Alya yang sebelumnya ingin berjumpa dengan salah satu staff yang ada di bagian HRD, karena ingin menyampaikan pesan dari salah satu karyawan yang dikenalnya itu segera meninggalkan lantai satu gedung yang digunakan para staff operasional dalam mengoperasikan pekerjaan yang ada di pabrik tekstil tersebut. Kehadiran Evan yang sama sekali tidak ia duga, karena Alya berpikir jika Evan akan hadir setelah jam makan siang. Namun ternyata dugaannya itu salah. Evan yang datang jauh lebih dulu dari jam makan siang. Saat mendapati pria yang sedang tidak ingin dijumpanya itu, pergi adalah pilihan utama yang Evan lakukan saat itu juga. Langkahnya terlihat sedang terburu, ketika menuju ke lantai tiga di mana ruang kerjanya berada. Kedua matanya pun begitu tampak sangat layu, karena sembab oleh tangis dan Alya yang sama sekali belum memejamkan mata.Sambutan pertama yang Alya dapatkan pun berupa kecemasan yang Vira lakukan sejak pagi-pagi Alya tiba di pabrik lebih dulu dari dirinya. “Al, kamu
Tentu saja Alya terkejut, karena ia pun tidak akan menyangka jika harus berjumpa dengan pria yang tak lain adalah Raffi, tetangga dan juga kini dia yang bekerja di pabrik yang sama dengannya. Alya segera mengerjap, setelah tersadar dari rasa keterkejutan yang terjadi pada dirinya itu. “Eh, iya mas.” Alya memaksakan diri untuk memberikan senyum terbaiknya. Tentu saja ia harus menunjukkan sikap ramah untuk siapa pun yang ia kenal. Raffi yang mendapati kehadiran Alya bersamaan dengan dia yang baru saja hendak keluar dari lift itu pun melangkah. Mendekat pada Alya yang terlihat ragu saat harus bertemu dengan dirinya. “Apa memang bagian kamu sering melakukan lembur?” tanya Raffi saat tiba beberapa langkah di hadapan Alya. Sejenak Alya terdiam, Tentu saja dia tidak ingin salah bicara pada Raffi yang dia tahu dekat dengan Evan, suaminya. “Ehm. Tidak terlalu sering. Hanya saja tadi ada sketsa yang harus Alya nanggung jika harus ditinggal. Jadi, Alya putuskan untuk menyelesaikannya ter
Meski dalam dilema, Alya tidak memiliki pilihan lain selain harus kembali ke apartemen Evan, suaminya. Sebab, beberapa waktu lalu saat Alya mendapati panggilan sang adik yang memberikan kabar jika sang ibu sudah diizinkan untuk kembali ke rumah. Sebab Alya yang belum juga datang dari kemarin ke rumah sakit dan em unggul sang ibu. Bahkan sekalipun menjenguk itu membuat Safa, adik Alya melakukan panggilan demi memastikan keadaan Alya yang baik-baik saja. Alya sangat bahagia mendengar kabar tersebut tentunya. Meski harus melakukan rawat jalan, setidaknya dengan kabar yang dia dapat dari sang adik menunjukkan jika keadaan ibunya baik-baik saja.“Mbak akan ke sana ya, Dek. Kamu tunggu,” ujar Alya sesaat Safa memberikan kabar padanya tadi. “Safa tunggu ya, Mbak.” Akhirnya panggilan yang Safa lakukan itu terputus, setelah salam terucap dari keduanya. Namun, apa yang Alya rencanakan sungguh tidak seperti yang dia inginkan. Karena saat ojek tiba di pinggir jalan menghampiri dirinya. Sebua
Serangan yang begitu brutal yang Evan lakukan terhadap Alya. Bahkan, sama sekali Alya tidak memiliki sedikitpun kesiapan untuk menyambut sikap Evan yang begitu brutal pada dirinya tersebut. Nafas Alya terengah, karena Evan yang sama sekali tidak memberi celah sedikitpun pada Alya. Tangan mungilnya itu berusaha mendorong dada bidang suaminya. Namun, sama sekali tenaga dari badan berpostur tegap di hadapannya itu sama sekali tidak bergeser sedikitpun dari hadapannya. “Shit!” Evan mengumpat kasar, saat merasakan sakit pada bibir bagian atas yang mendapati gigitan dari Alya. Tangan besarnya itu memegang bibirnya yang terasa sakit atas gigitan yang dilakukan oleh Alya pada bibir suaminya itu. Tatapan mata Evan itu pun beralih menatap tajam pada Alya. Jangan tanyakan, bagaimana rasa ketakutan yang saat ini sedang Alya rasakan pada pria yang tengah menatapnya tersebut. “Pak, Bapak sedang mabuk. Biar saya buatkan jahe hangat untuk meredakan mabuk yang saat ini sedang mempengaruhi Anda,”
Malam yang Alya lalui kembali menjadi suram. Sesuram dengan hati dan perasaan yang menyayat dalam dirinya. Perilaku yang dilakukan oleh Evan, suaminya itu sama sekali tidak berperi kemanusiaan. Dan setiap lirih yang Alya lakukan, sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun belas kasih dari suaminya. Bahkan pergerakan yang Evan lakukan begitu brutal. Sama sekali tidak menunjukkan kelembutan atas hubungan suami istri pada umumnya. Seharusnya Evan bisa meminta hak sebagai seorang suami dengan lebih baik kepada Alya. Bukan maksud Alya menolak permintaan Evan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Melainkan, area vital diantara kedua paha yang Alya rasakan masih terasa perih akibat hujaman yang tidak berbelanja kasih yang dilakukan oleh Evan untuknya pertama kalinya. Dan kini, bukan hanya luka fisik di bagian intim yang kembali Alya terima. Melainkan Evan yang tersedia memukul dan menampar Alya yang entah sudah beberapa kali suaminya itu melakukannya. Dan kini, pria yang sudah puas deng
Evan setelah berkata seperti itu pada Alya, dengan begitu saja berlalu dari hadapan Alya. Dengan langkahnya yang meragu. Alya melangkah pelan, membiarkan Evan beralalu lebih dulu dari hadapannya. Alya tidak ingin berada dalam satu lift bersama dengan Evan. Maka melangkah pelan, adalah jalan yang ia ambil agar Evan bisa pergi lebih dulu darinya. Alya bisa melihat, jika ponsel pria yang sedang melangkah di depannya itu sedang berdering. Dan Dia pun dapat melihat pergerakan tangan Evan yang mengambil ponsel dan menempelkan tepat di samping telinganya.“Sudah aku bilang. Aku tidak mau berurusan lagi denganmu. Jangan pernah hubungi aku lagi,” kata Evan dengan begitu tegas. Tanpa menunggu lama, pria itu mematikan panggilan yang diterimanya itu dengan sepihak. Kemudian berlalu cepat menuju lift yang terbuka setelah Evan memencetnya. Bukan kata yang menyapa pada kedua insan yang terikat oleh pernikahan Siri tersebut. Melainkan tatapan mata penuh kebencian yang Evan lakukan terhadap Alya,
Beberapa orang yang ada di sekitar tempat karyawan pabrik melakukan absensi kehadiran itu pun menoleh ke sumber suara yang tidak begitu asing baginya itu. Mendapati anak pemilik pabrik tempat mereka bekerja dengan tatapan mata tajam ke arah mereka itu pun berhasil membuat beberapa orang yang sedang membantu Alya itu menjadi bungkam. Selain belum mengenal dekat pada Evan mereka hanya tahu dari kabar yang beredar jika Evan adalah pria yang tidak ingin dibantah dan tidak menerima tolerir sedikitpun dengan alasan apapun.“Eh, Pak Evan.” Salah satu pria yang baru saja hendak membantu rekannya untuk mengangkat tubuh Alya itu membuka suara. Dia menoleh kepada Alya yang pingsan, dan beralih kembali pada pria yang berdiri beberapa jarak dengan mereka itu. “Ini ada karyawan desain pingsan, Pak,” kata pria itu pada Evan yang menatap tajam padanya itu. “Jadi kami akan bawa dia ke klinik,” sambung salah satu pria yang sedang menyangga tubuh Alya yang tengah pingsan itu. Jika dibilang Alya
“Saya sudah menghubungi divisi bagian tempatmu bekerja. Jadi, kamu tidak perlu cemas dan khawatir jika atasanmu akan marah denganmu,” kata dokter Retno pada Alya. Alya yang mendengar kabar jika sang dokter sudah menghubungi bagian divisi tempatnya bekerja itu menautkan kedua alisnya. Bagaimana bisa dokter itu tahu, bagian divisi tempatnya bekerja. “Dokter tahu, saya di bagian apa?” tanya Alya dengan rasa penasaran yang terjadi padanya kali ini.Dokter Retno mengulas senyum tipisnya, dia juga memberikan anggukan pada Alya yang terkejut atas kabar yang baru saja ia berikan itu. “Ya, saya tahu. Tadi karyawan yang bantu bawa kamu ke sini bilang, jika kamu adalah anak desain. Jadi saya tadi menghubungi atasan kamu untuk memberitahukan jika ada anak buahnya sedang dapat perawatan dan harus istirahat di sini,” jelas Dokter Retno menyampaikan pada Alya. Alya terdiam, dia mengangguk mendengar setiap kata yang disampaikan oleh Dokter wanita yang berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu
“Al, saudara suamiku mau bantu untuk semua proses izin kamu pergi. Apa kau yakin memutuskan untuk pergi dari Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik kamu?” tanya Vira beruntun setelah dua hari Alya berusaha keras memikirkan rencana untuk dirinya dan terutama untuk anak yang ada dalam kandungan Alya. Alya yang baru duduk di kursi kerjanya itu mendongak, menatap sungguh pada Vira yang tiba-tiba meragukannya. “Aku yakin, Mbak. Ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku tak mungkin untuk berada di Indonesia. Jika ada jalan ke luar negeri dan kerja yang sudah pasti. Lalu, untuk apa aku harus bingung untuk menunda? Bukankah ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula, kesempatan di sana juga sesuai dengan passion Alya kan?” Alya bersungguh dengan rencana yang sudah disiapkan olehnya itu. Tak ingin memanfaatkan kesempatan, maka dia akan menggunakan kesempatan emas itu sebaik-baiknya.“Kamu benar. Memang itu kesempatan yang sangat baik untuk kamu. Tapi, bagaimana dengan ibu dan
Alya membuka matanya perlahan. Kegelapan subuh menyelimuti kamar yang lebih besar dari kamar miliknya. Ditemani sinar lampu kamar yang meremang membuat Alya bangun dari tidurnya dengan perlahan. Alya bangun dengan perlahan, tak ingin mengganggu Evan yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafas Evan yang teratur terdengar di sebelahnya. Dengan hati-hati, Alya bergeser dari tempat tidur, tak ingin membangunkan pria yang tidur nyenyak di sisinya. Dia merapikan selimut Evan sebelum melangkah ke luar kamar dengan sangat berhati-hati. Alya menunaikan dulu kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri siri Evan yang masih terlelap di dalam kamarnya. Dapur minimalis modern, kini sudah menjadi teman akrab Alya yang menemani hari-harinya untuk memasakkan Evan, suami sekaligus anak dari bosnya. Kakinya terasa dingin, sebab ia tak menggunakan alas kaki saat menuju ke dapur itu. Rutinitasnya dimulai—Pagi ini dia memilih untuk membuatkan sarapan na
“Saya sudah jauh lebih baik,” sahut Alya cepat. “Besok saya sudah siap untuk bekerja,” sahut Alya yang mendapat anggukan dari Evan. Alya tahu maksudnya sakit—kehamilannya. Tapi perhatian itu justru membuat jantung terasa aneh. Ia bingung dengan perubahan sikap Evan, yang belakangan ini terasa lebih lembut, lebih peduli.Mereka makan dalam keheningan, hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Alya mencuri pandang ke arah Evan, berusaha membaca apa yang sedang dipikirkannya. Namun, seperti biasa, wajah lelaki itu sulit ditebak.Setelah makan malam selesai, Alya membersihkan meja, sementara Evan menuju kamar. Alya ingin kembali ke kamarnya, tetapi dia mendengar suara Evan yang meminta. Sebab sebelumnya pria itu menolak tawaran Alya yang ingin menyiapkan air mandi. “Alya, siapkan handukku,” katanya dari balik pintu kamar mandi.Alya menurut, mengambil handuk bersih dari lemari dan meletakkannya di dekat pintu kamar mandi. Ketika dia hendak pergi, suara Evan berhen
Lampu kota yang suram menyusup melalui celah tirai kamar Alya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya, menatap kosong pada kaca jendela di sudut ruangan.Tirai jendela kamar itu bergerak lembut oleh sepoi angin yang menyapa. Wajahnya menatap pada cermin meja hias di seberang ranjang dengan tatapan kosongnya. Wajah yang menghadap ke balik cermin adalah wajah yang ia kenali, tetapi terasa asing baginya—pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata yang menjadi saksi dirinya tak mampu nyenyak dalam mimpi indah yang biasa menemani bersama sang keluarga tercinta. Alya terpaku dalam lamunan, segala rencana yang dirinya bingung harus bersikap bagaimana nantinya. Ia tak mungkin untuk terus berada di sini bersama Evan. Ada janin yang akan terus berkembang, dan dia pun tak mungkin untuk memendam dan terus menyembunyikannya. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai rencana untuk masa depan. Masa depan bagi dirinya, dan yang lebih penting, bagi anak yang kini tumbuh di dalam
“Aku harus kembali, Mbak Vira. Setidaknya aku harus memikirkan dengan matang apa yang akan harus aku lakukan untukku dan….” Alya memegang perut ratanya, di mana kini ada kehidupan baru di dalamnya. “Untuk dia,” lanjut Alya, menatap perutnya. “Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” desak Vira, suaranya melembut. “Kalau kau butuh waktu, kau bisa tinggal di tempat kos dulu. Aku khawatir, Alya. Kau terlalu memaksakan diri, aku tak ingin kau tertekan dengan sikap Pak Evan.”Alya menoleh, memberikan senyuman yang nyaris tak terlihat. “Aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu... memutuskan sesuatu. Lagi pula, Pak Evan beberapa hari ini tidak segalak waktu kita baru kenal kok Mbak.”Alya berusaha memberikan ketenangan pada Vira. Berharap temannya itu tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Vira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat setir mobil. Hari ini dia memutuskan untuk membawa mobil, sebab subuh tadi Alya mengirim pesan yang ingin segera kembali. “Pak Evan mungkin akan
