Alya dan Raffi yang mendapati sikap aneh Evan itu pun terdiam. Sama-sama menatap punggung yang semakin menghilang dari arah pandangnya itu. Merasa sikap yang sedang Evan lakukan itu sangat aneh menurut keduanya.Raffi menoleh dan menatap bingung pada Alya. Segala pertanyaan itu pun berhasil muncul yang semakin membuat pria yang baru mengenal Alya itu semakin penasaran. “Pak Evan kenapa?” tanya Raffi dalam kebingungannya. Berharap dia mendapat jawaban dari Alya atas sikap yang sedang Evan tunjukkan kepadanya itu. Alya yang ditanya seperti itu oleh Raffi pun bingung. Sebab dia pun tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa pada Raffi atas kalimat yang pria itu tanyakan kepadanya. Tak mungkin juga Alya menjawab, karena sebenarnya dia pun bingung sebab apa yang membuat Evan bersikap seperti itu kepadanya. “Aku juga nggak tahu, Mas,” jawab Alya sekenanya.Alya tersenyum canggung kepada Raffi. Sebab, tidak jadi mengajak sarapan bersama atas masakan yang telah dia masak meski hanya
“Tuh. Pak Evan datang pagi-pagi dengan wajah tak bersahabatnya tadi. Tumben sekali dia datang bawa kotak makanan, tetapi saat masuk dan kami sapa hormat dia. Malah dia buang kotak makannya itu ke tong sampah,” kata salah satu karyawan wanita yang sebelumnya bergosip pada salah satu rekan kerjanya itu. Raffi yang mendengar kabar dari sang rekan itu pun terkejut. Pandangan matanya mengikuti ke mana arah pandangan rekan wanitanya itu menuju ke tong sampah yang tak jauh dari mereka. Apa yang mereka bilang itu ternyata benar adanya. Kotak makan yang Alya bawa sebelumnya tadi telah berada di dalam tong sampah tersebut.Raffi mendekat, tangannya pun terulur guna bisa menggapai kotak yang sempat dia pegang sebelumnya. JIka Evan membuang kotak bekal Alya dari dirinya. Lalu untuk apa pria itu justru malah membuang kotak makan yang seharusnya isinya dia nikmati bersama dengan Alya. “Pak. Buat apa diambil. Itu kan sudah dibuang oleh Pak Evan. Tadi beliau bilang jangan sampai ada yang berani me
Sinar matahari pagi menembus jendela kantor, menerangi ruangan kerja Alya yang penuh dengan tumpukan kain dan sketsa desain. Alya, seorang desainer muda berbakat di sebuah perusahaan fashion ternama di Tangerang, sedang sibuk dengan rancangan desain pakaian terbaru yang sedang ditunggu oleh Heru, atasannya.Hari ini, Alya harus menyelesaikan rancangan desain untuk sebuah koleksi baju musim panas, pesanan internasional. Deadline sudah semakin dekat, dan Alya masih harus menyelesaikan banyak detail kecil.Dia yang harus menghabiskan waktu cuti kemarin, berhasil membuat pekerjaannya itu harus tertunda. Dan kini yang sedang terjadi pada Alya adalah dia yang sedang dikejar oleh permintaan Heru yang meminta cepat untuk diselesaikan. Selain berkutat pada sketsa dan kain yang ada di atas meja tak jauh darinya. Alya juga berkutat dengan rancangan desain pakaian di layar komputernya. Deadline semakin dekat, dan ia masih belum puas dengan hasil karyanya. Ia mencoba berbagai kombinasi warna, bah
