Diulurkan tangan kanannya untuk menyentuh kubah secara perlahan, lalu muncul energi dingin dari arah lengannya. Energi dingin yang dengan cepat membekukan seluruh kubah penghalang, lalu diketukkan jari telunjuknya pada kubah.
Crangg!!
Ketukan pelan nan lembut, tapi membuat kubah hancur berantakan seperti pecahan kaca. Energi penghalang yang harusnya bisa menahan bahkan monster sekuat apapun, namun dengan mudahnya dihancurkan.
Wanita itu kini melayang turun perlahan, dibarengi jatuhnya kristal es dari tubuhnya dan memadamkan api yang membakar hutan. Beberapa saat kemudian, kubah penghalang mulai terbentuk kembali secara perlahan-lahan hingga akhirnya utuh seperti sedia kala.
"Memang bisa menahan monster sekuat apapun, tapi tidak akan menahan sesuatu yang bahkan membuat monster ketakutan," ujar gadis bertopeng seraya melihat ke arah mamanya Akara.
"Lisa, ada apa dengan kekuatanmu?" ujarnya dengan santai, seperti tidak melihat keadaan anaknya yang sedang pingsan.
"Perjalanan ruang waktu cukup melelahkan, hanya tersisa sebagian kecil kekuatanku saja,"
Mamanya Akara hanya tertawa kecil setelah mendengar jawabannya, lalu mendekati anaknya yang tengah melayang di udara. Ia ulurkan tangan kanan ke arah esensi berwarna biru, lalu tangan kiri ke esensi berwarna merah. Walau kedua esensi memiliki energi panas dan dingin yang sangat luar biasa, namun tidak berefek apapun padanya.
"Akara belum bisa mengendalikan emosinya dengan baik, jangan sampai seperti kakaknya," ujarnya sambil perlahan-lahan mulai merapatkan kedua tangannya, menggerakkan kedua esensi agar saling mendekat.
Bwushhhh!!
Terjadi ledakan energi yang sangat besar saat kedua energi bergabung, disusul semburan api biru ke arah atas hingga mengenai kubah pelindung.
"Akhh!" Mama Akara cukup kwalahan mengendalikan kedua esensi, sedangkan semburan api biru terus saja terjadi tanpa henti.
"Aku bantu." Lisa sang gadis bertopeng mengangkat tangan kirinya, kini lingkaran sihir di udara mulai menyala kembali. Kilatan-kilatan petir yang tidak beraturan, perlahan menyatu dan mengalir dengan tenang ke dalam kedua esensi.
Semburan api masih saja besar, lalu keduanya menghentakkan energi dari dalam tubuh mereka. Kini tubuh mereka diselimuti oleh energi, energi petir merah muda pada Lisa, juga energi api merah menyala pada mamanya Akara. Ada juga perubahan warna dan bentuk pupil mereka, bentuk seperti mata ular dan warnanya sesuai warna energi mereka yang menyala-nyala begitu indah.
Perlahan-lahan api biru mulai mengecil, dibarengi dengan aliran energi seperti air di udara, mengalir ke dalam esensi. Baru beberapa saat, tiba-tiba Lisa terbatuk.
"Uhuk!" Lisa batuk disertai dengan darah yang keluar dari mulutnya.
"Lisa!? Hentikan, jangan memaksakan dirimu!" Mamanya Akara sontak panik, namun Lisa masih tetap mengalirkan energinya.
"Tidak, harus bisa!" teriak Lisa dengan suara sedikit bergetar.
Mama Akara menengok ke arahnya dengan kesal, namun segera menghela napas begitu melihat air mata yang mengalir di pipi Lisa.
"Huhh, baiklah,"
Woshhh!
Kini kobaran api merah pada tubuh mamanya Akara semakin membesar, bahkan menyamai kobaran api biru sebelumnya. Penyatuan tinggal sedikit lagi, namun lagi-lagi Lisa batuk hingga mengeluarkan darah. Mama Akara hanya bisa mengkerutkan dahinya, mengkhawatirkan gadis cantik itu.
Blup…
Saat kedua esensi menyatu, semuanya langsung seketika sunyi. Asap serta api yang memenuhi kubah penghalang hilang begitu saja. Tubuh Lisa dan juga mamanya Akara langsung tersungkur di tanah, sedangkan anak kecil itu turun secara perlahan dari udara.
