Prita sedang membuka semua laci di kamar Kayla. Tentu saja Prita sedang mencari semua perhiasan Kayla yang ia harap-harapkan. Ditambah ia ingin segera mendapatkan warisan saudara kembarnya supaya bisa bersenang-senang seperti dulu. Ketika sedang khawatir dan gelisah, pintu kamar Prita di buka oleh Renjana yang masuk dengan begitu terburu-buru. "Apa yang sedang Mama lakukan?" "Tentu saja mencari semua perhiasan Kayla yang dia sembunyikan. Mama sudah mendapatkan beberapa. Ayo bantu Mama mencarinya lagi." Renjana segera membantu ibunya. "Terus bagaimana, Ma tentang pertemuan dengan Pak Andy?" Prita menjelaskan semua yang terjadi tentang pertemuannya dengan pengacara Andy. Renjana kini berubah kesal dan gelisah. "Kita harus segera mendapatkan warisan itu, Ma. Tidak mungkin kita mengulur waktu lagi. Apalagi aku sudah memesan mobil dan berniat membayarnya dengan uang warisan itu." Prita dan Renjana berpikir keras, mereka seperti sedang menyusun rencana untuk ke depannya dan memang m
Pelangi berdandan serapi mungkin. Hari ini dia memutuskan untuk bertemu Kayla dan memang sengaja tidak menghubungi wanita itu dulu, karena Pelangi ingin memberikan kejutan untuknya. Dia membayangkan ekspresi terkejut wanita itu nanti dan tersenyum geli. Setelah puas berdandan, Pelangi keluar kamar dan melihat ayahnya tanpa kursi roda sedang duduk di sofa sambil menonton tv. “Ayah, aku pergi dulu. Tidak akan lama kok.” Pelangi berpamitan pada Danurdara membuat lelaki itu mengangguk dan mengizinkan anaknya untuk pergi. Pelangi pun segera keluar dari rumah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahu, dia juga sudah memesan ojek online untuk pergi ke tempat tujuannya. “Atas nama Pelangi.” Pelangi mengangguk saat seorang driver ojek online menghentikan sepeda motornya di hadapan pelangi yang memang sudah menunggu di depan rumah. Pelangi pun menerima helm yang diberikan abang ojek tersebut dan segera menaiki sepeda motornya. Perjalanan cukup memakan waktu sampai akhirnya sepeda m
Tanpa sadar, Pelangi sedari tadi diperhatikan oleh beberapa penumpang dari kursi lain. Beberapa di antaranya menyadari kalau Pelangi sedang menangis sembari menatap ke jendela bus. Pelangi mengusap kedua pipinya. Menyeka air matanya susah payah. Namun, Pelangi tidak bisa menghentikan air matanya yang terus meleleh hingga ia kelelahan. Pelangi mengarahkan kedua tangannya. Dia berusaha menahan diri agar tidak menangis, karena sekarang kedua mata Pelangi berubah menjadi bengkak. Jika dia pulang dalam keadaan begini, ayahnya pasti akan khawatir. Pelangi turun dari bus. Berjalan dengan lesu menuju ke rumah rusunnya berada. Gadis itu menarik tali tasnya, kepalanya menunduk sepanjang dia melangkah. Sesampainya di depan rumahnya, Pelangi melihat pintunya dibuka. Dari arah luar, Pelangi bisa melihat ayahnya sedang berada di ruang tamu, duduk menghadap ke arah pintu. "Aku pulang, Yah," sapa Pelangi. Danurdara menatap Pelangi. Sepasang mata bengkak Pelangi menjadi perhatian Danurdara
Hari demi hari berlalu, Akarsana sudah diperbolehkan untuk pulang. Beberapa kali Prita melihat ke arah Sofia seakan-akan tengah mengancam Sofia untuk tak menceritakan apa pun tentang penyebab kematian Kayla pada Akarsana. Sesaat kemudian, mereka sampai di rumah sakit dan melihat Akarsana yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya."Apa kamu senang sudah boleh pulang?" tanya Prita membuat Akarsana langsung menoleh dan melihat sosok Prita di sampingnya."Mama?" "Tidak rindu dengan Mama?" Akarsana tersenyum lalu memeluk Prita erat. Dia tentu saja merindukan Prita, ibunya. "Bagaimana kabarmu, Sofia?" "Aku baik-baik saja." Sofia menatap Akarsana dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Akarsana mengerutkan keningnya membuat Prita menyadari hal itu, lalu memberikan kode pada Sofia untuk segera berjalan lebih dulu.Sofia yang tahu akan kode itu hanya bisa diam dan menuruti apa yang Prita suruh. "Apa kamu sudah siap pulang?" tanya Prita lagi."Aku sudah merindukan kamarku."
