Orang tua Dejan kembali dari bandara tak lama setelah Kintan pergi dari sana. Lelaki itu lega karena mereka tidak sempat bertemu. Dia pun mengingatkan Mbok Darmi sekali lagi agar tidak membberitahukan kedatangan Kintan kepada siapa pun.
"Dek, habis ada tamu? Kok ada gelas di depan?" tanya Bu Dian.
"Oh, itu ... Tadi Dejan yang minum, Ma. Seger aja gitu minum es sambil baca berita." Dejan makin lihai mencari alasan.
Bu Dian manggut-manggut lalu berlalu menuju kamar. Sementara itu, Dejan mengajak ayahnya untuk mengobrol di gazebo belakang karena ada sesuatu yang ingin dia tanyakan. Dia membawa kue dari Kintan untuk dimakan bersama sambil menyesap kopi.
"Pa, jadi sebenarnya hubungan Devan sama Kintan itu kayak gimana, sih?" tanya Dejan tanpa basa-basi. Dia belum mengatakan bahwa Kintan baru saja berkunjung ke sana.
"Tumben kamu kepo sama urusan orang. Biasanya yang kamu pikirin cuma kerja, kerja, dan kerja."
Dejan hanya terkekeh dan beralasan bahwa dia juga ingin tahu permasalahan saudara kembarnya karena Devan tidak pernah mau terbuka.
Setelah lulus dari kuliahnya di jurusan Teknik Industri, Dejan merintis usaha di bidang ekspor rempah-rempah. Semuanya berawal dari satu kardus paket bumbu masak untuk beberapa teman yang dia kenal saat mengikuti pertukaran pelajar ke Belanda. Karena menemukan celah bisnis, Dejan akhirnya bisa mengirim produknya dengan kontainer khusus dan bekerja sama dengan beberapa perusahaan dan rumah makan di Eropa.
Selama berbisnis, Dejan jarang pulang ke rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Singapura, mengawasi proses logistik sekaligus belajar ilmu bisnis. Dejan menyukai hidup yang penuh tantangan. Karenanya, Dejan tidak mau melamar sebagai pegawai kantoran seperti yang Devan lakukan. Karena itu jugalah, Dejan tidak tahu menahu hubungan asmara Devan. Tidak pernah dikenalkan dengan kekasihnya juga ketika sedang berada di Indonesia.
Lalu, mengalirlah cerita dari sudut pandang Pak Doni. Pada dasarnya, Pak Doni setuju-setuju saja dengan hubungan mereka. Menurutnya, Devan harus bersanding dengan wanita baik-baik untuk menjinakkan buaya di dalam dirinya. Dan Kintan adalah pilihan yang tepat. Dia cantik, mapan, serta berasal dari keluarga terhormat.
"Bakal calon mantu kesayangan, nih, kayaknya," sindir Dejan sambil senyum-senyum.
"Makanya kamu juga cepat cari gandengan. Heran Papa, punya dua anak ganteng-ganteng gini nikahnya pada telat semua."
"Baru mau tiga puluh, Pa. Santai aja. Dejan lagi fokus ekspansi ke pasar Turki. Belakangan ini wisata mereka lagi naik daun. Banyak yang mau investasi untuk buka restoran makanan Indonesia."
"Bagus itu. Tapi jangan lupa, orang tuamu ini juga makin sepuh. Papa, kan, juga pengin nimang cucu. Devan yang playboy saja sudah mau melamar pacarnya. Kamu kapan?"
"Sebenarnya Dejan agak kaget waktu dengar Devan mau lamaran. Pacarannya aja enggak tahu kapan. Selama ini dia juga gonta-ganti pasangan."
"Sudah setahun. Papa awalnya juga ragu, tapi mereka berdua sepertinya memang sama-sama serius."
"Terus Mama gimana? Dejan cuma malas kalau ada drama menantu dan mertua kayak di sinetron."
Pak Doni pun kemudian bercerita bahwa tadinya Bu Dian juga setuju-setuju saja. Namun, semua itu berubah saat istrinya mengadakan arisan di rumah. Saat itu, dia memesan kue dan makanan suguhan dari toko Kintan. Gadis itu pun meluangkan waktu untuk hadir demi menghormati calon mertuanya.
Bagaikan peribahasa malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, kesalahpahaman terjadi saat Kintan menemui para tamu arisan. Teman-teman Bu Dian tersenyum ke arahnya, tetapi gadis itu tidak menyadari dan tetap diam saja. Para penderita buta wajah tidak akan sadar saat orang lain tersenyum, kecuali orang itu menyapa langsung atau melambaikan tangan.
