Kosong. Satu kata yang menjadi sambutan Alya saat membuka pintu dan mendapati kamar pria pemilik apartemen itu menyala lampunya dan kosong. Tidak ada Evan di dalam. Alya yang mendapati kamar Evan kosong itu berpikir jika sang pemilik kamar sedang berada di kamar mandi. Alya kembali memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar Evan. Dia berniat untuk menyiapkan pakaian ganti pria yang belum kunjung ia temui di apartemennya sejak dia masuk ke dalam.Tangannya terulur, mencari pakaian ganti Evan dari dalam lemari. Setelah mendapatkan pakaian yang tepat. Alya kembali menutup pintu lemari pakaian dan menuju ke tepi ranjang Evan untuk menaruh pakaian yang dicarinya. Alya sempat terdiam beberapa saat dia sedang memikirkan Apakah akan langsung meninggalkan kamar suaminya itu atau memberitahukan Jika dia telah menyiapkan semua.“Ah, biarlah. Pasti dia juga tahu, saat keluar dari kamar mandi nanti akan melihat pakaian yang sudah aku siapkan untuknya.”Setelah mempertimbangkan beberapa saat,
Alya memekik karena keterkejutannya saat sebuah tarikan kasar pada tangannya itu ia dapatkan secara tiba-tiba. Bagaimana tidak, dia baru keluar dari kamar mandi Evan setelah menyiapkan air hangat untuk suaminya tersebut sesuai tugas yang memang harus ia lakukan untuk menjadi pelayan Evan. Tentu saja dia kaget luar biasa, dia yang tak siap itu harus mendapatkan tarikan yang begitu kuat dari Evan yang sebelumnya dia tahu jika pria itu sedang duduk dengan kedua mata memejam bersamaan lengan yang bertumpu di atasnya. Bugh!“Aught!” Alya kembali memekik terkejut, saat dengan kasarnya Evan melempar dirinya ke atas ranjang besar yang dominan warna abu khas aura kharismatik prianya.Alya yang mendapat perlakuan kasar itu dibuat bingung dengan tingkah yang Evan lakukan atas dirinya itu. Tatapan mata yang begitu sulit diartikan, itu mengarah pada Alya yang sudah merebah di atas ranjang pria itu. Alya yang tidak siap akan tindakan yang Evan lakukan itu pun dibuat bingung. Sebenarnya apa y
Alya merasakan perih di bagian pangkal pahanya akibat perbuatan brutal yang Evan lakukan atas dirinya beberapa waktu yang lalu. Cairan bening dari balik kelopak matanya itu terus mengalir membasahi kedua pipinya. Runtuh sudah pertahanan yang Alya miliki dan jaga selama ini. Bahkan, dia dulu sering mendapatkan tawaran untuk bekerja sampingan dengan menjadi simpanan pria hidung belang sejak SMA dan tentunya dia selalu memberikan penolakan karena dia ingin mencari rezeki halal untuknya dan juga adik dan ibunya. Tidak akan ada yang menekan dengan pesona yang akan Alya berikan. Selain dia memiliki tinggi dan body yang lumayan. Kulit putih yang Alya miliki bahkan dengan baik dia menutup dengan pakaian sopan yang selalu membalut tubuhnya. Tapi, kini semua telah sirna. Kehormatan yang selalu ia jaga itu musnah oleh tindakan brutal pria yang bahkan saat ini sudah terlelap dengan begitu mudahnya tepat di samping dirinya. Ya, pria yang telah berhasil menuntaskan hasratnya itu langsung mereb
Setelah merasa jauh lebih segar dari sebelumnya. Evan yang memang sudah sangat kesiangan untuk berangkat ke pabrik yang sama dengan Alya itu segera menggunakan pakaian. Hal yang sama sekali tidak pernah Evan duga sebelumnya. Di atas sofa tunggal panjang yang ada di kamarnya itu sudah tersedia pakaian kerja lengkap untuknya. Evan yang sama sekali tidak pernah menyangka itu pun menautkan kedua alisnya. Tentu saja dia tidak bodoh, jika Alya-lah yang telah menyiapkan pakaian itu pasti untuk dirinya.Tangan besar Evan yang baru saja hendak meraih pintu lemari itu pun terhenti. Menoleh dan melangkah pelan menuju ke sofa di mana pakaian kerja itu sudah disiapkan oleh Alya. Tangannya terulur, mengambil pakaian kerjanya tersebut. Alya yang memang berprofesi sebagai salah satu desainer di pabrik produksi milik keluarganya itu pun begitu piawai memadupadankan pakaian yang sudah beberapa kali disiapkan oleh dirinya untuknya itu.Tanpa sadar, Evan yang tahu hal itu pun menarik ujung bibirnya se
