Ardian baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan dia ingat dengan surat yang dititipkan oleh Pelangi kepadanya, surat yang Pelangi tulis untuk Akarsana. Pria itu keluar dari ruangan khusus perawat, berjalan menuju ruangan rawat Akarsana sembari menenteng tas miliknya dan surat yang Pelangi siapkan di tangannya. Di depan ruangan rawat Akarsana, Ardian membuka pintu ruangan tersebut dan membuat seseorang di dalam sana menoleh melihat kedatangan Ardian. “Selamat sore!” sapa Ardian ramah pada Akarsana. “Sore.” Akarsana membalas melihat penampilan seorang lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya, Akarsana menebak bahwa lelaki itu merupakan seorang perawat. “Bagaimana kondisi Anda hari ini? Sudah merasa membaik?” tanya Ardian selayaknya perawat lain yang selalu bertanya kondisi dari pasien yang mereka rawat. “Sudah membaik.” Akarsana tersenyum. Ardian kemudian langsung memberikan surat yang sejak tadi ada di tangannya membuat Akarsana mengernyit kebingungan. “Saya mendapatk
“Apa kamu kenal gadis itu?” Anita sedang menunjukkan rekaman cctv pada Ginny. Wanita itu akhirnya memerhatikan seorang perempuan yang masuk ke dalam toko perhiasan, lalu berinteraksi dengan Anita sampai akhirnya mengeluarkan kalung dan menunjukkan kepada Anita. “Aku tidak mengenali dia tapi aku mengenali kalungnya, itu sebabnya aku penasaran sekali, Nit. Dia mengatakan apa aja sama kamu?” Ginny bertanya pada Anita. Ginny benar-benar tidak kenal dengan gadis itu, ia penasaran sekali dari mana gadis itu mendapatkan kalung berliontin ukiran nama Pelangi, karena seingat Ginny, kalung itu jelas ia masukkan ke dalam selimut bayi yang dikenakan Pelangi sewaktu masih bayi. "Dia cuma bilang mau jual kalung itu karena lagi butuh biaya. Aku kasihan sama dia soalnya kaya butuh banget, apalagi waktu bilang orang tuanya sakit, aku keinget orang tuaku sendiri,” jelas Anita mengingat apa yang gadis tersebut katakan. “Aku akan membeli kalung itu, Nit. Tolong kamu siapkan sama gelang yang buat ha
Prita sedang membuka semua laci di kamar Kayla. Tentu saja Prita sedang mencari semua perhiasan Kayla yang ia harap-harapkan. Ditambah ia ingin segera mendapatkan warisan saudara kembarnya supaya bisa bersenang-senang seperti dulu. Ketika sedang khawatir dan gelisah, pintu kamar Prita di buka oleh Renjana yang masuk dengan begitu terburu-buru. "Apa yang sedang Mama lakukan?" "Tentu saja mencari semua perhiasan Kayla yang dia sembunyikan. Mama sudah mendapatkan beberapa. Ayo bantu Mama mencarinya lagi." Renjana segera membantu ibunya. "Terus bagaimana, Ma tentang pertemuan dengan Pak Andy?" Prita menjelaskan semua yang terjadi tentang pertemuannya dengan pengacara Andy. Renjana kini berubah kesal dan gelisah. "Kita harus segera mendapatkan warisan itu, Ma. Tidak mungkin kita mengulur waktu lagi. Apalagi aku sudah memesan mobil dan berniat membayarnya dengan uang warisan itu." Prita dan Renjana berpikir keras, mereka seperti sedang menyusun rencana untuk ke depannya dan memang m
Pelangi berdandan serapi mungkin. Hari ini dia memutuskan untuk bertemu Kayla dan memang sengaja tidak menghubungi wanita itu dulu, karena Pelangi ingin memberikan kejutan untuknya. Dia membayangkan ekspresi terkejut wanita itu nanti dan tersenyum geli. Setelah puas berdandan, Pelangi keluar kamar dan melihat ayahnya tanpa kursi roda sedang duduk di sofa sambil menonton tv. “Ayah, aku pergi dulu. Tidak akan lama kok.” Pelangi berpamitan pada Danurdara membuat lelaki itu mengangguk dan mengizinkan anaknya untuk pergi. Pelangi pun segera keluar dari rumah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahu, dia juga sudah memesan ojek online untuk pergi ke tempat tujuannya. “Atas nama Pelangi.” Pelangi mengangguk saat seorang driver ojek online menghentikan sepeda motornya di hadapan pelangi yang memang sudah menunggu di depan rumah. Pelangi pun menerima helm yang diberikan abang ojek tersebut dan segera menaiki sepeda motornya. Perjalanan cukup memakan waktu sampai akhirnya sepeda m
