Masuk ke dalam rumah, Renjana langsung mencari keberadaan sang Mama. Tadi Prita menelepon dengan suara gemetar dan seperti tengah menangis membuat Renjana buru-buru pergi dari Kafe. Sepanjang perjalanan tadi, Renjana khawatir dengan mamanya, karena tidak biasa sekali mamanya menelepon sampai menangis seperti tadi. Sekarang sampai di rumah, kondisi rumah begitu sepi sekali. Tidak terlihat asisten rumah tangganya ataupun Kayla, tantenya yang biasa ada di sekitar ruangan tengah atau dapur. Renjana segera menaiki undakan tangga menuju kamar Prita, berpikir kalau mamanya ada di dalam kamar sekarang. Tangannya membuka pintu kamar Prita dan melihat sang Mama sedang duduk di tepi ranjang dengan penuh kegelisahan. Prita yang menyadari seseorang baru saja masuk ke kamar yang ternyata adalah Renjana langsung saja berdiri dan menghampiri anaknya. Sejak tadi Prita sudah sangat ketakutan, karena melihat Kayla yang tergeletak tak sadarkan diri apalagi Sofia sampai marah kepadanya tadi dan bertany
Prita merasa lega, karena sudah menceritakan semuanya pada Renjana. Mereka akan merahasiakan apa yang sebenarnya terjadi dan sama-sama berharap sesuatu yang buruk terjadi pada Kayla. Sekarang keduanya masih berada di dalam kamar Prita agar tidak ada seorang pun yang mendengarkan percakapan mereka. “Apa Sofia sudah kasih kabar sama Mama?” tanya Renjana. Prita menggeleng. “Belum ada kabar mungkin masih mendapatkan penanganan dari dokternya,” balas Prita. “Kalau begitu kita tunggu saja.” Renjana tidak menghubungi Sofia dan memilih untuk pura-pura tidak tahu saja dengan apa yang terjadi kepada Kayla. Lagipula yang Renjana pikirkan sejak tadi adalah berharap bibinya mengalami hal buruk dan dia bisa memiliki harta yang ditinggalkan oleh Kayla nantinya, Renjana ingin bebas melakukan apapun yang dia inginkan dengan apa yang dia miliki, jujur saja selama masih ada Kayla, hidupnya tidak nyaman sekali. “Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan?” tanya Prita kepa
"Tidak ada yang tahu tentang kebenaran ini, Om, tapi saya yakin yang salah saya lihat tidak salah. Perempuan penjual bunga itu sangat mirip Josefina dan saya rasa mereka bukan hanya sekadar mirip saja," ujar Ginny. "Pasti ada yang menukar bayi Josefina tanpa Om sadari." Ardiyanto menghela napas. Di kamar, ia sedang duduk sendiri sembari mengingat obrolannya bersama Ginny. Jujur saja Ardiyanto tidak berani berharap lebih. Ia menanamkan di pikirannya kalau perempuan yang Ginny lihat mirip dengan Josefina hanya sekadar mirip saja. Ada satu kalimat yang terngiang di telinga Ardiyanto tentang asumsi Ginny. Lelaki tua itu kembali menghembuskan napas. Ardiyanto sulit menerima asumsi itu. Kalau pun bayi Josefina ditukar oleh orang, lalu siapa pelakunya? Apa motifnya? "Pa," panggil Marien mengetuk pintu. "Papa kenapa tidak keluar untuk makan? Mama sudah selesai menata hidangan. Ayo makan dulu, Pa! Nanti Papa bisa sakit," bujuk Marien. "Mama duluan saja. Nanti Papa akan menyusul ke meja
