Dhexel dan Marlo baru saja keluar dari lift saat tatapan Dhexel langsung menangkap Selina di sana yang sedang berjalan bersama Bora. Beberapa hari ini Dhexel terus meminta Selina menemaninya makan di kantor, tapi siang ini tidak karena Dhexel sangat sibuk sejak pagi. Dan rasanya menatap Selina di sana seolah menjadi angin segar untuk Dhexel. Dhexel pun masih menatap Selina di sana sampai seorang wanita tiba-tiba menghambur ke arahnya dan Dhexel begitu terkejut melihatnya. Belum sempat Dhexel berpikir lagi, namun wanita itu sudah langsung memeluknya dengan begitu erat. "Aku merindukanmu, Sayang!" Dhexel mematung dan ia sama sekali tidak membalas pelukan itu. Cukup lama Dhexel hanya mematung di sana sebelum akhirnya ia mengedipkan matanya dan jantungnya pun berdebar begitu hebat. Perlahan Dhexel mendorong lembut wanita itu. "H-Heidy, kau ...." "Surprise, Dhexel! Aku pulang bersama Darrel!" Heidy menoleh ke belakang dan terlihat Darrel yang baru saja masuk ke perusahaan sambil
"Hmm, aku merindukan makanan Indonesia, ini enak sekali, Dhexel. Makanlah yang banyak, Sayang!" Heidy begitu bersemangat saat makan siang bersama Dhexel dan Darrel. Bahkan Heidy terus menyendokkan lauk untuk Dhexel walaupun Dhexel terus menolaknya. "Cukup, Heidy! Cukup! Aku sudah kenyang!" seru Dhexel. "Tapi kau terlihat makin kurus, Dhexel! Makanlah yang banyak ya!" Heidy terus tersenyum sumringah, tapi Dhexel sendiri makin merasa tidak nyaman, apalagi ada Darrel di sana. Tentu saja Darrel sendiri sudah biasa menahan perasaannya, namun Dhexel yang tidak bisa seperti ini pada adiknya itu. "Berikan saja pada Darrel, aku sudah kenyang, Heidy!" Heidy sempat melirik ke arah Darrel namun Darrel sendiri langsung menolaknya. "Aku juga sudah kenyang, Heidy! Aku makan banyak sekali siang ini," seru Darrel sambil langsung meneguk minumannya. Begitu juga dengan Dhexel yang buru-buru menyelesaikan makannya dan meneguk minumannya juga. "Ya ampun, kalian itu pria tapi kalian makan sedikit
Dhexel dan Selina masih bertatapan di posisi mereka. Jantung keduanya berdebar begitu kencang namun Dhexel menunjukkan ekspresi yang begitu tenang. Berbeda dengan Selina yang sudah gelisah sendiri dan salah tingkah melihat Dhexel dan Heidy di sana. "Eh, Pak Dhexel!" sapa Bora duluan sambil melirik Selina. "Itu ... kami permisi dulu!" Kali ini Selina yang berbicara. Selina pun segera menarik Bora keluar dari sana, namun sebelum Selina bisa benar-benar pergi, Dhexel sudah menahannya. "Tunggu, Selina!" Sontak Selina menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dhexel. "Aku ada perlu denganmu, ikut ke ruanganku sebentar!" "Eh, aku?" Selina membelalak kaget. "Ya, kau! Bora, tolong antar Nona Heidy ke mana saja yang dia mau karena aku tidak sempat menemaninya. Heidy, kau ditemani Bora dulu saja karena aku sangat sibuk!" "Apa? Tapi Dhexel ...."Heidy mencoba protes, namun Dhexel langsung melepaskan dirinya dari Heidy dan masuk ke dalam lift. Selina dan Bora masih tetap diam di tempa
"Apa? Kekasih? Kau pasti sudah gila. Berakting sebagai kekasihmu? Bagaimana mungkin?" Selina memekik kaget mendengar ucapan Dhexel yang sangat tidak masuk akal. Namun reaksi Dhexel nampak biasa saja. "Apanya yang tidak mungkin? Tapi jangan halu dulu, bukan kekasih sungguhan, ini hanya akting saja untuk membuat Heidy menjauh dariku." Selina sampai mengernyit tidak mengerti. "Apa? Kau mau membuat Nona Heidy menjauh darimu? Tapi mengapa?" "Kau terlalu banyak tanya, Selina! Aku sudah bilang kalau aku tidak menyukai Heidy kan? Sudah lama dia mengejarku, aku juga sudah berkali-kali menolaknya, tapi dia tetap mengejarku, jadi kupikir dengan adanya kekasih di sampingku, dia akan berhenti melakukannya." "Tapi apakah itu masuk akal? Maksudku ... Nona Heidy itu sangat cantik dan sempurna jadi tidak mungkin kau menolaknya tapi kau bersamaku, itu sulit dipercaya." Dhexel menghembuskan napas panjangnya. "Kau itu terlalu banyak bertanya dan overthinking, Selina! Aku hanya memintamu beraktin
"Ya ampun, kau baik sekali, Pak Dhexel!" Aula menatap Dhexel dengan begitu sungkan saat Dhexel menemani Selina pulang ke rumah dan memberikan makan siang untuk Aula dan Juna. "Iya, Pak, kami sangat berterima kasih," timpal Juna sopan. "Tidak usah sungkan, tapi bagaimana kondisimu, Bu Aula?" "Kondisiku baik-baik saja. Terima kasih!" "Kapan kau harus periksa ke dokter lagi? Kalau kau butuh Selina menemanimu, katakan saja, aku pasti akan memberi ijin." "Astaga, kau baik sekali, Pak Dhexel, Selina beruntung sekali mendapatkan bos sepertimu." Aula melirik Selina dan Selina hanya bisa mengulum senyumnya. "Oh ya, Bu Aula, aku juga berterima kasih untuk sushinya, aku suka sekali!" "Benarkah itu? Syukurlah kalau kau menyukainya, Pak Dhexel, tapi kalau kau menginginkannya lagi, katakan saja, aku akan membuatkannya lagi untukmu.""Tidak perlu repot-repot, Bu! Terima kasih!" Lagi-lagi Dhexel dan Aula mengobrol dengan begitu akrab sampai Selina makin mengagumi Dhexel yang entah mengapa ma
Heidy masih mematung menatap sosok yang diakui Dhexel sebagai kekasih, sosok wanita yang sama sekali tidak cantik dan tidak ada nilai plusnya. Begitu juga dengan Selina yang masih belum tahu apa yang terjadi, tapi Selina cukup kaget melihat Heidy di sana sampai Selina juga hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. "Ini ... kekasih? Kau tidak salah kan, Dhexel?" seru Heidy akhirnya. "Apanya yang salah, Heidy? Selina adalah kekasihku. Dia bekerja sebagai karyawan di sini dan belum lama ini aku menjalin hubungan dengannya." Dengan langkah santai, Dhexel mendekati Selina lalu seenaknya saja memeluk pinggang Selina dari samping. Selina masih tetap diam saat tubuhnya sudah menempel dengan tubuh Dhexel, tapi Heidy yang melihatnya langsung membelalak tidak terima. "Tidak! Tidak! Pasti ada kesalahan di sini, Dhexel!" Heidy yang tadinya masih tersenyum dan masih sabar nampak langsung mengeluarkan taringnya. Suara Heidy mulai kasar dan sorot matanya sedikit berubah. "Tidak ada yang sala
Selina masih terdiam di tempatnya saat berhadapan dengan Heidy. Selina pun berusaha tidak menanggapi Heidy, bukan karena Selina takut, hanya saja Selina tidak mau membuat keributan. "Maaf, Nona Heidy, seperti kata Pak Dhexel, pantas atau tidaknya itu tergantung orang yang menjalaninya, jadi aku tetap menghargai pendapatmu tentang aku, tapi kalau tidak ada hal lain yang kau butuhkan, aku permisi dulu!" Dengan cepat Selina membalikkan tubuhnya, tapi Heidy terlihat masih belum puas melampiaskan rasa cemburunya. "Aku belum selesai bicara!" seru Heidy yang membuat Selina pun kembali menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Heidy. "Ada lagi, Nona Heidy?" "Kalau kau bersama Dhexel hanya karena uang, aku bisa memberimu uang, tapi tinggalkan Dhexel karena kalian benar-benar tidak pantas!" Selina menahan napasnya sejenak dan mati-matian ia menahan dirinya. Selina sama sekali bukan wanita yang sabar dan Selina tidak pernah takut bahkan kalau harus berkelahi, tapi saat ini ia adalah seor