Bu Dian menyenggol lengan Kintan berkali-kali dan berbisik agar gadis itu bersikap ramah kepada tamu. Namun, sudah terlambat. Kejadian itu telanjur jadi bahan gunjingan di kelompok arisan. Bu Dian yang awalnya tidak mempermasalahkan kelainan Kintan, mendadak meminta kekasih anaknya itu agar segera pulang.
Dejan mendengarkan semua itu dengan tenang kemudian mengemukakan pendapat. "Kekhawatiran Mama masuk akal sih, Pa."
Pak Doni berdecak. "Kamu sok tahu. Memangnya kamu pernah ketemu Kintan? Lihat dulu, baru komentar."
Hampir saja Dejan keceplosan, tetapi dia bisa mengendalikan diri. Niatnya menggali informasi adalah untuk mengetahui cara memperlakukan Kintan saat makan malam nanti. Jiwa petualangnya sungguh penasaran dengan sosok Kintan.
***
Kintan tampil berbeda dari biasanya. Jika dalam keseharian dia lebih banyak tampil casual dengan celana kulot dan kaus lengan panjang, sore itu dia tampak anggun dalam balutan rok dan blus. Wajahnya juga dipulas sedemikian rupa. Wajahnya semringah karena setelah sekian lama, Devan akhirnya mengajaknya dinner lagi.
Kintan juga mengemban misi khusus hari itu. Orang tuanya sudah mendesak agar rencana lamaran mereka segera direalisasikan. Pilihannya hanya dua: maju atau putus sekalian. Mereka tidak ingin anaknya digantung terlalu lama. Selama ini, Kintan sudah terlalu di-ghosting lelaki karena kekurangannya.Sambil menunggu dijemput, Kintan merapikan vas berisi bunga lily merah muda di ruang kerja pribadinya. Kintan membelai kelopak bunga yang warnanya seperti pipi merona. Perasaannya campur aduk mengingat perlakuan Devan yang sering berubah-ubah selama dinas lapang.Dia jadi teringat unggahan Devan di I*******m saat masih berdinas di Jambi. Unggahan kafe dengan komentar menggelitik dari Talita masih ada di urutan terdepan.
Jempol Kintan tidak sengaja mengeklik profil akun Talita. Ada foto sayap pesawat dengan latar awan yang baru diunggah beberapa menit. Di bagian bawah foto, Talita menuliskan keterangan, "Bye Jakarta. See you next year!"Gadis itu tidak punya pikiran macam-macam. Dia memang sempat cemburu dan curiga kepada Talita. Namun, jika asisten kekasihnya itu pergi, itu artinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kintan percaya kepada Devan dan akan selalu berusaha seperti itu untuk menjaga kelanggengan.Kintan menutup aplikasi dan meletakkan ponsel. Azan magrib berkumandang dari masjid besar di seberang jalan raya. Dia menutup gorden dan mematikan pendingin ruangan, juga memadamkam lampu dan mengunci pintu. Kata Devan, dia akan tiba di toko setelah Magrib.Ponsel Kintan bergetar saat gadis itu selesai shalat. Dia segera mengangkat begitu tahu nama Devan yang terpampang di layar."Aku sebentar lagi sampai. Baru selesai salat di masjid depan toko," katanya."Ya, Mas. Tunggu di parkiran saja. Sampai ketemu!""Kintan, sebentar ...." Laki-laki itu setengah berteriak saat Kintan hendak menutup telepon."Aku pakai mobil lain. Nanti aku berdiri di luar aja biar kamu enggak perlu nyari-nyari."Gadis itu mengernyit. Devan pernah bilang sangat menyayangi mobilnya karena itu adalah kendaraan pertama yang bisa dia beli dengan uang sendiri. Mungkin saja mobilnya sedang di bengkel. Kintan bisa menanyakan saat mereka bertemu.Kintan bergegas memakai flat shoes dan pergi ke toilet untuk memperbaiki riasan wajah. Dia sudah membawa bekal bedak, lipstik, maskara, hingga eyeliner dari rumah. Dia tidak boleh mempermalukan Devan dengan berpenampilan lusuh dan kumal.Angin sepoi-sepoi membelai kerudung saat Kintan keluar dari toko. Hanya ada satu mobil yang berhenti di tempat parkir. Seorang laki-laki terlihat sedang bercakap-cakap di telepon sambil berdiri membelakanginya. Saat itu, Kintan merasakan gelenyar aneh dalam dada. Meski sudah melihat Devan, rindunya seperti membuncah tak ada habisnya.Samar suara bariton mulai terdengar. Kintan sedikit bingung dengan apa yang dibicarakan. Biasanya dia mengetahui topik pekerjaan yang dibahas Devan karena kekasihnya itu sering menerima telepon saat sedang bersama. Namun, malam itu Devan bicara serius tentang kargo pengiriman internasional.Kintan berjalan mendekat. Dejan tergagap saat menyadari Kintan sudah berdiri di sebelahnya. Dia buru-buru menyudahi obrolan dan memasukkan ponsel ke saku celana."Kenapa, Mas?" Kintan mengangkat alis dan memiringkan kepala. Kerudungnya kembali tertiup angin dan sekejap menutup sebagian wajah.Bukannya menjawab, lidah Dejan justru kelu karena melihat pemandangan di hadapannya. Kintan yang ditemuinya malam itu tampak berbeda dengan Kintan di pagi hari. Meski sama-sama cantik, Dejan tidak mengelak jika saat itu Kintan lebih menarik."Mau berangkat sekarang?" tanya Kintan lagi.Mata Dejan mengerjap-ngerjap seperti baru tersadar dari mimpi."Kamu kelihatannya bahagia banget." Kata-kata itu meluncur begitu saja. Kintan tersipu-sipu setelah Dejan mengatakannya."Jelas banget, ya? Padahal aku udah berusaha buat nutupin."Kintan menggosok-gosok hidung karena salah tingkah. Dejan tersenyum kecil karena tingkah gadis itu memang sangat natural. Kentara senangnya, kentara juga malunya.Berhadapan dengan Kintan membuat jantung Dejan tidak terkendali. Oleh karena itu, dia segera mengambil langkah lebar menuju pintu kursi penumpang dan membukakannya untuk Kintan."Ayo, masuk!"Gadis itu menurut. Dejan berlari kecil mengitari bagian depan mobil lalu duduk di balik kemudi. Sebelum berangkat, dia memberikan kejutan yang Kintan tidak sangka-sangka. Seikat kecil bunga daisy putih dibalut dengan plastik khusus buket dan tali pita membuatnya tampak sangat cantik."Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman."Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?"Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Dejan sambil memasang sabuk pengaman."Sebenarnya aku belum ada ide, sih. Ke tempat biasa juga boleh, Mas."Muka Dejan mendadak tegang. Mana dia tahu tempat biasanya mereka itu di mana?"Gimana kalau ganti suasana? Biar enggak bosan aja," usul Dejan. Dia benar-benar cerdik menghindari bahaya."Ikut ke mana Mas Devan suka aja, deh, kalau begitu."Dejan menyalakan mesin kemudian mobil itu mundur perlahan. Jalanan saat itu dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Kerlip lampu di sana-sini. Kintan tersenyum tak henti-henti.Sepanjang perjalanan, Kintan banyak bercerita tentang rencana pembukaan cabang baru. Sudah ada dua investor besar yang membidik pasar Bogor dan Bandung. Selain itu, ada tiga calon investor lain yang ingin membuka outlet di wilayah Jabodetabek."Tan, menurutku, jangan langsung serentak kalau mau membuka cabang. Punya banyak cabang itu kelihatannya memang keren dan menguntungkan. Tapi jangan lupa mempertimbangkan kemungkinan terburuk.
Matahari Jambi sedang terik-teriknya ketika ponsel Devan berdering. Devan sebenarnya malas mengangkat telepon dari mamanya. Selain karena sedang banyak pekerjaan, dia juga bosan ditanya dengan pertanyaan yang selalu sama. Namun, Bu Dian bisa menerornya dengan telepon tak henti-henti sepanjang hari jika lelaki itu sampai tidak menjawab panggilan.Setiap kali menelepon, Bu Dian hanya menanyakan kegiatan, berpesan agar tidak lupa makan, juga berharap agar dirinya segera pulang. Aktivitasnya sehari-hari relatif sama. Jam makannya pun tidak berubah. Apa lagi yang perlu diceritakan? Tubuhnya sudah lelah karena tuntutan pekerjaan.Hari itu pun, Devan menjawab telepon dengan malas-malasan. Matanya masih mengantuk karena hari sebelumnya pulang larut malam. Beruntung, Talita datang ke rumahnya pagi-pagi dan dengan sukarela memijit punggungnya."Kak, hubungan kamu sama Kintan gimana?" tanya Bu Dian tiba-tiba.Mata Devan terbuka lebar dan kantuknya mendadak hilang. Dia menengok kalender yang terp
Wangi kayu manis memenuhi dapur produksi Key and Cake. Bel berbunyi saat tombol pengatur pada oven menunjukkan bahwa waktu pemanggangan telah selesai. Seorang gadis bercelemek membuka penutup kaca dan mengeluarkan rak panggang berisi cinnamon rolls."Sari, jangan lupa cek kematangannya dulu, ya! Kalau bagian dalam masih kurang matang, kamu panggang sebentar lagi," saran Kintan. Dia mengenali karyawan barunya itu dari gelang kaki.Sari mengangguk kemudian memotong salah satu kue dengan pisau khusus. Warnanya yang cokelat keemasan itu terlihat cantik dan menggugah selera. Setelah memastikan bahwa kue buatan Sari sudah matang sempurna, Kintan beranjak dari dapur. Dia menuju ruangan display dan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke jalan raya.Jam dinding di toko menunjukkan pukul empat sore. Biasanya, sebentar lagi toko itu akan ramai diserbu pelanggan yang baru pulang dari kantor. Sejak Key and Cake menangani pesanan dari kantor Devan, toko itu mengalami perkembangan yang cukup pe
"Tan, aku lihat Devan jalan sama cewek!" kata Dinda setengah berteriak.Kintan sampai harus menjauhkan ponsel karena sahabatnya itu langsung menyerocos sampai lupa mengucap salam."Jangan bercanda, dong, Din. Jam segini tuh Mas Devan masih kerja." Kintan menyangkal. Arlojinya baru menujukkan pukul empat sore. Devan biasanya baru keluar kantor pukul lima."Tapi suer, Tan, cowok itu mirip banget sama Devan. Dia lagi makan sama cewek di kafe dekat salonku. bajunya juga santai banget, bukan setelan celana bahan sama kemeja kayak orang kantoran."Kintan menggigit bibir. Ragu mulai mendera. Satu sisi hatinya tidak percaya karena hubungannya dengan Devan sedang sangat baik. Namun, Dinda juga bukan sahabat yang suka membual."Apa perlu aku samperin, Tan?""Coba kamu perhatikan lagi, gimana ciri-ciri cewek itu?""Hmm, kayaknya dia blasteran. Hidungnya mancung, kulitnya putih, terus ....""Din, please!" sela Kintan.Dinda garuk-garuk kepala karena lupa bahwa Kintan tidak akan mengerti ciri-ciri
Sari—karyawan baru Key and Cake—mendekati Ratri, salah seorang karyawan senior toko. Gadis lulusan SMK itu tidak tahan untuk tidak bergosip saat melihat sang bos berdandan cantik."Kak, Bu Kintan mau diapelin Ayang, ya?" tanyanya sambil bisik-bisik."Hush! Sembarangan nyebut Pak Devan pakai ayang-ayangan. Mereka itu calon pengantin."Kelopak mata Sari melebar. Dia mendekap kain lap yang sebelumnya dipakai untuk membersihkan meja adonan."Tinggal di bumi berasa ngontrak. Kenapa, sih, semua orang lancar bener jalannya buat dapat ayang? Kayaknya cuma aku yang jomblo sejak embrio." Bibir Sari manyun seolah-olah dia yang paling tidak laku sedunia.Ratri menoyor kepala Sari. "Si paling menderita. Noh, jadian sama Bambang kalau mau!"Bambang yang dimaksud adalah seorang office boy toko roti yang usianya terpaut dua tahun dari Sari. Kalau ada yang harus mendapat predikat paling menderita di sana, Bambang lah yang lebih tepat mendapatkannya.Tidak ada yang salah dengan wajah Bambang. Meskipun
Suara serak muazin saat mengumandangkan azan Subuh membangunkan Kintan dari tidur lelap. Gadis itu mengucek matanya beberapa kali kemudian bangun dan mengikat rambut. Matanya memicing karena sorot cahaya dari ponsel terlalu terang. Jam di layar menunjukkan pukul setengah lima pagi."Bangun, Mas."Kintan mengirim pesan itu ke nomor Dejan kemudian menaruh ponsel di nakas. Dia duduk sebentar di tepian ranjang sambil melamun. Setelah kesadarannya benar-benar terkumpul, dia baru menjejakkan kaki ke lantai dan melangkah menuju kamar mandi.Segarnya air wudu membasuh wajah, menyapu sisa-sisa kantuk yang masih bergelayut di pucuk mata. Kintan melaksanakan salat dan membaca Al-Qur'an setelahnya. Itu adalah rutinitas pagi yang sedang dia disiplinkan sejak enam bulan belakangan.Sejak rutin salat Subuh di awal waktu, Kintan merasa hajat hidupnya dipermudah. Hatinya lebih tenang, emosinya tidak mudah tersulut, dan usaha kuenya juga berkembang pesat. Bangun lebih pagi juga secara tidak langsung me
Grup WhatsApp keluarga besar Kintan mendadak heboh. Salah seorang anggota grup mengirimkan sebuah foto yang diduga adalah Kintan bersama seorang laki-laki. Gambarnya tampak pecah, seperti diambil dari jarak yang cukup jauh atau dipotong dari foto lain yang skalanya lebih besar.Di gambar itu, Kintan mengenakan setelan olahraga yang dipakai saat CFD. Punggungnya merapat pada dinding taman sedangkan kepalanya bersandar di bahu laki-laki yang sedang bersamanya."Udah lama enggak lihat asupan bergizi," komentar salah seorang keponakan Kintan. Dia membubuhkan emoji kepala dengan mata berbentuk hati."Blur aja tetep cakep. Pusing!" balas keponakan Kintan yang lain."Masyaa Allah, cakep amat jodoh orang," timpal yang lain."Mamaa, orang-orang udah punya ayang. Aku kapan dibolehin pacaran?"Makin ramai lah grup itu hingga semua anggota keluarga Kintan disebut-sebut. Kata mereka, Kintan sangat beruntung mendapatkan calon suami seperti Devan.Mereka semua, terutama kaum hawa, adalah pengagum De
Harapan itu berbanding lurus dengan kesempatan. Makin sering ia datang, maka harapan-harapan akan kian membuncah. Orang yang tadinya hendak berputus asa bisa kembali bersemangat saat diberi kesempatan. Begitu pun dengan Kintan.Awalnya gadis itu sangat ketakutan saat Pak Surya meminta Devan untuk datang. Belum-belum, pikirannya sudah kalut karena diterpa kekhawatiran yang dia ciptakan sendiri."Bagaimana kalau Mas Devan menolak bertemu?""Bagaimana kalau Mas Devan datang, tetapi Ayah telanjur marah?""Bagaimana jika salah seorang atau keduanya ingin hubungan mereka berakhir?"Dan bagaimana-bagaimana lainnya. Kintan lelah karena pertanyaan itu terus menyerang meski dia sudah berusaha tenang. Tatapan tajam dari ayah dan ibunya terasa tidak bersahabat.Harapannya terbit saat Devan menyambut baik permintaan ayahnya. Seolah-olah hubungan mereka memang masih punya masa depan. Rencana lamaran yang sempat tertunda itu, Kintan perlahan yakin, suatu saat nanti akan benar-benar bisa terlaksana.
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn
Jalanan macet, pikiran kusut, dan Talita yang seenaknya pergi setelah marah-marah adalah kombinasi memuakkan hingga membuat Devan memukul setirnya berulang kali. Tanpa memedulikan tatapan sinis pengendara lain, dia menekan klakson tidak sabaran. Kepalanya berdenyut nyeri. Semua hal seolah terjadi begitu cepat hingga Devan tak sanggup membendung akibatnya."Haruskah aku datang ke pemakaman?" tanyanya dalam hati, berulang kali.Namun, ada keraguan besar yang menahan langkahnya. Apakah kedatangan Devan bisa diterima oleh keluarga Kintan? Dia khawatir, keributan besar akan terjadi dan mengganggu suasana mereka yang tengah berduka.Selain itu, diam-diam Devan juga takut dilaporkan ke polisi. Bagaimana jika keluarga Kintan menuntutnya dengan pasal pembunuhan yang tidak disengaja? Devan pernah menonton berita televisi, pelaku kejahatan tersebut juga bisa masuk penjara. Jika itu terjadi, tamatlah riwayatnya.Devan mengepalkan tangannya yang gemetaran. Dia berusaha mengatur napas. Tidak. Kinta