Tanpa sadar, Pelangi sedari tadi diperhatikan oleh beberapa penumpang dari kursi lain. Beberapa di antaranya menyadari kalau Pelangi sedang menangis sembari menatap ke jendela bus. Pelangi mengusap kedua pipinya. Menyeka air matanya susah payah. Namun, Pelangi tidak bisa menghentikan air matanya yang terus meleleh hingga ia kelelahan. Pelangi mengarahkan kedua tangannya. Dia berusaha menahan diri agar tidak menangis, karena sekarang kedua mata Pelangi berubah menjadi bengkak. Jika dia pulang dalam keadaan begini, ayahnya pasti akan khawatir. Pelangi turun dari bus. Berjalan dengan lesu menuju ke rumah rusunnya berada. Gadis itu menarik tali tasnya, kepalanya menunduk sepanjang dia melangkah. Sesampainya di depan rumahnya, Pelangi melihat pintunya dibuka. Dari arah luar, Pelangi bisa melihat ayahnya sedang berada di ruang tamu, duduk menghadap ke arah pintu. "Aku pulang, Yah," sapa Pelangi. Danurdara menatap Pelangi. Sepasang mata bengkak Pelangi menjadi perhatian Danurdara
Hari demi hari berlalu, Akarsana sudah diperbolehkan untuk pulang. Beberapa kali Prita melihat ke arah Sofia seakan-akan tengah mengancam Sofia untuk tak menceritakan apa pun tentang penyebab kematian Kayla pada Akarsana. Sesaat kemudian, mereka sampai di rumah sakit dan melihat Akarsana yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya."Apa kamu senang sudah boleh pulang?" tanya Prita membuat Akarsana langsung menoleh dan melihat sosok Prita di sampingnya."Mama?" "Tidak rindu dengan Mama?" Akarsana tersenyum lalu memeluk Prita erat. Dia tentu saja merindukan Prita, ibunya. "Bagaimana kabarmu, Sofia?" "Aku baik-baik saja." Sofia menatap Akarsana dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Akarsana mengerutkan keningnya membuat Prita menyadari hal itu, lalu memberikan kode pada Sofia untuk segera berjalan lebih dulu.Sofia yang tahu akan kode itu hanya bisa diam dan menuruti apa yang Prita suruh. "Apa kamu sudah siap pulang?" tanya Prita lagi."Aku sudah merindukan kamarku."
“Ada apa, Sofia? Katakan padaku.” Sofia menatap Akarsana, kedua matanya kini berkaca-kaca. “Tante ....” Suaranya tercekat sulit sekali mengatakan, tetapi Akarsana harus mengetahui semua. “Tante Kayla udah nggak ada. Tante meninggal dunia, karena jatuh dari lantai atas.”Akarsana tentu saja terkejut dengan apa yang barusan dia dengar. Tidak mungkin, kenapa semua orang tidak mengatakan sejak awal kepadanya? Kenapa baru sekarang saat Akarsana kembali ke rumah, mereka mengatakan semuanya?“Kenapa kalian tidak memberitahu aku? Bahkan aku tidak ada saat pemakaman Tante, kenapa kalian malah merahasiakan semua ini?” Akarsana kecewa sekali. Kayla adalah tantenya dan sudah seharusnya Akarsana tahu, jika sesuatu terjadi kepada Kayla. Apalagi kepergian Kayla untuk selamanya, Akarsana malah tidak diberitahu oleh siapapun.“Maaf, Akarsana. Kamu juga tidak baik-baik aja, Mama ingin kamu fokus pada kesembuhan kamu lebih dulu.” Prita mengeluarkan suaranya, padahal jelas selama ini Prita tidak member
Amora membantu Akarsana membukakan pintu. Begitu pintu dibuka lebar, sepasang mata Akarsana membeliak. Dia pun menengok ke belakang menatap Amora yang kini menyilangkan tangan di depan dada. "Apa-apaan ini, Amora?" Hampir saja Akarsana memekik. "Apa lagi, Pak? Itu pekerjaan yang harus Anda kerjakan, Pak. Kenapa masih bertanya lagi?" jawab Amora santai. "Tapi kenapa sebanyak ini, Amora? Yang benar saja," keluh Akarsana. Bayangkan saja, Akarsana baru kembali ke kantor setelah cukup lama mengambil cuti karena sakit. Setibanya Akarsana ke kantor, dia diberi pekerjaan sangat banyak di atas mejanya. Di meja kerja Akarsana—ada banyak sekali tumpukan berkas, bahkan hampir tidak muat lagi. "Jangan banyak protes, Pak!" tegur Amora berani. "Kalau Bapak protes terus kebanyakan mengeluh, kapan Pak Akarsana menyelesaikan semua pekerjaan ini? Semakin Bapak banyak bengong, waktu Pak Akarsana akan terbuang sia-sia sebelum mengerjakan ini!" Akarsana menggeleng tanda heran. Dia mencibir A
Akarsana masih berdiri di ruang tengah, memandangi pintu yang baru saja tertutup di hadapan Pelangi dan Diana. Hatinya terasa kosong, seolah sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya baru saja pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali.Prita, yang masih berada di tempat yang sama, menghela napas panjang dengan ekspresi tidak sabar. "Apa yang kau lakukan, Akarsana? Kenapa kau membiarkan dia pergi begitu saja?"Akarsana tidak menjawab. Ia hanya menatap lantai, pikirannya penuh dengan suara-suara yang bergema di kepalanya. Kata-kata Pelangi, tatapan terluka wanita itu."Aku pikir mungkin ada bagian kecil dari pernikahan kita yang nyata."Mengapa hatinya terasa begitu sesak sekarang?Naomi, yang sejak tadi diam, melangkah mendekatinya dan menyentuh lengannya lembut. "Akarsana, kau sudah memilihku. Kau tidak perlu merasa bersalah."Akarsana mendongak dan menatap Naomi. Wanita itu tersenyum, mencoba meyakinkannya.Tetapi, di dalam hatinya, Akarsana tahu ada sesuatu yang salah. Ia pikir,
Pelangi berdiri di depan rumah yang pernah ia tinggali bersama Akarsana, hatinya terasa berat. Rumah itu kini hanya menjadi tempat penuh kenangan pahit, dan ia tidak ingin berlama-lama di sana. Namun, masih ada beberapa barangnya yang tertinggal, dan ia tidak ingin meninggalkan apa pun yang bisa menjadi alasan baginya untuk kembali lagi ke tempat ini.Di sampingnya, Diana berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh ketidaksenangan."Kak, kau yakin ingin masuk?" tanya Diana dengan nada tak setuju. "Aku bisa saja menyuruh seseorang mengambil barang-barangmu. Kau tidak perlu ke sini lagi."Pelangi tersenyum lemah. "Aku hanya ingin memastikan semuanya sudah kubawa. Setelah ini, aku tidak akan punya alasan lagi untuk kembali."Diana mendesah, tetapi akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi kita harus cepat."Mereka masuk ke dalam rumah, suasana di dalam terasa berbeda—lebih dingin, lebih kosong. Tidak ada lagi kehangatan yang dulu pernah Pelangi coba ciptakan di rumah ini.Mereka seger
Malam semakin larut, tapi rumah Danurdara masih dipenuhi dengan ketegangan. Setelah tangisnya mulai mereda, Pelangi duduk di sofa dengan mata sembab, tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang dibuat oleh Diana. Namun, teh itu tetap utuh, ia bahkan tidak punya tenaga untuk menyesapnya.Danurdara duduk di hadapannya, menatap putrinya dengan sorot penuh keprihatinan. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi sejak awal. Pernikahan Pelangi dan Akarsana memang bukan didasarkan pada cinta, dan sekarang terbukti bahwa hanya Pelangi yang benar-benar menyerahkan hatinya.“Jadi, kau ingin bagaimana sekarang?” tanya Danurdara dengan nada hati-hati.Pelangi menatap cangkirnya kosong, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, Ayah.”Danurdara menghela napas panjang. “Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau.”Diana yang duduk di samping Pelangi langsung menimpali, “Kak Pelangi tidak akan kembali ke rumah itu, kan? Setelah apa yang mereka lakukan padamu?”Pelangi terdiam sejenak, lalu akhirnya
Pelangi hampir tidak bisa merasakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Seluruh dunianya terasa goyah, seolah gravitasi tidak lagi berpihak padanya. Air mata masih terus mengalir, membasahi pipinya yang pucat.Begitu pintu kamar terbuka, Diana yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh. Matanya melebar saat melihat kondisi kakaknya.“Pelangi?”Pelangi tidak menjawab. Ia berjalan masuk dengan langkah gontai, lalu duduk di pinggir tempat tidur, tangannya gemetar saat mencoba menghapus air mata yang terus jatuh.Diana buru-buru bangkit dan berlutut di hadapan Pelangi, menggenggam tangannya dengan cemas. “Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis seperti ini?”Pelangi menggeleng pelan, tapi isakannya semakin terdengar jelas. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan suara tangisnya, tetapi tetap saja gagal.Diana semakin panik. Ia tidak pernah melihat Pelangi seperti ini. Kakaknya selalu terlihat kuat, selalu berusaha tegar. Tapi sekarang, Pelangi tampak begitu rapuh, begitu hancur.
Akarsana berdiri terpaku di balkon, menatap punggung Pelangi yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk mengejar, tetapi tubuhnya tetap diam.Ia menghela napas berat. Apa yang sebenarnya ia inginkan?Naomi adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ingin ia nikahi dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah perasaan itu masih sama?Lalu ada Pelangi. Istrinya. Wanita yang selama ini selalu berada di sisinya, meskipun ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Akarsana sadar bahwa ia takut kehilangannya.Tapi apakah itu cinta? Atau hanya perasaan bersalah?***Pelangi masuk ke dalam kamar dengan napas tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena emosinya begitu membuncah. Matanya panas, tapi ia menolak menangis.Ia sudah cukup menangis selama ini.Pelangi menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita yang lelah, terluka, tetapi juga penuh dengan kemarahan.Kenapa ia harus bertahan dalam p
Pelangi berdiri di luar ruangan dengan tubuh menegang. Napasnya tercekat saat melihat Naomi mencium suaminya. Jantungnya berdegup kencang, seolah menolak kenyataan yang terbentang di depan matanya.Darah di tubuhnya terasa dingin, tetapi ia tetap berdiri di sana, menunggu dan berharap Akarsana akan menolak.Di dalam ruangan, Akarsana akhirnya tersadar dan segera mendorong tubuh Naomi menjauh.“Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar marah, tetapi juga sedikit terguncang.Naomi menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”Akarsana mengusap wajahnya dengan frustasi. “Naomi, kau tidak bisa begitu saja kembali dan berharap semuanya sama seperti dulu.”Naomi tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Aku masih mencintaimu, Akarsana. Bukankah kau juga begitu?”Akarsana terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Naomi yakin bahwa pria itu masih menyimpan perasaan untuknya.Tapi sebelum Akarsana bisa menjaw
Pelangi mengusap wajahnya, mencoba menenangkan debaran cemas di dadanya. “Aku tidak tahu, Diana. Apa yang harus aku lakukan?”Diana menggenggam tangan kakaknya lebih erat. “Pertama-tama, kau harus membuka mata. Jangan membiarkan Naomi mengambil kesempatan. Dia tinggal di rumahmu, itu sudah cukup buruk. Jangan biarkan dia lebih jauh masuk ke dalam pernikahanmu.”Pelangi mendesah, menatap kosong ke meja di hadapannya. “Aku sudah mencoba menjaga jarak darinya, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di rumahku sendiri. Akarsana dan Naomi mereka punya begitu banyak kenangan bersama. Aku hanya datang belakangan.”Diana menatap kakaknya dengan sorot tajam. “Lalu kau mau membiarkan dia merebut suamimu begitu saja?”Pelangi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan yang seperti ini, Diana.”Diana mengembuskan napas kasar. “Kak, kalau kau menyerah, berarti kau benar-benar memberikan Akarsana pada Naomi. Aku tahu kau mencintainya, kan?”Pelangi terdiam. Ya,
Di rumah sakit, Renjana masih terbaring koma. Mesin-mesin medis berbunyi pelan, satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup. Prita duduk di sampingnya, menggenggam tangan anaknya dengan air mata yang terus mengalir."Kamu harus bangun, Nak. Ibu ada di sini," bisiknya dengan suara bergetar.Di belakangnya, Akarsana berdiri dengan ekspresi dingin. Berbeda dengan ibunya yang larut dalam kesedihan, ia tampak lebih fokus pada sesuatu yang lain."Dokter bilang dia bisa sadar kapan saja," kata Akarsana pelan. "Tapi kita harus siap jika sesuatu terjadi."Prita menoleh dengan mata penuh harap. "Kau pikir dia akan baik-baik saja?"Akarsana tidak langsung menjawab. ***Ruang keluarga itu dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung. Pelangi duduk di sofa dengan segelas teh di tangannya, sementara Diana bersandar dengan bantal di punggungnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.“Aku masih tidak percaya Renjana mengalami kecelakaan itu,” ujar Pelangi, mengaduk teh tanpa minat.Diana terkekeh, su
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b