Yara berdiri di belakang panggung dengan clipboard di tangan, dan earphone di telinga. Sebagai ketua tim event organizer dari Infinity Events, Yara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan acara ulang tahun The Luxe Hotels malam itu berjalan tanpa cela.“Tim dekorasi, pastikan centerpieces di semua meja sudah dipasang dengan benar. Jangan lupa, bunga lili putih di meja VIP!” ujar Yara melalui earphone, nada suaranya terdengar tegas dan profesional.“Iya, Bu Yara, sudah dicek ulang,” jawab salah satu staf dari seberang.Yara berbalik ke arah layar monitor yang menampilkan tampilan kamera dari berbagai sudut ballroom. Ia memeriksa satu per satu detail—penerangan, kursi tamu, panggung utama, dan tata letak makanan. Semua harus sempurna.Setelah memastikan semuanya telah siap dan sempurna, Yara menghela napas lega. Ia masih memandangi monitor, para tamu undangan saling berdatangan.Dan melihat para tamu yang mengenakan tuksedo hitam, mengingatkan Yara akan sosok Oliver.“Apa dia aka
‘Fokus, Yara! Fokus!’ batin Yara sambil menepuk pipinya pelan, berusaha memfokuskan dirinya yang tiba-tiba menjadi buyar setelah melihat Oliver cipika-cipiki dengan wanita lain. Meskipun sebenarnya si wanita yang nyosor lebih dulu, tapi melihat Oliver yang hanya diam saja membuat Yara diserang perasaan kesal dan... cemburu. Cemburu? Astaga... Yara mendengus pelan, enggan mengakui perasaannya yang menurutnya sungguh memalukan. Tepat pukul delapan malam acara pun dimulai. Yara mengawasi jalannya acara di belakang backstage sambil menatap layar monitor. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa tatapan Yara terus tertuju pada Oliver di meja VIP melalui layar monitor tersebut. Kini, si wanita yang tadi nyosor-nyosor itu duduk satu meja dengan Oliver dan dua lelaki lainnya. Yara menyembunyikan perasaannya, dan berusaha tetap profesional.
Yara melangkah tergesa-gesa kembali ke ballroom dengan perasaan cemburu yang sulit ia sembunyikan. Begitu tiba di ballroom, Yara langsung mengalihkan fokusnya ke pekerjaan. Ia memberi instruksi pada staf melalui earphone untuk mengganti centerpiece di meja VIP sambil memastikan semuanya berjalan lancar. Namun, pikirannya terusik oleh kata-kata dan tindakan Oliver. ‘Kenapa dia tersenyum seperti itu? Apa dia tidak merasa bersalah sedikit pun?’ gumamnya dalam hati. Yara terus berjalan, melewati kerumunan para tamu. Namun, tiba-tiba, seseorang dari belakang menariknya. Dan dalam sekejap mata, tubuhnya berputar, lalu membentur sesuatu yang keras. Yara berada dalam pelukan seseorang. Yara terhenyak. Tanpa perlu menatap wajahnya, ia tahu melalui aroma parfumnya yang khas, orang yang memeluknya itu adalah Oliver. “Maafkan aku karena aku nggak menepati janji padamu dan anak-ana
Dan kemudian, tanpa peringatan, Oliver menunduk. Bibirnya menyentuh bibir Yara—awal yang lembut, hati-hati, seperti meminta izin. Namun, seiring detik yang berlalu, ciuman itu berubah. Lebih dalam, lebih kuat, penuh kerinduan yang terpendam.Yara terkejut pada awalnya. Tapi tubuhnya perlahan merespons. Tangannya yang awalnya mengepal di sisi tubuhnya, bergerak naik, mencengkeram ujung jas Oliver. Dadanya naik turun, mencoba mengatur napas yang kini semakin tidak teratur.Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia yakin Oliver bisa merasakannya. Getaran itu terlalu kuat untuk diabaikan. Ketika Oliver memperdalam ciumannya, Yara merasakan sesuatu yang aneh menggelegak di dalam dirinya—seperti gelombang hangat yang membanjiri setiap inci tubuhnya.Ciuman itu bukan sekadar sentuhan bibir. Itu adalah pernyataan, janji yang tidak terucap, dan juga penyesalan yang terdalam. Oliver tidak hanya mencium, ia memohon, mengungk
Ada yang berbeda dengan pagi Yara hari ini. Biasanya, hanya wajah si kembar yang ia dapati di sisi kiri dan kanannya ketika ia bangun tidur. Namun, pagi ini tampak lain. Ada satu wajah baru yang tengah terlelap di antara anak-anak mereka. Yara mengerjapkan matanya berkali-kali. Berharap ini bukan mimpi. Kedua anaknya memeluk Oliver, dengan menjadikan kedua lengan Oliver sebagai bantal kepala mereka. Yara bisa memastikan saat bangun nanti Oliver akan merasakan tangannya kram. Setelah cukup puas memandangi wajah Oliver, Yara perlahan bangkit dan turun dari tempat tidur. Ia masuk ke kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci wajah. Sebelum akhirnya ia turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan ketiga orang yang masih terlelap tidur itu. Ia membuka kulkas dan mulai mengambil bahan-bahan untuk sarapan. Telur, sosis, roti, dan beberapa sayuran segar. Ketika ia memotong sayur, senyumnya terkembang
“Kami nggak ada hubungan apa-apa,” jawab Yara dengan penuh keyakinan. “Dan nggak pernah ada hubungan sama sekali.” Jawaban Yara tak lantas membuat Oliver berhenti di situ saja. Pria itu menatap Yara penuh selidik. “Di mana kamu mengenal dia? Apa saat kamu di Swiss?” Yara tersentak mendengar pertanyaan terakhir Oliver. “Kamu tahu aku selama ini di Swiss?” “Ya, akhirnya tahu.” Oliver tersenyum getir. “Walaupun terlambat. Andai aku tahu dari awal kalau kamu bersembunyi di Swiss, aku nggak akan membiarkanmu pergi terlalu lama.” Ia menghela napas berat tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah wanita pujaan hatinya yang telah lama ia rindukan itu. Yara menggigit bibirnya, menunduk sesaat, jemarinya mencengkeram kaos di pinggang Oliver. “Maafkan aku Oliver,” ucapnya dengan penuh penyesalan. “Karena aku pergi tanpa memberi kamu kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Dan....” Yara menjeda kalimatnya dengan helaan napas berat. “Dan aku bersembunyi melibatkan Marshall. Maaf aku sudah membuat
Yara mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda, matanya berbinar saat menatap lapangan basket terbuka—tempat terakhir kali Oliver membawanya kemari beberapa hari yang lalu.Oliver sudah berdiri di tengah lapangan dengan bola basket di tangannya, senyuman jahil menghiasi wajahnya.“Siap kalah, Nona Zettira?” tantang Oliver, melempar bola ke udara dengan gaya penuh percaya diri.Yara melipat tangan di depan dada, menatapnya dengan tatapan tidak terima. “Kalah? Jangan mimpi, Tuan William. Aku ini jagoan di lapangan basket sejak SMA!”“Kalau begitu, tunjukkan keahlianmu,” ucap Oliver sambil memantulkan bola beberapa kali, lalu mengarahkannya ke Yara. “Kita satu lawan satu. Sampai sepuluh poin. Yang kalah bikin makan malam.”“Deal!” Yara segera menangkap bola dengan semangat. Ia memantulkan bola beberapa kali sebelum mulai bergerak ke kanan, mencoba mengelabui Oliver. Namun, pria itu dengan mudah menghadang langkahnya.“Ke kanan? Terlalu mudah ditebak,” goda Oliver sambil tersenyum lebar.“Ja
Yara terharu melihat pemandangan di hadapannya. Oliver tengah memasak dan direcoki dua bocah kecil yang ingin ikut memasak. Airell memotong sayuran dengan pisau mainan miliknya, berdiri di atas kursi agar tubuhnya sejajar dengan Oliver. Sementara Arthur sibuk berlari-lari di dapur sambil membawa pesawat mainannya. Yara tidak pernah menduga momen ini akan ia alami. Bahkan, dulu, bermimpi saja ia tak berani. Kehadiran Oliver telah memberi warna baru dalam kehidupan mereka. Yara berjalan mendekat, melingkarkan kedua tangan di perut Oliver dan menyandarkan pipi di punggung bidangnya. Ia bisa merasakan tubuh Oliver menegang seketika, yang membuat Yara terkekeh kecil. “Biar aku bantu, Oliver,” pinta Yara untuk ke sekian kali. Namun, untuk ke sekian kalinya pula Oliver menjawab, “Nggak usah, Yara. Kamu cukup diam saja, malam ini biar aku yang masak.” Oliver menghela napas pelan. “Tapi kalau kamu terus memelukku seperti ini, aku rasa kita butuh booking satu kamar di The Luxe Hotels.” Me
“Siapa yang kirim bunga untuk Airell?!” seru Oliver dengan galak saat ia mendengar Lisa berbicara dengan kurir yang mengantarkan seikat bunga mawar merah dan menyebut-nyebut nama Airell.Oliver kemudian merebut seikat bunga itu dari tangan Lisa dan membaca pesan yang tertulis dalam secarik kertas.‘Bunga ini memang cantik, tapi kalah cantik sama kamu, Airell. —Ben—‘“Ben? Siapa Ben?” geram Oliver. Berani-beraninya bocah ingusan bernama Ben itu menggombali Airell!“Kenapa, Sayang?” tanya Yara yang baru saja menghampiri suaminya dengan kening berkerut.Oliver menunjukkan bunga itu. “Lihat, Sayang. Ada yang kirim bunga buat Airell. Namanya Ben. Astaga, anak jaman sekarang, pipis aja belum lurus tapi sudah berani menggombali anak orang!”“Hush!” Yara memukul pelan lengan Oliver. “Airell sudah remaja, lho. Kamu lupa?”Justru karena sudah remaja, Oliver jadi semakin protektif pada Airell, begitu pula pada Avery yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.Oliver hendak membuang bunga itu ke te
“Sayang, kita mau nambah anak lagi nggak?”“Nggak!” jawab Yara galak. “Tiga aja cukup.”Oliver terkekeh di seberang sana. “Kali aja mau. Aku siap, kok. Kalau aku pulang nanti aku siap nambah anak lagi.”“Idih! Itu sih maunya kamu.” Yara memutar bola matanya malas, lalu ikut tertawa saat Oliver tertawa di ujung telepon.“Kamu nggak tanya kapan aku pulang, gitu? Atau maksa aku pulang?” Suara Oliver terdengar menggoda.“Memangnya kenapa? Kan sudah jelas kamu akan pulang tiga hari lagi.”Yara bangkit dari kursi kerja suaminya. Walaupun sebenarnya ia rindu pada Oliver setelah LDR hampir satu minggu. Namun Yara terlalu gengsi untuk mengakui dan memaksa Oliver pulang. Ia bahkan sering duduk di kursi kerja Oliver demi mengobati rasa rindunya pada pria itu.“Paksa aku pulang, kek. Aku kangen kamu dan anak-anak. Tapi pekerjaan di sini belum selesai.” Oliver terdengar menghela napas panjang. Saat ini ia sedang berada di luar kota untuk perjalanan kantor.Belum sempat Yara menanggapi ucapan suami
Oliver duduk dengan punggung tegak di atas sunbed, netra hitam di balik kacamata hitamnya memperhatikan Yara yang sedang mengajari Avery berjalan tanpa alas kaki di atas pasir pantai. Deburan ombak sesekali terdengar dari kejauhan, diiringi bunyi sekawanan burung camar yang sesekali melintas di udara. “Sial! Apa yang laki-laki itu lakukan?” desis Oliver pada dirinya sendiri saat melihat seorang lelaki tak dikenal menghampiri Yara dan mengajaknya mengobrol. Tidak bisa dibiarkan. Detik itu juga Oliver berdiri, dan sempat bicara pada si kembar Arthur dan Airell yang tengah bermain pasir di sebelahnya, “Arthur, Airell, tunggu di sini sebentar.” Oliver bergegas menghampiri Yara setelah mendapat anggukkan dari kedua anaknya. “Maaf, ada kepentingan apa Anda dengan istri saya?” tanya Oliver pada lelaki itu tanpa basa-basi sambil menekankan kata ‘istri saya’. Lelaki yang hanya mengenakan celana selutut itu tersenyum canggung dan tampak terintimidasi oleh tatapan tajam Oliver. “Oh, t
“Kak Zio!”“Yeay! Kak Zio datang! Aku kangen Kak Zio!”Arthur dan Airell berlari menghampiri Zio. Zio berjongkok, merentangkan kedua tangan dan memeluk si kembar secara bersamaan.“Aku juga kangen kalian,” ucap Zio sambil tertawa bahagia.Arthur yang pertama kali melepaskan diri dari pelukan itu. “Kak Zio, ayo lihat adik aku. Avery cantik, lho!”Mendengar ucapan Arthur, Airell pun cemberut. “Memangnya aku tidak cantik?”“Cantik, sih. Tapi sedikit.” Arthur tertawa jahil.“Arthur...!” rengek Airell dengan bibir yang semakin memberengut.Zio tersenyum dan menggenggam tangan Airell. “Kamu cantik, Airell. Nggak ada yang ngalahin cantiknya kamu.”Mata Airell seketika berbinar-binar. “Sungguh?”“Hm! Aku serius.” Zio mengangguk. “Kalau begitu ayo kita lihat Avery. Di mana dia sekarang?”Airell tersenyum ceria, ia menarik tangan Zio sambil berkata, “Avery lagi sama Daddy. Ayo!”Melihat interaksi mereka bertiga, Yara pun tersenyum penuh haru. Tak bisa dipungkiri bahwa ia pun merindukan Zio.“Zi
“Oliver, kamu baik-baik saja?” Marshall menelengkan kepala, menatap wajah sepupunya yang terdapat lingkaran hitam di bawah matanya. “Kamu sepertinya kurang tidur.”Oliver mengembuskan napas panjang. Ia duduk dengan tegap di sofa, tepat di hadapan Marshall. “Menurutmu aku bisa tidur nyenyak? Setiap malam Avery selalu bangun dan saat siang dia tidur nyenyak.”Avery William adalah nama untuk anak ke tiga Yara dan Oliver. Nama itu Oliver sendiri yang memberikannya.Mendengar keluhan Oliver, Marshall tertawa puas. “Gimana dengan Yara?”“Aku membiarkan dia tidur kalau malam. Lagian Avery selalu ingin bersamaku. Seolah-olah dia tahu kalau dulu ayahnya nggak menemani kakak-kakak dia waktu masih bayi.” Oliver tersenyum kecil, hatinya berdenyut nyeri kala membayangkan Yara melewati masa-masa mengurus bayi kembar sendirian.“Mengurus satu bayi saja sudah repot, apalagi dua,” timpal Marshall, “kamu tahu maksudku?”Oliver mengembuskan napas. “Aku tahu. Kamu nggak perlu menambah rasa bersalahku kar
Oliver terduduk lemas di kursi yang ada di koridor rumah sakit. Wajahnya pucat pasi. Rambutnya acak-acakan. Dan kedua lengannya tampak merah, dipenuhi bekas gigitan dan cakaran. Oliver melamun. Seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri, hingga Oliver mengabaikan keadaan di sekitarnya.Jingga keluar dari ruangan bersalin. Ia prihatin melihat kondisi Oliver yang tampak terguncang. Lalu menghampirinya.“Oliver, kenapa kamu diam di sini? Yara dan bayi kalian menunggu di dalam,” ucap Jingga dengan lembut.Ya, Yara sudah melahirkan beberapa saat yang lalu ditemani Oliver. Setelah bayinya berhasil dilahirkan dengan selamat dan sempurna, Oliver pun keluar dari ruangan itu dan duduk termenung sendirian.“Oliver...,” panggil Jingga saat Oliver tidak merespons ucapannya.Oliver tetap bergeming. Melamun dengan tangan gemetar.Jingga menghela napas panjang. Ia duduk di samping putranya, lalu menggenggam tangannya yang terasa dingin.Saat itulah Oliver keluar dari lamunannya dan menatap Jingga deng