“Ada apa, Sofia? Katakan padaku.” Sofia menatap Akarsana, kedua matanya kini berkaca-kaca. “Tante ....” Suaranya tercekat sulit sekali mengatakan, tetapi Akarsana harus mengetahui semua. “Tante Kayla udah nggak ada. Tante meninggal dunia, karena jatuh dari lantai atas.”Akarsana tentu saja terkejut dengan apa yang barusan dia dengar. Tidak mungkin, kenapa semua orang tidak mengatakan sejak awal kepadanya? Kenapa baru sekarang saat Akarsana kembali ke rumah, mereka mengatakan semuanya?“Kenapa kalian tidak memberitahu aku? Bahkan aku tidak ada saat pemakaman Tante, kenapa kalian malah merahasiakan semua ini?” Akarsana kecewa sekali. Kayla adalah tantenya dan sudah seharusnya Akarsana tahu, jika sesuatu terjadi kepada Kayla. Apalagi kepergian Kayla untuk selamanya, Akarsana malah tidak diberitahu oleh siapapun.“Maaf, Akarsana. Kamu juga tidak baik-baik aja, Mama ingin kamu fokus pada kesembuhan kamu lebih dulu.” Prita mengeluarkan suaranya, padahal jelas selama ini Prita tidak member
Amora membantu Akarsana membukakan pintu. Begitu pintu dibuka lebar, sepasang mata Akarsana membeliak. Dia pun menengok ke belakang menatap Amora yang kini menyilangkan tangan di depan dada. "Apa-apaan ini, Amora?" Hampir saja Akarsana memekik. "Apa lagi, Pak? Itu pekerjaan yang harus Anda kerjakan, Pak. Kenapa masih bertanya lagi?" jawab Amora santai. "Tapi kenapa sebanyak ini, Amora? Yang benar saja," keluh Akarsana. Bayangkan saja, Akarsana baru kembali ke kantor setelah cukup lama mengambil cuti karena sakit. Setibanya Akarsana ke kantor, dia diberi pekerjaan sangat banyak di atas mejanya. Di meja kerja Akarsana—ada banyak sekali tumpukan berkas, bahkan hampir tidak muat lagi. "Jangan banyak protes, Pak!" tegur Amora berani. "Kalau Bapak protes terus kebanyakan mengeluh, kapan Pak Akarsana menyelesaikan semua pekerjaan ini? Semakin Bapak banyak bengong, waktu Pak Akarsana akan terbuang sia-sia sebelum mengerjakan ini!" Akarsana menggeleng tanda heran. Dia mencibir A
"Aku hanya memiliki nomor ponselnya saja, kalau alamat rumahnya aku tidak tahu." Pelangi terdiam memikirkan cara bagaimana untuk Diana bisa berbicara dengan Renjana secara langsung. Apalagi keadaan sedang sangat genting sekarang. "Coba kamu hubungi dia melalui ponsel dan ajak dia untuk bertemu secara langsung, karena keadaanmu tidak bisa dibicarakan lewat ponsel," ujar Pelangi memberikan ide.Sejujurnya Diana ragu untuk mengatakannya pada Renjana, tapi apa yang dikatakan oleh Pelangi memang benar adanya. Ia tidak bisa menyembunyikan terus-menerus apa yang sekarang sedang ia alami. Lagipula Renjana juga berhak tahu."Aku akan mencobanya." Pelangi menganggukkan kepalanya. Diana sedang membutuhkan dukungan dan tentu saja Pelangi akan selalu mendukung Diana. Beberapa saat berlalu, Diana sudah beberapa kali mencoba untuk menghubungi Renjana tapi nyatanya tidak bisa. Renjana seperti hilang ditelan bumi."Bagaimana, Diana? Apa dia mengangkatnya?" tanya Pelangi."Aku sudah berulang kali me
