Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik batu besar di samping kiri melesat satu bayangan hitam.
Luar biasa sekali gerakan orang ini karena dia mampu menangkap suling tengkorak yang sesaat lagi akan menghantam kepala Bintang'.
Bintang melengak kaget. Berpaling dia dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang berpakaian serba hitam. Wajah orang ini tertutup sejenis tanah liat yang juga berwarna hitam.
"Makhluk hitam, aku tidak tahu kau ini setan kesiangan atau manusia sepertiku! Yang aku tahu kau barusan telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang budi berhutang nyawa padamu. Aku menghaturkan terima kasih“ Bintang lalu membungkuk dalam-dalam.
"Kraaakk! Kraaakkk!"
Tangan hitam yang mencekal suling tengkorak bergerak meremas secara aneh. Suling dan tengkorak hancur berkeping-keping. Asap hitam mengepul tapi sudah kehilangan racun jahatnya.
“Astaga“ Bintang tercekat kaget.
Si hitam ini memandang ke jurusan Dewi
WALAU amarah Jin Muka Seribu, Pasulingmaut dan nenek Si Pembedol Usus meluap luar biasa melihat kematian Pahidungbesar. Namun kedua orang ini jadi terpaksa menahan diri ketika melihat munculnya sosok orang serba hitam yang selama ini menjadi nomor satu di kalangan orang Istana Surga Dunia, apa lagi begitu muncul langsung menangkap dan meremas hancur suling tengkorak. Selain itu empat orang pengusung tandu yang barusan di Perintah untuk mengurung Bintang saat itu sama-sama terkesiap dan ciut nyali masing-masing begitu melihat Pahidungbesar meregang nyawa dengan cara sangat mengerikan.Apa lagi saat itu Si Jin Sinting terkapar di tanah dalam keadaan lumpuh tidak berdaya. Betina Bercula, walaupun tak kurang suatu apa tapi nyalinya telah leleh. Banci satu ini tengah berpikir bagaimana bisa meninggalkan tempat itu dengan aman. Tidak ketahuan Jin Muka Seribu juga tidak ketahuan pihak lawan.“Jin Budiman...” desis Jin Muka Seribu dan Pasulingmaut hampir berbarenga
Jin Muka Seribu memaki habis-habisan. Wajahnya depan belakang berubah menjadi wajah raksasa. Dia gerakkan tangannya ke pinggang. Ketika tangan itu diangkat terdengar satu letusan kecil lalu asap hijau menggebubu menutup pemandangan."Jin pengecut! Pasti dia kabur sudah!”teriak Jin Obat Seribu. Benar saja, begitu asap hijau luruh lenyap, sosok Jin Muka Seribu tak kelihatan lagi di atas tandu. Melihat kejadian ini empat orang anak buah yang mengusungnya serta merta melarikan diri berserabutan."Jin Muka Seribu! Jangan tinggalkan aku!”seru kakek rambut putih Pasulingmaut. Arya dekati kakek ini lalu usap-usap rambutnya yang putih.”Kau mau kukencingi atau kutampar? Kau membuat susah sahabatku si pemuda itu ya?!""Mengapa berani dalam keadaan aku tidak berdaya?”kata Pasulingmaut."Kau pandai bicara! Sudah, biar kutampar saja mulutmu sampai perot!” Arya usap-usap telapak tangannya satu sama lain lalu yang kanan bergerak.
"Lebih baik kita tinggalkan tempat ini!" kata Arya sambil menepuk bahu Bintang."Tunggu dulu!" kata Bayu. "Dari sikapnya kakek itu seperti menunggu seseorang. ""Mungkin menunggu korban berikutnya," menyahuti Bintang. "Semua korban berkaki putus. Jika memang hendak membunuh orang mengapa tidak menusuk dada atau perut atau menabas lehernya? Sungguh aneh, sebaiknya kita tunggu agar bisa melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi di tempat angker Inil""Kalau begitu biar aku turun. Kalian mau menunggu sampai tujuh hari tujuh malam silahkan saja! Aku tidak mau ikut-ikutan!" kata Arya. Lalu dia menggeser kakinya, siap hendak melompat turun. Namun niatnya ini jadi urung ketika mendadak satu bayangan berkelebat disertai seruan keras."Pateleng! Aku datang untuk menjajal kehebatan Lonceng Kematianmu!"Sesaat kemudian seorang lelaki gagah, berjanggut dan berkumis lebat tapi rapi serta mengenakan topi tinggi merah seperti tarbus tahu-tahu sudah tegak di hal
PAKERASHATI alias Jin Hati Baja gentakkan kaki kanannya ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat enteng ke udara dan jatuh tegak tepat di belakang bendera kuning yang menancap di roda lonceng yang berputar. Karena lonceng berputar, agar dia tetap bisa bertahan di atas lonceng maka Jin Hati Baja mulai berlari-lari kecil di atas kepingan-kepingan kayu besi hitam yang membentuk cegukan dan mengantar air dan sengaja menghadap ke jurusan berlawanan dari arah putaran lonceng. Sambil tertawa-tawa Jin Hati Baja melakukan hal itu. "Pekerjaan begini mudah! Anak Jin yang baru belajar ilmu silat kampunganpun sanggup melakukannya!" katanya dalam hati.Tak selang berapa lama bendera kuning kelihatan muncul di hadapan lelaki bertopi merah tinggi itu, bergerak di atas roda lonceng, mendekati sepasang kaki Jin Hati Baja yang berlari-lari kecil."Satu!" teriak Pateleng dari atas atap.Jin Hati Baja mendongak ke atas dan menyeringai. Pateleng cabut pipanya dari sela bibir. Lalu de