Alya terdiam, terperangkap dalam kebingungan. Pertanyaan Vira tentang siapa yang mengambil tempat sarapan paginya itu bagaikan bom waktu yang siap meledak. Dia tidak ingin membohongi Vira, tapi dia juga tidak ingin mengungkapkan rahasia yang disembunyikannya.Menjawab siapa yang mengambil tempat makannya pagi tadi, sama saja memancing rasa ingin tahu Vira atas apa yang terjadi padanya itu. Tidak ingin berbohong, tapi Alya harus melakukan itu semua dari Vira. "Alya, jawab aku. Siapa yang mengambil tempat makanmu itu? Apa ada kejadian yang belum aku tahu?” tanya Vira dengan tatapan menelisik menunggu jawaban dari sang teman Vira dapat melihat sesuatu yang sedang berusaha Alya tutupi dari dirinya. Dia sangat merasa, ada sesuatu yang sedang Alya sembunyikan dari dirinya. Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Salah menjawab, akan berakibat fatal untuknya, Evan dan juga keluarganya. "Aku tidak tahu siapa yang mengambil tempat makanku Mbak. Pagi tadi, aku tinggal di
Kalimat yang Alya katakan itu terputus saat mendapati seseorang muncul dari balik punggung Heru, Alya sangat mengenalnya. Alya tak menyangka jika ternyata Pak Heru dan juga Evan makan siang di tempat yang sama dengannya. Tatapan mata yang begitu tajam yang Alya dapatkan dari Evan saat melihatnya bersama dengan orang lain yang tak lain adalah pria yang berhasil membuat suasana hati Evan itu buruk pagi tadi. “ya, tadi pagi Pak Evan yang minta untuk teman buat ketemu klien karena harus ada desain rancangan dan juga biaya yang harus disepakati. Jadi, saya yang menemani beliau dan ada berita bagus buat kalian berdua.” Heru menatap dengan senyum yang berbinar bergantian pada Alya dan juga Vira, bawahannya. Alya dan juga Vira yang mendengar kabar bagus dari sang atasan itu pun saling pandang satu sama lain. Alya dan Vira belum mengerti maksud apa yang Heru katakan pada mereka itu. “Pak.”Raffi menyapa dengan senyum ramah pada Evan yang sejak tadi diam dengan wajah kesal yang ditunjukka
Alya memasuki unit apartemen Evan dengan wajah lelahnya. Seharian berputar dengan rancangan desain berhasil membuat pikirannya sangat erat. Tapi saat dia melakukan kakinya ke dalam unit Evan kemudian merasa seperti ada aura yang tak biasaKetegangan udara yang begitu mencekam, aura tak bersahabat mah dapat ia rasakan. Lalu, dengan tiba-tiba dia merasakan sebuah tarikan yang begitu kasar dan membuatnya terdorong masuk ke Unit apartemen yang masih gelap dan sunyi sebab lampu penerangan belum menyala.“Akh!” Sebuah pekikan itu pun keluar dari bibir Alya. Dia tersentak kaget, nyaris kehilangan keseimbangan, matanya membelalak saat lampu apartemen itu tiba-tiba menyala dengan terang.Alia dapat menyaksikan sendiri raut wajah penuh amarah tak bersahabat dari pria Arogan yang menjadi suaminya itu.“Pak, anda sudah pulang?” tanya Alya dengan takut-takut saat mendapati aura tak bersahabat dari sang suami.Tidak ada jawaban yang Alya dengar dari pria yang terlihat penuh amarah itu.Alya mengump
“Tolong, jangan begini Pak. Bapak bisa minta baik-baik dan saya akan berikan untuk Bapak dengan ikhlas. Tapi tolong … jangan begini.” Alya yang mendapat perlakuan kasar yang lebih tak manusiawi dari sata ia dapatkan pertama kali Evan menggaulinya itu pun mencoba untuk memohon pada sang suami. Berharap, Evan bisa memperlakukannya dengan jauh lebih baik. Buka dengan menyiksa lahir dan batinnya itu secara bersamaan. Sungguh. Alya adalah wanita yang memiliki sisi lemah seperti wanita yang lainnya. Selama ini sudah terlalu kuat bagi dirinya untuk harus menghadapi segala ujian hidup yang berhasil membuat dirinya terpaksa kuat. Dan kini, keteguhan dan dirinya yang selalu bersikap kuat harus dihancurkan oleh tindakan yang Evan lakukan secara tak manusiawi itu terhadap dirinya yang secara sah menurut agama adalah istri dari pria yang berhasil menginjak-injak harga dirinya. “Apa kau bilang? Saya tak butuh meminta baik-baik padamu, Jalang. Saya bisa melakukan apapun atas tubuhmu ini, Hah!”