Hari demi hari berlalu. Semakin lama kondisi kesehatan Akarsana dan juga Pelangi semakin membaik, bahkan Pelangi sudah diperbolehkan untuk pulang hari ini. Sementara Akarsana masih harus menunggu kabar dari dokternya. Sekarang Akarsana kedatangan mama dan adik lelakinya, Renjana ketika hari sudah sore. Mereka berdua menjenguk Akarsana di rumah sakit datang secara bersama-sama ke ruangan lelaki itu. Akarsana tentu saja senang melihat keluarganya datang ke sini karena dia merasa bosan hanya sendirian saja sejak tadi. “Bagaimana sekarang? Apa yang kamu rasakan?” tanya Prita kepada Akarsana. Saat berencana menjenguk Akarsana di rumah sakit, Prita sudah mengatakan kepada Renjana agar tidak membahas apapun dulu kecuali tentang kondisi Akarsana, ia juga mengancam anak perempuannya agar tidak mengadu kepada Akarsana tentang kebenaran perihal meninggalnya Kayla. “Sudah membaik, Ma. Aku hanya menunggu kabar dari dokter untuk mengetahui kapan aku diperbolehkan untuk pulang,” balas Akarsa
Ardian baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan dia ingat dengan surat yang dititipkan oleh Pelangi kepadanya, surat yang Pelangi tulis untuk Akarsana. Pria itu keluar dari ruangan khusus perawat, berjalan menuju ruangan rawat Akarsana sembari menenteng tas miliknya dan surat yang Pelangi siapkan di tangannya. Di depan ruangan rawat Akarsana, Ardian membuka pintu ruangan tersebut dan membuat seseorang di dalam sana menoleh melihat kedatangan Ardian. “Selamat sore!” sapa Ardian ramah pada Akarsana. “Sore.” Akarsana membalas melihat penampilan seorang lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangannya, Akarsana menebak bahwa lelaki itu merupakan seorang perawat. “Bagaimana kondisi Anda hari ini? Sudah merasa membaik?” tanya Ardian selayaknya perawat lain yang selalu bertanya kondisi dari pasien yang mereka rawat. “Sudah membaik.” Akarsana tersenyum. Ardian kemudian langsung memberikan surat yang sejak tadi ada di tangannya membuat Akarsana mengernyit kebingungan. “Saya mendapatk
“Apa kamu kenal gadis itu?” Anita sedang menunjukkan rekaman cctv pada Ginny. Wanita itu akhirnya memerhatikan seorang perempuan yang masuk ke dalam toko perhiasan, lalu berinteraksi dengan Anita sampai akhirnya mengeluarkan kalung dan menunjukkan kepada Anita. “Aku tidak mengenali dia tapi aku mengenali kalungnya, itu sebabnya aku penasaran sekali, Nit. Dia mengatakan apa aja sama kamu?” Ginny bertanya pada Anita. Ginny benar-benar tidak kenal dengan gadis itu, ia penasaran sekali dari mana gadis itu mendapatkan kalung berliontin ukiran nama Pelangi, karena seingat Ginny, kalung itu jelas ia masukkan ke dalam selimut bayi yang dikenakan Pelangi sewaktu masih bayi. "Dia cuma bilang mau jual kalung itu karena lagi butuh biaya. Aku kasihan sama dia soalnya kaya butuh banget, apalagi waktu bilang orang tuanya sakit, aku keinget orang tuaku sendiri,” jelas Anita mengingat apa yang gadis tersebut katakan. “Aku akan membeli kalung itu, Nit. Tolong kamu siapkan sama gelang yang buat ha
Prita sedang membuka semua laci di kamar Kayla. Tentu saja Prita sedang mencari semua perhiasan Kayla yang ia harap-harapkan. Ditambah ia ingin segera mendapatkan warisan saudara kembarnya supaya bisa bersenang-senang seperti dulu. Ketika sedang khawatir dan gelisah, pintu kamar Prita di buka oleh Renjana yang masuk dengan begitu terburu-buru. "Apa yang sedang Mama lakukan?" "Tentu saja mencari semua perhiasan Kayla yang dia sembunyikan. Mama sudah mendapatkan beberapa. Ayo bantu Mama mencarinya lagi." Renjana segera membantu ibunya. "Terus bagaimana, Ma tentang pertemuan dengan Pak Andy?" Prita menjelaskan semua yang terjadi tentang pertemuannya dengan pengacara Andy. Renjana kini berubah kesal dan gelisah. "Kita harus segera mendapatkan warisan itu, Ma. Tidak mungkin kita mengulur waktu lagi. Apalagi aku sudah memesan mobil dan berniat membayarnya dengan uang warisan itu." Prita dan Renjana berpikir keras, mereka seperti sedang menyusun rencana untuk ke depannya dan memang m
