiri, mengatakan jika dirinya benar-benar bodoh dan terlalu murahan. Hanya untuk membuat Dominic merasa bersalah pada dirinya. Seandainya Dominic tahu, wanita yang berada di dalam dekapannya, adalah iblis dari segala iblis, tentu dia akan memilih untuk tidak pernah mengenal Stefani lagi selamanya.Saat sedang mendekap Stefani, tiba-tiba saja pikiran Dominic terbagi pada Stella. Tidak sedikit pun dia memikirkan mengenai Stella saat ini, semua terjadi begitu tiba-tiba. Stella yang menatap dengan tajam ke arahnya, lalu dengan kasar mengusir dari dalam ruangan, semua kembali berputar pada ingatannya.Apa mungkin ... dia sedang merasakan sebuah penyesalan? Lalu Dominic tidak menyadarinya?“Apa yang sedang kau pikirkan, Dominic?” tanya Stefani seraya mengusap wajah Dominic. Tidak biasanya Dominic terlihat murung saat bersamanya! Pikir Stefani saat itu.“Aku sedang memikirkan Stella,” jawab Dominic jujur. Membuat
“Keluar!” seru Stella sekali lagi seraya menunjuk ke arah pintu dengan jari telunjuk. Dia tidak memedulikan jika akan dimarahi oleh perawat atau pun dokter.Hatinya belum juga lega meski dia telah mengusir Dominic dari dalam ruangan. Dia takut setelah dia keluar dari rumah sakit, pria yang dianggapnya setengah waras itu akan kembali menghampirinya, dan berbuat nekat.‘Dominic, Dominic, di saat aku mencurahkan seluruh perasaanku padamu, kau justru mengingkari kehadiranku di sisimu. Saat aku ingin menjauh dan melepaskan, kenapa kau bersikeras ingin bertahan? Ini bukan perasaan cinta, tetap kau menganggapku hanya sebagai barang!’ ucap Stella dalam hati dengan penuh penyesalan, Seandainya dia menolak untuk menggantikan Shania, dia tidak perlu merasakan cinta pada Dominic yang berakar begitu dalam seperti saat ini!Tidak lama setelahnya Stella dipindahkan ke ruang perawatan. Bersamanya, di dalam ruangan ada satu orang pasien lain. Setidaknya, dia bersyukur jika Dominic masih bersikeras in
“Jika ada hal buruk yang saya dapatkan setelah pemeriksaan, dokter harus tahu, saya akan mempertahankan kandungan saya apa pun resikonya,” kata Stella sekali lagi dengan memberi penekanan pada dokter. Dia berkata seperti itu, seakan memiliki firasat, sedangkan pemeriksaan sendiri belum dilakukan.Dokter yang menangani Stella hanya bisa terdiam begitu mendengarkan kata-kata Stella. Wanita berusia 23 tahun terlihat begitu serius pada kalimat yang diucapkannya, membuat dokter menjadi bingung. Di satu sisi, pria yang berada di luar ruangan adalah suaminya, jika dokter harus berbohong, lalu di kemudian hari terjadi sesuatu, yang akan disalahkan nantinya bukanlah pihak pasien, melainkan pihak rumah sakit, dianggap melalaikan kewajibannya.“Saya tidak tahu harus berbicara apa, Nyonya Stella. Memangnya kenapa Anda tidak ingin memberitahukan pada suami Anda mengenai masalah ini? Apa yang Anda khawatirkan?” tanya dokter mencoba mengorek keterangan lebih dalam pada Stella.Stella mencengkram tan
Dominic mengangguk dan setengah berlari membawa tubuh Stella masuk ke dalam rumah sakit. Sesampainya di depan pintu dia berteriak sekuat tenaga tanpa mempedulikan tatapan orang lain yang berada di ruangan tersebut, “Tolong, bantu istriku! Dia mengeluarkan darah!” Rasa sakit semakin mengiris-iris tubuh Stella. Dia benar-benar tidak berdaya dengan apa yang saat ini dirasakan. Seakan sekujur tubuh Stella pelan, pelan, tersayat oleh ujung pisau. Satu tangan Stella mencengkram kuat lengan Dominic. Dominic bisa merasakan kuku-kuku Stella menusuk lengannya, tetapi dia tidak menghiraukan rasa sakit akibat kuku-kuku Stella yang mencengkramnya. Jujur, dalam hati kecilnya dia sangat mengkhawatirkan keadaan Stella. Meski dia sendiri tidak bisa mengerti perasaan yang sedang dirasakan oleh dirinya! “Stella, bertahanlah,” bisik Dominic. Seandainya saja perlakuan seperti ini diterima Stella jauh-jauh hari sebelumnya, sebelum Stella memutuskan untuk melepas Dominic, tentu dia masih bisa berusaha u
Rupanya Dominic melihat Stella yang membalikkan badan, batal untuk masuk ke ruangannya. Dia pun dengan geram memanggil Stella, seraya mempercepat langkahnya, “Stelly! Tunggu! Kau harus bicara denganku!”Dominic mengejar Stella, secepat apa pun langkah Stella untuk menghindari Dominic, tetap saja langkah Dominic jauh lebih cepat darinya. Stella berlari ke arah tangga darurat dan berlari menuruni anak tangga, sesekali dia melompati dua ruas anak tangga, dan lupa jika saat ini dia tengah mengandung anaknya dan Dominic? Dia benar-benar merasa cukup satu kali dia merasakan betapa menyakitkan perlakuan Dominic padanya, beberapa waktu yang lalu. Dia sadar, pria yang pernah tinggal bersama satu atap dengannya bukanlah pria yang memiliki hati seperti orang lainnya!“Stelly! Berhenti!” Dominic kembali meneriakkan nama Stella. Dia semakin mempercepat langkahnya membuat Stella cukup kesulitan untuk menyeimbangi langkah kakinya. Tidak lama kemudian, Stella merasa ada sesuatu yang sangat menyak
Daniel rasanya ingin tertawa terbahak-bahak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh bosnya yang sangat keras kepala itu. Dia pikir akan mudah menghindari karma? Memang yang membuat karma itu siapa?“Terserah Tuan Muda saja, hanya saya merasa iba dengan apa yang sudah Tuan Muda lakukan pada Nyonya Muda selama ini. Dia sama sekali tidak bersalah bagi saya, bukan keinginan Nyonya ingin menikah dengan Anda, kenapa Anda selalu saja melihat semua hal dari sisi Nyonya Muda?” ucap Daniel.“Apakah Tuan Muda pernah berada di dalam posisi Nyonya? Coba Tuan Muda bayangkan perasaannya harus menggantikan seseorang menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai. Setelahnya mendapat perlakuan buruk berkali-kali, apakah menurut Anda ... itu benar?” kata Daniel sekali lagi seraya memberikan penekanan pada nada bicaranya.Meski Daniel tidak sering bertemu dengan Stella, karena Stella tidak pernah diperbolehkan oleh Dominic untuk datang menemuinya di kantor, tetapi Daniel pernah beberapa kali
Shania tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan William. Dia menganggap kalimat William padanya barusan adalah sesuatu yang sangat lucu. Siapa yang bisa membuktikan jika dia adalah penyebab kematian Garreth? Sungguh ... dia mencintai Garreth, hanya saja dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memberikan kehangatan pada mertua laki-lakinya. William sendiri tidak mengira jika Shania bisa membuat dirinya terjatuh dalam pelukan wanita itu. Selama ini dia selalu setia kepada isterinya yang telah meninggal dunia jauh sebelum Garreth menikah dengan Shania. Tetapi pertahanan yang dibangun selama ini hancur begitu saja ketika Shania hadir di dalam kehidupannya. Entah bagaimana dia harus melukiskan seorang Shania, tetapi benar ...Shania terlihat seperti seorang iblis wanita yang baru saja datang ke bumi, lalu memanipulasi pikiran-pikiran mereka untuk berbuat sesuai apa yang diinginkannya. Terlalu berlebihan memang, tetapi ... banyak yang sempat berpikiran seperti itu pada drinya.
“Coba kau katakan sekali lagi?” tanya Matt, meminta putranya mengulangi perkataannya barusan. Dia tidak menyangka jika Dominic akan meminta sebuah permintaan yang sangat aneh menurut Matt! Dominic tertunduk, dia paham betul dengan watak dari ayahnya. Ayah dan kakeknya memiliki watak yang sama kerasnya, jika dia membantah, dia tahu apa yang akan dilakukan oleh kedua pria berbeda generasi padanya! Dominic menjawab tanpa berani memandang wajah Matt, “Aku ingin bercerai dan menikah dengan Shania Travis.” Matt menggebrak meja, lalu bangkit berdiri. Dia tidak mengerti apa yang ada di dalam otak putranya itu. Dia ingin menceraikan seorang wanita yang memang telah dipilih Matt dan ayahnya untuk menikah dengan cucunya itu, lalu sekarang dia berkata akan menikah dengan seorang janda bernama Shania Travis! “Konyol! Kau ingin taruh di mana mukaku, Dominic!” maki Matt pada Dominic. Dominic menundukkan wajahnya semakin dalam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, Shania telah hamil akibat ulahny