Alya membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa begitu berat seperti ditindih oleh bongkahan batu yang begitu besar. Tubuhnya terasa sakit semua, remuk redam yang kini Alya rasakan setelah mata kembali terbuka sempurna. Seperti dihantam oleh bongkahan berulang kali. Rasa perih di area intimnya semakin Debaran rasa yang begitu menggebu dan mengharu biru dalam hatinya itu kembali menyesakkan dadanya. Memori itu kembali berputar di kepalanya, mengingatkannya pada kejadian mengerikan yang Evan lakukan semalam. Sungguh, itu adalah mimpi buruk baginya. Seandainya Evan meminta dengan cara yang baik pun Alya pasti akan memberikan pelayanannya. Evan. Nama itu bagaikan racun di telinganya. Pria yang dicintainya, yang dipercayainya, ternyata telah melakukan hal keji terhadapnya. Alya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa Evan melakukan hal itu padanya?Alya mencoba bangkit dari kasurnya, namun rasa sakit yang luar biasa membuatnya meringis. Tubuhnya terasa lemas,
“Al, saudara suamiku mau bantu untuk semua proses izin kamu pergi. Apa kau yakin memutuskan untuk pergi dari Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik kamu?” tanya Vira beruntun setelah dua hari Alya berusaha keras memikirkan rencana untuk dirinya dan terutama untuk anak yang ada dalam kandungan Alya. Alya yang baru duduk di kursi kerjanya itu mendongak, menatap sungguh pada Vira yang tiba-tiba meragukannya. “Aku yakin, Mbak. Ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku tak mungkin untuk berada di Indonesia. Jika ada jalan ke luar negeri dan kerja yang sudah pasti. Lalu, untuk apa aku harus bingung untuk menunda? Bukankah ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula, kesempatan di sana juga sesuai dengan passion Alya kan?” Alya bersungguh dengan rencana yang sudah disiapkan olehnya itu. Tak ingin memanfaatkan kesempatan, maka dia akan menggunakan kesempatan emas itu sebaik-baiknya.“Kamu benar. Memang itu kesempatan yang sangat baik untuk kamu. Tapi, bagaimana dengan ibu dan
Alya membuka matanya perlahan. Kegelapan subuh menyelimuti kamar yang lebih besar dari kamar miliknya. Ditemani sinar lampu kamar yang meremang membuat Alya bangun dari tidurnya dengan perlahan. Alya bangun dengan perlahan, tak ingin mengganggu Evan yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafas Evan yang teratur terdengar di sebelahnya. Dengan hati-hati, Alya bergeser dari tempat tidur, tak ingin membangunkan pria yang tidur nyenyak di sisinya. Dia merapikan selimut Evan sebelum melangkah ke luar kamar dengan sangat berhati-hati. Alya menunaikan dulu kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri siri Evan yang masih terlelap di dalam kamarnya. Dapur minimalis modern, kini sudah menjadi teman akrab Alya yang menemani hari-harinya untuk memasakkan Evan, suami sekaligus anak dari bosnya. Kakinya terasa dingin, sebab ia tak menggunakan alas kaki saat menuju ke dapur itu. Rutinitasnya dimulai—Pagi ini dia memilih untuk membuatkan sarapan na
“Saya sudah jauh lebih baik,” sahut Alya cepat. “Besok saya sudah siap untuk bekerja,” sahut Alya yang mendapat anggukan dari Evan. Alya tahu maksudnya sakit—kehamilannya. Tapi perhatian itu justru membuat jantung terasa aneh. Ia bingung dengan perubahan sikap Evan, yang belakangan ini terasa lebih lembut, lebih peduli.Mereka makan dalam keheningan, hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Alya mencuri pandang ke arah Evan, berusaha membaca apa yang sedang dipikirkannya. Namun, seperti biasa, wajah lelaki itu sulit ditebak.Setelah makan malam selesai, Alya membersihkan meja, sementara Evan menuju kamar. Alya ingin kembali ke kamarnya, tetapi dia mendengar suara Evan yang meminta. Sebab sebelumnya pria itu menolak tawaran Alya yang ingin menyiapkan air mandi. “Alya, siapkan handukku,” katanya dari balik pintu kamar mandi.Alya menurut, mengambil handuk bersih dari lemari dan meletakkannya di dekat pintu kamar mandi. Ketika dia hendak pergi, suara Evan berhen
Lampu kota yang suram menyusup melalui celah tirai kamar Alya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya, menatap kosong pada kaca jendela di sudut ruangan.Tirai jendela kamar itu bergerak lembut oleh sepoi angin yang menyapa. Wajahnya menatap pada cermin meja hias di seberang ranjang dengan tatapan kosongnya. Wajah yang menghadap ke balik cermin adalah wajah yang ia kenali, tetapi terasa asing baginya—pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata yang menjadi saksi dirinya tak mampu nyenyak dalam mimpi indah yang biasa menemani bersama sang keluarga tercinta. Alya terpaku dalam lamunan, segala rencana yang dirinya bingung harus bersikap bagaimana nantinya. Ia tak mungkin untuk terus berada di sini bersama Evan. Ada janin yang akan terus berkembang, dan dia pun tak mungkin untuk memendam dan terus menyembunyikannya. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai rencana untuk masa depan. Masa depan bagi dirinya, dan yang lebih penting, bagi anak yang kini tumbuh di dalam
