Yara berkali-kali melirik arloji sambil menggigit bibir bawahnya. Lalu melihat ke sekeliling lahan hijau luas yang telah dipenuhi oleh orang tua dan murid-murid TK yang memakai seragam hijau tosca dan putih. Namun, dari sekian banyak orang yang hadir dan yang baru saja berdatangan, Yara tidak melihat seseorang yang ia cari.Yara mengembuskan napas kasar sambil bergumam, “Apa yang aku harapkan? Dia nggak mungkin datang ke acara yang menurutnya nggak penting ini.” Lalu menyugar rambutnya dengan kasar.Meski Yara telah melarang Oliver datang ke acara Family Gathering ini, tapi entah mengapa setelah melihat keluarga anak lain yang lengkap, Yara jadi mengharapkan kehadiran Oliver.“Mommy, kenapa Daddy tidak datang?” tanya Arthur dengan ekspresi kecewa. “Padahal Daddy sudah janji akan datang. Teman-teman aku yang lain datang bersama daddy mereka, kita tidak.”Yara menggigit bibirnya, bingung apa yang har
“Dari mana kamu dapat kaos itu?” Yara menatap curiga pada Oliver yang duduk di sampingnya. Kini mereka duduk beralaskan tikar yang dibawa Oliver, dengan makanan yang terhidang di atasnya, persis seperti piknik keluarga. Oliver mengedikkan bahu. “Nggak ada yang nggak bisa kulakukan, Yara, kecuali... menemukanmu selama enam tahun ini. Itu hal tersulit yang pernah aku lakukan.” Yara berdehem dan memilih mengalihkan pandangannya ke arah MC yang sedang bercuap-cuap di depan. Apa jadinya jika Oliver tahu bahwa Marshall-lah yang membantunya bersembunyi selama ini? Apakah Oliver akan marah pada Marshall? Mengingat hal itu, Yara pun menghela napas panjang. Ia harus jujur pada Oliver mengenai hal tersebut. “Baiklah! Hari ini kita akan menyaksikan salah satu lomba paling seru dan menghibur di acara Family Gathering kita, yaitu Keluarga Kompak Challenge!” seru MC yang dibalas oleh
Diam-diam Oliver melirik Yara yang duduk di sampingnya. Lalu menghela napas berat, karena wanita itu tampaknya enggan sekali menatapnya. Sementara si kembar sedang tertidur di kursi belakang. Mereka tampak kelelahan setelah seharian mengikuti acara.Yara yang merasa dirinya terus menerus ditatap Oliver, akhirnya bersuara tanpa menatap pria itu. “Tadi, kenapa kamu terlambat?”Oliver menghela napas lega sebab akhirnya Yara mau berbicara dengannya. “Aku kejebak macet.”Yara mendengus. “Jangan jadikan macet sebagai alasan. Itu alasan klise.”“Aku sungguh-sungguh, Yara.” Oliver mengelus dada, berusaha mempertebal kesabarannya menghadapi wanita keras kepala yang satu ini. “Tadi aku hampir sampai, tapi tiba-tiba ada pohon tumbang yang menghalangi jalan.”Yara tidak memberi tanggapan apapun. Ia kembali mengalihkan tatapannya dari jalanan di depan, ke arah kiri sambil bersedekap dada.
“Mommy, Daddy boleh tidur bersama kita?” tanya Arthur dengan mata berbinar-binar.Sambil menyabuni piring kotor bekas makan malam mereka, Yara berkata, “Daddy akan tidur di sofa, Sayang. Kasur kita nggak muat berempat.”“Muat kok, Mom,” timpal Airell dengan polos. “Aku dan Arthur ‘kan kecil. kita tidur saling berdempetan saja, Mommy.”Yara menghela napas sepelan mungkin. “Nggak akan muat, Sayang. Percaya sama Mommy. Badan Daddy ‘kan besar banget,” elak Yara sambil membayangkan tubuh Oliver yang kekar itu harus tidur di tempat yang sempit, walaupun sebenarnya kasur ukuran queen bad itu masih cukup untuk Oliver. Namun Yara enggan berbagi ranjang dengan pria itu.“Mommy, please...,” pinta Arthur dengan penuh permohonan sambil memeluk kaki kanan Yara. “Aku ingin tidur bersama Daddy, karena kita belum pernah satu kalipun tidur dengan Daddy, Mom.”“Iya, Mommy.” Airell memeluk kaki kiri Yara. “Aku ingin dibacakan dongeng oleh Daddy seperti teman-teman aku,” rengeknya dengan puppy eyes-nya, y
“Kamu pikir, kamu bisa lari dariku, Yara?”Yara memekik kaget, beruntung ia tidak sedang memegangi cangkir berisi teh manis hangat tersebut.Seketika itu juga, Yara membalikkan tubuhnya, dan ia menyesal telah melakukannya karena saat berbalik wajah mereka sama sekali tak berjarak hingga bibir mereka bertemu. Oliver mengungkungnya dengan meletakkan kedua tangan di tepian kitchen island, tepat di sisi kiri dan kanan tubuh Yara.“Oliver, apa yang kamu lakukan?!” desis Yara sambil memundurkan wajahnya, menjauhi wajah Oliver.Satu sudut bibir Oliver terangkat, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Yara lagi. “Kenapa menghindariku terus menerus, hm? Semakin kamu mengindar, semakin aku ingin mengejarmu, Yara,” bisiknya dengan suara berat.Yara menelan saliva, ia merasakan jantungnya berdebar-debar kencang. Sialan, Oliver. Sejak dulu pria itu selalu berhasil membuatnya tak berkutik.“Karena aku membencimu,” ucap Yara sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.Dan saat itu juga, Yara memekik terkeju
“Sepertinya Ibu Bos kita sedang sibuk sekali hari ini.”“Oh? Marshall?! Sejak kapan kamu di sini?” Yara yang baru saja keluar dari ruang meeting, terkejut melihat Marshall sudah menunggunya di ruang tamu.“Baru sekitar....” Marshall melirik arloji sesaat. “Lima menit? Nggak terlalu lama.” Ia berdecak lidah sambil berdiri mendekati Yara. “Mentang-mentang sudah ketemu Oliver, kamu jadi melupakanku sekarang, Yara?”Yara memutar bola matanya malas. “Bukan begitu,” sanggahnya, “aku sibuk akhir-akhir ini, untuk mengurus persiapan acara ulang tahun The Luxe Hotels. Ah, ngomong-ngomong, ayo kita ngobrol di ruanganku.”Yara berjalan mendahului, dan Marshall mensejajarkan langkahnya dengan Yara. “The Luxe Hotels? Mereka jadi menggunakan konsep yang kamu tawarkan?”“Hm. Padahal awalnya CEO mereka bersikeras menolak dan ingin menentang konsep yang aku tawarkan.” Yara mendengus pelan kala mengingat perdebatannya dengan Oliver kala itu.“Waah... Oliver benar-benar tergila-gila padamu. Dia sampai ma
Beberapa saat yang lalu. Oliver merindukan Yara. Ia rindu kata-kata ketusnya. Rindu tatapan tajamnya yang menggemaskan. Dan rindu segala hal tentang Yara. Sambil bersiul dan memainkan kunci mobil di tangannya, Oliver berjalan menuju lobi Infinity Events. Jantungnya selalu berdebar-debar setiap kali ia akan menemui wanita pujaan hatinya itu. Oliver tersenyum sendiri, tanpa memedulikan sapaan resepsionis. Ia penasaran, kira-kira ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan Yara padanya hari ini? Tiba di lantai dua, tepatnya di depan ruangan Yara, Oliver tidak melihat kehadiran sekretaris Yara di mejanya. Jadi ia tidak perlu lapor pada Yara—seperti biasa, dan memilih menerobos memasuki pintu yang terbuka sedikit itu. Namun, saat Oliver akan mendorong pintu tersebut, ia mendengar suara seorang lelaki di dalam sana yang tidak terdengar jelas apa yang sedang dibicarakannya. Sinyal api cemburu Oliver tiba-tiba menyala. Ia berhenti melangkah di dekat pintu sambil menajamkan pendengaranny
“Maafkan aku.” Yara menundukkan kepalanya di hadapan Marshall, memandangi jari jemarinya yang saling meremas dengan gugup dan gelisah. “Gara-gara aku... hubungan kalian jadi rusak.” Ia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menghalau air matanya yang hampir jatuh. Melihat Oliver pergi dengan penuh kekecewaan, membuat hati Yara terasa sakit. “Sekali lagi aku minta maaf, aku janji akan—““Nggak perlu minta maaf, Yara,” potong Marshall dengan tenang.Namun, Yara yakin hati Marshall tidak setenang yang nampak di permukaan.“Aku yang memutuskan membantumu waktu itu,” lanjut Marshall lagi. “Dari awal aku memutuskan untuk membantu, aku memang sudah tahu konsekuensinya akan seperti ini. Jadi kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri.”Yara menggigit bibirnya yang bergetar. Pikirannya terasa kacau balau. Kenapa Oliver harus datang di waktu yang tidak tepat?“Tetap saja....” Yara mengembuskan napas dengan berat. “Aku merasa bersalah. ini semua terjadi karena keegosanku. Andai aku nggak pergi
Wanda berjalan mondar-mandir di depan ruangan CEO, sambil memikirkan cara untuk menginterupsi percakapan bosnya dan Yara di dalam sana. Perasaan suka pada Oliver itu masih ada hingga kini, bersemayam di hati Wanda begitu kuat. Ia tidak suka melihat Oliver didekati wanita lain, meskipun itu istrinya sendiri.Saat pikiran Wanda sedang sibuk berkelana, memikirkan cara-cara licik untuk masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba ia mendengar suara-suara yang membuat tubuhnya meremang dari dalam sana.Suara itu... suara erangan dan desahan yang saling bersahutan, cukup terdengar hingga ke luar. Mata Wanda terbelalak. Pikirannya berkelana, memikirkan apa yang tengah dilakukan suami istri itu di dalam sana.Wanda bukan wanita polos. Jadi, ia bisa membayangkan permainan panas macam apa yang tengah mereka lakukan.Pipi Wanda memerah. Tubuhnya ikut memanas saat Oliver memanggil nama Yara di sela-sela erangannya. Dan saat mendengar teriakan Yara yang penuh sensual itu, Wanda bisa membayangkan sepanas
“N-Nona Yara?” Wanda ternganga kala melihat siapa yang tengah menghampirinya. Setelah enam tahun lamanya, kini ia kembali menatap istri sang bos dengan mata kepalanya sendiri.Yara berjalan dengan penuh percaya diri sambil menenteng paper bag. Tersenyum penuh arti pada Wanda. Meski Yara tidak ingin berburuk sangka pada sekretaris suaminya, tapi Yara merasa penasaran apa kira-kira yang telah dilakukan Wanda selama enam tahun ini untuk menarik perhatian Oliver?“Oliver ada?”Wanda terlihat gelagapan, tapi wanita itu berhasil menguasai emosinya. Tersenyum profesional pada Yara. “Ada, Nona, di dalam. Tapi beliau sedang tidak bisa diganggu.”Satu sudut bibir Yara terangkat. “Benarkah? Ah, sayang sekali. Apa aku telepon dia saja?”Namun, Wanda tahu apa yang akan terjadi jika Yara menelepon Oliver. Bosnya itu akan marah jika Wanda menolak kedatangan Yara. Akhirnya, Wanda berkata, “Tapi sepertinya tidak ada yang lebih penting dari pada Anda, Nona Yara.”Yara kembali tersenyum. “Terima kasih a
Yara terharu melihat pemandangan di hadapannya. Oliver tengah memasak dan direcoki dua bocah kecil yang ingin ikut memasak. Airell memotong sayuran dengan pisau mainan miliknya, berdiri di atas kursi agar tubuhnya sejajar dengan Oliver. Sementara Arthur sibuk berlari-lari di dapur sambil membawa pesawat mainannya. Yara tidak pernah menduga momen ini akan ia alami. Bahkan, dulu, bermimpi saja ia tak berani. Kehadiran Oliver telah memberi warna baru dalam kehidupan mereka. Yara berjalan mendekat, melingkarkan kedua tangan di perut Oliver dan menyandarkan pipi di punggung bidangnya. Ia bisa merasakan tubuh Oliver menegang seketika, yang membuat Yara terkekeh kecil. “Biar aku bantu, Oliver,” pinta Yara untuk ke sekian kali. Namun, untuk ke sekian kalinya pula Oliver menjawab, “Nggak usah, Yara. Kamu cukup diam saja, malam ini biar aku yang masak.” Oliver menghela napas pelan. “Tapi kalau kamu terus memelukku seperti ini, aku rasa kita butuh booking satu kamar di The Luxe Hotels.” Me
Yara mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, matanya berbinar saat menatap lapangan basket terbuka—tempat terakhir kali Oliver membawanya kemari beberapa hari yang lalu.Oliver sudah berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangannya, senyuman jahil menghiasi wajahnya.“Siap kalah, Nona Zettira?” tantang Oliver, melempar bola ke udara dengan gaya penuh percaya diri.Yara melipat tangan di depan dada, menatapnya dengan tatapan tidak terima. “Kalah? Jangan mimpi, Tuan William. Aku ini jagoan di lapangan basket sejak SMA!”“Kalau begitu, tunjukkan keahlianmu,” ucap Oliver sambil memantulkan bola beberapa kali, lalu mengarahkannya ke Yara. “Kita satu lawan satu. Sampai sepuluh poin. Yang kalah bikin makan malam.”“Deal!” Yara segera menangkap bola dengan semangat. Ia memantulkan bola beberapa kali sebelum mulai bergerak ke kanan, mencoba mengelabui Oliver. Namun, pria itu dengan mudah menghadang langkahnya.“Ke kanan? Terlalu mudah ditebak,” goda Oliver sambil tersenyum lebar.“Ja
“Kami nggak ada hubungan apa-apa,” jawab Yara dengan penuh keyakinan. “Dan nggak pernah ada hubungan sama sekali.” Jawaban Yara tak lantas membuat Oliver berhenti di situ saja. Pria itu menatap Yara penuh selidik. “Di mana kamu mengenal dia? Apa saat kamu di Swiss?” Yara tersentak mendengar pertanyaan terakhir Oliver. “Kamu tahu aku selama ini di Swiss?” “Ya, akhirnya tahu.” Oliver tersenyum getir. “Walaupun terlambat. Andai aku tahu dari awal kalau kamu bersembunyi di Swiss, aku nggak akan membiarkanmu pergi terlalu lama.” Ia menghela napas berat tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah wanita pujaan hatinya yang telah lama ia rindukan itu. Yara menggigit bibirnya, menunduk sesaat, jemarinya mencengkeram kaos di pinggang Oliver. “Maafkan aku Oliver,” ucapnya dengan penuh penyesalan. “Karena aku pergi tanpa memberi kamu kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Dan....” Yara menjeda kalimatnya dengan helaan napas berat. “Dan aku bersembunyi melibatkan Marshall. Maaf aku sudah membuat
