“Cepat katakan, berapa nomor telepon suamimu?!”“Tidak! Aku tidak akan memberitahu kalian!”Plak!!!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Yara, membuat kepala Yara mendadak terasa pening dan pipinya kebas. Ia merasakan darah mengalir dari sudut bibirnya.Itu adalah penolakan Yara untuk yang ketiga kalinya. Mereka meminta nomor telepon Oliver untuk meminta tebusan, tapi Yara tak ingin melibatkan pria itu dalam masalahnya. Karena toh, Oliver juga tidak akan peduli kepadanya, bukan?“Dengar baik-baik, Yara.” Black menarik rambut Yara ke belakang, hingga wajah Yara mendongak menatapnya. “Ini kesempatan terakhir kamu. Kalau tidak, kamu akan berakhir di ranjang sana dan setelah itu nyawamu akan melayang!” Black menunjuk sebuah dipan usang di sudut ruangan.Ancaman itu membuat Yara semakin ketakutan, apalagi kini Baron telah melepas pakaiannya dan ikat pinggang, menunjukkan perut buncitnya. Yara bergidik jijik. Rasa mual tiba-tiba menyerangnya.“Sekali lagi aku tanya, berapa nomor telepon s
Black dan Baron saling melirik, lalu Black memberikan isyarat kepada Baron untuk membawa Yara keluar. Beberapa menit kemudian, Yara yang masih terikat dan mulutnya disumpal kain, digiring keluar.Melihat kondisi Yara yang menyedihkan dengan wajah lelah dan sudut bibir yang terluka, membuat kemarahan Oliver semakin menjadi-jadi.“Sialan! Kalian apakan istriku?!” teriak Oliver dengan penuh amarah.“Hanya memberinya sedikit pelajaran,” jawab Black sambil terkekeh licik. “Sekarang berikan uangnya kepada kami.”Tatapan Oliver tertuju pada Yara yang masih disandera Baron. Melihat kondisi Yara mengenaskan seperti itu, entah mengapa hati Oliver terasa sakit. Oliver mengangguk kepada Yara, menegaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan Oliver akan mengeluarkannya dari sini.Air mata Yara menetes semakin deras. Ketakutannya berganti dengan kelegaan dan perasaan penuh haru karena Oliver akhirnya datang untuk menyelamatkannya.“Baik. Aku akan memberikan uangnya kepada kalian, setelah kalian me
Oliver mengerang pelan saat ia terbangun dari siuman. Bau obat-obatan dan ruangan yang asing baginya, cukup membuat Oliver sadar bahwa saat ini ia berada di rumah sakit. Ia menoleh ke arah jendela di sisi kirinya, cahaya terang matahari menunjukkan bahwa Oliver ‘tertidur’ cukup lama. Ia juga melihat kaki kirinya dibebat perban. Tidak ada siapapun di ruangan yang cukup luas itu. Dan mendapati Yara tidak ada di sampingnya, tiba-tiba membuat Oliver kesal. Namun, di sisi lain, Oliver juga khawatir pada wanita itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah mungkin Yara juga harus dirawat sehingga ia tidak ada di sini sekarang? Pintu terbuka. Oliver langsung menoleh ke sisi kanan, dan ia menghela napas kecewa ketika yang datang adalah perawat. “Suster, di mana istri saya?” tanya Oliver ketika perawat wanita itu sudah mulai memeriksa kondisinya. “Maaf, Pak. Saya kebagian shift pagi hari ini, jadi saya nggak sempat melihat istri Bapak,” jawab perawat dengan ramah. Oliver menghela napas pa
“Kenapa kamu terus menatapku seperti itu?” gumam Yara sambil mengunyah makanan dan menunduk saat ia mendapati Oliver tak berhenti menatapnya. “Tatapanmu bahkan bisa membolongi kepalaku, tahu?”Oliver terkekeh pelan.Hal itu membuat Yara terdiam sesaat. Pasalnya, seingatnya baru kali ini ia mendengar Oliver tertawa di hadapannya.“Kenapa tertawa? Kamu menertawakan wajahku?” Yara menggerutu seraya memegangi pipinya yang sedikit bengkak akibat tamparan pria berengsek kemarin.Oliver menghela napas panjang, tanpa diduga-duga ia menjawab, “Mana mungkin aku menertawakan sesuatu yang sangat aku khawatirkan?”Yara nyaris tersedak makanan yang tengah ia kunyah di dalam mulutnya kala mendengarnya.“Lalu kenapa kamu terus menatapku dan tertawa?” Bibir Yara memberengut.Oliver tersenyum samar. “Aku nggak tahu,” jawabnya, “hanya saja, mataku ingin terus melakukannya, maksudku menatapmu.”Jawaban Oliver sama sekali tidak membantu. Yara memilih diam dan melanjutkan kembali melahap makanannya, ia ber
