Black dan Baron saling melirik, lalu Black memberikan isyarat kepada Baron untuk membawa Yara keluar. Beberapa menit kemudian, Yara yang masih terikat dan mulutnya disumpal kain, digiring keluar.Melihat kondisi Yara yang menyedihkan dengan wajah lelah dan sudut bibir yang terluka, membuat kemarahan Oliver semakin menjadi-jadi.“Sialan! Kalian apakan istriku?!” teriak Oliver dengan penuh amarah.“Hanya memberinya sedikit pelajaran,” jawab Black sambil terkekeh licik. “Sekarang berikan uangnya kepada kami.”Tatapan Oliver tertuju pada Yara yang masih disandera Baron. Melihat kondisi Yara mengenaskan seperti itu, entah mengapa hati Oliver terasa sakit. Oliver mengangguk kepada Yara, menegaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan Oliver akan mengeluarkannya dari sini.Air mata Yara menetes semakin deras. Ketakutannya berganti dengan kelegaan dan perasaan penuh haru karena Oliver akhirnya datang untuk menyelamatkannya.“Baik. Aku akan memberikan uangnya kepada kalian, setelah kalian me
Oliver mengerang pelan saat ia terbangun dari siuman. Bau obat-obatan dan ruangan yang asing baginya, cukup membuat Oliver sadar bahwa saat ini ia berada di rumah sakit. Ia menoleh ke arah jendela di sisi kirinya, cahaya terang matahari menunjukkan bahwa Oliver ‘tertidur’ cukup lama. Ia juga melihat kaki kirinya dibebat perban. Tidak ada siapapun di ruangan yang cukup luas itu. Dan mendapati Yara tidak ada di sampingnya, tiba-tiba membuat Oliver kesal. Namun, di sisi lain, Oliver juga khawatir pada wanita itu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah mungkin Yara juga harus dirawat sehingga ia tidak ada di sini sekarang? Pintu terbuka. Oliver langsung menoleh ke sisi kanan, dan ia menghela napas kecewa ketika yang datang adalah perawat. “Suster, di mana istri saya?” tanya Oliver ketika perawat wanita itu sudah mulai memeriksa kondisinya. “Maaf, Pak. Saya kebagian shift pagi hari ini, jadi saya nggak sempat melihat istri Bapak,” jawab perawat dengan ramah. Oliver menghela napas pa
“Kenapa kamu terus menatapku seperti itu?” gumam Yara sambil mengunyah makanan dan menunduk saat ia mendapati Oliver tak berhenti menatapnya. “Tatapanmu bahkan bisa membolongi kepalaku, tahu?”Oliver terkekeh pelan.Hal itu membuat Yara terdiam sesaat. Pasalnya, seingatnya baru kali ini ia mendengar Oliver tertawa di hadapannya.“Kenapa tertawa? Kamu menertawakan wajahku?” Yara menggerutu seraya memegangi pipinya yang sedikit bengkak akibat tamparan pria berengsek kemarin.Oliver menghela napas panjang, tanpa diduga-duga ia menjawab, “Mana mungkin aku menertawakan sesuatu yang sangat aku khawatirkan?”Yara nyaris tersedak makanan yang tengah ia kunyah di dalam mulutnya kala mendengarnya.“Lalu kenapa kamu terus menatapku dan tertawa?” Bibir Yara memberengut.Oliver tersenyum samar. “Aku nggak tahu,” jawabnya, “hanya saja, mataku ingin terus melakukannya, maksudku menatapmu.”Jawaban Oliver sama sekali tidak membantu. Yara memilih diam dan melanjutkan kembali melahap makanannya, ia ber
Yara penasaran, apakah dulu ketika sakit, Oliver juga semanja ini kepada Zara? Namun di balik rasa penasarannya itu ada rasa takut yang menyeruak, takut jika yang Oliver lakukan pada Zara justru lebih manja karena kenyamanan yang Oliver dapatkan lebih besar dari Zara, ketimbang dari Yara. “Apa atau siapa yang berani membuatmu melamun seperti itu?” Suara bariton Oliver mengeluarkan Yara dari lamunannya. “Hm? Apa?” tanya Yara, karena ia tak benar-benar mendengar ucapan Oliver barusan. Oliver menghela napas panjang. Ia meraih tangan Yara dan menaruhnya di pundaknya. “Yang ini masih pegal,” ucapnya, “barusan aku tanya, apa yang sedang kamu pikirkan sampai kamu melamun begitu lama?” Kamu dan... Zara. Yara ingin menjawab seperti itu, akan tetapi ia redam keinginannya dan memilih untuk mengelak, “Bukan sesuatu yang penting. Kadang kita butuh mengosongkan pikiran dengan melamun di saat pikiran kita benar-benar penuh.” Tanpa diduga-duga, Oliver tersenyum kecil. Lalu memejamkan mata saat
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, Oliver akhirnya dibolehkan pulang ke rumah oleh dokter. Pria itu masih belum bisa berjalan dengan sempurna dan setiap harinya disibukkan dengan pekerjaan meski sedang sakit. Kini, Yara sedang mengoleskan krim malam di wajahnya, di kamarnya yang ada di rumah Oliver, saat ponselnya berdering. Nama Oliver muncul di layar. Yara menghela napas panjang. Sekarang apa lagi yang pria itu inginkan? Setelah sebelumnya Oliver meminta disuapi makanan dan dibantu dimandikan setibanya mereka di rumah siang tadi. “Iya, halo? Ada apa?” tanya Yara sesaat setelah ia mengangkat panggilan tersebut. “Yara, ke kamarku sekarang,” pinta Oliver dengan nada tidak ingin dibantah. “Aku membutuhkan sesuatu.” Yara mengembungkan pipinya sambil mengembuskan napas. Merawat Oliver selama tiga hari di rumah sakit memang sedikit melelahkan, tapi Yara tidak mengeluh, karena ia sadar Oliver sakit akibat menolongnya. Setelah menuntaskan aktifitasnya di depan cermin rias, Yara
Yara berdiri di barisan antrean panjang menuju pintu masuk venue konser Marshall. Angin malam yang sejuk menyapu rambutnya, sementara suara gemuruh dari penonton lain yang mengobrol penuh antusias membuat suasana semakin semarak.Meski datang sendirian, Yara sama sekali tidak merasa canggung. Sebab ia sudah terbiasa melakukan berbagai hal sendirian.Malam ini Yara mendapat izin dari Oliver untuk datang ke konser Marshall. Ia bersyukur karena Oliver tidak mempersulit perizinannya. Sementara itu, Oliver tidak datang ke konser kali ini, karena pria itu ada meeting penting dengan klien dari Rusia melalui pertemuan daring. Meeting itu diadakan di kantornya, meski kakinya belum benar-benar sembuh, akan tetapi Oliver memaksakan dirinya untuk pertemuan tersebut.Setelah menunjukkan tiket pada petugas, seorang kru mengarahkan jalan kepada Yara ke arah tempat duduk VIP. Para penonton sudah memenuhi venue tersebut. Namun, sederet tempat duduk di barisan Yara terlihat kosong, sementara di depan d
Penonton keluar dari venue, saling dorong dan berdesakkan. Tubuh Yara yang mungil nyaris terjepit di antara kerumunan, ia kesulitan melangkah. Namun tiba-tiba, Oliver menariknya ke belakang hingga punggung Yara membentur sesuatu yang keras.“Jangan ceroboh, Yara,” bisik Oliver di dekat telinga Yara. “Ikut aku.”Oliver membalik badan Yara, membuat Yara tahu jika barusan punggungnya membentur dada Oliver. Pria itu merangkul bahu Yara dan membawanya ke sisi yang lain.“Pegang aku. Jangan lepaskan,” kata Oliver dengan suara yang sedikit lebih lembut.Yara mengangguk, jemarinya refleks mencengkeram punggung jaket Oliver. Ia bisa merasakan betapa kuatnya Oliver melindunginya dari segala dorongan di sekitar mereka.Seorang pria di belakang mereka tak sengaja menyenggol bahu Yara dengan kasar. Oliver langsung menoleh tajam, menatap pria itu dengan sorot mata dingin.“Hati-hati!” ucap Oliver dengan nada rendah tapi penuh intimidasi. Pria itu buru-buru meminta maaf sebelum bergegas menjauh.Yar
“Sejak sekolah!” jawab Yara dengan senyuman riang, seolah-olah ia merasa senang ada orang yang penasaran tentang kemampuan bela dirinya, terlebih lagi orang itu adalah Oliver. “Kamu tahu? Aku sering ikut turnamen saat masih sekolah, dulu. Dan aku sering masuk ke dalam juara tiga besar,” aku Yara dengan jumawa.Kedua sudut bibir Oliver terangkat kecil, membuat Yara mengerjap karena hari ini Oliver lebih banyak tersenyum ketimbang yang lalu-lalu.“Berarti... kalian memiliki hobi dan kemampuan yang sama,” gumam Oliver, yang masih terdengar jelas oleh Yara.“Hm?” tanya Yara dengan gumaman. “Maksud kamu? ‘kalian’ siapa?”“Kamu dan... Zara.”Jawaban Oliver tersebut membuat Yara seketika terdiam.Setelah menghela napas panjang, Oliver melanjutkan seraya menatap Yara, “Zara juga pandai bermain bela diri, tapi dia nggak bisa bermain lagi setelah kejadian hari itu. Dan dia juga sering ikut turnamen, sama sepertimu.” Oliver tersenyum samar. “Kalian ternyata memiliki persamaan juga.”Mendengarnya
“Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te
“Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.