Pelangi berdandan serapi mungkin. Hari ini dia memutuskan untuk bertemu Kayla dan memang sengaja tidak menghubungi wanita itu dulu, karena Pelangi ingin memberikan kejutan untuknya. Dia membayangkan ekspresi terkejut wanita itu nanti dan tersenyum geli. Setelah puas berdandan, Pelangi keluar kamar dan melihat ayahnya tanpa kursi roda sedang duduk di sofa sambil menonton tv. “Ayah, aku pergi dulu. Tidak akan lama kok.” Pelangi berpamitan pada Danurdara membuat lelaki itu mengangguk dan mengizinkan anaknya untuk pergi. Pelangi pun segera keluar dari rumah dengan tas kecil yang sudah tersampir di bahu, dia juga sudah memesan ojek online untuk pergi ke tempat tujuannya. “Atas nama Pelangi.” Pelangi mengangguk saat seorang driver ojek online menghentikan sepeda motornya di hadapan pelangi yang memang sudah menunggu di depan rumah. Pelangi pun menerima helm yang diberikan abang ojek tersebut dan segera menaiki sepeda motornya. Perjalanan cukup memakan waktu sampai akhirnya sepeda m
Akarsana berdiri terpaku di balkon, menatap punggung Pelangi yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang berteriak untuk mengejar, tetapi tubuhnya tetap diam.Ia menghela napas berat. Apa yang sebenarnya ia inginkan?Naomi adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ingin ia nikahi dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, apakah perasaan itu masih sama?Lalu ada Pelangi. Istrinya. Wanita yang selama ini selalu berada di sisinya, meskipun ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya. Dan sekarang, untuk pertama kalinya, Akarsana sadar bahwa ia takut kehilangannya.Tapi apakah itu cinta? Atau hanya perasaan bersalah?***Pelangi masuk ke dalam kamar dengan napas tersengal, bukan karena lelah, tetapi karena emosinya begitu membuncah. Matanya panas, tapi ia menolak menangis.Ia sudah cukup menangis selama ini.Pelangi menatap bayangannya di cermin. Seorang wanita yang lelah, terluka, tetapi juga penuh dengan kemarahan.Kenapa ia harus bertahan dalam p
Pelangi berdiri di luar ruangan dengan tubuh menegang. Napasnya tercekat saat melihat Naomi mencium suaminya. Jantungnya berdegup kencang, seolah menolak kenyataan yang terbentang di depan matanya.Darah di tubuhnya terasa dingin, tetapi ia tetap berdiri di sana, menunggu dan berharap Akarsana akan menolak.Di dalam ruangan, Akarsana akhirnya tersadar dan segera mendorong tubuh Naomi menjauh.“Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar marah, tetapi juga sedikit terguncang.Naomi menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin kau tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”Akarsana mengusap wajahnya dengan frustasi. “Naomi, kau tidak bisa begitu saja kembali dan berharap semuanya sama seperti dulu.”Naomi tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Aku masih mencintaimu, Akarsana. Bukankah kau juga begitu?”Akarsana terdiam. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat Naomi yakin bahwa pria itu masih menyimpan perasaan untuknya.Tapi sebelum Akarsana bisa menjaw