Semalaman, Alya sama sekali tidak mampu memejamkan mata setelah mengalami kejadian yang mungkin tidak akan pernah terlupakan olehnya itu. Alih-alih terus berusaha memejamkan kedua kelopak matanya. Namun cairan bening yang selalu keluar dan membuat dirinya semakin tersiksa oleh tangis yang sangat menyesakkan bagi dirinya. Malam yang semakin beranjak menuju subuh, akhirnya membuat Alya memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk pria yang masih terlelap di kamarnya itu. Alya yang tidak siap untuk berjumpa dengan Evan pun memutuskan untuk meninggalkan apartemen pria itu lebih dulu dengan keadaan sedikit memaksakan diri atas rasa nyeri yang saat ini dirasakan olehnya di area kedua pahanya itu. Namun, siapa yang sangka? Niat untuk tidak berjumpa dengan Evan. Takdir seolah sengaja membuat Alya harus berjumpa dengan pria yang sedang ingin dihindarinya itu. Entah mengapa, Evan yang melihat Alya sedang berbincang dengan Raffi dia merasa tak suka. Padahal,
Alya yang sebelumnya ingin berjumpa dengan salah satu staff yang ada di bagian HRD, karena ingin menyampaikan pesan dari salah satu karyawan yang dikenalnya itu segera meninggalkan lantai satu gedung yang digunakan para staff operasional dalam mengoperasikan pekerjaan yang ada di pabrik tekstil tersebut. Kehadiran Evan yang sama sekali tidak ia duga, karena Alya berpikir jika Evan akan hadir setelah jam makan siang. Namun ternyata dugaannya itu salah. Evan yang datang jauh lebih dulu dari jam makan siang. Saat mendapati pria yang sedang tidak ingin dijumpanya itu, pergi adalah pilihan utama yang Evan lakukan saat itu juga. Langkahnya terlihat sedang terburu, ketika menuju ke lantai tiga di mana ruang kerjanya berada. Kedua matanya pun begitu tampak sangat layu, karena sembab oleh tangis dan Alya yang sama sekali belum memejamkan mata.Sambutan pertama yang Alya dapatkan pun berupa kecemasan yang Vira lakukan sejak pagi-pagi Alya tiba di pabrik lebih dulu dari dirinya. “Al, kamu
Tentu saja Alya terkejut, karena ia pun tidak akan menyangka jika harus berjumpa dengan pria yang tak lain adalah Raffi, tetangga dan juga kini dia yang bekerja di pabrik yang sama dengannya. Alya segera mengerjap, setelah tersadar dari rasa keterkejutan yang terjadi pada dirinya itu. “Eh, iya mas.” Alya memaksakan diri untuk memberikan senyum terbaiknya. Tentu saja ia harus menunjukkan sikap ramah untuk siapa pun yang ia kenal. Raffi yang mendapati kehadiran Alya bersamaan dengan dia yang baru saja hendak keluar dari lift itu pun melangkah. Mendekat pada Alya yang terlihat ragu saat harus bertemu dengan dirinya. “Apa memang bagian kamu sering melakukan lembur?” tanya Raffi saat tiba beberapa langkah di hadapan Alya. Sejenak Alya terdiam, Tentu saja dia tidak ingin salah bicara pada Raffi yang dia tahu dekat dengan Evan, suaminya. “Ehm. Tidak terlalu sering. Hanya saja tadi ada sketsa yang harus Alya nanggung jika harus ditinggal. Jadi, Alya putuskan untuk menyelesaikannya ter
Meski dalam dilema, Alya tidak memiliki pilihan lain selain harus kembali ke apartemen Evan, suaminya. Sebab, beberapa waktu lalu saat Alya mendapati panggilan sang adik yang memberikan kabar jika sang ibu sudah diizinkan untuk kembali ke rumah. Sebab Alya yang belum juga datang dari kemarin ke rumah sakit dan em unggul sang ibu. Bahkan sekalipun menjenguk itu membuat Safa, adik Alya melakukan panggilan demi memastikan keadaan Alya yang baik-baik saja. Alya sangat bahagia mendengar kabar tersebut tentunya. Meski harus melakukan rawat jalan, setidaknya dengan kabar yang dia dapat dari sang adik menunjukkan jika keadaan ibunya baik-baik saja.“Mbak akan ke sana ya, Dek. Kamu tunggu,” ujar Alya sesaat Safa memberikan kabar padanya tadi. “Safa tunggu ya, Mbak.” Akhirnya panggilan yang Safa lakukan itu terputus, setelah salam terucap dari keduanya. Namun, apa yang Alya rencanakan sungguh tidak seperti yang dia inginkan. Karena saat ojek tiba di pinggir jalan menghampiri dirinya. Sebua
“Al, saudara suamiku mau bantu untuk semua proses izin kamu pergi. Apa kau yakin memutuskan untuk pergi dari Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik kamu?” tanya Vira beruntun setelah dua hari Alya berusaha keras memikirkan rencana untuk dirinya dan terutama untuk anak yang ada dalam kandungan Alya. Alya yang baru duduk di kursi kerjanya itu mendongak, menatap sungguh pada Vira yang tiba-tiba meragukannya. “Aku yakin, Mbak. Ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku tak mungkin untuk berada di Indonesia. Jika ada jalan ke luar negeri dan kerja yang sudah pasti. Lalu, untuk apa aku harus bingung untuk menunda? Bukankah ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula, kesempatan di sana juga sesuai dengan passion Alya kan?” Alya bersungguh dengan rencana yang sudah disiapkan olehnya itu. Tak ingin memanfaatkan kesempatan, maka dia akan menggunakan kesempatan emas itu sebaik-baiknya.“Kamu benar. Memang itu kesempatan yang sangat baik untuk kamu. Tapi, bagaimana dengan ibu dan
Alya membuka matanya perlahan. Kegelapan subuh menyelimuti kamar yang lebih besar dari kamar miliknya. Ditemani sinar lampu kamar yang meremang membuat Alya bangun dari tidurnya dengan perlahan. Alya bangun dengan perlahan, tak ingin mengganggu Evan yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafas Evan yang teratur terdengar di sebelahnya. Dengan hati-hati, Alya bergeser dari tempat tidur, tak ingin membangunkan pria yang tidur nyenyak di sisinya. Dia merapikan selimut Evan sebelum melangkah ke luar kamar dengan sangat berhati-hati. Alya menunaikan dulu kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri siri Evan yang masih terlelap di dalam kamarnya. Dapur minimalis modern, kini sudah menjadi teman akrab Alya yang menemani hari-harinya untuk memasakkan Evan, suami sekaligus anak dari bosnya. Kakinya terasa dingin, sebab ia tak menggunakan alas kaki saat menuju ke dapur itu. Rutinitasnya dimulai—Pagi ini dia memilih untuk membuatkan sarapan na
“Saya sudah jauh lebih baik,” sahut Alya cepat. “Besok saya sudah siap untuk bekerja,” sahut Alya yang mendapat anggukan dari Evan. Alya tahu maksudnya sakit—kehamilannya. Tapi perhatian itu justru membuat jantung terasa aneh. Ia bingung dengan perubahan sikap Evan, yang belakangan ini terasa lebih lembut, lebih peduli.Mereka makan dalam keheningan, hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Alya mencuri pandang ke arah Evan, berusaha membaca apa yang sedang dipikirkannya. Namun, seperti biasa, wajah lelaki itu sulit ditebak.Setelah makan malam selesai, Alya membersihkan meja, sementara Evan menuju kamar. Alya ingin kembali ke kamarnya, tetapi dia mendengar suara Evan yang meminta. Sebab sebelumnya pria itu menolak tawaran Alya yang ingin menyiapkan air mandi. “Alya, siapkan handukku,” katanya dari balik pintu kamar mandi.Alya menurut, mengambil handuk bersih dari lemari dan meletakkannya di dekat pintu kamar mandi. Ketika dia hendak pergi, suara Evan berhen
Lampu kota yang suram menyusup melalui celah tirai kamar Alya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya, menatap kosong pada kaca jendela di sudut ruangan.Tirai jendela kamar itu bergerak lembut oleh sepoi angin yang menyapa. Wajahnya menatap pada cermin meja hias di seberang ranjang dengan tatapan kosongnya. Wajah yang menghadap ke balik cermin adalah wajah yang ia kenali, tetapi terasa asing baginya—pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata yang menjadi saksi dirinya tak mampu nyenyak dalam mimpi indah yang biasa menemani bersama sang keluarga tercinta. Alya terpaku dalam lamunan, segala rencana yang dirinya bingung harus bersikap bagaimana nantinya. Ia tak mungkin untuk terus berada di sini bersama Evan. Ada janin yang akan terus berkembang, dan dia pun tak mungkin untuk memendam dan terus menyembunyikannya. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai rencana untuk masa depan. Masa depan bagi dirinya, dan yang lebih penting, bagi anak yang kini tumbuh di dalam
“Aku harus kembali, Mbak Vira. Setidaknya aku harus memikirkan dengan matang apa yang akan harus aku lakukan untukku dan….” Alya memegang perut ratanya, di mana kini ada kehidupan baru di dalamnya. “Untuk dia,” lanjut Alya, menatap perutnya. “Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” desak Vira, suaranya melembut. “Kalau kau butuh waktu, kau bisa tinggal di tempat kos dulu. Aku khawatir, Alya. Kau terlalu memaksakan diri, aku tak ingin kau tertekan dengan sikap Pak Evan.”Alya menoleh, memberikan senyuman yang nyaris tak terlihat. “Aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu... memutuskan sesuatu. Lagi pula, Pak Evan beberapa hari ini tidak segalak waktu kita baru kenal kok Mbak.”Alya berusaha memberikan ketenangan pada Vira. Berharap temannya itu tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Vira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat setir mobil. Hari ini dia memutuskan untuk membawa mobil, sebab subuh tadi Alya mengirim pesan yang ingin segera kembali. “Pak Evan mungkin akan