"Hahaha, akhirnya." Keduanya tertawa begitu lepas karena lega telah menyelesaikannya.
…
Hari berikutnya, Akara berada di depan kediaman keluarga Beton, ia berdiri tepat di depan gerbang masuk. Mengambil ancang-ancang, lalu berteriak sekeras-kerasnya.
"Cor Beton sialan! Keluar!"
Para penjaga yang terkejut langsung berlarian menuju sumber suara. Kediaman yang sangat luas hingga membutuhkan beberap penjaga di gerbang depannya.
"Woi bocah, apa yang kau lakukan!?"
"Pergi! Jangan buat onar!"
Akara tidak menghiraukan peringatan para penjaga, ia malah berlari masuk, menerjang para penjaga dan melewatinya begitu saja.
"Cepat tangkap bocah itu!"
Mereka dipermainkan oleh kelincahan Akara dan akhirnya anak itu sampai di halaman utama. Sebuah lapangan yang cukup luas, tepat di depan sebuah bangunan besar.
"Cor Beton, keluar!" Akara berteriak lagi sambil berlari menghindari kejaran para penjaga.
"Keluar pengecut sialan!" teriaknya lagi, namun tiba-tiba ada seseorang yang melesat dengan sangat cepat. Ditangkapnya kedua tangannya dan dipiting di bagian belakang badan. Yon Beton, seorang pria berumur 30 tahunan dengan muka yang terlihat begitu tenang dan berpakaian rapi.
"Akhhh!" Akara hanya bisa berteriak kesakitan saat tubuhnya dipiting hingga terangkat.
"Tuan Yon Beton!"
"Maafkan kami telah gagal menangkap pembuat onar itu." Para penjaga langsung menunduk ketika melihat pria yang sedang memiting anak kecil itu.
"Pergilah pergilah." Yon Beton hanya mengibaskan punggung tangannya untuk mengusir para penjaga. Setelah penjaga pergi, ia melepaskan pitingan pada tubuh Akara.
Buggh!
Akara langsung melakukan tendangan memutar, namun langsung ditangkis dengan begitu mudah. Setelah itu ia terdiam, memandangi pria yang terlihat berwibawa itu.
"Bocah, tau tempat apa ini?"
"Tau! Tempatnya pengecut Cor Beton itu!" teriak Akara dengan kesal, sambil menunjuk ke arah bangunan di sampingnya. Bangunan utama dimana tuan muda keluarga Beton berada.
"Hahaha, pengecut? Dia tuan muda keluarga cabang kami, penghinaanmu tidak bisa dimaafkan begitu saja." Yon Beton menundukkan kepalanya, dan menatap Akara dengan tatapan menyeramkan.
Walau begitu, anak itu tidak gentar, malahan ia pelototi kembali.
"Cor Beton keluarlah!" Yon Beton dengan tegas, lalu pintu depan terbuka dengan tergesa-gesa. Muncul tuan muda keluarga Beton yang didampingi oleh ayahnya, mereka tergesa-gesa seperti sedang ketakutan.
"Tuan Yon Beton, ada apa?" ujar ayah Cor Beton dengan tutur kata yang halus dan begitu menghormati Yon Beton , padahal ia sendiri merupakan kepala keluarga Beton di kota Biru.
"Suruh anakmu minta maaf, dia telah merusak citra keluarga Beton!"
"Ta, tapi tuan, anak itu yang memukul Cor Beton terlebih dahulu." Pria paruh baya itu masih berusaha mencari kebenaran untuk anaknya.
"Awal masalahnya apa? Cor Beton yang menghina anak ini terlebih dahulu, dia bilang sampah? Lihatlah anakmu, sebagai tuan muda keluarga Beton, tapi masih kalah dengan Dam Beton," ujar Yon Beton sambil meraih pundak Dam Beton.
Cor Beton dan ayahnya sontak keringat dingin karena panik, bahkan tidak bisa berkata-kata.
"Memukuli anak yang tidak bisa memadatkan aura di depan banyak orang, bahkan ia menggunakan aura energinya? Cepat minta maaf!"
"Aku tidak butuh minta maaf!" teriak Akara tiba-tiba, membuat Yon Beton dan Dam Beton tersenyum sambil saling menatap.
"Lakukan pertarungan melawanku!" tantangnya sambil menghunuskan kedua pedang kayu.
Cor Beton dan ayahnya langsung tersenyum bahagia begitu mendengar ucapan Akara. Walaupun begitu, mereka masih harus menunggu keputusan dari Yon Beton.