Pelangi mengusap wajahnya, mencoba menenangkan debaran cemas di dadanya. “Aku tidak tahu, Diana. Apa yang harus aku lakukan?”Diana menggenggam tangan kakaknya lebih erat. “Pertama-tama, kau harus membuka mata. Jangan membiarkan Naomi mengambil kesempatan. Dia tinggal di rumahmu, itu sudah cukup buruk. Jangan biarkan dia lebih jauh masuk ke dalam pernikahanmu.”Pelangi mendesah, menatap kosong ke meja di hadapannya. “Aku sudah mencoba menjaga jarak darinya, tapi aku selalu merasa seperti orang luar di rumahku sendiri. Akarsana dan Naomi mereka punya begitu banyak kenangan bersama. Aku hanya datang belakangan.”Diana menatap kakaknya dengan sorot tajam. “Lalu kau mau membiarkan dia merebut suamimu begitu saja?”Pelangi menggeleng pelan. “Aku tidak tahu apakah aku mampu bertahan dalam pernikahan yang seperti ini, Diana.”Diana mengembuskan napas kasar. “Kak, kalau kau menyerah, berarti kau benar-benar memberikan Akarsana pada Naomi. Aku tahu kau mencintainya, kan?”Pelangi terdiam. Ya,
Di rumah sakit, Renjana masih terbaring koma. Mesin-mesin medis berbunyi pelan, satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup. Prita duduk di sampingnya, menggenggam tangan anaknya dengan air mata yang terus mengalir."Kamu harus bangun, Nak. Ibu ada di sini," bisiknya dengan suara bergetar.Di belakangnya, Akarsana berdiri dengan ekspresi dingin. Berbeda dengan ibunya yang larut dalam kesedihan, ia tampak lebih fokus pada sesuatu yang lain."Dokter bilang dia bisa sadar kapan saja," kata Akarsana pelan. "Tapi kita harus siap jika sesuatu terjadi."Prita menoleh dengan mata penuh harap. "Kau pikir dia akan baik-baik saja?"Akarsana tidak langsung menjawab. ***Ruang keluarga itu dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung. Pelangi duduk di sofa dengan segelas teh di tangannya, sementara Diana bersandar dengan bantal di punggungnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.“Aku masih tidak percaya Renjana mengalami kecelakaan itu,” ujar Pelangi, mengaduk teh tanpa minat.Diana terkekeh, su
Diana menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya sebelum berbicara. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan penuh perhatian, menunggu penjelasan."Aku akan menceritakan semuanya," katanya, suaranya masih sedikit bergetar.Pelangi duduk di sampingnya, memberikan dukungan diam-diam.Diana meremas jemarinya sebelum akhirnya mulai bercerita.***"Tiga hari yang lalu, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang memintaku datang ke sebuah hotel di pusat kota. Katanya, ada seseorang yang ingin berbicara denganku soal kasus yang sedang aku ajukan ke polisi. Ya, aku melaporkan Renjana ke polisi karena dia sudah mendorongku dari tangga."Diana menghela napas, lalu melanjutkan."Aku merasa curiga, tapi aku tetap pergi. Aku pikir, mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan informasi lebih banyak tentang Renjana. Jadi, aku datang ke hotel itu."Semua orang tetap diam, mendengarkan dengan saksama."Ketika aku tiba di kamar hotel yang disebutkan dalam pesan, ruangan itu kosong. Tapi b
Pelangi berjalan menuju taman belakang, mencoba menenangkan pikirannya. Udara sore yang sejuk seharusnya bisa meredakan kegelisahannya, tetapi pikirannya masih dipenuhi kata-kata Naomi. "Aku kembali untuk memastikan sesuatu yang seharusnya tidak pernah berubah." Apa maksudnya? Apa Naomi benar-benar berpikir bahwa ia masih memiliki tempat di sisi Akarsana? Pelangi meremas jemarinya sendiri. Tidak, ia tidak boleh membiarkan dirinya dikendalikan oleh ketakutan, tapi bagaimana bisa, jika bahkan ibu mertuanya tampak lebih memilih Naomi? "Kenapa kau terlihat begitu muram?" Pelangi tersentak dan menoleh. Akarsana berdiri di belakangnya, menatapnya dengan ekspresi lembut. Ia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia hanya menatap suaminya, mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. Bukti bahwa Akarsana tetap di sisinya. Bukti bahwa perasaannya tidak akan goyah hanya karena Naomi kembali. "Kau diam saja," kata Akarsana, berjalan mendekat. "Apa ada yang mengganggumu?" Pelangi menghela napa