Malam ini begitu dingin, hujan yang mengguyur kota industri yang banyak beberapa karyawan berteduh sebab menunggu angkutan yang akan membawa mereka untuk kembali pulang ke rumah. Evan memperhatikan sepanjang jalan, mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal dan sudah beberapa minggu menjadi teman hidupnya. Tapi, pencarian yang dia lakukan tidaklah membuahkan hasil apa pun. Rintikan hujan yang turun, meninggalkan aroma tanah basah dan aspal yang dingin. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya ke genangan air yang memberikan pancaran sinar yang saling bertaburan dengan sinar mobil yang sedang menyorotnya. Malam yang dingin itu menciptakan suasana melankolis yang seakan meresapi setiap sudut jalanan. Tak terasa, kuda besi yang Evan kendarai itu berhasil memecah hujan dan membuatnya tiba di basement apartemen mewahnya. Di tengah malam yang senyap itu, Evan erhasil menyita perhatiannya. “Mau apa lagi dia,” kesal Evan sata tahu siapa yang sedang berusaha menghubunginya itu. Evan me
Evan. Nama itu menggema di kepala Vira seperti sebuah mantra yang penuh tanda tanya. Evan adalah sosok yang pernah ia kagumi, bahkan ia sama sekali tidak menyangka jika Alya bias hamil bersama anak pemilik tempat mereka bekerja. Tetapi, Evan dan Alya? Hubungan mereka? Semua itu tampak mustahil, seperti potongan puzzle yang tidak cocok. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya sebab Vira tahu jika Alya bukanlah wanita murahan yang akan rela merendahkan harga dirinya begitu saja. Vira mengambil kursi di hadapan Alya, menatapnya dengan campuran rasa penasaran dan gugup. "Alya," katanya pelan, "aku ingin kamu jelaskan padaku dengan semua ini. Jujur, mbak bingung."“Ya, aku tahu jika Mbak pasti bingung dengan semua ini.”"Aku... aku tahu ini mungkin terlalu jauh," Vira memulai dengan hati-hati, "tapi aku harus tahu. Bagaimana bisa kau hamil anak Pak Evan? Aku tahu itu mungkin rahasiamu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya."Senyum Alya memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghe
Alya merasakan tenggorokannya kering, matanya mulai memanas. Ia tahu, apa yang akan dia katakan bukan hal yang mudah, dan mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengungkapkan kenyataan pahit ini. "Janin ini... anak Pak Evan," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras, kata-kata itu akan menghancurkannya.Vira terdiam sesaat, ekspresinya berubah drastis. Mulanya tampak kebingungan, lalu mata Vira membelalak, wajahnya penuh ketidakpercayaan. "Evan? Maksudmu, Evan anak bos pabrik itu? Evan yang... yang itu?" Vira hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, seolah kata-kata itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.Alya hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan wajah, tak berani menatap mata Vira lebih lama. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, seakan kata-kata itu menjadi beban yang tak bisa lagi ia tanggung seorang diri.Vira yang tadinya duduk tenang langsung berdiri dengan cepat. Matanya terbuka lebar,
“Alya... Alya ingin minta tolong,” Alya menelan ludah, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menunduk dalam demi menghindari tatapan Vira yang teduh menunggu setiap kata yang ingin Alya katakan untuknya. Sebelum akhirnya, Alya kembali memberanikan diri menatap Alya setelah memantapkan diri dengan keputusannya. “Alya… minta Mbak untuk merahasiakan ini semua. Jangan bilang ke siapa-siapa, terutama… ibu sama adik Alya. Alya nggak ingin mereka tahu… Alya nggak ingin mereka kecewa. Apalagi Ibu, jika Ibu tahu dengan kabar ini, akan berakibat buruk untuk kesehatan Ibu pastinya.”Vira menatap Alya dengan ekspresi yang tak dapat ditebak. Ada kesedihan dalam sorot matanya, tetapi juga ketegasan yang menyelusup di balik kelembutannya.Bagaimana harus disembunyikan? Sedangkan yang namanya kehamilan itu semakin lama akan semakin besar, dan tidak mungkin untuk terus ditutupi. Apa jangan … jangan Alya memiliki rencana untuk menggugurkan, pikir Vira. “Alya