"Pelangi? Kenapa tidak masuk ke dalam?" tanya Pak Andy sambil membenarkan jas yang ia pakai. "S-saya ragu, Pak," jawab Pelangi masih dengan jawaban yang sama. "Ragu? Kenapa harus ragu? Masuklah dengan saya jika kamu takut." Pak Andy pun berjalan lebih dulu sambil memberikan kode pada Pelangi untuk mengikutinya dari belakang. Tentu saja Pelangi menurut dan segera masuk ke dalam mengikuti Pak Andy. Beberapa saat kemudian, Pelangi sampai di sebuah ruang tamu besar yang di sana Prita dan keluarganya memang sedang menunggu kedatangan Pak Andy. Ini pertama kalinya Pelangi melihat Prita, saudara kembar Kayla. Selama berkunjung ke rumahnya, Pelangi belum satu kali pun bertemu dengan saudara kembar Kayla. Pandangan mata Pelangi lalu mengarah pada sosok pria yang sedang duduk di kursi, bahkan sampai menajamkan matanya. Ia merasa penglihatannya agak bermasalah. Apa benar yang di depannya adalah Akarsana? Pelangi melafalkan huruf demi huruf yang merangkum namanya yang begitu indah di dalam ha
Malam itu, suasana rumah masih dipenuhi ketegangan setelah pengakuan Sofia. Pelangi duduk di sofa dengan ekspresi kosong, sementara Akarsana mondar-mandir, pikirannya kacau."Aku masih tidak percaya " gumam Akarsana, suaranya nyaris berbisik.Sofia menunduk, matanya memerah menahan air mata. "Aku juga tidak ingin mempercayainya. Aku menyesal karena tidak melakukan sesuatu sejak dulu, jika aku berani melawan, mungkin Tante Kayla masih hidup."Pelangi menarik napas dalam-dalam. "Kebenaran akhirnya terungkap. Tapi, lalu apa? Apa kita akan membiarkan ini berlalu begitu saja?"Akarsana menatap adiknya dengan mata berkilat. "Tidak, kita tidak bisa membiarkannya. Apa pun yang terjadi, Ibu harus bertanggung jawab."Sofia menggigit bibirnya, lalu menggeleng. "Tapi Akarsana, Ibu kita... dia bahkan sudah tidak waras sekarang. Dia sudah hidup dalam ketakutan selama enam bulan terakhir. Apa yang bisa kita lakukan selain menyerahkannya pada perawatan?"Akarsana mengepalkan tangannya. Ia marah, kece
Ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara detak jam yang terdengar, seakan menegaskan bahwa ketakutan Prita masih ada, masih mengintai, dan belum benar-benar pergi.Prita masih tersungkur di lantai dengan tubuh gemetar. Air matanya mengalir deras, napasnya tersengal, sementara kedua tangannya mencengkeram kepalanya seolah berusaha menepis suara-suara yang hanya bisa ia dengar."Maafkan aku,Kayla! Maafkan aku!" gumamnya berulang kali, suaranya penuh ketakutan.Akarsana, Sofia, dan Pelangi masih berusaha menenangkannya, tetapi tiba-tiba, suara Prita berubah menjadi jeritan histeris."Aku tidak bermaksud membunuhmu!"Hening.Ketiga orang di ruangan itu membeku, tatapan mereka terpaku pada Prita yang masih terisak. Kata-kata itu menggema di kepala mereka, memenuhi ruangan dengan ketegangan yang mencekam.Akarsana menelan ludah, dadanya berdegup kencang. "Ibu,apa maksudmu?" tanyanya pelan, tetapi suaranya tegas.Prita tidak menjawab. Ia terus meracau, tubuhnya masih bergetar hebat. Seolah kat
Pelangi berdiri di sana, berdampingan dengan seorang pria yang Sofia kenal baik—Akarsana. Namun, perhatiannya langsung terfokus pada Pelangi. Sofia nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pelangi, yang dulu selalu tampak sederhana dan jauh dari kesan feminin, kini berubah. Gaun lembut membalut tubuhnya dengan anggun, rambut panjangnya tergerai dengan rapi, dan ada kehangatan baru dalam sorot matanya. Ia tampak begitu cantik, begitu berbeda. Namun, bukan hanya perubahan penampilan Pelangi yang mengejutkan Sofia. Tangannya yang digenggam erat oleh Akarsana seolah menegaskan sesuatu. Sofia mengangkat pandangannya, melihat ekspresi kakaknya—wajah itu, yang selama ini redup dan penuh beban, kini berseri. Akarsana terlihat seperti dirinya yang dulu, sebelum semua kekacauan terjadi. Sofia menelan ludah, masih belum bisa mencerna semuanya. "K-Kak Pelangi?" suaranya bergetar. Pelangi tersenyum lembut. "Hai, Sofia!"" Sofia mengalihkan tatapannya ke Akarsana, mencari jawaban.
Diana masih berdiri di tempatnya, dadanya naik-turun seiring napasnya yang tidak beraturan. Tatapan Damar yang begitu dalam tadi masih terbayang di benaknya, mengusik perasaannya yang bahkan belum ia sadari sepenuhnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan semuanya, lalu menghembuskan napas panjang. Saat itu juga, suara musik dan tawa dari para tamu pesta kembali menyadarkannya akan kenyataan. Malam ini adalah malam pertunangan Pelangi dan Akarsana. Diana melangkah masuk ke dalam ruangan, tepat saat Ardiyanto menaiki podium kecil di tengah aula, mengambil mikrofon dan mengetuknya pelan. Semua tamu segera menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan perhatian ke pria tua itu. "Ladies and gentlemen," Ardiyanto memulai dengan suara penuh wibawa. "Terima kasih telah menghadiri acara malam ini. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi keluarga kami, karena cucu saya, Pelangi, akan bertunangan dengan pria yang telah mendapatkan hatinya kembali, Akarsana." Tepuk tangan menggema di
Pelangi mencoba kembali menenangkan pikirannya setelah pertemuannya dengan Akarsana. Hatinya masih berdebar tidak menentu, tapi kali ini bukan karena keraguan, melainkan karena keputusan besar yang sudah ia buat.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekat, disusul suara yang penuh amarah."Pelangi!" suara Diana menggema di ruangan, membuat Pelangi dan Ardiyanto menoleh.Diana berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh kemarahan dan di belakangnya, Danurdara—ayahnya—menyusul dengan tatapan yang lebih tenang tapi tak kalah tegas."Kau serius, Pelangi?!" Diana mendekat dengan cepat. "Kau lebih memilih pria yang sudah menghancurkanmu, yang sudah membuatmu menangis selama ini, daripada Damar yang jelas-jelas pria baik?"Pelangi menghela napas. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Diana, dengarkan aku—""Tidak!" Diana memotong dengan suara penuh emosi. "Aku tidak bisa diam saja melihatmu kembali ke dalam lingkaran yang sama! Apa kau tidak takut akan terluka lagi? Apa kau tidak ingat bagaima
"Kalian berdua," suara Damar terdengar datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Pelangi merasa bersalah. Akarsana tidak mundur. Ia justru menatap Damar dengan pandangan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah," kata Akarsana tegas. "Aku mencintai Pelangi, dan aku yakin dia masih mencintaiku." Pelangi mengerjapkan mata, dadanya berdebar kencang. Damar menatap Pelangi. "Apa yang dikatakannya benar?" Pelangi tercekat. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pelangi menatapnya, perasaan bersalah semakin menyesakkan dadanya. "Damar, aku...." Damar mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Pelangi. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri." Pelangi menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, pria ini benar-benar baik. Damar tersenyum lembut. "Jangan memaksakan diri, Pelangi. Aku ingin kau bahagia, dengan atau tanpa aku." Pelangi terisak pelan. Damar menghela napas panjang lalu menatap Akarsana. "Aku harap kau tidak
"Dan kau gagal." Akarsana menatapnya dalam, suaranya tenang tapi penuh keyakinan. "Aku tahu kau masih mencintaiku, Pelangi. Aku bisa melihatnya di matamu." Pelangi menggeleng dengan cepat, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan. "Tidak," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Akarsana. Akarsana mengulurkan tangannya, ingin menghapus air mata itu, tapi Pelangi mundur selangkah, membuat jarak di antara mereka. "Aku akan bertunangan dengan Damar," katanya dengan suara yang lebih tegas, seakan ia mengatakannya bukan hanya untuk Akarsana, tapi juga untuk dirinya sendiri. Akarsana terdiam, dadanya terasa sesak. "Lalu kenapa kau menangis?" tanyanya dengan suara lirih. Pelangi menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak ingin bertunangan dengan Damar, bahwa hatinya masih terikat pada Akarsana, tapi ia tidak bisa. Ia tidak boleh. Tanpa menjawab, ia berbalik dan membuka pintu, meninggalkan Akarsana yang masih berdiri di sana dengan ekspresi hancur.
Dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. Pelangi membeku di tempat. Hatinya berdebar begitu kencang saat matanya bertemu dengan mata Akarsana. Pria itu berdiri di antara kerumunan, mengenakan jas hitam yang tampak sedikit longgar di tubuhnya seperti seseorang yang kehilangan berat badan. Wajahnya lebih tirus dari yang terakhir kali Pelangi lihat. Namun, sorot matanya tetap sama. Penuh luka. Akarsana tidak bergerak, hanya menatapnya dalam diam. Pelangi mengeraskan hatinya dan segera mengalihkan pandangan. Ini tidak seharusnya terjadi. Akarsana tidak seharusnya ada di sini. Tapi pertanyaannya adalah siapa yang mengundangnya? Di tengah kebingungan, Diana tiba-tiba muncul di sampingnya dan berbisik pelan, "Aku tidak mengundangnya, Pelangi. Aku juga terkejut dia datang." Pelangi menelan ludah. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya. "Aku akan pura-pura tidak melihatnya," katanya lirih. Diana menatapnya ragu, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Namun, masalahnya adalah
Malam itu, Akarsana tidak bisa tidur. Kata-kata Sofia terus terngiang di kepalanya."Jika kau masih mencintainya, pergilah cari dia!"Akarsana tidak bisa menahan keinginan untuk mencari tahu. Ia bangkit dari tempat tidurnya, mengambil ponselnya, dan membuka kontak lama yang tak pernah ia hapus.Pelangi.Jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggil.Namun, ia ragu."Bagaimana jika dia tidak mau bicara denganku?""Bagaimana jika dia sudah bersama pria lain?"Pikiran itu membuat dadanya terasa sesak.Akhirnya, ia hanya menatap nama itu di layar ponselnya, sebelum akhirnya menghela napas dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku.Mungkin, Sofia benar. Ia harus menemui Pelangi. Bukan hanya untuk memohon kesempatan kedua, tetapi untuk mengatakan hal yang selama ini tidak sempat ia katakan, bahwa ia mencintainya.Bahwa ia menyesali semuanya. Dan bahwa ia ingin memperbaikinya.Keesokan paginya, Akarsana mendatangi rumah sakit dimana Ardian bekerja. Ardian adalah satu-satunya o