Pelangi duduk di meja makan, mengaduk kopinya dengan tatapan kosong. Pagi ini terasa dingin, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena hawa yang mengelilinginya.Ketika langkah kaki terdengar, ia mendongak dan melihat Naomi berjalan memasuki ruang makan dengan percaya diri, mengenakan gaun sutra tipis yang terlalu mencolok untuk pagi hari."Selamat pagi!" sapanya dengan senyum yang dipaksakan manis.Pelangi tidak menjawab. Ia hanya menegakkan punggungnya, mencoba mempertahankan harga dirinya.Naomi tertawa kecil. "Kenapa diam saja? Apa kau marah karena aku di sini?"Pelangi menggenggam cangkir kopinya erat. "Aku tidak punya alasan untuk marah. Aku hanya heran kenapa seseorang yang seharusnya tidak punya tempat di rumah ini masih saja berkeliaran."Naomi tersenyum, lalu duduk di kursi di seberang Pelangi. "Sayang sekali, sepertinya ibu mertuamu tidak berpikir begitu."Pelangi menahan napas. Ia tahu ibu mertuanya memang menyukai Naomi sejak dulu, bahkan lebih dari dirinya. Itu yang m
Dengan gaun tidurnya yang elegan, wanita itu berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut. "Kita perlu bicara," katanya pelan. Akarsana mengepalkan tangannya. Ia tahu ini hanya awal dari kekacauan yang lebih besar. Naomi menutup pintu perlahan dan berjalan mendekat. Dengan gaun tidurnya yang elegan dan rambut panjangnya yang tergerai sempurna, ia terlihat seperti ilusi dari masa lalu. "Akarsana," ucapnya lembut. "Kita perlu bicara." "Aku tidak punya urusan lagi denganmu," jawab Akarsana tegas. Naomi tersenyum tipis, lalu duduk di sofa seolah itu masih rumahnya. "Tidak bisakah kita berbicara sebagai teman lama?" Akarsana tertawa sinis. "Teman lama? Kau pikir setelah apa yang kau lakukan, aku masih bisa menganggapmu teman?" Naomi menunduk, berpura-pura merasa bersalah. "Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku menyesal." "Menyesal?" Akarsana menatapnya tajam. "Kau meninggalkanku demi pria lain, Naomi. Kau menghancurkan segalanya, dan sekarang kau kembali seolah-olah tidak terj
Pelangi ingin mempercayainya, tapi senyuman itu tidak sepenuhnya meyakinkannya. Dengan perasaan tak menentu, ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, di dalam hatinya, ada bisikan kecil yang mulai mengusiknya. Apakah ini ada hubungannya dengan Naomi? Sebenarnya, sejak subuh tadi, Akarsana sudah merasa kepalanya berat. Begitu ia membuka matanya, ia menemukan pesan dari Naomi—sebuah foto lama mereka berdua. Dalam foto itu, Naomi ada di dalam pelukannya, tertawa bahagia. Itu adalah kenangan mereka dulu, saat semuanya masih terasa sempurna. Dan yang lebih mengganggunya adalah pesan yang menyertainya: "Kenangan tidak pernah benar-benar hilang, kan?" Akarsana mengembuskan napas berat. Ia tidak mengerti apa yang sedang direncanakan Naomi, tetapi ia tahu satu hal—wanita itu tidak datang ke rumah ini tanpa alasan. Dengan cepat, ia menghapus pesan itu. Ia tidak ingin Pelangi melihatnya dan salah paham. Namun, tanpa ia sadari, tindakannya justru menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar