Ponsel yang berdenting mengalihkan perhatian Oliver dari berkas-berkas laporan yang baru selesai ia tandangani, ke arah ponselnya yang tergeletak di samping laptop.Senyuman kecil tersungging di bibir Oliver kala ia melihat nama pengirim pesan yang baru saja masuk. Yara Vianca Zettira.[“Aku sudah di Maven, lagi briefing dulu sebentar. Kamu jam berapa jemput aku?”]Oliver melirik arloji di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.“Lima menit lagi aku berangkat,” balas Oliver dengan cepat.[“Oke. Aku tunggu.”]Oliver kembali tersenyum sendiri. Siang ini ia akan menemani Yara syuting lagi di daerah pegunungan.Bisa saja Oliver membiarkan Yara sendirian melakukannya, karena toh banyak kru yang akan menjaganya. Namun, Oliver tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Yara akan baik-baik saja selama proses syuting berlangsung.Setelah menyerahkan berkas-berkas di hadapannya kepada Wanda, Oliver pun merapikan mejanya dan h
Oliver melangkah masuk ke dalam Lotus Cafe dengan ragu. Pikirannya terasa kacau semenjak ia mendapatkan pesan dari orang yang mengaku-ngaku sebagai Zara.Ya, Oliver akhirnya memutuskan untuk datang ke cafe ini, untuk memastikan semuanya. Apakah si pengirim pesan misterius itu benar-benar Zara, atau hanya orang iseng yang mencoba memeras uang dari Oliver?Oliver disambut oleh aroma kopi yang menyeruak begitu membuka pintu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling cafe. Begitu matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di bangku paling ujung—yang tengah memandangi Oliver, mendadak Oliver merasakan jantungnya berhenti berdetak. Oliver membeku.Wanita berambut sebahu itu seketika berdiri dengan mata berkaca-kaca. Pandangan keduanya beradu beberapa saat, sebelum akhirnya wanita itu berlari ke arah Oliver dan memeluknya dengan melingkarkan kedua lengan di pinggang Oliver.“Akhirnya, kamu datang juga, Oliver,” bisik wanita itu dengan isakan pelan, air matanya kini terjatuh memenuhi pipi.“
Oliver menghentikan laju kendaraannya di depan sebuah rumah kontrakan sederhana yang tampak kecil dan sedikit kumuh. Ia menelan saliva, tak bisa membayangkan Zara hidup di tempat seperti ini.“Jadi... di sini kamu tinggal sekarang?” tanya Oliver dengan tenggorokan tercekat.Zara menganggukkan kepalanya pelan. “Iya,” jawabnya dengan suara lembut. “Memang kurang layak, tapi mau bagaimana lagi? Sesampainya di sini aku belum mendapatkan pekerjaan. Aku masih mencoba untuk menyesuaikan diri dengan kehidupanku di sini.”Oliver terdiam. Matanya menatap rumah itu, lalu menunduk sambil menghela napas pelan.“Aku... aku belum sanggup bertemu Ibu dan Yara.” Suara lembut Zara memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka beberapa saat. Kedua tangannya saling meremas di atas paha. “Aku juga merindukan mereka, tapi aku belum siap. Aku nggak tahu apa yang harus aku katakan pada mereka.” Air mata kembali menumpuk di pelupuk matanya. “Tapi aku pasti akan menemui mereka secepatnya.”Oliver mengangka
Yara sedang tertawa lepas, menertawakan candaan Marshall yang tengah berusaha menghiburnya, saat pintu terbuka dan muncul sosok Oliver di sana. Sontak, Yara dan Marshall sama-sama menoleh ke arah pintu. Tawa keduanya perlahan lenyap kala melihat siapa yang datang. “Apa yang kamu lakukan di sini, Marshall?” Suara dingin Oliver memecah keheningan di antara mereka bertiga. “Akhirnya dia datang,” gumam Marshall pada Yara sambil menghela napas. Marshall tersenyum samar seraya menatap Oliver yang berjalan mendekati mereka. “Ke mana saja kamu seharian ini? Sampai-sampai baru datang jam segini dan mematikan handphone?” Alih-alih menjawab, Oliver justru malah berkata, “Urusanku bukan urusanmu, Marshall. Tapi kamu yang sedang menggoda istriku di sini adalah urusanku!” Marshall tersenyum miring, menatap Oliver tanpa takut. "Aku nggak menggoda istrimu, Oliver. Aku hanya berusaha menghibur Yara karena kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri, sampai lupa kalau dia juga butuh perhatian." K
Yara terdiam, memejamkan matanya sambil mencoba mengatur napas. Kehangatan tubuh Oliver di belakangnya seharusnya memberinya rasa aman, tetapi hatinya masih diliputi perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu ia tidak bisa terus bersikap dingin seperti ini, tapi luka hatinya belum sepenuhnya sembuh."Kamu butuh aku?" Yara akhirnya bersuara, nadanya datar. "Tapi apa kamu sadar, Oliver, kalau aku juga butuh kamu tadi siang? Aku butuh kamu di saat aku merasa takut dan terluka. Tapi kamu malah nggak ada."Oliver mengeratkan pelukannya, seperti takut Yara akan menjauh. "Aku tahu. Dan itu kesalahanku. Aku nggak bermaksud mengabaikanmu, Yara. Aku benar-benar nggak tahu apa yang terjadi. Kalau aku tahu, aku pasti langsung ke sini tanpa pikir panjang."Yara kembali terdiam mendengarnya. Kata-kata Oliver kali ini sulit ia bantah. Alhasil, Yara hanya diam dan membiarkan dirinya dipeluk Oliver. Hingga akhirnya terdengar dengkuran halus dari pria itu, yang membuat Yara enggan menggerakkan tubuhnya ka
Lagi-lagi, Oliver terdiam mendengar ucapan Yara. Entah mengapa wanita ini sering membuatnya tak bisa berkutik. Raut muka Oliver menegang, khawatir Yara marah dan kecewa padanya saat mengetahui bahwa kemarin ia bertemu dengan kembaran Yara yang sudah dikira meninggal dunia selama ini.Tunggu dulu!Kenapa Oliver harus khawatir Yara marah dan kecewa karena hal itu?Namun, sebelum Oliver mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Yara yang memukul lengannya sambil berkata, “Berhenti sekarang!” membuat Oliver keluar dari keterdiamannya.“Kenapa, Yara? Kamu butuh sesuatu?” tanya Oliver sambil menepikan mobil ke pinggir jalan.“Aku ingin muntah,” jawab Yara sembari membekap mulutnya sendiri, lalu ia cepat-cepat turun saat mobil sudah berhenti.Melihat Yara berusaha mengeluarkan isi perutnya di bawah sebuah pohon dengan susah payah, dada Oliver terasa sesak.
Entah untuk yang ke berapa kalinya semenjak menikah, wajah Oliver yang tengah terlelap menjadi pemandangan pertama yang Yara dapati saat ia membuka matanya.Yara tersenyum kecil, menyerukkan wajah di leher lelaki itu sambil menghirup aroma woody dalam-dalam.Aneh, pikirnya. Setiap kali ia bangun tidur dalam pelukan Oliver, morning sickness-nya justru malah tidak kambuh.Tiba-tiba alarm dari ponsel Yara memekik nyaring. Tak ingin membangunkan Oliver, cepat-cepat Yara meraih ponsel dari nakas dan mematikan alarm. Namun, pergerakan Yara tersebut justru malah membangunkan pria itu.“Jangan bergerak,” gumam Oliver seraya mengeratkan pelukannya. “Kamu bukan cuma membangunkanku, tapi sudah membangunkan ‘sesuatu’ yang lain dalam diriku.”Yara mengerjap, ucapan Oliver terdengar ambigu dan Yara benar-benar tidak mengerti maksudnya.“Sudah siang, Oliver. Zio pasti sudah bangun dan mencari kita.”Mendengar nama Zio, mata Oliver pun akhirnya terbuka, menatap Yara dengan tatapan sulit diartikan.Na
Zara berdiri kaku di depan kaca besar yang memisahkan area bermain dengan koridor mall. Matanya terus mengikuti setiap gerak Zio di dalam sana, bibirnya bergetar menahan isakan. Oliver menghampirinya dengan langkah perlahan, tak ingin mengagetkannya."Zara," panggil Oliver pelan.Zara menoleh, dan saat matanya bertemu dengan Oliver, air matanya jatuh begitu saja. Ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. "Maaf... Aku nggak bisa menahan ini."Oliver mengangguk mengerti, lalu berdiri di sampingnya, memandang ke arah Zio yang tengah tertawa lepas. "Dia anak yang hebat, 'kan?"Zara mengangguk, suaranya bergetar saat menjawab. "Aku... aku nggak pernah berhenti memikirkannya, Oliver. Setiap hari aku bertanya-tanya bagaimana dia tumbuh, apa dia bahagia, apa dia... mengenalku sebagai ibunya."Oliver terdiam. Tak tahu harus memulai dari mana bahwa kini Zio telah menganggap Yara sebagai ibunya.Menghela napas panjang, Oliver menjejalkan tangan ke saku celana dan berkata, “Zio pasti meng
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di
Oliver berdiri di depan bangunan dua tingkat bergaya minimalis. Bangunan itu terlihat seperti masih baru. Tulisan Infinity Events terukir di sudut kanan atas bangunan berbentuk kubus itu. Model bangunan tersebut persis seperti selera Yara, pikir Oliver. Kedua sudut bibir Oliver terangkat. Dan mungkin itu senyuman tulus pertama yang ia sunggingkan selama beberapa tahun terakhir. Oliver mengembuskan napas, ia harus berjuang menenangkan diri karena jantungnya berdetak tak karuan. Sebelum akhirnya ia melangkahkan kakinya memasuki lobi Infinity Events. Saat Oliver membuka pintu, tidak ada orang di meja resepsionis. Lobi itu terlihat kosong selain ada seorang anak kecil perempuan, yang sedang menari berputar-putar sambil menyanyikan lagu “Do You Wanna Build A Snowman”. Tampak kerutan di kening Oliver. Ia merasa seperti pernah bertemu dengan anak itu.
Yara berjalan dengan langkah cepat sambil berusaha menahan air mata agar tidak tumpah.Tiba di luar lobi hotel, ia menghentikan langkahnya. Satu tangannya bertumpu pada pilar, sementara tangan yang lain memegangi dada yang tengah bernapas naik turun. Dadanya terasa sesak.Ia berusaha menghirup oksigen dalam-dalam dengan mata yang memanas.Bertemu dengan Oliver seperti membuka kembali kenangan lama yang berusaha ia kubur dalam-dalam.Susah payah selama enam tahun ia menghindar, kenapa sekarang harus dipertemukan kembali? Setelah dirasa dadanya mulai melonggar, ia berjalan dengan gontai menuju mobilnya di parkiran. Tangannya yang gemetar berusaha mencari kunci di dalam tas. Hingga kunci itu terjatuh setelah ia menemukannya. “Kenapa harus sekarang?” bisik Yara pada dirinya sendiri sambil memunguti kunci tersebut. Yara membuka pintu mobil, mendaratkan pantatnya di belakang kemudi. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil mengerang frustrasi. Lalu jemarinya berhenti pada bibirnya. Cium
“Jadi....” Oliver mendekati Yara, berdiri di samping kursi Yara dengan tatapan yang masih sulit diartikan. “Apa alasan sebenarnya Anda memilih konsep yang, menurut saya, terlalu sederhana untuk acara sebesar ini... Nona Yara?”Yara tersentak ketika Oliver memutar kursi yang ia duduki, hingga mereka saling berhadapan. Oliver menaruh kedua tangannya di lengan kursi, mengungkung Yara yang semakin merasa panik dan jantung yang berdegup kencang.Yara memundurkan punggungnya hingga bersandar pada sandaran kursi. “Bukankah jarak kita terlalu dekat, Tuan Oliver? Tolong jauhkan badan Anda.” Yara tiba-tiba lupa bagaimana caranya bernapas. Aroma woody itu masih sama seperti dulu, membuat ingatan masa lalu mereka seketika memenuhi kepala Yara.Oliver tetap bergeming, merundukan badannya dengan tangan masih bertumpu pada lengan kursi.Meski hatinya terasa tak karuan, Yara tetap mencoba profesional dengan berkat