"Apa yang kau sembunyikan di permukaan lonceng jahanam itu!"Si kakek geleng-gelengkan kepala lalu berkata. "Jangan berpikir, apa lagi menuduh yang bukan-bukan Hai Hati Baja! Seharusnya kau berhati polos. Mengakui kau tidak mampu berdiri selama tiga kali putaran di atas loncengku!""Bangsat tua?! Aku.”Tubuh Jin Hati Baja mendadak menggigil lalu kelojotan. Dia coba kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Maksudnya hendak menghantam si kakek yang ada di atas atap dengan satu pukulan sakti. Namun dia tak punya kemampuan mengangkat tangan. Sementara dua kakinya yang kini buntung sebatas pergelangan tersentak- sentak.Di atas atap Pateleng tertawa mengekeh. Sekali dia mengenjot dua kaki maka seperti seekor burung besar tubuhnya melayang turun ke tanah. Jatuh tegak tepat di samping sosok Jin Hati Baja."Hati Baja... Hati Baja, Hai! Nasibmu malang amatl Akan kulihat apakah kau memang membekal benda yang aku cari?!"Habis berkata begitu
Bintang dan Arya palingkan kepala ke arah rumah lonceng. Benar apa yang diteriakkan Bayu. Dari jurusan bangunan tersebut, sementara Lonceng Kematian masih terus berputar menggemuruh, kelihatan menyambar tiga buah benda sebesar kepalan, berbentuk bulat merah. Selagi melayang di udara, tepat di atas halaman di depan rumah lonceng, tiga benda itu berpijar terang lalu meletus keras dan berubah bentuk.Kalau tadi merupakan tiga buah bola-bola merah muka kini menjadi larikan asap berwarna merah dan membeset ke arah tiga jurusan yang semuanya mengarah ke pohon besar di mana Bintang dan kawan-kawannya bersembunyi. Jelas tiga larikan asap merah itu satu persatu di arahkan pada Bintang, Bayu dan Arya."Lompat!" teriak Bintang.Tiga sosok berkelebat jungkir balik dari atas pohon, melompat ke tanah. Begitu injakkan kaki di tanah Bintang berguling sampai beberapa tombak, menjauh dari pohon besar. Hal yang sama dilakukan pula oleh Arya dan Bayu."Wusss!""Wusss!
"Orang tua!" seru Bintang. "Kami tidak punya niat melayanimu. Kau bisa menunggu lain orang saja. Mohon maaf. Biarkan kami pergi dengan aman!""Pemuda rambut kuda banyak cakap! Kalau begitu biar kau yang kuundang naik ke atas lonceng ini! Hari ini aku mencabut aturan bahwa hanya orang berusia paling rendah enam puluh tahun saja yang boleh menjajal kehebatan Lonceng Kematian!"Wajah Bintang jadi berubah. Tangan kirinya pulang balik menggeleng kepala. "Maaf Kek! Lain kali saja aku penuhi undanganmu! Aku dan kawan-kawan masih ada keperluan lain. Kami sudah cukup puas sudah melihat loncengmu yang hebat!""Mana bisa begitu!"Kakek diatas atap meradang "Berani kau bergerak satu langkah, nyawamu tertolong! Kecuali jika kau mau mengaku kau adalah manusia paling pengecut dan tidak berani menerima tantangan orang!"Terbakarlah darah Bintang mendengar ucapan si kakek. Namun masih bersabar dan sambil menyeringai dia menjawab. "Terserah kau mau bilang apa! Aku tidak ber
Ketika lonceng mulai bergerak dan berputar ke kiri Bintang segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan. Setiap kedua kakinya menjejak kayu roda, dia kerahkan tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol kayu lonceng untuk melihat apa yang tersembunyi di sebelah bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali! Selagi Bintang mencari akal apa yang harus dilakukannya tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran lonceng seraya berseru. "Satu!" “Dung...!” Lonceng bergetar lalu menggemuruh berputar lebih cepat. Di sebelah depannya Bintang melihat bendera kuning bergerak menuju ke arahnya lalu lewat di bawah kedua kakinya. Bintang melirik tajam pada si kakek, memandang ke bawah ke arah dua temannya lalu kembali memperhatikan lonceng yang berputar semakin cepat, membuat dia harus berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera kuning muncul kembali untuk kedua kalinya. Lonceng berputar semakin kencang. Dengan Ilmu meringankan tubuh yang dimi