“Aku harus kembali, Mbak Vira. Setidaknya aku harus memikirkan dengan matang apa yang akan harus aku lakukan untukku dan….” Alya memegang perut ratanya, di mana kini ada kehidupan baru di dalamnya. “Untuk dia,” lanjut Alya, menatap perutnya. “Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” desak Vira, suaranya melembut. “Kalau kau butuh waktu, kau bisa tinggal di tempat kos dulu. Aku khawatir, Alya. Kau terlalu memaksakan diri, aku tak ingin kau tertekan dengan sikap Pak Evan.”Alya menoleh, memberikan senyuman yang nyaris tak terlihat. “Aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu... memutuskan sesuatu. Lagi pula, Pak Evan beberapa hari ini tidak segalak waktu kita baru kenal kok Mbak.”Alya berusaha memberikan ketenangan pada Vira. Berharap temannya itu tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Vira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat setir mobil. Hari ini dia memutuskan untuk membawa mobil, sebab subuh tadi Alya mengirim pesan yang ingin segera kembali. “Pak Evan mungkin akan
Malam ini begitu dingin, hujan yang mengguyur kota industri yang banyak beberapa karyawan berteduh sebab menunggu angkutan yang akan membawa mereka untuk kembali pulang ke rumah. Evan memperhatikan sepanjang jalan, mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal dan sudah beberapa minggu menjadi teman hidupnya. Tapi, pencarian yang dia lakukan tidaklah membuahkan hasil apa pun. Rintikan hujan yang turun, meninggalkan aroma tanah basah dan aspal yang dingin. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya ke genangan air yang memberikan pancaran sinar yang saling bertaburan dengan sinar mobil yang sedang menyorotnya. Malam yang dingin itu menciptakan suasana melankolis yang seakan meresapi setiap sudut jalanan. Tak terasa, kuda besi yang Evan kendarai itu berhasil memecah hujan dan membuatnya tiba di basement apartemen mewahnya. Di tengah malam yang senyap itu, Evan erhasil menyita perhatiannya. “Mau apa lagi dia,” kesal Evan sata tahu siapa yang sedang berusaha menghubunginya itu. Evan me
Evan. Nama itu menggema di kepala Vira seperti sebuah mantra yang penuh tanda tanya. Evan adalah sosok yang pernah ia kagumi, bahkan ia sama sekali tidak menyangka jika Alya bias hamil bersama anak pemilik tempat mereka bekerja. Tetapi, Evan dan Alya? Hubungan mereka? Semua itu tampak mustahil, seperti potongan puzzle yang tidak cocok. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya sebab Vira tahu jika Alya bukanlah wanita murahan yang akan rela merendahkan harga dirinya begitu saja. Vira mengambil kursi di hadapan Alya, menatapnya dengan campuran rasa penasaran dan gugup. "Alya," katanya pelan, "aku ingin kamu jelaskan padaku dengan semua ini. Jujur, mbak bingung."“Ya, aku tahu jika Mbak pasti bingung dengan semua ini.”"Aku... aku tahu ini mungkin terlalu jauh," Vira memulai dengan hati-hati, "tapi aku harus tahu. Bagaimana bisa kau hamil anak Pak Evan? Aku tahu itu mungkin rahasiamu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya."Senyum Alya memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghe
Alya merasakan tenggorokannya kering, matanya mulai memanas. Ia tahu, apa yang akan dia katakan bukan hal yang mudah, dan mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengungkapkan kenyataan pahit ini. "Janin ini... anak Pak Evan," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras, kata-kata itu akan menghancurkannya.Vira terdiam sesaat, ekspresinya berubah drastis. Mulanya tampak kebingungan, lalu mata Vira membelalak, wajahnya penuh ketidakpercayaan. "Evan? Maksudmu, Evan anak bos pabrik itu? Evan yang... yang itu?" Vira hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, seolah kata-kata itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.Alya hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan wajah, tak berani menatap mata Vira lebih lama. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, seakan kata-kata itu menjadi beban yang tak bisa lagi ia tanggung seorang diri.Vira yang tadinya duduk tenang langsung berdiri dengan cepat. Matanya terbuka lebar,
“Alya... Alya ingin minta tolong,” Alya menelan ludah, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menunduk dalam demi menghindari tatapan Vira yang teduh menunggu setiap kata yang ingin Alya katakan untuknya. Sebelum akhirnya, Alya kembali memberanikan diri menatap Alya setelah memantapkan diri dengan keputusannya. “Alya… minta Mbak untuk merahasiakan ini semua. Jangan bilang ke siapa-siapa, terutama… ibu sama adik Alya. Alya nggak ingin mereka tahu… Alya nggak ingin mereka kecewa. Apalagi Ibu, jika Ibu tahu dengan kabar ini, akan berakibat buruk untuk kesehatan Ibu pastinya.”Vira menatap Alya dengan ekspresi yang tak dapat ditebak. Ada kesedihan dalam sorot matanya, tetapi juga ketegasan yang menyelusup di balik kelembutannya.Bagaimana harus disembunyikan? Sedangkan yang namanya kehamilan itu semakin lama akan semakin besar, dan tidak mungkin untuk terus ditutupi. Apa jangan … jangan Alya memiliki rencana untuk menggugurkan, pikir Vira. “Alya