Mobil jenazah melaju pelan memasuki gang. Sirinenya tidak dinyalakan, sesuai permintaan keluarga. Sudah ada seorang lelaki di ujung gang yang memandu mobil tersebut. Tetangga lainnya juga sudah ramai berkerumun di depan rumah yang sedang berduka.Ketika pintu mobil dibuka, Kintan turun terlebih dahulu. Matanya sembab dan pandangannya kosong. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia memegang tangan Bu Ranti untuk membantunya turun. Peti jenazah diturunkan oleh beberapa orang lelaki untuk disalatkan terlebih dahulu.Dinda menghambur dan memeluk Kintan. Berulang kali dia mengucap maaf karena tidak bisa membersamai sang sahabat di titik terendah. Pada saat Pak Surya dirawat di rumah sakit, Dinda tengah berada di Bandung untuk mengurus kasus sengketa tanah keluarga."Aku bersaksi ayahmu orang baik, Tan. Semoga Allah ampuni dosanya, terima seluruh amal baiknya, dan tempatkan di surga," bisik Dinda.Kintan mengangguk dan mengamini doa sahabatnya. Sejujurnya, dia sedih sekaligus bahagia. Bagai
Pak Surya keluar dari ruang ICU sehari pasca operasi. Dokter menyatakan kondisinya sudah cukup stabil. Untuk mempercepat proses pemulihan, lelaki berusia setengah abad tersebut diharuskan menjalani rawat inap selama beberapa waktu. Ada pemantauan rutin untuk memeriksa bekas luka jahit, ritme detak jantung, serta tanda vital lainnya.Pagi itu, Pak Surya minta disuapi oleh Kintan. Gadis itu pun dengan senang hati memenuhi permintaan ayahnya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak quality time. Momen itu pun dimanfaatkan Kintan untuk membahas hal-hal yang menyenangkan demi kesembuhan Pak Surya."Nanti kalau Ayah sudah boleh pulang, kita jalan-jalan ke Lembang, yuk!" katanya seraya meyuapkan sesendok bubur hambar.Pak Surya terkekeh dan mengangguk. Meski bibirnya masih pucat, wajahnya terlihat lebih bersih dan berseri."Nanti aku tanya dokter deh, Ayah boleh makan cake atau nggak. Aku punya resep baru lho yang belum Ayah coba." Kintan terlihat bersemangat. Dia memang sudah cukup lama ingi
Pak Surya masih belum sadarkan diri selepas menjalani operasi pemasangan ring jantung. Lelaki paruh baya itu terkulai lemah di ruang pemulihan. Bibirnya pucat dan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup adalah bunyi 'bip' berulang dari alat monitor jantung.Berbagai macam selang terpasang di tubuhnya. Satu selang terhubung ke tabung oksigen. Selang lain untuk mendeteksi detak jantung. Ada pula selang infus dan selang pembuangan. Selang-selang itulah yang menopang tanda vital kehidupannya."Ngapain, sih, dia masih di sini?" tanya Bu Ranti, lebih seperti menggerutu. Matanya melirik Bu Dian yang sepertinya sedang berzikir dengan suara lirih.Pak Doni sedang mengantar Dejan ke bandara. Lelaki itu hanya bisa menunggui operasi Pak Surya sampai separuh jalan. Meskipun ingin berada di sana lebih lama, kewajibannya untuk mengurus bisnis harus menjadi prioritas untuk saat ini."Jangan begitu, Bu. Tante Dian sudah banyak membantu dari tadi." Kintan menging
Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari
"Nasi sudah menjadi bubur. Meminta maaf sekarang tidak akan mengubah apa pun. Silakan pulang saja!" hardik Bu Ranti. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Kintan memegangi bahu ibunya. Di satu sisi, dia tidak sampai hati mengusir keluarga Devan. Namun, di sisi lain, dia juga sangat memahami dan menghormati pilihan sang ibu. Memang tidak mudah membukakan pintu maaf kepada seseorang yang pernah merugikan kita. Apalagi dalam hal ini, nyawa taruhannya. Bu Dian masih belum beranjak. Dia tetap bersimpuh di hadapan Bu Ranti meski wanita itu berkali-kali menyingkirkan tangannya.Dejan memandang Kintan dengan wajah memelas. Melalui isyarat, dia meminta Kintan menjauh untuk membicarakan sesuatu. Dejan berjalan dahulu menuju koridor di sisi kanan ruang operasi. Kintan menyusul setelah terlebih dahulu mohon permisi kepada Bu Dian."Ada apa, Mas?" tanyanya setelah berhadapan dengan Dejan. Mereka leluasa bercakap-cakap karena di lorong itu minim lalu lalang orang lewat."Seperti janjiku kemar