Ada yang berbeda dengan pagi Yara hari ini. Biasanya, hanya wajah si kembar yang ia dapati di sisi kiri dan kanannya ketika ia bangun tidur. Namun, pagi ini tampak lain. Ada satu wajah baru yang tengah terlelap di antara anak-anak mereka. Yara mengerjapkan matanya berkali-kali. Berharap ini bukan mimpi. Kedua anaknya memeluk Oliver, dengan menjadikan kedua lengan Oliver sebagai bantal kepala mereka. Yara bisa memastikan saat bangun nanti Oliver akan merasakan tangannya kram. Setelah cukup puas memandangi wajah Oliver, Yara perlahan bangkit dan turun dari tempat tidur. Ia masuk ke kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci wajah. Sebelum akhirnya ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan ketiga orang yang masih terlelap tidur itu. Ia membuka kulkas dan mulai mengambil bahan-bahan untuk sarapan. Telur, sosis, roti, dan beberapa sayuran segar. Ketika ia memotong sayur, senyumnya terkembang
Dan kemudian, tanpa peringatan, Oliver menunduk. Bibirnya menyentuh bibir Yara—awal yang lembut, hati-hati, seperti meminta izin. Namun, seiring detik yang berlalu, ciuman itu berubah. Lebih dalam, lebih kuat, penuh kerinduan yang terpendam.Yara terkejut pada awalnya. Tapi tubuhnya perlahan merespons. Tangannya yang awalnya mengepal di sisi tubuhnya, bergerak naik, mencengkeram ujung jas Oliver. Dadanya naik turun, mencoba mengatur napas yang kini semakin tidak teratur.Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia yakin Oliver bisa merasakannya. Getaran itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ketika Oliver memperdalam ciumannya, Yara merasakan sesuatu yang aneh menggelegak di dalam dirinya—seperti gelombang hangat yang membanjiri setiap inci tubuhnya.Ciuman itu bukan sekadar sentuhan bibir. Itu adalah pernyataan, janji yang tidak terucap, dan juga penyesalan yang terdalam. Oliver tidak hanya mencium, ia memohon, mengungk
Yara melangkah tergesa-gesa kembali ke ballroom dengan perasaan cemburu yang sulit ia sembunyikan. Begitu tiba di ballroom, Yara langsung mengalihkan fokusnya ke pekerjaan. Ia memberi instruksi pada staf melalui earphone untuk mengganti centerpiece di meja VIP sambil memastikan semuanya berjalan lancar. Namun, pikirannya terusik oleh kata-kata dan tindakan Oliver. ‘Kenapa dia tersenyum seperti itu? Apa dia tidak merasa bersalah sedikit pun?’ gumamnya dalam hati. Yara terus berjalan, melewati kerumunan para tamu. Namun, tiba-tiba, seseorang dari belakang menariknya. Dan dalam sekejap mata, tubuhnya berputar, lalu membentur sesuatu yang keras. Yara berada dalam pelukan seseorang. Yara terhenyak. Tanpa perlu menatap wajahnya, ia tahu melalui aroma parfumnya yang khas, orang yang memeluknya itu adalah Oliver. “Maafkan aku karena aku nggak menepati janji padamu dan anak-ana
‘Fokus, Yara! Fokus!’ batin Yara sambil menepuk pipinya pelan, berusaha memfokuskan dirinya yang tiba-tiba menjadi buyar setelah melihat Oliver cipika-cipiki dengan wanita lain. Meskipun sebenarnya si wanita yang nyosor lebih dulu, tapi melihat Oliver yang hanya diam saja membuat Yara diserang perasaan kesal dan... cemburu. Cemburu? Astaga... Yara mendengus pelan, enggan mengakui perasaannya yang menurutnya sungguh memalukan. Tepat pukul delapan malam acara pun dimulai. Yara mengawasi jalannya acara di belakang backstage sambil menatap layar monitor. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa tatapan Yara terus tertuju pada Oliver di meja VIP melalui layar monitor tersebut. Kini, si wanita yang tadi nyosor-nyosor itu duduk satu meja dengan Oliver dan dua lelaki lainnya. Yara menyembunyikan perasaannya, dan berusaha tetap profesional.