“Oliver, perutku sakit banget.”Bisikan Yara tersebut berhasil menghentikan Oliver yang sedang berbincang-bincang dengan kliennya. Oliver langsung menoleh pada Yara dan melihat wanita itu tengah mengerutkan kening seperti menahan rasa sakit.“Sayang, perut kamu sakit?”Yara mengangguk. “Sakit banget,” katanya sembari mencengkeram lengan Oliver kuat-kuat.Raut muka Oliver seketika berubah menegang. Tangannya menangkup pipi Yara dan berkata dengan tegas, “Kita ke rumah sakit sekarang!”Tanpa basa-basi, Oliver segera mengangkat Yara ke pangkuan. Sikapnya itu mengundang perhatian dari orang-orang di sekitar mereka. Namun Oliver tampak tidak peduli. Saat itu juga ia membawa Yara keluar dari ballroom dengan ekspresi panik yang gagal ia sembunyikan.“Oliver, jangan terlalu khawatir. Sekarang sakitnya sudah hilang lagi, kok,” kata Yara, berusaha menenangkan Oliver yang kini tengah mengemudi dengan tatapan kalut.“Sayang, mana bisa aku nggak khawatir,” sergah Oliver sembari mengusap wajah deng
“Oliver, sudah kubilang, aku bisa melakukannya sendiri. Astaga....”“Tidak! Selama aku bisa melakukannya untukmu, akan kulakukan!” tegas Oliver, sebelum akhirnya pria itu memangku Yara ke kamar mandi.Yara memutar bola matanya malas, tapi ia tidak menolak lagi. Karena sekali lagi Yara menegaskan, Oliver adalah pria yang tidak menerima penolakan.Sejak awal kehamilan, Oliver selalu memberi perhatian lebih dan memanjakan Yara. Apalagi saat kehamilan Yara sudah membesar seperti sekarang, Oliver bahkan tidak mengizinkan Yara melakukan aktifitas yang sedikit berat. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. memenuhi segala kebutuhan Yara dan melayaninya dengan sepenuh hati.Oliver sering berkata pada Yara bahwa ia ingin menebus kesalahannya di masa lalu yang tidak menemani Yara sewaktu kehamilan si kembar.“Jangan lihat aku. Aku malu,” protes Yara saat Oliver sudah melepaskan seluruh kain yang membungkus tubuhnya.Oliver tersenyum kecil. “Apa yang membuat kamu malu, Sayang?” tanya
“Daddy! Mommy! Ada tamu!”“Shit!” Oliver mengumpat sambil memejamkan matanya sejenak kala mendengar seruan Airell di luar sana.Namun, hal itu tidak menyurutkan gairah Oliver. Ia berusaha menggerakkan dirinya dengan selembut mungkin agar tidak menyakiti istrinya yang kini berada di hadapannya. Posisi wanita itu memunggunginya.“Oliver...,” desah Yara sambil mencengkeram sprai erat-erat. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan desah agar tidak keluar lebih keras lagi. “Airel bilang... ada tamu.” Yara berkata dengan napas terengah-engah. “Itu pasti Zara, dia sudah... datang.”“Ssstt!” Oliver menarik dagu Yara agar menoleh ke arahnya. Lantas dilumatnya bibir sang istri dengan rakus tanpa menghentikan gerakannya. “Jangan hiraukan, Sayang. Fokus saja padaku,” bisik Oliver sesaat setelah ia menjauhkan bibir mereka berdua.“Daddy! Mommy! Ada Aunty Zara!” seru Airell lagi, kali ini diiringi ketukan pintu.