Yara berdiri di barisan antrean panjang menuju pintu masuk venue konser Marshall. Angin malam yang sejuk menyapu rambutnya, sementara suara gemuruh dari penonton lain yang mengobrol penuh antusias membuat suasana semakin semarak.Meski datang sendirian, Yara sama sekali tidak merasa canggung. Sebab ia sudah terbiasa melakukan berbagai hal sendirian.Malam ini Yara mendapat izin dari Oliver untuk datang ke konser Marshall. Ia bersyukur karena Oliver tidak mempersulit perizinannya. Sementara itu, Oliver tidak datang ke konser kali ini, karena pria itu ada meeting penting dengan klien dari Rusia melalui pertemuan daring. Meeting itu diadakan di kantornya, meski kakinya belum benar-benar sembuh, akan tetapi Oliver memaksakan dirinya untuk pertemuan tersebut.Setelah menunjukkan tiket pada petugas, seorang kru mengarahkan jalan kepada Yara ke arah tempat duduk VIP. Para penonton sudah memenuhi venue tersebut. Namun, sederet tempat duduk di barisan Yara terlihat kosong, sementara di depan d
Penonton keluar dari venue, saling dorong dan berdesakkan. Tubuh Yara yang mungil nyaris terjepit di antara kerumunan, ia kesulitan melangkah. Namun tiba-tiba, Oliver menariknya ke belakang hingga punggung Yara membentur sesuatu yang keras.“Jangan ceroboh, Yara,” bisik Oliver di dekat telinga Yara. “Ikut aku.”Oliver membalik badan Yara, membuat Yara tahu jika barusan punggungnya membentur dada Oliver. Pria itu merangkul bahu Yara dan membawanya ke sisi yang lain.“Pegang aku. Jangan lepaskan,” kata Oliver dengan suara yang sedikit lebih lembut.Yara mengangguk, jemarinya refleks mencengkeram punggung jaket Oliver. Ia bisa merasakan betapa kuatnya Oliver melindunginya dari segala dorongan di sekitar mereka.Seorang pria di belakang mereka tak sengaja menyenggol bahu Yara dengan kasar. Oliver langsung menoleh tajam, menatap pria itu dengan sorot mata dingin.“Hati-hati!” ucap Oliver dengan nada rendah tapi penuh intimidasi. Pria itu buru-buru meminta maaf sebelum bergegas menjauh.Yar
“Sejak sekolah!” jawab Yara dengan senyuman riang, seolah-olah ia merasa senang ada orang yang penasaran tentang kemampuan bela dirinya, terlebih lagi orang itu adalah Oliver. “Kamu tahu? Aku sering ikut turnamen saat masih sekolah, dulu. Dan aku sering masuk ke dalam juara tiga besar,” aku Yara dengan jumawa.Kedua sudut bibir Oliver terangkat kecil, membuat Yara mengerjap karena hari ini Oliver lebih banyak tersenyum ketimbang yang lalu-lalu.“Berarti... kalian memiliki hobi dan kemampuan yang sama,” gumam Oliver, yang masih terdengar jelas oleh Yara.“Hm?” tanya Yara dengan gumaman. “Maksud kamu? ‘kalian’ siapa?”“Kamu dan... Zara.”Jawaban Oliver tersebut membuat Yara seketika terdiam.Setelah menghela napas panjang, Oliver melanjutkan seraya menatap Yara, “Zara juga pandai bermain bela diri, tapi dia nggak bisa bermain lagi setelah kejadian hari itu. Dan dia juga sering ikut turnamen, sama sepertimu.” Oliver tersenyum samar. “Kalian ternyata memiliki persamaan juga.”Mendengarnya
Deringan ponsel yang melengking memecah keheningan pagi itu, membuat mata Yara perlahan terbuka dan suara itu berganti dengan suara Oliver yang berbicara dengan seseorang di seberang sana. Yara mengerjap. Dalam sekejap mata, ia langsung tersadar bahwa pagi ini dirinya terbangun (lagi) dalam pelukan Oliver.Yara terdiam saat merasakan pelukan satu tangan Oliver di punggung semakin menguat, tak hanya memeluk, tapi tangan itu menjadi bantal kepala Yara.“Ya, Wanda, aku akan telat datang ke kantor. Siapkan saja keperluan untuk meeting nanti.”Mendengar nama Wanda disebut-sebut, Yara menghela napas pelan. Entah mengapa ia memiliki perasaan tidak nyaman setiap kali Oliver berhadapan dengan Wanda.“Maaf, apa suaraku barusan mengganggu tidurmu?” gumam Oliver pada Yara, sesaat setelah panggilannya dengan Wanda berakhir.Wajah mereka yang terlalu dekat membuat Yara seketika lupa bagaimana caranya bernapas.Yara menggeleng, tapi kemudian mengangguk, membuat Oliver tertawa kecil tanpa diduga-duga
Wanda merasa ada yang berbeda dan aneh dengan bosnya hari ini. Pria itu tidak seperti biasanya yang hampir selalu berwajah muram dan dingin. Hari ini Oliver tampak sering tersenyum, entah itu kepadanya, atau kepada karyawan yang lain yang ia temui.Bahkan Oliver tidak segan-segan menyapa karyawan yang berpapasan dengannya, sesuatu yang bahkan jarang Oliver lakukan sebelumnya.Tak hanya Wanda yang merasakan keanehan itu. Para peserta rapat pun merasakannya. Oliver yang biasanya keras dan tegas saat rapat berlangsung, hari ini terlihat lebih ramah dan bijaksana. Sungguh perubahan itu sangat di luar dugaan.“Apa yang membuat dia jadi berubah seperti itu?” gumam Wanda pada dirinya sendiri sambil bertopang dagu. Sebelum akhirnya bunyi interkom mengagetkannya dan terdengar suara Oliver di seberang sana.“Wanda, masuk ke ruanganku!” titah sang CEO.“Baik, Tuan. Saya ke sana sekarang.”Saat-saat bertemu dengan Oliver adalah saat yang dinantikan Wanda. Jadi saat Oliver memanggilnya, Wanda tida
Mata Yara mengerjap, ia merasakan kecupan lembut di puncak kepalanya, membuat napasnya tertahan sejenak dan debaran jantungnya kian cepat.Yara menoleh ke samping, dan seketika itu juga ia menyesali sikapnya, karena hal itu membuat wajahnya dan wajah Oliver nyaris bertemu. Yara berdehem dan meluruskan kembali pandangannya ke arah foto pernikahan mereka.“Oliver, apa ini?” gumam Yara dengan tenggorokan tercekat.“Foto pernikahan kita, Yara,” ucap Oliver dengan sedikit tegas tapi tetap terdengar lembut. “Kamu melihatnya foto apa memang?”“Aku tahu ini foto pernikahan kita.” Yara mendelik sejenak ke arah Oliver. “Maksudku... kenapa kamu memajangnya?”“Kenapa? Kamu nggak suka?” Wajah Oliver tampak memberengut.Yara yang melihatnya cepat-cepat menggeleng. “Bukan begitu,” sanggahnya dengan cepat. “Aku cuma nggak percaya kamu memajang foto kita. Kenapa kamu melakukannya, Oliver?”Oliver menghela napas panjang. Pria itu melepaskan pelukannya di perut Yara, lalu memegangi bahu Yara dan memutar
“Dia ke mana, sih?” gumam Yara sambil menahan rasa kesal, entah untuk yang ke berapa puluh kalinya Yara melirik arloji. Pasalnya, Oliver sudah terlambat hampir satu jam. Yara bukan artis, jadi ia tidak punya manajer. Semua keperluan untuk syuting ia atur dan siapkan sendiri. Sementara para kru yang telah disiapkan Maven sudah berangkat lebih dulu beberapa jam yang lalu. Yara mencoba menghubungi nomor telepon Oliver sekali lagi, tapi tetap tidak aktif, membuat Yara merasa gusar sendiri. “Bukannya dia sudah berjanji akan datang tepat waktu?” gumam Yara lagi pada dirinya sendiri dengan bibir memberengut. Lima belas menit kemudian, Oliver tak kunjung pulang ke rumah dan nomor teleponnya masih tidak aktif. Yara merasa ada yang aneh dengan pria itu sejak kemarin. Oliver menjadi lebih pendiam dari sebelumnya, entah masalah apa yang sedang dihadapinya. Saat Yara memutuskan untuk pergi sendiri, tiba-tiba terdengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. dan tak lama kemudian muncul sos
Dalam perjalanan pulang, Oliver terlihat lebih pendiam dari biasanya. Pria itu tidak banyak bicara dan jarang sekali menatap Yara. Tatapannya tampak menerawang jauh, seolah-olah jiwanya sedang tidak bersama raganya.Yara yang melihat keanehan itu hanya bisa menghela napas pelan, lalu memberanikan diri bertanya, “Oliver, ada apa? Kamu lelah, ya?”“Nggak ada apa-apa.” Helaan napas Oliver terdengar berat. Ia menjawab tanpa menatap Yara. “Aku baik-baik saja dan aku sama sekali nggak lelah.”Yara mengangguk mengerti. “Syukurlah kalau begitu. Aku pikir, kamu kelelahan menemani aku syuting seharian.”Saat ini mereka sudah berada di dalam mobil menuju rumah, duduk berdampingan di kursi belakang. Sesekali Yara menoleh ke arah Oliver yang masih terdiam seolah-olah Yara tidak ada di sampingnya. Entah mengapa, Yara merasa sedikit kecewa karena ia merasa diabaikan, padahal biasanya sikap Oliver jauh lebih kejam daripada ini, tapi dulu Yara tidak pernah merasa kecewa karena ia tahu dirinya hanya ba
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw