Siang ini aku berniat untuk belanja di pasar. Membeli kebutuhan semua bahan dapur adalah tugas bulananku.
Sudah menjadi jadwal rutinku setiap Mas Ilham gajihan, sebagian besar uangnya kugunakan untuk menyetok bahan dan keperluan.Sebagian besar? Iya. Semua pengeluaran keluarga kami yang tanggung. Hingga aku tidak bisa menyisihkan sebagian uang untuk kutabung.Kalau kalian tanya untuk belanja apa saja? Kujawab semuanya. Mulai dari keperluan depan rumah, dalam rumah, dapur, hingga kamar mandi. Semua aku yang urus.Koq bisa, gitu? Bagaimana dengan mertuamu?Mertuaku tidak mau tau, euy! Sedih memang. Pernah aku coba-coba saat belanja bulanan meninggalkan beberapa keperluan yang kurasa mertuaku sanggup membantu, tapi apa?? Nihil!Bukannya membantu, ibu mertuaku malah menceramahiku dari alif sampai ya' yang membuat hati dan jantungku berdegup lebih kencang.Dilema hidup serumah dengan mertua ya, begini. Aku sudah pernah mengajak Mas Ilham untuk pindah rumah walaupun di kontrakan sepetak, namun putra dari ibu mertuaku itu adalah anak yang sangat berbakti. Katanya, dia tidak tega berpisah dari kedua orang tuanya, dan bla bla bla .... Mas Ilham juga berkata ingin meringankan beban kedua orang tuanya dengan cara menanggung semua keperluan mereka.Jadi, karena alasan itulah ibu mertua sama sekali tidak mau keluar duit. Padahal gajih Ayah sebagai guru honorer di salah satu sekolahan SMP, lumayan besar. Tapi tetap saja, ibu mertuaku itu tidak mau tahu dengan pengeluaranku yang semakin membengkak. Mengingat semua harga barang naik, kan?Astaghfirullah, sebenarnya aku tahu harus selalu ikhlas, tapi kenapa ini terasa sangat berat?"Mbak, beliin paketan, dong. Paketanku sudah habis," ucap Nindi, adik perempuan Mas Ilham.Aku yang sudah berada di depan teras menoleh cepat ke arahnya. "Bukannya kemarin baru Mbak beliin ya, Nin?" tanyaku. Boros amat 10GB satu hari dah habis."Mbak Naima ini kenapa, sih? Nggak ikhlas banget kasih uang ke aku. Nanti aku aduin ke Mas Ilham, lho?"Lah? Koq malah ngancam??"Nin, kamu ini sudah kelas tiga SMA, seharusnya bisa sedikit menghemat, dong. Bukannya malah boros kek gini. Mana sebentar lagi mau ujian, habis itu mau kuliah. Kamu pikir biaya semua itu murah??? Nggak bisa banget bantuin kakaknya dengan cara berhemat!"Aku memaki Nindi, sangking kesalnya. Aku tahu seharusnya aku tidak seperti ini padanya. Tapi, sikapnya yang terlalu foya-foya dengan menggunakan uang Mas Ilham membuatku tidak terima.Nindi tampak terdiam. Dia tidak membalas ucapanku dan langsung memutar badan masuk ke dalam kamar. Sementara aku terus melanjutkan langkahku untuk pergi ke pasar.Dengan langkah santai aku berjalan menuju pasar yang letaknya agak jauh dari rumah.Tiba di pasar aku langsung membeli semua keperluan, hingga entah berapa jam berlalu, aku pun memutuskan pulang.Dengan kembali berjalan kaki, sambil menenteng barang belanjaan aku menuju rumah."Naima!!!" Teriakan ibu mertua menyambutku datang dari pasar.Aku yang baru saja masuk pagar depan, langsung menghampirinya di ruang keluarga."Ada apa, Bu?" tanyaku. Aku sangat penasaran, kali ini kesalahan apa lagi yang akan dipermasalahkan.Ibu mertua tampak berdiri menghampiriku, dan ....Plak!Pipiku terasa amat sangat panas.Wanita yang berdiri di depanku ini telah mendaratkan telapak tangan kanannya di pipiku.Aku memekik, mengaduh kesakitan. "Ada apa ini, Bu??"Sorot mata ibu mertua saat ini benar-benar tajam menatapku. Sudah macam macan betina yang ingin menerkam mangsanya."Kamu sudah berani memarahi Nindi, ya! Dasar wanita tidak tahu malu!"Plak!Plak!Kembali, pipiku menjadi sasaran kemarahannya.Panas, terasa sangat panas dari kulit pipiku yang pasti sudah memerah hingga panas itu merambat ke hatiku. Ya Allah ... hidupku sudah begitu menderita sejak kecil, kini semakin bertambah dengan perlakuan ibu mertua padaku.Lagi-lagi, aku hanya bisa menunduk pasrah sambil menangis."Lain kali jangan bersikap seperti itu kepada Nindi!" bentak ibu mertua lagi kembali mengingatkanku.Kulirik wanita remaja berkuncir kuda yang sedang duduk di sofa itu tersenyum puas ke arahku. Pasti, dia mengadu kepada ibunya untuk memberi pelajaran padaku.Awas kamu, Nin!Tanganku mengepal, aku sangat emosi."Jangan cuma diam! Minta maaflah kepada Nindi, sekarang juga!"Apa???Aku harus meminta maaf kepada Nindi? Kembali kulirik gadis remaja itu tampak semakin puas mengejekku."Cepat!" sentak ibu mertua lagi namun aku masih pada posisiku saat ini.Bagaimana mungkin keluarga suamiku sama sekali tidak menghargaiku? Apa mereka menerimaku hanya karena ingin menjadikanku babu?"Naima! Kalau kamu tidak menuruti perkataanku, aku akan menyuruh Ilham untuk menceriakanmu. Sudah tidak bisa memberi keturunan! Kini malah berani sombong! Cepat! Minta maaf pada Nindi!" Kembali, wanita yang sedang berdiri di hadapanku ini meneriakiku. Hingga dengan sangat terpaksa aku menuruti ucapannya. Mau bagaimana lagi? Aku tidak ada pilihan.Aku melangkah maju menghampiri Nindi yang masih duduk di atas sofa."Maafkan aku, Nin," ucapku lirih.Yang membuatku semakin emosi, gadis remaja itu kembali berlagak. "Apa?? Aku nggak denger! Yang jelas, dong!"Aku terhenyak, langsung mendongak menatapnya."Apa, Lo? Jangan melotot gitu! Mau, tangan Mama meluncur ke pipimu, lagi??" ancamnya.Aku kembali patuh. "Nindi, maafkan aku," ucapku lagi sedikit berteriak agar gadis remaja ini bisa mendengarku."Hah??? Apa??? Ulangi lagi!" titah Nindi lagi yang semakin membuatku terbakar emosi. Anak kecil ini sungguh tidak punya sopan santun!"Naima! Cepat turuti kemauan Nindi!" Ibu mertua kembali berteriak padaku. Ia memerintahku untuk menuruti permintaan putri tercintanya.Lagi-lagi, aku manut, pasrah. Aku kembali berucap dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya. "Maafkan aku, Nindi."Ya Allah ... kenapa aku harus mengalami hal ini? Nindi, adik iparku itu semakin bersemangat mengerjaiku. Aku sudah menuruti keinginannya untuk meminta maaf, tapi dia seolah masih kurang puas. Nindi beranjak dari posisinya. "Mbak Naima. Aku tidak akan memaafkanmu sebelum kamu berlutut di kakiku!" ucap Nindi lagi yang membuatku semakin geram. Sungguh! Sikap gadis remaja ini padaku sama persis seperti ibunya.Mendengar permintaannya kali ini membuatku tak habis pikir. Aku yang semakin emosi memilih diam. Sudah berkali kuladeni sikap kasarnya, namun dia sama sekali tidak menghargaiku. "Naima! Cepat lakukan perintah Nindi!" Ibu mertua kembali ikut campur. Tangan kananya menarik kasar lenganku dan memaksaku untuk berlutut di hadapan putrinya. "Ibu!" Aku memekik. Ini sungguh di luar dugaanku. Bisa-bisanya kedua wanita ini semakin bersikap semau mereka padaku. Ibu mertua berhasil mendudukkan tubuhku di bawah kaki anaknya. "Cepat, minta maaflah sekarang!" titahnya lagi dengan sorot mata t
"Mas tahu kamu mendapatkan perlakuan yang tidak nyaman selama ini. Tapi, Mas minta kamu bisa bersabar, ya." Mas Ilham mengatakan itu dengan penuh hati-hati. Sepertinya dia sudah membaca semua isi hatiku hingga apa yang diucapkannya berhasil membuatku diam.Baiklah. Demi Mas Ilham, aku akan berusaha sabar dan mengalah.Mas Ilham mengurai pelukan. Pandangannya tak lepas dari wajahku yang membuatku seketika tersipu. "Ada apa, Mas? Kenapa memandangku seperti itu?""Dek," bisiknya seraya tersenyum."Hmm.""Mas pengen punya anak."Deg! Kenapa tiba-tiba Mas Ilham mengatakan ini? Bukankah beberapa hari lalu dia baik-baik saja karena kondisiku yang tidak kunjung hamil ini?Aku tertegun sesaat tanpa membalasnya."Dek, koq diam?" Pria itu semakin menatap lekat wajahku, yang membuatku sedikit melengos ke samping kanan."Dek, besok ikut Mas, ya!""Ke mana, Mas?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya."Kita periksa ke dokter.""Ke dokter? Periksa apa??" Aku ingin memastikan bahwa apa yang kupikirkan saa
Tanganku gemetar saat mendapati hasil yang begitu mengejutkan bagiku, karena kupikir akulah yang mandul. Namun, ternyata aku salah. Di lembar hasil pemeriksaan ini dengan jelas diterangkan bahwa Mas Ilham-lah yang tidak subur, bukan aku. Aku harus senang atau bagaimana? Jika boleh diminta, aku dan Mas Ilham seharusnya mendapatkan hasil yang sama, tidak ada kemandulan di antara kami. Lama aku tertegun dan berpikir, hingga dokter Yuni kembali bersuara, "Bagaimana, Bu? Apakah Anda puas dengan hasilnya?"Hatiku luruh, walaupun keadaanku baik-baik saja, tapi aku takut kenyataan ini akan membuat Mas Ilham putus asa. Mengingat suamiku itu sudah sangat menginginkan keturunan. Ya Allah, aku harus bagaimana? "Bu ...." Dokter Yuni kembali memanggilku, yang membuatku langsung tersadar dari lamunan. "Oh, maaf, Bu," sahutku seraya memutar otak. Aku tidak ingin melihat kekecewaan di wajah Mas Ilham. "Bu, apakah saya bisa meminta tolong sama Ibu?" tanyaku pada Dokter Yuni. "Minta tolong apa? Bu
"Jangan bicara seperti itu, Bu. Kasihan Naima," Mas Ilham membantah ucapan ibunya, dan malah membelaku, yang membuat hatiku semakin terharu. 'Terima kasih, Mas.' Baru kali ini Mas Ilham bersikap tegas pada ibunya. Tapi, bukan Bu Ratih namanya kalau bisa ditentang oleh anak. Wanita yang telah melahirkan Mas Ilham itu tampak sangat marah. "Oh, jadi kamu lebih memilih istri mandulmu ini," ucapnya dengan tatapan sinis ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Ilham lagi. "Mulai hari ini juga, kamu bawa istrimu keluar dari rumah ini! Aku tak sudi melihatnya!" bentak Ibu mertua lagi dengan menunjuk ke arahku. Ya Allah, sakit sekali melihat pemandangan ini. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Mas Ilham."Kalau memang Ibu pengennya begitu, kami akan terima, karena aku tidak bisa meninggalkan Naima dan malah menikah dengan wanita lain," ucap Mas Ilham lagi semakin menegaskan pilihannya. Mendengar perkataan itu membuatku dilema. Aku sangat senang, tetapi aku juga sedih karena menj
"Naima, ibu seneng banget kamu ke sini," ucap Ibu mertua dengan senyum penuh arti. Sangat-sangat tidak wajar, karena yang selama ini terjadi adalah sebaliknya. Tidak perlu kujelaskan lagi, kan? Karena kalian semua pasti juga sudah pada paham. Ibu tersenyum ke arahku sambil berkata dengan sangat lembut. "Kenapa baru ke sini sekarang? Padahal ibu sudah kangen banget sama kalian," ucapnya lagi, yang seharusnya aku sangat bahagia ketika mendengarnya,tapi entah mengapa hatiku terasa sangat janggal. Hati nurani yang terdalamku tidak membenarkan perubahan sikap ibu ini. Setelah menyapaku, ibu berjalan menghampiri putranya. "Ilham, maafkan ibu ya, Nak. Karena ibu sudah egois sama kalian, khususnya sama Naima." Ibu mengatakan itu dengan raut wajah sedih penuh penyesalan. Aku sih, masih berfirasat ini hanya drama saja. Pasti ada satu hal yang akan dimintanya dari Mas Ilham lagi, karena aku sudah paham betul bagaimana sikap dan watak ibu mertuaku ini. Ya Allah ... padahal niat awal ke sini ada
[Naima, bisakah kita bertemu?]Begitulah isi pesan singkat terakhir dari Malik yang tak kubalas lagi. Entah mengapa mengingat masa-masaku dengannya dulu membuatku jengkel. Aku yang saat itu merupakan anak baru di panti, selalu dikerjainya. Sebenarnya bukan pembullyan, hanya selalu menyuruhku mengambil alih jadwal tugas kesehariannya. Mulai dari nyapu halaman, hingga menyikat wc. Itu kulakukan karena dia memiliki buku diary rahasiaku, yang entah bagaimana caranya buku itu bisa jatuh di tangannya. Dan dia menggunakan beberapa lembar curhatan isi hatiku itu untuk mengancamku.Pasti kalian bertanya kenapa aku bisa patuh pada semua perintahnya hanya karena sebuah diary. Ya, aku memang lebay pada masa itu, menuliskan semua kejadian yang kualami secara detail di sana. Mulai dari hal yang kusuka, bagaimana aku menjalani hari, hingga satu jerawat yang tumbuh di wajah pun tak luput dari coretan tanganku. Karena memang aku sudah hobi menulis sejak SD, jadi kegemaranku itu yang membuatku menulisk
Ma-Malik?Kucoba menelisik wajah pria bertubuh dempal ini dengan seksama. Malik yang kukenal dulu kurus ceking, tapi kenapa tubuh pria ini, gemuk?Namun, semakin dilihat dari raut wajah memang sedikit ada kemiripan. Sepertinya memang benar dia adalah Malik. "Malik? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?" Mendengar pertanyaanku ia malah tersenyum, dan tanpa permisi ia melangkah masuk ke rumahku. Aku bingung. Mau kuusir, tidak nyaman. Tapi jika kubiarkan Malik masuk, pasti Mas Ilham akan semakin marah padaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kemurkaan suamiku lagi. Masalah yang kemarin saja belum selesai, jika ditambah lagi maka akan semakin memanas. "Malik, tolong keluar dari rumahku." Aku tidak akan membiarkan hubunganku dengan Mas Ilham akan semakin kacau karena kedatangan Malik. "Lho? Kenapa?" tanya Malik dengan sangat santai. Ya, memang begitulah sikapnya sejak kecil. Tidak pernah memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain. "Maaf, suamiku tidak ada di rumah. Tolong k
"Astaghfirullah! Ini beneran Naima??" Aku memekik dengan rasa penasaran. Aku masih tidak percaya jika foto mesra yang kupegang ini adalah foto istriku bersama pria lain. Walaupun postur pria ini tampak sangat jauh dibandingkan, tapi kenapa Naima bisa berselingkuh dengannya? Apa mungkin dia kaya raya? Ya Allah ... Naima. "Benar, Mas. Itu Mbak Naima dan kekasihnya. Kalau tidak salah namanya Malik. Mereka sudah berpacaran sejak kecil, dan katanya mau balikan," jelas Nindi, adik perempuanku dengan penuh keyakinan. "Kamu tahu ini dari mana, Nin? Bukannya kamu tidak begitu menyukai Mbakmu? Jangan-jangan, kamu cuma mengada-ngada?" cecarku. Aku tidak ingin hanya mendengar omongan dari Nindi, membuat hatiku curiga pada Naima. Aku perlu bukti lain, karena Naima yang kukenal sepertinya tidak akan membohongiku. Mendengar penuturanku Nindi malah berdecih. "Ck! Dibilangin kok nggak percayaan sih, Mas. Aku tu dapat info ini dari pria itu langsung. Kemarin tidak sengaja ketemu saat pulang sekolah,
POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda
Mas Hakim terbelalak. "Cowok!?""Lho, kenapa, Pak? Biasanya bapaknya pengen anak cowok. Ini kok malah kaget?" tanya Dokter Rossa diselingi tawa renyah. Aku hanya tersenyum melihat sikap Mas Hakim yang kebingungan, karena mimpinya semalam dan hasil pemeriksaan hari ini berbeda.Pria itu mendekat padaku seraya tersenyum. "Benar katamu, Dek. Mungkin mimpi Mas cuma bunga tidur karena terlalu semangat pengen ketemu anak kita.""Tapi Mas nggak kecewa, kan?" Kuamati wajah Mas Hakim yang kini sudah berdiri di sampingku."Enggaklah, Dek ... mau cowok atau cewek, yang penting sehat. Lahir dengan selamat. Itu sudah lebih dari cukup untuk Mas. Alhamdulillah, banyak di luaran sana pasangan yang mendambakan keturunan, tetapi tak kunjung dikabulkan," jelas Mas Hakim lagi yang kutanggapi dengan senyuman manis. "Jadi, karena mimpi punya anak perempuan?" Dokter Rossa yang sedari tadi diam ikut menyahut. "Hehe, iya, Dok. Cuma ingin memastikan saja," jawab Mas Hakim dengan sopan. Tidak sampai satu ja
Mas Ilham?!Aku benar-benar terperangah melihat mantan suamiku berdiri di halaman rumah. Dia sedang berbincang dengan Mas Hakim di sana. Tampak sangat serius yang membuatku semakin penasaran. Langkahku terhenti di depan jendela, tetapi aku masih tetap mengintai mereka. Mas Ilham tiba-tiba berlutut di hadapan Mas Hakim yang sedang berdiri di samping mobil. Seakan begitu merasa bersalah, hingga membuat Mas Ilham tidak memperdulikan celananya kotor terkena tanah. "Tolong beri kesempatan untuk saya, Pak! Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang sudah kuperbuat!"Mas Hakim berkacak pinggang. "Bagaimana caranya? Hah!?" Terlihat sombong sekali suamiku. Namun, aku tahu pasti ada hal yang membuatnya sangat marah begitu. "Saya akan mengganti semua uang yang sudah saya gunakan, Pak," balas Mas Ilham dengan tertunduk menyesal. Mas Ilham akan mengganti uang yang dipakainya? Apakah ini tentang apa yang dikeluhkan Mas Hakim kemarin? Tentang karyawan yang menggelapkan dana proyek?Mas Hakim be
"Sayang, hari ini jadi ke klinik, kan?" Mas Hakim yang habis salat subuh menghampiriku di dapur. Saat ini aku sedang menyeduh kopi untuknya. "Jadi, Mas." Aku menjawab dengan santai. Setelah kopi buatanku siap, aku meletakkannya di atas meja makan. "Ini kopinya, Mas.""Terima kasih, Sayang ...." Pria yang hampir setahun menikahiku ini tersenyum manis sambil mengelus-elus perut besarku. "Nanti kita ketemu lagi, Sayang. Papa nggak sabar deh, pingin lihat kamu," ucapnya dengan logat dibuat-buat seperti anak kecil. "Iya, Papa ... aku juga pengen banget ketemu sama Papa." Aku menyahut dengan ekspresi yang sama. Mas Hakim sama sekali tidak merasa lucu. Dia malah semakin bersemangat mengajak perutku berbicara. "Baik-baik di sana ya, Sayang. Jangan nakal! Nendangnya jangan kenceng-kenceng, nanti Mama bisa kesakitan.""Udah ah, Mas. Aku capek, mau duduk juga." Aku mengeluh seraya menarik kursi untukku duduk. "Oh, iya ... Tuan Putri, duduklah," balas Mas Hakim yang terus saja menyunggingk