“Oliver...!” desis Yara seraya menatap Oliver dengan tatapan tajam. Ia tak setuju dengan ide Oliver yang langsung mengakui siapa dirinya di hadapan Arthur dan Airell.“Daddy?” Arthur tiba-tiba bertanya sambil menelengkan kepala. “Jadi Uncle adalah daddy kami?”Yara tertegun menatap bagaimana raut muka putranya yang penuh harap itu. Lalu Yara menatap Oliver dan berbisik dengan tajam, “Ingat, Oliver. Mereka anak-anakku! Kamu nggak berhak ikut campur urusan kami.”Oliver langsung menoleh. Dan seketika itu juga Yara menyesal telah mendekatkan bibirnya ke telinga Oliver, karena saat pria itu menoleh wajah mereka nyaris bertemu.Namun, Oliver tidak memberi tanggapan apapun pada ucapan Yara barusan. Pria itu hanya menatap Yara sambil tersenyum samar. Kemudian Oliver berjongkok di hadapan Arthur dan Airell.“Iya, aku daddy kalian berdua,” ucap Oliver sekali lagi dengan tatapan lembut, ya
Marshall terdiam mendengar kata-kata Oliver yang diucapkan dengan nada penuh semangat dan kebahagiaan itu. Ia berusaha mencerna kabar yang baru saja disampaikan sepupunya. Marshall menaruh gitar dan berjalan ke arah balkon kamarnya. Setelah beberapa detik hening, suara Marshall terdengar kembali. “Kamu serius? Yara dan anak-anak?” tanya Marshall memastikan. “Maksudmu—“ “Mereka kembar! Laki-laki dan perempuan,” potong Oliver di seberang sana. “Yara dan anak-anak kami, mereka ada di sini. Aku bahkan memeluk Arthur, maksudku anak laki-lakiku, dia anak pertama. Arthur memanggilku Daddy.” Lagi-lagi Marshall terdiam. Oliver terdengar begitu bahagia menyampaikan kabar tersebut, tanpa tahu bahwa Marshall yang sudah menyembunyikan mereka selama ini. Dan jika Oliver tahu mengenai fakta tersebut, Marshall bisa memastikan sepupunya itu akan murka padanya. Membayangkan ha
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Oliver?” Yara terkejut kala melihat Oliver berada di hadapan anak-anaknya. Dari mana pria itu tahu sekolahan Arthur dan Airell? Ah, Yara lupa. Oliver adalah orang yang bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Bahkan, jika tanpa bantuan Marshall, Yara mungkin sudah ditemukan di Swiss oleh Oliver sejak beberapa tahun lalu—itupun jika Oliver mencarinya. Namun, Yara tidak yakin pria itu akan mencarinya sampai sedemikian rupa. “Aku ke sini untuk menemui anak-anak kita, dan tentu saja aku juga ingin menemui kamu, Yara.” Kata-kata Oliver mengeluarkan Yara dari keterdiamannya. Ia menatap Arthur dan Airell bersamaan tanpa menghiraukan ucapan Oliver barusan. “Arthur, Airell, ayo pulang. Mommy nggak telat, ‘kan?” “Tidak, Mom,” jawab Airell yang mendadak berubah ceria saat melihat Yara. “Tapi Mommy keduluan sama Daddy,” timpal Arthur. Yara menatap Oliver dengan tatapan dingin, sebelum akhirnya ia membawa anak-anaknya men
“Bunga dari siapa?” Oliver hendak mengambil secarik kertas dari atas bucket bunga mawar tersebut, akan tetapi dengan cepat Yara menepisnya. “Bukan urusanmu,” timpal Yara dengan ketus. Ia lalu beranjak pergi menuju lantai dua, sementara si kembar sudah berlari lebih dulu ke ruangannya. Oliver mengikuti Yara dengan langkah tenang. “Apa bunga itu dari tunanganmu yang tidak sah itu?” Yara mendengus. “Bukankah sudah aku bilang itu bukan urusanmu, Oliver?” tukas Yara sambil terus berjalan dengan cepat demi menghindari Oliver. “Ingat, kamu masih istriku, Yara.” Terdengar ada nada cemburu dalam nada suara Oliver. “Siapapun laki-laki yang kamu anggap tunanganmu, hubungan kalian tetap tidak sah. Itu artinya laki-laki itu sedang berusaha merebut istri milik laki-laki lain. Aku nggak akan tinggal diam.” Yara tidak member
“Kumohon, biarkan aku ada di hidupmu lagi. Aku hanya ingin memastikan kamu dan anak-anak bahagia.” Yara tertegun ketika ia mendengar ungkapan yang terdengar tulus itu dari mulut Oliver. Ia melanjutkan kembali kunyahan di dalam mulutnya sambil menghela napas berat. Namun, belum sempat Yara menanggapi ucapan Oliver, ponselnya tiba-tiba berdenting. Yara mengecek pesan yang masuk lalu membacanya dengan kening berkerut. [“Selamat siang, Mom. Untuk pembayaran SPP, DSP dan uang tahunan Arthur dan Airell sudah lunas sampai akhir tahun. Hari ini ayahnya Arthur dan Airell datang ke sekolah. Terima kasih.”] Pesan itu membuat Yara terhenyak. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, ke arah Oliver yang tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Oliver kala ia mendapati tatapan tajam dari Yara. “Kenapa kamu melakukannya?” Suara Yara terdengar dingin. “Melakukan apa?” Tampak kerutan di kening Oliver. Ia meraih ponsel Yara dan membaca pesan ter
Siang itu Yara baru selesai menjemput Arthur dan Airell dari sekolah dan mengantarnya sampai ke rumah. Setibanya di kantor, ia langsung berjibaku dengan pekerjaan. Saat sedang menatap layar laptop, pikiran Yara tiba-tiba melayang ke kejadian kemarin siang saat Oliver mengatakan bahwa pria itu akan datang lagi besok, besoknya lagi dan besok besoknya lagi. Yara mendengus pelan sambil tersenyum kecut. “Terus saja berbohong, Oliver,” gumamnya sambil kembali memfokuskan dirinya pada layar laptop, yang menampilkan konsep panggung untuk acara The Luxe Hotels—yang sudah disepekati bahwa mereka akan memakai konsep yang ditawarkan Infinity Events. Yara berpikir, Oliver tidak serius dengan ucapannya. Karena buktinya, siang ini Oliver tidak datang menjemput si kembar lagi ke sekolah dan tidak datang pula ke kantor. Yara mengusap wajahnya dengan kasar sambil bergumam, “Kenapa aku jadi mengharapkan dia datang?” “Bu Yara, boleh saya masuk?” tanya Fina sambil mengetuk pintu. “Hm. Masuk, Fin!”
Yara menyandarkan bahunya di kusen pintu sembari bersedekap dada. Matanya memperhatikan Oliver yang sibuk mengaduk sup di dapur, dengan lengan kemeja tergulung hingga ke siku.Beberapa saat yang lalu Yara akan memasak makan malam untuknya dan untuk si kembar. Namun, Oliver yang keras kepala itu melarang Yara memasak dan akhirnya ia sendiri yang membuatkan makananan, meski sebelumnya Yara sudah mengusir Oliver untuk pergi dari rumah. Akan tetapi Oliver tetaplah Oliver, pria keras kepala yang tidak tahu malu.“Oliver, kamu tahu? Aku punya batas kesabaran.” Yara akhirnya bersuara sembari menghampiri meja makan.Oliver menoleh, menatap Yara dengan tatapan dalam meski sesaat. “Aku tahu,” jawabnya santai, kini ia menuangkan sup ke mangkuk. Pria itu tampak nyaman berada di dapur kecil Yara. “Tapi untuk saat ini kamu belum mencapai batas itu, ‘kan?”Yara menghela napas panjang. “Aku nggak butuh kamu di sini. Aku bisa urus semuanya sendiri,” ucapnya dengan nada suara tegas.“Arthur dan Airell
“Airell nggak punya ayah!” seru seorang anak lelaki berbadan gempal dengan nada mengejek. “Iya! Airell nggak punya ayah! Nggak pernah dijemput ayahnya!” Anak laki-laki yang lain ikut menimpali sambil tertawa. Sepertinya mereka tidak tahu kalau Airell pernah dijemput ayahnya. Bibir Airell memberengut, kedua ujung alisnya saling bertaut. Ia berkacak pinggang, menahan marah. “Kata siapa aku nggak punya ayah? Punya, kok! Wlee!” Airell menjulurkan lidahnya ke arah dua anak laki-laki itu dengan kesal. “Mana? Kalau punya ayah, suruh jemput kamu sekarang!” tantang si anak laki-laki gempal. Airell diam. Ia menatap cincin di tangannya dengan mata berkaca-kaca. Di saat seperti ini, Airell mengharapkan kehadiran Oliver. “Airell, jangan tundukkan kepala kamu, Sayang.” Mendengar suara seseorang yang terdengar lembut, Airell pun mendongakkan wajahnya. Matanya langsung berbinar-binar melihat siapa yang datang. “D-Daddy?!” seru Airell tiba-tiba, yang membuat Oliver seketika menghentikan langka
Yara menekan bel berulang kali, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan membuka pintu dari dalam. Mungkin dirinya datang di waktu yang tidak tepat, pikir Yara. Mungkin saja saat ini Zara sedang pergi.Karena tak kunjung mendapat sahutan, Yara akhirnya berbalik untuk kembali kepada suaminya yang menunggu di lobi.Namun, belum lima langkah Yara berjalan, pintu di belakangnya tiba-tiba terbuka, membuat langkah kaki Yara seketika terhenti.“Siapa?”Yara tertegun kala mendengar suara yang barusan bertanya kepadanya. Nada suaranya terdengar datar, seperti orang yang tidak memiliki semangat hidup.Setelah memantapkan hatinya, Yara pun berbalik menghadap orang itu, yang tak lain adalah Zara. Yara bisa melihat Zara terkejut saat menatapnya.“K-Kamu...,” bisik Zara dengan lirih. Matanya membulat, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Hai!” Yara berusaha menampilkan senyumnya dengan canggung. “Apa kabar? Boleh aku masuk?”Zara terdiam sejenak, membuat Yara merasa bahwa adiknya itu ak
Oliver menatap Yara yang tengah terlelap dengan damai. Senyuman Oliver mengembang lebar melihat betapa cantik dan polos wanitanya itu, seperti bayi yang tidak berdosa. Deru napas Yara terasa halus, membuat Oliver merasakan ketenangan yang hanya didapatkan di kala sedang bersama Yara. “Sayang, bangun,” bisik Oliver nyaris tak terdengar, seolah enggan mengganggu tidur sang istri. Ia menyapukan jemarinya di pipi yang terasa halus di bawah sentuhannya itu. Mata Yara perlahan bergetar, lalu terbuka hingga Oliver bisa menatap mata coklatnya yang indah. Tatapan mata Yara selalu membius Oliver, hingga ia merasa jatuh cinta lagi dan lagi pada orang yang sama setiap waktu. “Sudah siang? Jam berapa sekarang?” tanya Yara dengan suara serak sembari menggeliatkan tangannya ke atas. “Baru jam tujuh, Sayang,” jawab Oliver sambil tersenyum. Sontak, mata Yara terbelalak. “Jam tujuh? Astaga... kenapa kamu nggak bangunin aku? Aku harus pergi ke kantor! Ini gara-gara kamu nggak ngebiarin aku tidur t
“Sayang, hari ini aku mau ngajak kamu pacaran dulu ,” kata Oliver setelah kendaraan yang mereka tumpangi berlalu dari rumah Rianti.Tampak kerutan di kening Yara. “Pacaran?” tanyanya tak percaya.“Mm-hm.” Oliver mengangguk, ia meraih tangan Yara dan menggenggamnya, sementara tangan yang lain memegangi stir. “Banyak waktu kita yang terbuang di masa lalu, Sayang. Kita bahkan nggak sempat pacaran dulu. Jadi mulai sekarang, kita harus sering meluangkan waktu untuk berkencan berdua, tanpa anak-anak.”Mendengarnya, Yara pun terkekeh kecil. ia beringsut mendekati suaminya, menyandarkan kepala di bahu bidang pria itu. “Bukankah sekarang kita sedang pacaran?”“Iya, tapi kayak gini saja nggak cukup.”“Lalu? Memangnya kamu mau apa lagi?”“Yaa pacaran seperti orang kebanyakan, lah.” Oliver melabuhkan kecupan mesra di puncak kepala Yara. “Aku mau mengajakmu pergi ke suatu t
Genggaman lembut di tangan mengeluarkan Yara dari lamunannya. Yara menoleh dan mendapati suaminya tengah menatapnya sambil tersenyum manis. Senyuman yang membuat Yara lupa bagaimana caranya bernapas.“Kita sudah sampai, Sayang,” ucap Oliver.“Oh?”Yara mengerjap, ia menoleh ke sisi kiri dan baru menyadari bahwa kini mereka berada di halaman rumah ibunya, Rianti.“Sudah sampai ternyata,” gumam Yara sembari hendak melepas sabuk pengaman. Namun, Oliver sudah melakukannya lebih dulu untuknya.“Kamu lagi mikirin apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu banyak melamun.” Oliver menatap Yara dengan sorot matanya yang dalam dan membius.Tatapan itu membuat jantung Yara berdebar-debar. Yara menghela napas panjang. “Aku cuma lagi mikirin gimana pertemuan aku dan Zara nanti,” ujarnya dengan tatapan menerawang. “Kami saudari kembar, tapi rasanya kami seperti orang asing. Ada
“Aku masak sup kesukaan kamu,” kata Yara sambil memeluk Oliver dari belakang. Mereka berjalan menuju dapur dengan posisi seperti itu setelah Oliver berhasil lolos dari dua bocah kecil yang sejak tadi mengerumuninya.Oliver mengerutkan kening, sedikit terkejut. Tangannya menggenggam tangan Yara yang melingkar di depan perutnya.“Whoaa serius? Aku nggak sabar mau coba,” kata Oliver sembari tersenyum lebar.Yara terpaksa melepaskan pelukannya saat tiba di meja makan. Si kembar berlarian menuju meja makan sambil tertawa, lalu sama-sama memeluk kaki ayahnya di kiri dan kanan.Oliver kemudian mendudukkan mereka di kursi berdampingan, lalu Oliver duduk di kursi utama dan menuangkan makanan khusus anak-anak ke piring mereka masing-masing. Sementara itu Yara yang duduk di samping Oliver, berhadapan dengan si kembar, menyiapkan roti panggang dan sup untuk Oliver.Yara menatap Oliver dengan penuh harap saat pria itu mengambil sendok pertama supnya.Oliver memasukannya ke mulut, mengunyah perlaha
Yara tersenyum bahagia melihat Airell dan Arthur berlarian di ruang tengah dengan riang. Saat ini mereka sudah berada di rumah baru Oliver setelah pindah beberapa hari yang lalu.Anak-anak terlihat bahagia sekali. Apalagi saat mereka melihat ruangan khusus bermain yang dipenuhi mainan anak laki-laki dan perempuan. Tak hanya itu, bahkan Oliver menyediakan kolam renang dengan fasilitas lengkap seperti perosotan dan ember tumpah.Selain itu ada lapangan bola basket dan sepak bola di halaman belakang. Fasilitas lengkap yang disediakan membuat anak-anak betah bermain di rumah. Yara merasa bersyukur, terharu dan juga bahagia dengan segala fasilitas yang Oliver berikan untuk mereka.Oliver juga membawa Zio pindah ke rumah ini, dan tentu saja Yara tidak keberatan. Bagaimanapun, Zio adalah keponakannya sendiri, ia menyayangi anak itu seperti anaknya. Namun hari ini, Zio sedang tidak ada di rumah. Anak berusia 8 tahun itu kini berada di rumah Jingga. Meski tahu Zio bukan anak kandung Oliver, ta
Yara tertegun kala melihat banyaknya bukti yang dikumpulkan Oliver mengenai kepalsuan video yang dikirimkan Leonard. Lantas, Yara menatap Oliver dengan mata berkaca-kaca.“Oliver...,” panggilnya lirih, yang membuat Oliver membuka matanya. Kini mata yang indah dan menghipnotis itu menatap Yara dengan lembut. “Tanpa kamu mengumpulkan semua bukti ini juga aku sudah percaya sama kamu, Oliver. Tapi terima kasih, aku sangat menghargai usaha kamu.” Yara tersenyum penuh haru.Oliver menegakkan punggungnya yang semula bersandar di sofa. Lalu memutar tubuh, menghadap Yara sepenuhnya yang duduk di sampingnya.“Aku tahu kamu mempercayaiku, Sayang,” kata Oliver sembari menangkupkan sebelah tangan di pipi kiri Yara. “Tapi aku juga ingin membuktikan padamu bahwa aku nggak pernah mengkhianati kamu selama kamu pergi.”Yara mengangguk. Ia mendekati Oliver, melingkarkan kedua tangan di pinggang pria itu dan menenggelamkan wajah di dada bidangnya. “Aku makin percaya sama kamu. Sekali lagi, terima kasih.”
“Oliver, ada yang mau aku bicarakan.” Yara berusaha mendorong dada bidang Oliver agar pria itu menghentikan aktifitasnya.Namun, sepertinya Oliver tak ingin berhenti. Ia justru malah memperdalam ciumannya, membuat Yara kewalahan. Oliver mengungkung Yara di kursi penumpang dengan mesin mobil yang masih tetap menyala. Pagi ini ia kembali mengantarkan Yara ke Infinity Events setelah sebelumnya mereka mengantar anak-anak ke sekolah.“Tentang?” tanya Oliver akhirnya setelah beberapa saat kemudian. Pria itu dengan enggan menjauhkan wajah mereka.“Leonard.”“Leonard?” Sontak, Oliver menatap Yara dengan kening berkerut. “Kenapa dengan laki-laki itu? Dia mengganggumu lagi?”Yara menggeleng, ia menangkup rahang suaminya yang kasar di bawah sentuhannya. “Nggak ada, kok,” timpalnya, “tapi semalam, aku dengar dari Airell, kalau Leonard yang memberitahu Airell bahwa kamu nggak sayang dia. Sepertinya Leonard waktu datang ke sekolah, memprovokasi Airell.”“Leonard pernah datang ke sekolah anak-anak?”
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi Oliver tak kunjung pulang. Yara berkali-kali melirik jam dinding, perasaan khawatir mulai merayapi hatinya. Tak biasanya Oliver pulang sampai selarut ini, pikirnya.Tepat di saat yang sama, terdengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Yara buru-buru menaruh pakaian yang akan ia masukkan ke koper, lalu bergegas membuka pintu.Yara langsung menghela napas lega kala yang ia dapati adalah lelaki yang ia harapkan kedatangannya. Yara tersenyum lebar pada Oliver yang tengah menghampiri. Penampilan pria itu tampak sedikit kusut, tapi hal itu tidak mengurangi ketampanannya.“Oliver, kenapa baru pulang? Aku khawatir terjadi sesuatu pada—“Kata-kata Yara terhenti saat Oliver tiba-tiba menarik pinggangnya dan membungkam mulut Yara dengan bibirnya. Yara seketika lupa bagaimana caranya bernapas saat Oliver menggerakkan bibirnya dengan memberi sedikit penekanan. Lalu Oliver melumatnya dengan rakus seolah-olah bibir Yara adalah sesuatu yan