Darrel masih berdiri di pintu ruang keluarga dan mengurungkan niatnya untuk masuk saat mendengar pembicaraan Rebecca dan Heidy. Entah apa maksud Heidy berbicara seperti itu, sama sekali bukan bermaksud memberitahu secara positif, tapi Heidy malah terdengar seperti sedang menggiring Rebecca untuk membenci Selina. Sungguh walaupun Darrel belum pernah bertemu dengan Selina, tapi dari cerita Dhexel, Selina tidak seburuk itu. Darrel pun tetap menunggu di tempatnya, sampai tidak lama kemudian, Heidy pun keluar dari ruangan itu. "Haruskah kau berkata begitu pada ibuku, Heidy?" tegur Darrel. Heidy yang belum tahu Darrel berdiri di sana pun cukup tersentak mendengar suara Darrel sampai ia membelalak kaget. "Darrel?" "Ya, aku mendengar semuanya, Heidy." "Ah, baiklah, aku juga tidak sedang menyembunyikan apa pun. Karena kau tidak tahu tentang kekasih Dhexel, jadi aku bertanya pada Tante Rebecca dan ternyata Tante Rebecca juga tidak tahu tentang itu." "Tapi kau terlalu berlebihan menjele
"Aku ingin menjadi badut lagi di depan The Market Suka-Suka!" Dhexel langsung membelalak mendengar permintaan Selina yang begitu mustahil. Tiga bulan awal kehamilan, Selina jalani dengan cukup sulit karena Selina terus muntah, tapi memasuki bulan keempat, Selina sudah mulai aktif. Selina pun mulai ngidam, tapi bukan ngidam makanan, melainkan ngidam beraktivitas, seperti bersepeda atau joging. Tentu saja itu masih normal saja walaupun Dhexel tetap tidak menurutinya sampai Selina terus mengomel, tapi sekarang di umur kehamilan Selina yang masuk bulan kelima, permintaan Selina makin aneh."Mana bisa kau menjadi badut lagi, Sayang? Pertama karena promosinya memang sudah tidak memakai badut, dan yang kedua kau sedang hamil, Selina," sahut Dhexel sabar. "Memangnya kenapa kalau aku sedang hamil? Aku kan tetap bisa memakai topeng monyetnya. Lagipula kau kan CEO-nya, adakan lagi promosi dengan badutnya." "Tidak bisa, Sayang! Sudah berbeda sekarang." "Apanya yang berbeda, Dhexel? Aku mau
Hampir dua bulan berlalu sejak pesta pernikahan dan pasangan pengantin baru itu pun akhirnya pulang dari bulan madunya keliling Eropa. Semua anggota keluarga pun menyambutnya dengan sumringah, terutama Aula dan Juna yang sudah sangat merindukan Selina. "Akhirnya kalian pulang juga, Ibu sangat merindukanmu, Selina!" "Aku juga, Ibu!" Selina dan Aula berpelukan begitu erat dan mereka pun menghabiskan waktu bersama beberapa hari setelahnya. Dhexel dan Selina sendiri juga sudah pindah ke rumah baru mereka di mana Dhexel dan Selina hanya tinggal berdua saja bersama dengan pelayan. Dhexel sendiri sebenarnya sudah mengajak Aula dan Juna untuk tinggal bersama tapi mereka menolaknya. Bagi Aula, kehidupan rumah tangga akan lebih sehat kalau hanya ada satu kepala keluarga di dalamnya yaitu Dhexel. Biarkan mereka mengatur rumah tangga mereka dengan cara mereka sendiri. Dan pikiran itu sama seperti yang Rebecca pikirkan. Walaupun begitu, Dhexel dan Selina sangat sering mengunjungi rumah Aula
"Akhirnya acaranya selesai juga, Sayang!" "Ya, aku mulai mengantuk, Dhexel. Aku bangun subuh tadi untuk make up."Dhexel dan Selina sudah berada di kamar hotel mereka malam itu setelah akhirnya serangkaian acara pesta pun selesai. "Aku juga bangun subuh, Sayang, bukan untuk make up tapi aku terlalu bersemangat menyambut hari ini," sahut Dhexel. Selina tersenyum mendengarnya dan Dhexel pun langsung memeluk mesra istrinya itu. "Aku mencintaimu, Selina! Dan akhirnya kita tidak perlu berjauhan lagi sekarang." "Haha, kapan kita pernah berjauhan, Dhexel? Kau selalu menarikku mendekat." Dhexel tergelak dan ya, itu memang benar. Dhexel selalu mempunyai seribu satu cara dan alasan untuk menarik Selina mendekat. Dhexel pun mendekap istrinya ikut makin erat, begitupun Selina yang balas memeluk suaminya dan mereka pun begitu menikmati hangatnya pelukan setelah sah menjadi suami istri itu. Cukup lama mereka berpelukan di sana sebelum tiba-tiba Dhexel bergerak dan secara mengejutkan membopo
Persiapan pernikahan selalu menjadi hari yang sibuk untuk pasangan manapun, termasuk pasangan Dhexel dan Selina. Dhexel menginginkan pernikahan yang sempurna untuk mereka, tapi Selina menginginkan yang sederhana saja. Hidup sederhana sejak kecil membuat Selina tidak punya banyak impian untuk pesta pernikahannya, Selina lebih fokus pada kehidupan setelah menikah nanti. Selina pun selalu menolak semua dekorasi mewah yang Dhexel sodorkan sampai Dhexel gemas sendiri pada calon istrinya itu. "Aku akan ikut apa pun yang kau persiapkan, Dhexel. Bagiku yang penting adalah kehidupan kita nanti setelah menikah." "Aku tahu, Sayang! Aku bangga padamu tentang itu juga, padahal calon pengantin wanita lain sangat banyak menuntut ini dan itu. Tapi kali ini aku yang ingin memberikan yang istimewa padamu, Selina! Ini bukti cintaku untukmu!" Selina mengangguk dan akhirnya ia ikut memilih bersama Dhexel walaupun Selina tidak berhenti mengomel saat tahu berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untu
Beberapa waktu berlalu dan kondisi pun kembali tenang. Heidy sudah kembali ke Paris dan kali ini Darrel tidak menyusulnya. Darrel tetap berada di Indonesia untuk membantu Dexter memegang perusahaan ayahnya itu yang lain. Tentu saja menghilangkan perasaan pada Heidy tidak semudah itu, tapi Darrel sudah bertekad menghilangkannya karena Heidy pun tidak akan pernah membalas perasaannya. Butuh waktu, tapi Darrel yakin pada akhirnya perasaan itu akan hilang juga. Darrel pun tidak ingin mencari penggantinya secepat itu karena Darrel akan fokus pada bisnisnya saja. Di sisi lain, Dhexel dan Selina pun makin mesra. Dhexel yang tidak mau berjauhan dengan Selina pun akhirnya meminta Selina bekerja di kantor pusat HWG bersamanya menjadi sekretaris barunya karena kebetulan sekretaris lama Dhexel yang sudah tua juga ingin pensiun. Elvan sendiri sebenarnya tidak rela kehilangan Selina, bukan karena Elvan masih menyukai Selina, tapi karena Selina ternyata sangat kompeten dalam bekerja. Namun, El
Dhexel tidak bisa menahan amarahnya begitu mendengar nama Heidy disebut. Dhexel pun langsung memeriksa CCTV dan persis seperti kesaksian Madam Poni, Heidy memang bertemu dengan beberapa karyawan kantor. Malahan Dhexel menemukan pertemuan lain yang tidak dilihat oleh Madam Poni. Brak!Dhexel menggebrak meja kerjanya dengan penuh emosi. "Sial, Darrel! Sial! Aku tidak mengerti apa yang ada di otak Heidy. Aku tidak mencintainya, bagaimana dia bisa memaksaku untuk mencintainya? Dan saat aku mencintai orang lain, dia melakukan semua ini untuk menjelekkan nama Selina. Aku tidak bisa menahannya lagi, Darrel! Sial!" Darrel tidak bisa berkata apa-apa untuk membela Heidy kali ini karena memang Heidy tidak pantas dibela. Darrel sendiri juga menahan amarah di dadanya, tapi cintanya tetap masih ada. Karena itu, hatinya bergejolak dan rasanya menyakitkan sekali mengetahui wanita yang ia cintai ternyata adalah wanita yang berhati busuk. Namun, setelah mendapatkan bukti ini, Dhexel pun makin mu