"Kalau begitu yang nak Akara mau, Cor Beton, bagaimana denganmu?"
"Tentu saja!" seru tuan muda keluarga Beton dengan penuh percaya diri.
Mereka kemudian bersiap-siap di tengah-tengah lapangan, dengan keluarga Beton yang mengelilingi mereka. Akara menenteng kedua bilah pedang kayu miliknya, sedangkan Cor Beton yang penuh percaya diri dengan tangan kosong.
Dungg!
Suara tabuhan gong besar menjadi pertanda mulainya pertandingan. Saat Akara melesat, Cor Beton membuka aura ranahnya. Aura energi 5 bintangnya cukup untuk membuat tubuhnya kuat menahan serangan pedang kayu milik Akara. Walau begitu, Cor Beton terlihat meringis kesakitan saat Akara menebas lehernya.
Kini Cor Beton melakukan serangan balik, pukulan demi pukulan terus ia lancarkan, namun selalu Akara hindari. Serangan Akara juga kini ia tangkis, bahkan sebagian besar ia hindari setelah merasakan serangan pertamanya cukup membuatnya sakit.
Di atas atap kediaman keluarga Beton, ada Lisa yang sedang menonton tanpa ada yang mengetahuinya.
Saat Akara berlari melesat, Cor Beton berhasil memukul lengan tangan kanan Akara, membuatnya hampir terhempas begitu mendapatkan pukulan yang kuat. Sorakan gembira mengiringi senyuman puas Cor Beton, namun Akara berdiri tegak kembali.
Kreekkk!
Tangan yang tadi terkena pukulan diluruskan, lalu muncul hentakan energi dari tubuh Akara. Aura energi mulai terbentuk di belakang pundaknya hingga berjumlah 3 bintang. Sorakan bahagia para anggota keluarga Beton beberapa saat yang lalu, kini berubah menjadi terkejut.
"Bahaya, anak itu ancaman!" gerutu Yon Beton sambil berdiri karena ikut terkejut.
"Hahaha, memangnya kenapa kalau sudah memadatkan aura?!" seru Cor Beton, menutupi kegelisahannya.
Akara tidak menjawabnya, ia langsung melesat menuju tempat Cor Beton. Melihat Akara bergerak, Cor Beton memukul tanah di depannya dengan kuat.
Dushh! Bruuussskk!
Tanah yang dipukulnya menjadi seperti gelombang yang bergerak cepat ke arah Akara.
Classh!
Akara langsung mengayunkan satu pedangnya, hingga membelah ombak tanah di depannya. Ia kembali melesat, sedangkan Cor Beton memukul udara beberapa kali. Pukulannya di udara berubah menjadi energi yang meluncur dengan cepat, namun tidak bisa menghentikan anak itu. Ia terus melesat dan menghunuskan kedua pedangnya menuju ke arah perut Cor Beton.
Yon Beton yang sedang gelisah langsung mengambil tindakan, diulurkan tangannya ke arah mereka, lalu menggenggam.
Crekk!!
Pedang kayu miliknya tidak disangka menembus tubuh Cor Beton. Semua orang terkejut tidak percaya termasuk anak itu sendiri, sedangkan pria bernama Yon Beton malah tersenyum puas.
"Apa yang terjadi, bagaimana bisa?" Akara langsung melepaskan pegangannya pada kedua pedang kayunya, lalu tertatih berjalan mundur. "Anakku!" Ayah Cor Beton langsung berlari menghampiri anaknya dan langsung mengusap darah di perut yang mengalir di perutnya. "Selamatkan anakku!" teriaknya kepada para anggota keluarga Beton. "Tangkap anak itu!" Yon Beton langsung memerintahkan anggota keluarga Beton untuk menangkap Akara. Padahal anak itu sedang kebingungan dan masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. "Panggil ibunya ke sini!" lanjutnya. … Beberapa saat kemudian, mamanya Akara datang ke kediaman keluarga Beton. Di sana Akara sudah babak-belur, terikat pada tiang kayu dengan tatapan mata kosong. "Akara!" teriaknya yang langsung berlari menghampiri anaknya. Tatapan mata kesal terus terpancar dari para anggota keluarga Beton. Saat itu hanya ada Yon Beton, sedangkan ayah Cor Beton selaku kepala keluarga malah tidak terlihat. Dengan perlahan Yon Beton mendekati wanita yang
Di kediaman keluarga Beton, Lisa mendatangi suatu bangunan, di sana terdengar suara tangisan banyak orang. Saat ia membuka pintu, ada beberapa orang yang sedang mengerumuni jasad Cor Beton. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan begitu melihat kedatangannya, satu-persatu tangisan mereka berhenti. Kedatangan wanita bertopeng misterius, tentu saja membuat mereka terkejut dan langsung berposisi menyerang. Dikeluarkan aura ranah mereka yang hanya aura satu bulan energi, ranah Maskumambang. "Siapa kau!?" "Berani-beraninya menyusup ke kediaman keluarga Beton!" Lisa tidak memperdulikannya dan dengan tenang berjalan menuju ke arah dua pedang kayu yang tergeletak di lantai. Pedang kayu yang ia berikan kepada Akara, kini telah berlumuran darah tuan muda keluarga Beton. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mengambilnya dan berjalan ke luar ruangan begitu saja. … Wush! Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang berdiri di depan Akara. Ia masih terlihat muda, bahkan seperti belum mencapai
Wilayah Kaisar Naga Sejati Lisa melayang di atas hutan yang begitu lebat nan luas, di depannya ada seorang gadis yang juga melayang. Gadis dengan rambut yang disanggul berwarna emas berkilau, menampakkan lehernya dengan rambut tipis. Kulitnya begitu putih bersih, dengan bibir tipis merah muda dan pupil mata yang sama dengan warna rambutnya. Dada dan panggulnya bulat berisi, dengan pinggul kecil dan kaki jenjang. Bisa dikatakan bahwa tubuhnya sangatlah ideal. "Mendistorsi ruang waktu yang menggagalkan teleportasiku, seharusnya ada satu orang yang bisa melakukannya di dunia fana ini," ujar Lisa sambil melepaskan topengnya perlahan-lahan, menunjukkan wajahnya yang tidak kalah cantik. "Kekuatanmu turun sejauh ini, apa masih berani mendatangi mereka?" Gadis berambut emas perlahan-lahan mendekati Lisa. "Apa ingin memberiku kekuatan, kak Viona?" Lisa tersenyum lebar sambil terus menatapnya. Gadis bernama Viona itu kemudian menjentikkan jarinya, membuat penghalang yang mengelilingi mereka
Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya. Brakk! Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun. "Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung. "Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya. "Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut. "Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi. "Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan," "Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk. Tass!! dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari
Akara kini berada di atas altar pemurnian bersama dengan mama Lia dan juga Alice, sedangkan yang lainnya sudah tidak ada di sana. "Mama buatkan ramuan dulu." Mama Lia terlihat sedang menggerus beberapa tanaman obat menggunakan cobek kecilnya. "Terima kasih mama Lia," "Kak, tidak apa-apa?" ujar Alice kepada kakaknya yang telah telanjang dada, memperlihatkan luka lebam di tubuhnya. "Ahahaha sudah biasa, latihan dengan mama sering membuatku seperti ini," ujarnya dengan riang, padahal banyak luka lebam di tubuhnya. "Kalau terbiasa kenapa tidak bisa mengontrol emosimu?" ujar mama Lia yang masih menggerus tanaman obat. "Habisnya, ayah menjengkelkan!" "Kamu ini!" Mama Lia mendekati Akara, lalu mengoleskan ramuan obat yang ia buat pada lukanya. "Agh." Ia sedikit meringis menahan sakit, sedangkan adiknya terus melihat ke arah mama Lia yang tengah mengoleskan ramuan. "Mama, tolong ajari aku tentang obat-obatan!" seru Akara di tengah-tengah pengolesan ramuan. "Yakin?" ujar mama Lia sam
Saat malam hari, Akara berjalan melewati lorong rumah ditemani cahaya bulan dari dinding kaca. "Akara?" Mama Serin yang tengah berjalan melihatnya, lalu langsung mengikutinya. Akara menuju ke arah ruang makan, namun berhenti saat berada di depan kamar. Pintu dengan gantungan bunga-bunga, juga bertuliskan 'Alice'. Setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kemudian masuk ke dalam kamar adiknya. Kamar bernuansa merah muda yang begitu feminim, lalu tempat tidur dengan kasur dan selimut berwarna putih bersih. Di sana, Alice tengah terlelap dalam tidurnya. Dengan perlahan-lahan, ia mulai mendekati tempat tidur adiknya, lalu berdiri tepat di sampingnya. Disingkapnya selimut bagian atas hingga berada di perut adiknya, setelah itu kedua tangannya mengarah ke dada. Mama Serin yang tadi mengikuti Akara, kini membuat sebuah portal pada dinding. Portal terbentuk hingga seolah-olah dindingnya berlubang, lalu ia perhatikan apa yang anaknya lakukan. Aura ranah A
Saat hari sudah gelap dan keadaan mulai sunyi, Akara kembali mengendap-endap masuk ke dalam kamar adiknya. Hal yang sama ia lakukan, menyalurkan energi miliknya menuju ke dalam tubuh Alice. Kegiatan yang terus ia lakukan setiap malam hingga genap satu minggu. .. Esok harinya, saat kakak dan keempat mamanya akan melakukan sarapan, tiba-tiba saja pintu kamar Alice terbuka dengan keras, lalu sang pemilik kamar berlari keluar. "Ada apa!?" "Kenapa cantik!?" Mama Rani dan mama Serin begitu panik dan segera berdiri untuk mendekati anaknya. "Mama, ranahku naik!" seru Alice sambil berlari menuju ruang makan dan mengeluarkan aura ranahnya. Aura 2 bintang energi diperlihatkan kepada kakaknya dan keempat mamanya. Tangan kanannya diulurkan ke depan, lalu muncul aliran listrik berwarna merah muda. Listrik yang menyelimuti tangannya, lalu menyebar ke segala arah. "Wahh akhirnya!" Mama Serin langsung memeluk anaknya, sambil mengusap-usap rambut hitam lurusnya. Melihat usahanya berhasil, senyuma
Saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun, Akara berjalan sendirian di tengah hutan. Hutan tropis yang berada di lembah belakang rumahnya, belum cukup jauh karena masih terlihat jelas rumah di belakangnya. "Kak Akara!" teriak seorang gadis kecil dari kejauhan, ia sedang berlari mengejar kakaknya. Akar dan pohon tumbang yang lalu-lalang di hadapannya tidak menjadi rintangan, ia dengan mudah melompatinya walau setinggi dan sebesar apapun. "Kenapa mengikuti kakak?" ujar Akara begitu Alice sampai di sisinya. "Kak Akara ini! Setidaknya tanya dulu 'Cantik kenapa di sini?' 'Cantik mau ke mana?' belum tentu juga ke sini mengikuti kakak, tidak basa-basi sama sekali!" Alice cemberut kesal, namun langsung berubah ketika melihat kakaknya tersenyum. Gadis kecil ini langsung meraih lengan kakaknya dan memeluknya. "Mau cari tanaman obat apa kak?" lanjutnya. "Adek Alice ini! Setidaknya tanya dulu 'Kakak mau ke mana?' 'Ngapain di sini?' belum tentu juga ke sini mencari tanaman obat, tidak basa-
Alhamdulillah selesai Season 1! Terima kasih buat yang sudah mendukung Author, semoga terhibur dengan imajinasi saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan author, baik penulisan kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca ataupun yang lainnya. Para pendukung semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya, jadi dapat terus mengikuti perkembangan author dan Akara. Author akan hiatus dulu dan akan mulai kembali bulan depan, semoga diberikan kelancaran untuk semuanya. Oh iya, Author sarankan untuk membaca ulang Arc 1 (bab1-52) percayalah, ada rencana bagus yang Author siapkan untuk Akara. ******* Penguasa Dewa Naga Season 2 Takdir merenggut semua orang terkasihnya, membuat kekuatannya lepas kendali dan menciptakan lubang hitam. Dirinya terhisap ke dalam lubang hitam, lalu muncul kembali di dunia yang dipenuhi oleh api dan kekerasan. Neraka? Seperti itulah gambaran dunia ini. Dengan ingatan yang masih membekas, Akara mencari cara untuk keluar dari dunia itu. Menggunakan nama samaran
Pemuda dengan pakaian compang camping penuh luka bakar dan menenteng sepasang pedang kayu hitam, muncul di atas sebuah sungai, di belakangnya ada gua di bawah air terjun yang sudah hancur. Ia lalu melihat ke arah hilir sungai, pemukiman di pinggir bantaran sungai sudah hancur berantakan, dengan pepohonan raksasa yang ambruk dari hutan di belakangnya. Selain tubuh manusia yang berserakan, juga banyak binatang sihir raksasa yang kondisinya tidak jauh berbeda. "Tuan Agera!" teriak seseorang yang wajah dan tubuhnya penuh bekas luka, namun kali ini banyak sekali tambahan luka di tubuhnya. Ia tertatih-tatih mendekat, lalu melesat terbang mendekati pemuda itu. "Marbun Bidara! Kekaisaran Gletser Abadi!"Akara langsung menoleh ke samping, kesadarannya langsung mendeteksi ribuan mil di depan sana. Wush!... Dalam sekejap, ia sudah berada di atas gletser kutub, meninggalkan robekan ruang yang gelap di udara, seakan menggaris langit sejauh ribuan mil. Gleng!... Ia melompat turun, membuat cekung
447Walau tubuhnya masih penuh luka bakar yang mulai mengering, ia mengangkat satu tangannya ke atas. Wush!... Ketiga Auranya menyala, membuat hembusan energi dan seketika energi meluap keluar dari tubuhnya, membentuk aliran energi yang bergerak ke atas. Enegi itu membentuk lingkaran energi besar yang memiliki pola rumit layaknya di atas altar teleportasi. "Kau ingin kabur!?" Sonic Boom terbentuk di belakang Rose, sambil mengulurkan satu tangan ke depan dan segera diselimuti oleh energi merah berbentuk cakar. Akan tetapi, lingkaran teleportasi sudah sepenuhnya menyala dan Whup!... Para master Alkemis menghilang, namun ternyata Akara masih berada di sana. Cring!... Ia menangkis cakar rubah menggunakan pedang kayunya sambil tersenyum menyeringai."Sudah aku bilang, aku akan membunuhmu!"Wush!... Rose melesat menjauh bagaikan bayangan, namun Akara langsung berada di depannya. Mereka melesat hingga luka bakar di tubuh keduanya terlepas sendiri-sendiri. Akara terus mengincar lehernya, mem
Laser menembus energi pelindung dan langsung menerpa tubuhnya, cukup lama laser bersinar hingga akhirnya padam. Gelombang radiasi panas masih memenuhi angkasa lepas, lalu ada bongkahan batu yang menyala merah. Krek!... Batu itu retak dan tidak lama kemudian hancur, muncullah pemuda berjaket hitam di dalamnya. Walau tubuhnya diselimuti oleh Esensi Surgawi, namun pakaian dan tubuhnya penuh luka bakar. "Apa aku bilang!" seru Komo, namun tuannya masih terlihat santai dan meraih kedua pedangnya kembali. Akan tetapi.."Agkh!" Ia langsung memegangi dadanya dan tatapannya begitu tajam melihat ke arah gadis rubah di depannya. "Ada apa Akara!?"Ia menjawabnya sambil menahan emosi dan giginya mengatup karena sangat geram. "Kubah pelindung di kota Bhinneka telah hancur, bahkan yang menyelimuti Gua Pelindung Harapan juga hancur!"Rose lalu tertawa puas, seolah-olah dia dapat mendengar apa yang Akara katakan. "Apa kau merasakannya!? Pasukanku telah menemukan keberadaan kekasih fanamu! Para gadism
335Di angkasa lepas yang gelap dan dihiasi cahaya bintang. Bruak!... Rose kembali tertahan oleh dinding transparan dan Akara langsung berada di depannya, memukul hidungnya dengan sekuat tenaga. Dinding transparan langsung hancur dan gadis itu terlempar ke belakang. Akara ingin membuat dinding transparan lagi, namun segera ada energi kematian yang menyelimuti tubuh Rose. Gadis itu tidak lagi menabrak dinding transparan dan menembusnya. Akan tetapi, Akara tetap muncul di depannya dengan mengayunkan pedangnya. Tring tring!... Benturan pedang dan cakar rubah menciptakan percikan api, lalu mereka saling menyerang sambil terus melesat. Bugh!... Rose menendang perut Akara hingga terlempar mundur, namun pemuda itu langsung berteleport di belakangnya. Crang!... Ia mengayunkan pedangnya, ditahan oleh selendang, namun tetap membuat meluncur jauh. Ia kembali berteleport dan menendang punggungnya, hingga melenting sebelum terlempar. Gadis itu terlempar menuju planet di dekatnya, terbakar saat mem
Kubah pelindung arena bergetar hebat, membuat semua orang menoleh, termasuk para penyandera dan yang di sandera. Pria bertopeng kucing oranye sempat melirik leher penyandera, namun getaran itu tidak berlangsung lama. ...Di dalam arena, bongkahan batu tadi sudah menyala merah layaknya bara api. Sedangkan Rose diselimuti oleh selendangnya yang perlahan-lahan membuka. Ia terkekeh saat melihat sekitarnya dipenuhi asap bekas terbakar. "Kau bodoh! Membakar seluruh tempat hanya akan membunuh dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi oksigen untukmu ber..." Ia terdiam saat bongkahan batu yang melayang-layang tersibak, nampaklah pemuda berjaket hitam yang melebarkan kedua tangannya ke samping. Di ujung telapak tangannya, ada sebuah benda seperti kelereng yang bercahaya sangat terang, dengan ketiga auranya yang menyala. Aliran energi sangat lebar layaknya selendang sutra merahnya, bergerak masuk ke dalam kedua titik bercahaya. "Sudah kubilang, aku akan membunuhmu!" Akara menyeringai, namun se
333Mengetahui kekasihnya disandera, puluhan bor spiral terbentuk dan langsung melesat, meliuk-liuk menghindari selendang merah yang hendak menangkisnya. Akan tetapi, ada energi kematian yang langsung membuat bor spiral melebur. Benar-benar lenyap di udara tanpa menyisakan sebutir debupun. Ia langsung berhenti, melihat Lina yang pergi bersama pasukan yang mengepungnya, memasuki portal dan menghilang. "Lihatlah! Apalagi yang bisa kau miliki!? Sang Peri Salju telah pergi, putri Kaisar Atla telah dikepung, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi!?" Wush tring tring tring tring!... Akara melesat dengan tatapan tajam ke arahnya. Walau banyak selendang yang menghadang, namun ia tebas begitu mudahnya. Karena terus mendekat, energi kematian seperti asap hitam kehijauan keluar dari tubuh Rose. Persis seperti seekor gurita yang menyemprotkan tintanya. Akan tetapi, ada angin yang berputar, menembus kepulan energi kematian. Ia melesat dan sudah siap posisi Cakaran Naga Hitam, membuat gadis itu terb
Kedua peserta sudah berada di atas arena, mereka masih terlihat begitu tenang, walau gong tanda mulainya pertandingan sudah berbunyi. "Apa yang kau lakukan? Cepat menyerah!" Komo yang tidak sabar langsung melompat dan bertengger di pundaknya."Iya iya!" Akara ingin mengangkat tangannya, namun gadis yang menjadi lawannya berbicara. "Kau mirip dengan ayahmu!"Akara langsung menarik kembali tangannya dan menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Kau kenal ayahku?"Rose langsung tertawa lepas, lalu berjalan mendekat sambil berkata. "Tidak hanya kenal!" Ia mengangkat satu tangannya. "Dengan tangan ini aku membunuhnya!" Akara langsung terbelalak dan mengepal erat, namun masih berusaha menahan emosinya. "Apa maksudmu!?"Gadis itu kembali tertawa puas dan terdengar menakutkan, lalu berkata dengan ritme cepat. "Kau tau bagaimana ekspresi ibumu si Rani yang marah meluap-luap? Kau tau bagaimana ekspresi Violet yang dingin dan menak
Akara berjalan di sebuah lorong sambil menggandeng tangan kekasihnya. Di lorong yang sepi, namun terdengar suara riuh dari penonton dari sebuah tribun di atas mereka. Saat itulah mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah dan bercadar. Langkahnya begitu tenang dan mantap saat melewati lorong, ditemani oleh seorang pemuda berpakaian rapi. Akara langsung mengenali pemuda itu, sang wakil komandan pasukan Bintang, Baester. Ia langsung mempercepat langkahnya dan mendekat, lalu melebarkan tangan kanannya ke samping, menyentuh dinding lorong dan menghalangi jalan mereka.Melihat nonanya dihadang, Baester langsung menghardiknya. "Akara, apa yang kau lakukan!?"Akara lalu menatapnya dan berkata dengan tenang. "Pergilah!" Ia langsung membuat pemuda itu tehentak, lalu gadis bercadar berkata tanpa menoleh. "Pergilah terlebih dahulu!""Baik nona!" Ia langsung melesat pergi, sedangkan Akara langsung tersenyum lebar dan berkata."Kenapa memak