Yara penasaran, apakah dulu ketika sakit, Oliver juga semanja ini kepada Zara? Namun di balik rasa penasarannya itu ada rasa takut yang menyeruak, takut jika yang Oliver lakukan pada Zara justru lebih manja karena kenyamanan yang Oliver dapatkan lebih besar dari Zara, ketimbang dari Yara. “Apa atau siapa yang berani membuatmu melamun seperti itu?” Suara bariton Oliver mengeluarkan Yara dari lamunannya. “Hm? Apa?” tanya Yara, karena ia tak benar-benar mendengar ucapan Oliver barusan. Oliver menghela napas panjang. Ia meraih tangan Yara dan menaruhnya di pundaknya. “Yang ini masih pegal,” ucapnya, “barusan aku tanya, apa yang sedang kamu pikirkan sampai kamu melamun begitu lama?” Kamu dan... Zara. Yara ingin menjawab seperti itu, akan tetapi ia redam keinginannya dan memilih untuk mengelak, “Bukan sesuatu yang penting. Kadang kita butuh mengosongkan pikiran dengan melamun di saat pikiran kita benar-benar penuh.” Tanpa diduga-duga, Oliver tersenyum kecil. Lalu memejamkan mata saat
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Oliver akhirnya dibolehkan pulang ke rumah oleh dokter. Pria itu masih belum bisa berjalan dengan sempurna dan setiap harinya disibukkan dengan pekerjaan meski sedang sakit. Kini, Yara sedang mengoleskan krim malam di wajahnya, di kamarnya yang ada di rumah Oliver, saat ponselnya berdering. Nama Oliver muncul di layar. Yara menghela napas panjang. Sekarang apa lagi yang pria itu inginkan? Setelah sebelumnya Oliver meminta disuapi makanan dan dibantu dimandikan setibanya mereka di rumah siang tadi. “Iya, halo? Ada apa?” tanya Yara sesaat setelah ia mengangkat panggilan tersebut. “Yara, ke kamarku sekarang,” pinta Oliver dengan nada tidak ingin dibantah. “Aku membutuhkan sesuatu.” Yara mengembungkan pipinya sambil mengembuskan napas. Merawat Oliver selama tiga hari di rumah sakit memang sedikit melelahkan, tapi Yara tidak mengeluh, karena ia sadar Oliver sakit akibat menolongnya. Setelah menuntaskan aktifitasnya di depan cermin rias, Yara
Yara berdiri di barisan antrean panjang menuju pintu masuk venue konser Marshall. Angin malam yang sejuk menyapu rambutnya, sementara suara gemuruh dari penonton lain yang mengobrol penuh antusias membuat suasana semakin semarak.Meski datang sendirian, Yara sama sekali tidak merasa canggung. Sebab ia sudah terbiasa melakukan berbagai hal sendirian.Malam ini Yara mendapat izin dari Oliver untuk datang ke konser Marshall. Ia bersyukur karena Oliver tidak mempersulit perizinannya. Sementara itu, Oliver tidak datang ke konser kali ini, karena pria itu ada meeting penting dengan klien dari Rusia melalui pertemuan daring. Meeting itu diadakan di kantornya, meski kakinya belum benar-benar sembuh, akan tetapi Oliver memaksakan dirinya untuk pertemuan tersebut.Setelah menunjukkan tiket pada petugas, seorang kru mengarahkan jalan kepada Yara ke arah tempat duduk VIP. Para penonton sudah memenuhi venue tersebut. Namun, sederet tempat duduk di barisan Yara terlihat kosong, sementara di depan d
Penonton keluar dari venue, saling dorong dan berdesakkan. Tubuh Yara yang mungil nyaris terjepit di antara kerumunan, ia kesulitan melangkah. Namun tiba-tiba, Oliver menariknya ke belakang hingga punggung Yara membentur sesuatu yang keras.“Jangan ceroboh, Yara,” bisik Oliver di dekat telinga Yara. “Ikut aku.”Oliver membalik badan Yara, membuat Yara tahu jika barusan punggungnya membentur dada Oliver. Pria itu merangkul bahu Yara dan membawanya ke sisi yang lain.“Pegang aku. Jangan lepaskan,” kata Oliver dengan suara yang sedikit lebih lembut.Yara mengangguk, jemarinya refleks mencengkeram punggung jaket Oliver. Ia bisa merasakan betapa kuatnya Oliver melindunginya dari segala dorongan di sekitar mereka.Seorang pria di belakang mereka tak sengaja menyenggol bahu Yara dengan kasar. Oliver langsung menoleh tajam, menatap pria itu dengan sorot mata dingin.“Hati-hati!” ucap Oliver dengan nada rendah tapi penuh intimidasi. Pria itu buru-buru meminta maaf sebelum bergegas menjauh.Yar
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw