Lagi-lagi, Oliver terdiam mendengar ucapan Yara. Entah mengapa wanita ini sering membuatnya tak bisa berkutik. Raut muka Oliver menegang, khawatir Yara marah dan kecewa padanya saat mengetahui bahwa kemarin ia bertemu dengan kembaran Yara yang sudah dikira meninggal dunia selama ini.Tunggu dulu!Kenapa Oliver harus khawatir Yara marah dan kecewa karena hal itu?Namun, sebelum Oliver mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Yara yang memukul lengannya sambil berkata, “Berhenti sekarang!” membuat Oliver keluar dari keterdiamannya.“Kenapa, Yara? Kamu butuh sesuatu?” tanya Oliver sambil menepikan mobil ke pinggir jalan.“Aku ingin muntah,” jawab Yara sembari membekap mulutnya sendiri, lalu ia cepat-cepat turun saat mobil sudah berhenti.Melihat Yara berusaha mengeluarkan isi perutnya di bawah sebuah pohon dengan susah payah, dada Oliver terasa sesak.
Entah untuk yang ke berapa kalinya semenjak menikah, wajah Oliver yang tengah terlelap menjadi pemandangan pertama yang Yara dapati saat ia membuka matanya.Yara tersenyum kecil, menyerukkan wajah di leher lelaki itu sambil menghirup aroma woody dalam-dalam.Aneh, pikirnya. Setiap kali ia bangun tidur dalam pelukan Oliver, morning sickness-nya justru malah tidak kambuh.Tiba-tiba alarm dari ponsel Yara memekik nyaring. Tak ingin membangunkan Oliver, cepat-cepat Yara meraih ponsel dari nakas dan mematikan alarm. Namun, pergerakan Yara tersebut justru malah membangunkan pria itu.“Jangan bergerak,” gumam Oliver seraya mengeratkan pelukannya. “Kamu bukan cuma membangunkanku, tapi sudah membangunkan ‘sesuatu’ yang lain dalam diriku.”Yara mengerjap, ucapan Oliver terdengar ambigu dan Yara benar-benar tidak mengerti maksudnya.“Sudah siang, Oliver. Zio pasti sudah bangun dan mencari kita.”Mendengar nama Zio, mata Oliver pun akhirnya terbuka, menatap Yara dengan tatapan sulit diartikan.Na
Zara berdiri kaku di depan kaca besar yang memisahkan area bermain dengan koridor mall. Matanya terus mengikuti setiap gerak Zio di dalam sana, bibirnya bergetar menahan isakan. Oliver menghampirinya dengan langkah perlahan, tak ingin mengagetkannya."Zara," panggil Oliver pelan.Zara menoleh, dan saat matanya bertemu dengan Oliver, air matanya jatuh begitu saja. Ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. "Maaf... Aku nggak bisa menahan ini."Oliver mengangguk mengerti, lalu berdiri di sampingnya, memandang ke arah Zio yang tengah tertawa lepas. "Dia anak yang hebat, 'kan?"Zara mengangguk, suaranya bergetar saat menjawab. "Aku... aku nggak pernah berhenti memikirkannya, Oliver. Setiap hari aku bertanya-tanya bagaimana dia tumbuh, apa dia bahagia, apa dia... mengenalku sebagai ibunya."Oliver terdiam. Tak tahu harus memulai dari mana bahwa kini Zio telah menganggap Yara sebagai ibunya.Menghela napas panjang, Oliver menjejalkan tangan ke saku celana dan berkata, “Zio pasti meng
Sudah larut malam, tapi kantuk tak kunjung menyerang. Yara berguling ke kiri dan kanan, berharap mendapat kenyamanan dalam posisinya, akan tetapi setiap ruang yang ia tempati seolah tak memberinya kesempatan untuk merasa nyaman.Tak berselang lama, Yara mendengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Tanpa sadar Yara menghela napas lega, seolah-olah sejak tadi kepulangan Oliver dan Zio-lah yang ia tunggu-tunggu hingga membuatnya sulit memejamkan mata.Setelah mengenakan cardigan untuk menutupi tubuhnya yang mengenakan pakaian tidur tak berlengan, Yara keluar dari kamar dan membuka pintu untuk suaminya.Begitu pintu terbuka, terlihat sosok Oliver yang tengah menggendong Zio yang sudah terlelap.“Oliver, kalian baru pulang jam segini?” tanya Yara tanpa basa-basi. “Ke mana saja kalian pergi?”Pria itu menatap Yara sesaat. “Ke banyak tempat,” jawabnya sambil mengalihkan tatapan ke arah lain. “Zio nggak mau pulang, jadi aku cukup kesulitan membujuknya untuk berhenti bermain.”“Sampai s
