Hari demi hari berlalu, Akarsana sudah diperbolehkan untuk pulang. Beberapa kali Prita melihat ke arah Sofia seakan-akan tengah mengancam Sofia untuk tak menceritakan apa pun tentang penyebab kematian Kayla pada Akarsana. Sesaat kemudian, mereka sampai di rumah sakit dan melihat Akarsana yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya."Apa kamu senang sudah boleh pulang?" tanya Prita membuat Akarsana langsung menoleh dan melihat sosok Prita di sampingnya."Mama?" "Tidak rindu dengan Mama?" Akarsana tersenyum lalu memeluk Prita erat. Dia tentu saja merindukan Prita, ibunya. "Bagaimana kabarmu, Sofia?" "Aku baik-baik saja." Sofia menatap Akarsana dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Akarsana mengerutkan keningnya membuat Prita menyadari hal itu, lalu memberikan kode pada Sofia untuk segera berjalan lebih dulu.Sofia yang tahu akan kode itu hanya bisa diam dan menuruti apa yang Prita suruh. "Apa kamu sudah siap pulang?" tanya Prita lagi."Aku sudah merindukan kamarku."
“Ada apa, Sofia? Katakan padaku.” Sofia menatap Akarsana, kedua matanya kini berkaca-kaca. “Tante ....” Suaranya tercekat sulit sekali mengatakan, tetapi Akarsana harus mengetahui semua. “Tante Kayla udah nggak ada. Tante meninggal dunia, karena jatuh dari lantai atas.”Akarsana tentu saja terkejut dengan apa yang barusan dia dengar. Tidak mungkin, kenapa semua orang tidak mengatakan sejak awal kepadanya? Kenapa baru sekarang saat Akarsana kembali ke rumah, mereka mengatakan semuanya?“Kenapa kalian tidak memberitahu aku? Bahkan aku tidak ada saat pemakaman Tante, kenapa kalian malah merahasiakan semua ini?” Akarsana kecewa sekali. Kayla adalah tantenya dan sudah seharusnya Akarsana tahu, jika sesuatu terjadi kepada Kayla. Apalagi kepergian Kayla untuk selamanya, Akarsana malah tidak diberitahu oleh siapapun.“Maaf, Akarsana. Kamu juga tidak baik-baik aja, Mama ingin kamu fokus pada kesembuhan kamu lebih dulu.” Prita mengeluarkan suaranya, padahal jelas selama ini Prita tidak member
Amora membantu Akarsana membukakan pintu. Begitu pintu dibuka lebar, sepasang mata Akarsana membeliak. Dia pun menengok ke belakang menatap Amora yang kini menyilangkan tangan di depan dada. "Apa-apaan ini, Amora?" Hampir saja Akarsana memekik. "Apa lagi, Pak? Itu pekerjaan yang harus Anda kerjakan, Pak. Kenapa masih bertanya lagi?" jawab Amora santai. "Tapi kenapa sebanyak ini, Amora? Yang benar saja," keluh Akarsana. Bayangkan saja, Akarsana baru kembali ke kantor setelah cukup lama mengambil cuti karena sakit. Setibanya Akarsana ke kantor, dia diberi pekerjaan sangat banyak di atas mejanya. Di meja kerja Akarsana—ada banyak sekali tumpukan berkas, bahkan hampir tidak muat lagi. "Jangan banyak protes, Pak!" tegur Amora berani. "Kalau Bapak protes terus kebanyakan mengeluh, kapan Pak Akarsana menyelesaikan semua pekerjaan ini? Semakin Bapak banyak bengong, waktu Pak Akarsana akan terbuang sia-sia sebelum mengerjakan ini!" Akarsana menggeleng tanda heran. Dia mencibir A