Pria itu terpaku setelah menyerahkan berkas-berkas yang ia kumpulkan kepada Yara. Yara segera berdiri, berusaha menenangkan dirinya meskipun rasa gugup mulai merayap. “Terima kasih,” ucap Yara pelan, suaranya terdengar sedikit bergetar. Bertemu lagi dengan pria yang menorehkan luka di masa lalu membuat Yara merasakan dunianya berhenti berputar sesaat. Detik itu juga Yara pergi meninggalkan Oliver yang masih membeku di tempatnya berdiri. Yara melangkah cepat, menaiki tangga darurat menuju lantai empat. Napasnya terengah-engah saat ia tiba di depan pintu ruang meeting. Yara berusaha mengatur napasnya seraya memegangi dada. “Kenapa harus ketemu lagi?” gumam Yara pada dirinya sendiri. “Kenapa dia ada di sini? Kenapa harus sekarang?” Mata Yara terasa memanas. Luka lama yang belum mengering itu kembali menganga. “Bu Yara?” pa
Mata Airell berkaca-kaca kala melihat tangan kakaknya yang dipasangi jarum infus. Sedetik kemudian, air matanya tumpah.“Huwaa...! Arthur, pasti sakit banget, Mom!” isak Airell, yang memiliki hati lembut dan tidak tegaan itu. “Arthur, kenapa harus sakit, sih? Aku ‘kan nggak tega lihatnya. Huwaa....!”“Ish! Sssst! Berisik.” Arthur menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. “Jangan cengeng, Airell. Aku saja yang sakit tidak menangis, tahu?"Yara menghela napas pelan melihat tangisan Airell yang semakin menjadi-jadi. Ia mengabaikan Airell sesaat, lalu fokus kembali pada laporan yang disampaikan oleh Sri.“Jadi, kemarin Airell menumpahkan es krimnya ke celana seseorang? Astaga....” Yara menyugar rambut lurus panjangnya ke belakang.“Iya, Bu. Aduh, saya sampai khawatir orang itu akan memarahi Non Airell. Soalnya dilihat dari penampilannya, dia sepertinya orang yang sangat penting
Oliver selesai mengganti celananya yang terkena tumpahan es krim dengan celana yang baru saja diambilkan Lucas dari mobilnya. Untuk berjaga-jaga, Oliver memang selalu menyimpan pakaian cadangan di dalam mobil. Dan pakaian itu berguna di saat-saat seperti ini.Oliver menggulung lengan bajunya hingga ke siku. Saat tatapannya tertuju pada lengan bagian dalam siku itu, tanpa sadar ingatan Oliver melayang pada percakapan antara dua perawat di dalam lift tadi. Oliver berusaha mengabaikannya. Itu bukan urusan dirinya. Masih banyak orang bergolongan darah A di luar sana, pikir Oliver.Namun, Oliver tak bisa menyangkal. Ada sebagian dari dalam dirinya yang terusik. Seperti ada dorongan kuat untuk mendonorkan darahnya pada anak tak dikenal itu.“Tuan, rapatnya sebentar lagi akan dimulai.” Ucapan Lucas menyadarkan Oliver dari lamunan. Maksud kedatangannya ke rumah sakit ini memang untuk rapat bersama para eksekutif rumah sakit yang berada di bawah naungan New Pacific Group.Oliver menghela napas
Yara menunggu di ruang tunggu UGD dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan, sebab di sampingnya ada Airell. Yara harus berusaha setenang mungkin jika tidak ingin membuat Airell menangis dan semakin cemas. Tak lama, dokter yang memeriksa Arthur pun keluar, menyampaikan kabar yang membuat lutut Yara mendadak terasa lemas. “Anak Ibu terkena anemia berat,” ucap sang dokter, “Arthur harus segera mendapatkan transfusi darah. Namun sayang sekali, golongan darah A di bank darah kami sangat terbatas.” Yara merasa tubuhnya semakin lemas. Ia berusaha tenang, tetapi pikirannya terlalu kalut. "Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyanya dengan suara gemetar. "Kami akan segera mencoba mencari donor, Bu," jawab sang dokter. "Kami juga akan memeriksa data pendonor reguler kami." Yara menjatuhkan tubuhnya ke kursi sambil menangkup wajahnya. Ia merasa khaw