"Apa, Marlo? Selina dituduh menggelapkan dana perusahaan?" Dhexel memekik kaget begitu ia mendengar kabar dari Marlo tentang keadaan di Putra Perkasa. "Benar, Bos. Menurut info, karyawan finance sudah curiga sejak beberapa hari, tapi mereka masih menutupinya karena mereka sedang mencari bukti dan baru hari ini mereka menemukan buktinya." "Sial, itu tidak mungkin, Marlo. Aku bisa memastikan bahwa itu tidak mungkin, Marlo! Apa pun yang mereka tuduhkan pada Selina, itu tidak benar!" seru Dhexel dengan penuh keyakinan. "Aku juga percaya pada Selina, Bos! Tapi sepertinya masalah di kantor cukup panas saat ini." "Sial, siapkan tiket pulang, aku akan pulang malam ini juga!"Marlo mengangguk. "Baik, Bos!" Dhexel sendiri langsung menelepon Selina, tapi Selina tidak mengangkat teleponnya. Baru setelah beberapa kali menelepon, Selina pun akhirnya mengangkat teleponnya. "Selina, kau baik-baik saja?" Suara Selina teedengar gemetar saat menjawab Dhexel. "Kau ... kau sudah tahu masalah di k
Beberapa hari berlalu dan Selina pun akhirnya kembali bekerja di Putra Perkasa. Bora dan Elvan menyambut Selina dengan semangat yang baru. Mereka sudah mengetahui tentang ayah Selina, mereka pun ikut prihatin, dan mendoakan yang terbaik untuk ayah Selina. Aula sendiri akhirnya bisa beraktivitas normal lagi dan Selina pun akhirnya memberitahu tentang hutang mereka yang sudah dilunasi oleh Dhexel. Aula tidak berhenti menangis mendengarnya dan ia minta diantarkan ke rumah Dhexel hari itu juga untuk bertemu dengan Dhexel serta orang tuanya. "Kami tidak tahu harus membalasnya dengan apa, karena itu, aku hanya bisa membawa buah-buahan dan masakanku, semoga kalian menyukainya," seru Aula yang membawa aneka macam masakan untuk keluarga Dhexel. "Kau repot sekali, Bu Aula. Terima kasih banyak," seru Rebecca. "Aku yang seharunya berterima kasih padamu dan keluargamu, Bu Rebecca. Ucapan terima kasih dan masakan apa pun tidak akan bisa membalasnya. Kalau kau mau, aku juga bisa bekerja untukm
"Ada apa, Selina? Siapa?" tanya Dhexel yang melihat ekspresi ketegangan semua orang. "Itu Ayah, Kak! Itu Ayah, Ayah mau dibawa ke mana?" Tanpa bisa dicegah, Juna pun langsung berlari menyusul brankar milik Janu, sang ayah yang sudah lama menghilang. Aula sendiri tidak mencegahnya, tapi Selina langsung berteriak memanggil adiknya itu. "Juna! Juna! Untuk apa mengejarnya?" seru Selina dengan jantung yang masih berdebar tidak karuan. Selina pun berlari menyusul Juna dan Dhexel sendiri juga mengejar Selina, sedangkan Aula tetap tenang di kursinya dengan tatapan yang menerawang. Rebecca yang melihatnya pun ikut tegang karena ia tahu ayah Selina sudah lama menghilang. "Bu Aula!" panggil Rebecca penuh tanya. "Maaf, Bu Rebecca, maaf!" "Ah, iya, tidak apa!" Untuk sesaat, keduanya tetap diam di tempatnya sekalipun mobil Marlo dan satu mobil lain yang disetir oleh sopir Rebecca sudah tiba di depan mereka. Di sisi lain, Juna sudah tiba di samping brankar Janu dan menahannya di sana. "A