Malam ini begitu dingin, hujan yang mengguyur kota industri yang banyak beberapa karyawan berteduh sebab menunggu angkutan yang akan membawa mereka untuk kembali pulang ke rumah. Evan memperhatikan sepanjang jalan, mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal dan sudah beberapa minggu menjadi teman hidupnya. Tapi, pencarian yang dia lakukan tidaklah membuahkan hasil apa pun. Rintikan hujan yang turun, meninggalkan aroma tanah basah dan aspal yang dingin. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya ke genangan air yang memberikan pancaran sinar yang saling bertaburan dengan sinar mobil yang sedang menyorotnya. Malam yang dingin itu menciptakan suasana melankolis yang seakan meresapi setiap sudut jalanan. Tak terasa, kuda besi yang Evan kendarai itu berhasil memecah hujan dan membuatnya tiba di basement apartemen mewahnya. Di tengah malam yang senyap itu, Evan erhasil menyita perhatiannya. “Mau apa lagi dia,” kesal Evan sata tahu siapa yang sedang berusaha menghubunginya itu. Evan me
Evan. Nama itu menggema di kepala Vira seperti sebuah mantra yang penuh tanda tanya. Evan adalah sosok yang pernah ia kagumi, bahkan ia sama sekali tidak menyangka jika Alya bias hamil bersama anak pemilik tempat mereka bekerja. Tetapi, Evan dan Alya? Hubungan mereka? Semua itu tampak mustahil, seperti potongan puzzle yang tidak cocok. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya sebab Vira tahu jika Alya bukanlah wanita murahan yang akan rela merendahkan harga dirinya begitu saja. Vira mengambil kursi di hadapan Alya, menatapnya dengan campuran rasa penasaran dan gugup. "Alya," katanya pelan, "aku ingin kamu jelaskan padaku dengan semua ini. Jujur, mbak bingung."“Ya, aku tahu jika Mbak pasti bingung dengan semua ini.”"Aku... aku tahu ini mungkin terlalu jauh," Vira memulai dengan hati-hati, "tapi aku harus tahu. Bagaimana bisa kau hamil anak Pak Evan? Aku tahu itu mungkin rahasiamu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya."Senyum Alya memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghe
Alya merasakan tenggorokannya kering, matanya mulai memanas. Ia tahu, apa yang akan dia katakan bukan hal yang mudah, dan mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengungkapkan kenyataan pahit ini. "Janin ini... anak Pak Evan," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras, kata-kata itu akan menghancurkannya.Vira terdiam sesaat, ekspresinya berubah drastis. Mulanya tampak kebingungan, lalu mata Vira membelalak, wajahnya penuh ketidakpercayaan. "Evan? Maksudmu, Evan anak bos pabrik itu? Evan yang... yang itu?" Vira hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, seolah kata-kata itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.Alya hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan wajah, tak berani menatap mata Vira lebih lama. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, seakan kata-kata itu menjadi beban yang tak bisa lagi ia tanggung seorang diri.Vira yang tadinya duduk tenang langsung berdiri dengan cepat. Matanya terbuka lebar,
“Alya... Alya ingin minta tolong,” Alya menelan ludah, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menunduk dalam demi menghindari tatapan Vira yang teduh menunggu setiap kata yang ingin Alya katakan untuknya. Sebelum akhirnya, Alya kembali memberanikan diri menatap Alya setelah memantapkan diri dengan keputusannya. “Alya… minta Mbak untuk merahasiakan ini semua. Jangan bilang ke siapa-siapa, terutama… ibu sama adik Alya. Alya nggak ingin mereka tahu… Alya nggak ingin mereka kecewa. Apalagi Ibu, jika Ibu tahu dengan kabar ini, akan berakibat buruk untuk kesehatan Ibu pastinya.”Vira menatap Alya dengan ekspresi yang tak dapat ditebak. Ada kesedihan dalam sorot matanya, tetapi juga ketegasan yang menyelusup di balik kelembutannya.Bagaimana harus disembunyikan? Sedangkan yang namanya kehamilan itu semakin lama akan semakin besar, dan tidak mungkin untuk terus ditutupi. Apa jangan … jangan Alya memiliki rencana untuk menggugurkan, pikir Vira. “Alya