"Aku hanya memiliki nomor ponselnya saja, kalau alamat rumahnya aku tidak tahu." Pelangi terdiam memikirkan cara bagaimana untuk Diana bisa berbicara dengan Renjana secara langsung. Apalagi keadaan sedang sangat genting sekarang. "Coba kamu hubungi dia melalui ponsel dan ajak dia untuk bertemu secara langsung, karena keadaanmu tidak bisa dibicarakan lewat ponsel," ujar Pelangi memberikan ide.Sejujurnya Diana ragu untuk mengatakannya pada Renjana, tapi apa yang dikatakan oleh Pelangi memang benar adanya. Ia tidak bisa menyembunyikan terus-menerus apa yang sekarang sedang ia alami. Lagipula Renjana juga berhak tahu."Aku akan mencobanya." Pelangi menganggukkan kepalanya. Diana sedang membutuhkan dukungan dan tentu saja Pelangi akan selalu mendukung Diana. Beberapa saat berlalu, Diana sudah beberapa kali mencoba untuk menghubungi Renjana tapi nyatanya tidak bisa. Renjana seperti hilang ditelan bumi."Bagaimana, Diana? Apa dia mengangkatnya?" tanya Pelangi."Aku sudah berulang kali me
"Pelangi? Kenapa tidak masuk ke dalam?" tanya Pak Andy sambil membenarkan jas yang ia pakai. "S-saya ragu, Pak," jawab Pelangi masih dengan jawaban yang sama. "Ragu? Kenapa harus ragu? Masuklah dengan saya jika kamu takut." Pak Andy pun berjalan lebih dulu sambil memberikan kode pada Pelangi untuk mengikutinya dari belakang. Tentu saja Pelangi menurut dan segera masuk ke dalam mengikuti Pak Andy. Beberapa saat kemudian, Pelangi sampai di sebuah ruang tamu besar yang di sana Prita dan keluarganya memang sedang menunggu kedatangan Pak Andy. Ini pertama kalinya Pelangi melihat Prita, saudara kembar Kayla. Selama berkunjung ke rumahnya, Pelangi belum satu kali pun bertemu dengan saudara kembar Kayla. Pandangan mata Pelangi lalu mengarah pada sosok pria yang sedang duduk di kursi, bahkan sampai menajamkan matanya. Ia merasa penglihatannya agak bermasalah. Apa benar yang di depannya adalah Akarsana? Pelangi melafalkan huruf demi huruf yang merangkum namanya yang begitu indah di dalam ha
Sofia merasa tidak asing dengan sosok perempuan di depannya. Sebelumnya Sofia pernah bertemu dengan Pelangi di taman belakang sedang mengobrol dengan Kayla. Iya, benar. Pelangi adalah perempuan yang sama dengan yang ia lihat waktu itu. Walau Sofia tidak terlalu menghafal wajah Pelangi kala itu, karena duduk memunggungi pintu, namun dari posturnya, rambutnya, Sofia yakin perempuan di depannya sekarang adalah seorang penjual bunga yang dimaksud mendiang Kayla. Dalam hati Sofia bertanya-tanya, kenapa Pelangi ada di rumah ini lagi? Sementara Kayla sudah meninggal dari beberapa hari lalu. Ada kepentingan apa juga? Bahkan Pelangi datang dengan disambut oleh Pak Andy, pengacara Kayla. Pelangi berdiri di antara keluarga Maheswara. Tatapan mereka begitu dingin sama sekali tidak bersahabat. Sebenarnya Pelangi juga tidak tahu kenapa ia diminta datang kemari. Siapa yang akan Pelangi temui? Tidak ada lagi Kayla di sini yang bisa ia ajak berbicara seperti saat wanita itu masih hidup. Pelang
Bagai mimpi di siang bolong, Pelangi tidak menyangka kalau Kayla akan meninggalkan warisan untuk dirinya bahkan sebanyak delapan puluh persen dari kekayaan wanita itu. Jujur saja Pelangi tidak pernah mengharapkan harta warisan Kayla. Sama sekali tidak. Pelangi secara tulus senang bisa menjadi teman mengobrol Kayla di sisa-sisa hidup wanita itu. Pelangi bahkan mendapat bayaran dari Kayla hanya untuk menjadi teman mengobrolnya selama ini. Suasana di ruang keluarga menjadi sangat riuh dan berisik sekali, karena teriakkan Prita dan Renjana yang sama sekali tidak terima Pelangi mendapat warisan dari Kayla, namun suara berisik itu tidak bisa didengar oleh Pelangi. Ia terlalu terkejut. Sama sekali tidak menyangka, jika undangan Pak Andy menyuruhnya datang kemari untuk mendengar pembagian warisan. Tidak bagaimana mungkin ini terjadi? Pelangi pasti sedang bermimpi. Tidak mungkin orang yang tidak memiliki hubungan darah apa pun dengan dirinya malah memberinya harta yang begitu banyak? Malaha
Keadaan hening seketika, kepergian Pak Andy malah membuat keadaan semakin hening dan canggung. Tentu saja Pelangi merasa tertekan benar-benar tertekan sampai ia bingung harus melakukan apa untuk saat ini."Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang sudah Kayla perbuat," ucap Prita. Pergerakan Prita membuat semua orang menoleh termasuk Akarsana yang tadinya hanya diam. Kecewa dan marahnya Prita membuatnya memilih untuk pergi ke kamar disusul oleh Renjana di belakangnya. Pelangi sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, namun beberapa saat berlalu tiba-tiba Sofia menghampirinya sambil tersenyum."Hai, aku Sofia," sapa Sofia memperkenalkan diri kepada Pelangi."Aku Pelangi," sahut Pelangi sambil berusaha untuk tersenyum. Ia menatap ke arah Sofia mungkin hanya Sofia saja yang ramah padanya di sini. Dilihat dari sikapnya ketika berbicara dengan Pelangi."Apa kamu baik-baik saja, Pelangi?" Pertanyaan Sofia benar-benar membuat hati Pelangi langsung berantakan. Ia jela
Sofia ikut berduka atas kehilangan yang Diana alami. Sebagai saudara Renjana, Sofia ikut merasakan rasa bersalah. Mungkin, ia akan membawa perasaan ini sampai selamanya. Di dalam kepalanya secara otomatis akan terus mengingat kejadian pagi ini di rumah. Akarsana semula menundukan kepalanya, lantas mendongak seiring mendengar suara tangis dan jeritan Diana di dalam ruang perawatannya. Akarsana meraup wajahnya dengan kasar. Tidak dia sangka kalau Renjana akan melakukan hal sefatal ini. Akarsana tidak tahu menahu awalnya. Andai saja Diana tidak datang ke rumah, mungkin Akarsana dan Sofia tetap tidak akan mengetahuinya. Lelaki itu merasakan kursi di sebelahnya bergerak, ternyata Sofia beranjak dari kursi hendak mendekat ke pintu ruangan Diana. Akarsana menahan lengan Sofia, kemudian menggelengkan kepalanya. "Biarkan Pelangi saja yang menenangkan Diana," tutur Akarsana lembut. "Jika Diana melihat kamu, maka secara otomatis Diana akan bertambah sedih." Gadis itu duduk kembali ke kursin
Ketika Pelangi tiba di rumah Akarsana, perempuan itu tidak menemukan siapa-siapa di pos satpam. Biasanya akan ada Pak Udin yang menyapa, dan menyambut kedatangannya dengan ramah, tapi Pelangi tidak menemukan lelaki setengah baya itu di dalam posnya. Pelangi mendengar suara ribut-ribut dari luar. Dia mengenali suara itu sebagai suara Diana—sang adik. Pelangi tidak buang-buang waktu. Dengan cepat Pelangi berlari menuju ke dalam, berusaha menghentikan kekacauan yang dibuat oleh Diana hari ini. Sementara di dalam rumah Maheswara, Diana berusaha menyerang Renjana, tapi dihalangi oleh Prita yang berdiri di tengah-tengah Diana dan Renjana. Diana mencak-mencak, karena Renjana tidak berusaha menjelaskan kepada keluarganya. Sama halnya dengan Renjana, Prita pun bungkam saat ditanya kebenaran dari kata-kata Diana. Prita hanya menjelaskan kalau Diana adalah adiknya Pelangi. Cuma itu saja. "Tante jangan diam saja! Cepat jelaskan kepada mereka di sini kalau Renjana bersalah! Dan yang aku kataka
Sungguh, Akarsana tidak dapat mengatakan apa-apa. Tentu saja Akarsana terkejut, begitu pun dengan Sofia yang sedari tadi hanya mendengarkan saja. Napas Diana memburu. Kedatangannya kemari tentu ingin menuntut pertanggungjawaban dari Renjana. Padahal dia sudah datang kemari bersama Pelangi, tapi Renjana terus menghindar dan menghindar. Diana tidak meminta apa-apa dari Renjana—selain untuk menikahinya, tapi Diana seolah mengemis belas kasih lelaki itu. Bayi di dalam perutnya bukan bayi siapa-siapa kecuali milik Renjana. Diana tidak pernah melakukan hubungan semacam itu dengan lelaki selain Renjana! Jadi Diana dengan lantang mengatakan kalau bayi itu adalah anak Renjana! "Ma ... ini benar? Renjana, cepat jawab!" bentak Akarsana pada adik lelakinya. Renjana hanya diam mematung seperti orang bodoh. Walau dibentak Akarsana, dimaki dan ditekan oleh Diana, Renjana tidak berniat memberikan jawaban yang Akarsana mau. "Aku tidak mau tahu. Kamu harus tanggung jawab, atau kalau tidak, aku aka
Pelangi terpaku, matanya membulat, jantungnya berdebar tak karuan. Kata-kata Akarsana barusan menggantung di udara, menggema di telinganya seperti melodi yang tak pernah ia bayangkan akan didengarnya. "A-apa?" Pelangi terbata, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menggelengkan kepala perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar. "A-apa kau bilang tadi?" Akarsana tersenyum lembut, tatapannya terkunci pada mata Pelangi yang berkaca-kaca. "Aku bilang, aku mencintaimu, Pelangi." Pelangi merasakan aliran hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan merasakan kebahagian yang meluap-luap di hatinya. Ini seperti mimpi. Akarsana, pria yang selama ini ia kagumi diam-diam, pria yang selalu membuatnya tersipu malu setiap kali bertemu, kini berdiri di hadapannya, menyatakan cinta yang selama ini hanya ia pendam dalam hati. "Aku... aku tidak salah dengar, kan?" Pelangi masih berusaha meyakinkan dirinya. Akarsana terkekeh pelan, "Tidak, Pelangi. Kau tidak salah dengar. Aku sungguh-su
Kedatangan Akarsana secara tiba-tiba di depan rumah susunnya, telah merampas kesadaran Pelangi untuk beberapa saat. Ia tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan lidahnya terasa kelu saat. Akarsana tersenyum hangat kepadanya, wajahnya sangat ramah, membuat jantung Pelangi berdebaran dengan kencang. Pelangi sedang tidak bermimpi, kan? Pelangi hampir saja menampar pipinya sendiri guna menyadarkan dirinya. "Ah! Tidak apa-apa. Kamu tidak menggangguku, kok. Aku juga tidak sedang sibuk, tapi, dari mana kamu tahu alamat rumahku, Akarsana?" tanya Pelangi penasaran. "Oh, ya. Terima kasih untuk bunganya." Sebuket bunga yang dibawa Akarsana kini telah berpindah ke dalam pelukan Pelangi. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan betapa bahagia dirinya. "Apa aku boleh masuk?" Akarsana tidak menjawab pertanyaan Pelangi, lelaki itu malah meminta diajak masuk ke dalam rumah Pelangi. "Oh, tentu." Pelangi berjalan ke pinggir. "Masuklah, Akarsana!" ajak Pelangi menunjuk ke sofa yang ada di ruang tamu. "Teri
Renjana, anak itu benar-benar menambah beban pikiran bagi Prita. Belum selesai masalah warisan yang direbut oleh Pelangi, kini muncul masalah baru lagi atas ulah salah satu anak lelakinya. Berbeda dengan Akarsana yang lemah lembut, tidak banyak tingkah, Renjana justru tidak bosan membuat Prita pusing kepala! Sepeninggal Pelangi dan Diana keluar dari rumahnya, Prita berteriak sembari melangkah menuju ke lantai atas. Prita dibuat marah oleh Renjana, karena Renjana Prita harus pura-pura berada di kubu Pelangi. Andai saja Prita tidak berniat merebut kembali warisan Kayla yang kini telah berpindah tangan kepada Pelangi, Prita tidak akan sudi memperlakukan Pelangi dengan baik! Prita tidak menyukai perempuan miskin itu. "Renjana!" Prita mempercepat langkah menuju kamar lelaki itu. Sesampainya di depan pintu, wanita setengah baya tersebut menggebrak-gebrak pintu dengan mengerahkan seluruh tenaganya. "Mama tahu kamu di dalam, Renjana! Sekarang, buka pintunya! Mama butuh penjelasan kamu,
Perempuan mana yang mau bertahan dengan suami yang sudah selingkuh di belakang istri selama ini? Tidak ada. Begitu pun dengan Naomi. Sampai mati pun, Naomi tidak akan mau bertahan dengan lelaki itu. Lebih baik Naomi pergi, dan kembali ke Indonesia saja. Naomi menyiapkan koper besar, diletakkannya benda itu ke atas ranjang. Satu per satu baju dari lemarinya ia masukan ke dalam kopernya. Perempuan itu berniat kabur dari suaminya setelah lelaki itu ketahuan selingkuh darinya. Naomi tidak tahan lagi, ia sudah cukup frustrasi atas keadaan yang ia alami sekarang. Sambil menangis, perempuan itu menata baju dan beberapa pakaiannya ke dalam koper. Sekarang ini tujuan utama Naomi adalah kembali ke tempat ia lahir dan dibesarkan. Di sini Naomi tidak sebahagia yang orang kira. "Aku sudah tidak sanggup lagi hidup dengan lelaki berengsek itu!" Naomi membanting tutup kopernya dengan keras. Dengan gerakkan kasar, perempuan itu menarik resleting kopernya, kemudian duduk sembari menghela napas pan
"Kak Pelangi, tunggu." Diana menahan lengan sang Kakak. Kini, kedua perempuan itu telah berada di rumah Maheswara. Diana menatap rumah di depannya dengan seksama. "Kakak yakin ini rumahnya Renjana?" tanya Diana menatap Pelangi tak percaya, karena ia sering ke rumah ini untuk menjemput dan mengantarkan pakaian kotor.Pelangi mengangguk. Ia menurunkan tangan Diana yang memegangi lengannya. "Sudah, Diana. Jangan banyak membuang waktu!" Tidak biasanya Pelangi menjadi sangat marah. Biasanya perempuan itu hanya akan diam dan tidak banyak melakukan apa-apa, tapi kali ini ia tidak memilih diam. Adik perempuan satu-satunya dihamili seorang lelaki dan faktanya, lelaki itu adalah Renjana, salah satu anggota keluarga Maheswara yang beberapa kali ia temui di rumah itu. Langkah Diana ragu. Dalam kepala Diana, ia takut—mereka akan diusir oleh satpam di rumah itu, karena menerobos masuk ke dalam begitu saja. "Non Pelangi," sapa Pak Udin dari dalam pos satpam yang berada di dekat gerbang rumah.
"Kak, Kenapa? Kak Pelangi kenal dengan Renjana?" tanya Diana heran. Pelangi tidak percaya. Namun yang ia lihat memang kenyataan. Sesuai dengan dugaan Pelangi, Renjana pacar Diana adalah adiknya Akarsana. Anak kedua dari Prita. Tidak pernah Pelangi sangka akan terjadi hal seperti ini. "Kak," tegur Diana semakin bingung. Pelangi bisa merasakan dorongan pada bahunya oleh Diana. Sesaat, Pelangi kehilangan kesadarannya. Pelangi berusaha mengatur napas dan memberitahu pada Diana, siapa Renjana sebenarnya. "Kak, jawab aku!" seru Diana mulai tidak sabaran. "Aku kenal dengan Renjana, bahkan aku tahu di mana rumah lelaki itu," gumam Pelangi. "Apa?" desis Diana tidak percaya. Bagaimana Pelangi bisa tahu tentang Renjana? Bahkan tahu alamat rumah Renjana. Apa yang membuat Pelangi begitu yakin kenal dengan lelaki itu? "Tidak mungkin," gumam Diana menolak untuk percaya. Hati kecil Diana seolah tidak terima sang Kakak mengenali Renjana. Diana lebih mengenali Renjana selama ini, tap