Dhexel dan Selina masih bertatapan di posisi mereka. Jantung keduanya berdebar begitu kencang namun Dhexel menunjukkan ekspresi yang begitu tenang. Berbeda dengan Selina yang sudah gelisah sendiri dan salah tingkah melihat Dhexel dan Heidy di sana. "Eh, Pak Dhexel!" sapa Bora duluan sambil melirik Selina. "Itu ... kami permisi dulu!" Kali ini Selina yang berbicara. Selina pun segera menarik Bora keluar dari sana, namun sebelum Selina bisa benar-benar pergi, Dhexel sudah menahannya. "Tunggu, Selina!" Sontak Selina menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dhexel. "Aku ada perlu denganmu, ikut ke ruanganku sebentar!" "Eh, aku?" Selina membelalak kaget. "Ya, kau! Bora, tolong antar Nona Heidy ke mana saja yang dia mau karena aku tidak sempat menemaninya. Heidy, kau ditemani Bora dulu saja karena aku sangat sibuk!" "Apa? Tapi Dhexel ...."Heidy mencoba protes, namun Dhexel langsung melepaskan dirinya dari Heidy dan masuk ke dalam lift. Selina dan Bora masih tetap diam di tempa
"Apa? Kekasih? Kau pasti sudah gila. Berakting sebagai kekasihmu? Bagaimana mungkin?" Selina memekik kaget mendengar ucapan Dhexel yang sangat tidak masuk akal. Namun reaksi Dhexel nampak biasa saja. "Apanya yang tidak mungkin? Tapi jangan halu dulu, bukan kekasih sungguhan, ini hanya akting saja untuk membuat Heidy menjauh dariku." Selina sampai mengernyit tidak mengerti. "Apa? Kau mau membuat Nona Heidy menjauh darimu? Tapi mengapa?" "Kau terlalu banyak tanya, Selina! Aku sudah bilang kalau aku tidak menyukai Heidy kan? Sudah lama dia mengejarku, aku juga sudah berkali-kali menolaknya, tapi dia tetap mengejarku, jadi kupikir dengan adanya kekasih di sampingku, dia akan berhenti melakukannya." "Tapi apakah itu masuk akal? Maksudku ... Nona Heidy itu sangat cantik dan sempurna jadi tidak mungkin kau menolaknya tapi kau bersamaku, itu sulit dipercaya." Dhexel menghembuskan napas panjangnya. "Kau itu terlalu banyak bertanya dan overthinking, Selina! Aku hanya memintamu beraktin
"Ya ampun, kau baik sekali, Pak Dhexel!" Aula menatap Dhexel dengan begitu sungkan saat Dhexel menemani Selina pulang ke rumah dan memberikan makan siang untuk Aula dan Juna. "Iya, Pak, kami sangat berterima kasih," timpal Juna sopan. "Tidak usah sungkan, tapi bagaimana kondisimu, Bu Aula?" "Kondisiku baik-baik saja. Terima kasih!" "Kapan kau harus periksa ke dokter lagi? Kalau kau butuh Selina menemanimu, katakan saja, aku pasti akan memberi ijin." "Astaga, kau baik sekali, Pak Dhexel, Selina beruntung sekali mendapatkan bos sepertimu." Aula melirik Selina dan Selina hanya bisa mengulum senyumnya. "Oh ya, Bu Aula, aku juga berterima kasih untuk sushinya, aku suka sekali!" "Benarkah itu? Syukurlah kalau kau menyukainya, Pak Dhexel, tapi kalau kau menginginkannya lagi, katakan saja, aku akan membuatkannya lagi untukmu.""Tidak perlu repot-repot, Bu! Terima kasih!" Lagi-lagi Dhexel dan Aula mengobrol dengan begitu akrab sampai Selina makin mengagumi Dhexel yang entah mengapa ma
Heidy masih mematung menatap sosok yang diakui Dhexel sebagai kekasih, sosok wanita yang sama sekali tidak cantik dan tidak ada nilai plusnya. Begitu juga dengan Selina yang masih belum tahu apa yang terjadi, tapi Selina cukup kaget melihat Heidy di sana sampai Selina juga hanya bisa berdiri mematung di tempatnya. "Ini ... kekasih? Kau tidak salah kan, Dhexel?" seru Heidy akhirnya. "Apanya yang salah, Heidy? Selina adalah kekasihku. Dia bekerja sebagai karyawan di sini dan belum lama ini aku menjalin hubungan dengannya." Dengan langkah santai, Dhexel mendekati Selina lalu seenaknya saja memeluk pinggang Selina dari samping. Selina masih tetap diam saat tubuhnya sudah menempel dengan tubuh Dhexel, tapi Heidy yang melihatnya langsung membelalak tidak terima. "Tidak! Tidak! Pasti ada kesalahan di sini, Dhexel!" Heidy yang tadinya masih tersenyum dan masih sabar nampak langsung mengeluarkan taringnya. Suara Heidy mulai kasar dan sorot matanya sedikit berubah. "Tidak ada yang sala
Selina masih terdiam di tempatnya saat berhadapan dengan Heidy. Selina pun berusaha tidak menanggapi Heidy, bukan karena Selina takut, hanya saja Selina tidak mau membuat keributan. "Maaf, Nona Heidy, seperti kata Pak Dhexel, pantas atau tidaknya itu tergantung orang yang menjalaninya, jadi aku tetap menghargai pendapatmu tentang aku, tapi kalau tidak ada hal lain yang kau butuhkan, aku permisi dulu!" Dengan cepat Selina membalikkan tubuhnya, tapi Heidy terlihat masih belum puas melampiaskan rasa cemburunya. "Aku belum selesai bicara!" seru Heidy yang membuat Selina pun kembali menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Heidy. "Ada lagi, Nona Heidy?" "Kalau kau bersama Dhexel hanya karena uang, aku bisa memberimu uang, tapi tinggalkan Dhexel karena kalian benar-benar tidak pantas!" Selina menahan napasnya sejenak dan mati-matian ia menahan dirinya. Selina sama sekali bukan wanita yang sabar dan Selina tidak pernah takut bahkan kalau harus berkelahi, tapi saat ini ia adalah seor
Darrel masih berdiri di pintu ruang keluarga dan mengurungkan niatnya untuk masuk saat mendengar pembicaraan Rebecca dan Heidy. Entah apa maksud Heidy berbicara seperti itu, sama sekali bukan bermaksud memberitahu secara positif, tapi Heidy malah terdengar seperti sedang menggiring Rebecca untuk membenci Selina. Sungguh walaupun Darrel belum pernah bertemu dengan Selina, tapi dari cerita Dhexel, Selina tidak seburuk itu. Darrel pun tetap menunggu di tempatnya, sampai tidak lama kemudian, Heidy pun keluar dari ruangan itu. "Haruskah kau berkata begitu pada ibuku, Heidy?" tegur Darrel. Heidy yang belum tahu Darrel berdiri di sana pun cukup tersentak mendengar suara Darrel sampai ia membelalak kaget. "Darrel?" "Ya, aku mendengar semuanya, Heidy." "Ah, baiklah, aku juga tidak sedang menyembunyikan apa pun. Karena kau tidak tahu tentang kekasih Dhexel, jadi aku bertanya pada Tante Rebecca dan ternyata Tante Rebecca juga tidak tahu tentang itu." "Tapi kau terlalu berlebihan menjele
"Mama menyukai wanita itu.""Mama sudah mengatakannya berkali-kali, Ma!" "Benarkah itu, Darrel? Haha, Mama memang selalu begitu kalau sudah menyukai orang." Rebecca dan Darrel tertawa bersama saat mereka sudah duduk di ruang kerja Dhexel. Tentu saja Dhexel tidak ada di sana dan mereka hanya melihat resume kerja dari para cleaning service di Putra Perkasa. Rebecca pun terus membolak-balik semua resume kerja di sana, tapi Rebecca tidak menemukan nama Selina. "Apa Mama salah lihat? Mama tidak menemukan nama Selina di sini, Darrel!" "Well, itulah sebabnya aku memeriksa di berkas yang ini, Ma!" Darrel menunjukkan berkas yang lain sampai Rebecca mengernyit melihatnya. "Berkas apa lagi itu, Darrel?" "Ini berkas resume kerja admin, Ma!" "Mengapa admin?" Darrel mengembuskan napas panjangnya sebelum ia kembali bicara. "Jadi sebenarnya Kak Dhexel sudah sedikit bercerita tentang Selina, kekasihnya itu." "Jadi benar Dhexel sudah punya kekasih? Mengapa sejak tadi kau diam saja, Darrel?"
"Kau!" Rebecca beranjak bangkit dari kursinya saat melihat Selina. Senyuman Rebecca pun terus mengembang saat akhirnya ia melangkah mendekati Selina. "Apa ini Selina kekasihmu, Dhexel?" "Ah, iya, ini Selina, Ma! Selina, ini Mamaku!" Selina mengerjapkan mata tidak menyangka ternyata wanita yang tersenyum padanya kemarin ada ibunya Dhexel. "Ah, iya, Bu, kemarin kita bertemu di kantor." "Benar, kau adalah wanita yang membantu mengepel lantai itu kan?" "Eh, iya!" Entah mengapa Selina begitu sungkan pada Rebecca. Dhexel sendiri yang mendengarnya langsung mengernyit. "Mama dan Selina sudah pernah bertemu?" "Kami bertemu kemarin, Dhexel. Mama ke Putra Perkasa dan Mama melihat Selina ini sedang mengepel lantai." Dhexel makin mengernyit menatap Selina. "Mengepel lantai? Untuk apa kau mengepel lantai, Selina?" Dexter dan Darrel masih terdiam di tempatnya, sedangkan Heidy langsung bangkit berdiri dengan menyebalkan. "Memang tugasnya mengepel lantai, dia kan seorang cleaning service