Sepanjang malam Zara tidak bisa memejamkan mata. Ia berharap waktu segera berlalu dan pagi cepat menjelang. Zara tidak sabar menantikan pertemuannya dengan Oliver besok di Lotus Cafe.Apa yang ia katakan pada Oliver kemarin memang benar, bahwa ia sama sekali tidak mencari tahu kabar mengenai Oliver, sebab ia takut hatinya akan tersakiti oleh kabar yang akan ia dapati.Sepulangnya Zara ke Indonesia beberapa hari lalu, ia memilih untuk tidak datang ke rumah Oliver, karena ia cukup tahu diri. Oliver mungkin saja sudah melupakannya.Zara mencoba menghubungi nomor telepon Oliver yang sudah sangat ia hapal, akan tetapi nomor telepon itu sudah tidak aktif. Alhasil, Zara menghubungi pria itu melalui alamat email, dan siapa sangka Oliver membalas pesannya.Kini, Zara menyeka air matanya yang sejak tadi tak ingin berhenti mengalir, dadanya terasa sesak, hatinya hancur mendapati kenyataan bahwa Oliver sudah menikah lagi.Hingga pagi menjelang, Zara sama sekali tidak tidur. Ia menyamarkan mata pa
“Lalu bagaimana denganku?” lirih Zara di tengah-tengah isak tangisnya. “Bagaimana denganku, Oliver?” Ia memukul dadanya sendiri seolah-olah ingin membebaskannya dari rasa sesak.“Zara....” Suara Oliver tercekat. “Aku... aku—““Aku masih istrimu,” potong Zara dengan cepat. Ia memandang Oliver dengan tatapan penuh rasa sakit. “Benar?”Oliver menghela napas berat, ia lalu menggelengkan kepalanya pelan, yang membuat air mata Zara semakin menjadi-jadi.“Kita sudah bercerai, Zara,” ucap Oliver dengan hati-hati, seolah tidak ingin menyakiti Zara lebih dalam lagi. “Aku sudah memiliki akta perceraian kita. Karena kabar yang kudapati waktu itu adalah kamu yang meninggal dunia, aku memutuskan untuk mengajukan surat cerai mati sebelum menikahi Yara.” Oliver menunduk, membasahi bibirnya yang terasa kering dan berusaha mengusir rasa sesak di dada. “Maafkan aku.”Zara menunduk, menangis tanpa suara. Bahunya bergetar hebat. “Kamu jahat, Oliver,” lirihnya nyaris tak terdengar. “Kamu benar-benar jahat.
“Kamu main basket juga, ya?” Pertanyaan Oliver tersebut membuat Yara menoleh ke arahnya.Yara mengangguk, memantulkan bola lagi ke lantai dan tangannya.“Kenapa?” tanya Yara setelah ia berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Lalu mendekati Oliver yang berdiri di pinggir lapangan dengan pakaian kasual dan wajah yang sedikit kusut. “Kamu pikir, cuma kamu aja yang bisa main basket dan jadi atlet basket?” tanyanya lagi dengan nada bercanda sekaligus mengejek.Oliver mengerjap. “Kamu tahu aku pernah jadi atlet basket?”Yara menggigit bibir bagian dalamnya begitu sadar ia sudah keceplosan. Ia berdehem sambil membetulkan ikatan rambutnya. “Tentu saja aku tahu,” jawabnya dengan penuh percaya diri. “Dulu Zara sempat cerita ke aku kalau kamu itu mantan atlet basket.” Kali ini Yara berdusta.“Ah, benar juga.” Satu sudut bibir Oliver terangkat samar. “Nggak aku sangka ternyata kamu dan Zara memiliki kesamaan yang lain.”“Kesamaan yang lain?”“Iya. Kalian berdua ternyata sama-sama jago karate dan
Yara merasa ada yang aneh dengan Oliver akhir-akhir ini. Apalagi setelah pagi itu—saat Oliver pergi tiba-tiba setelah mendapat telepon dari seseorang, Oliver lebih banyak menghabiskan waktu di kantor sampai larut malam. Lalu saat pulang ke rumah, pria itu tidak tidur di kamar Yara, melainkan di kamarnya sendiri. Namun, Yara tidak ingin berpikiran negatif. Yara mengira, perubahan sikap Oliver itu akibat dari masalah yang tengah dihadapi Oliver di kantor. [“Oliver, aku akan pergi ke rumah Mama hari ini.”] Yara mengirim pesan tersebut kepada Oliver. Namun, sampai satu jam kemudian, pesannya tak dibalas oleh pria itu. Merasa sudah meminta izin, Yara lantas pergi bersama sopir ke rumah ibunya. Ia sempat meminta para bodyguard yang selama ini menjaganya, untuk tidak ikut bersamanya. Sebab Yara tidak ingin membuat Rianti kaget melihat Yara dijaga sedemikian ketat. Atau Rianti akan curiga bahwa sempat terjadi sesuatu kepada Yara. Penculikan itu, Yara tidak cerita apapun terhadap i
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw