"Apa yang terjadi, bagaimana bisa?" Akara langsung melepaskan pegangannya pada kedua pedang kayunya, lalu tertatih berjalan mundur.
"Anakku!" Ayah Cor Beton langsung berlari menghampiri anaknya dan langsung mengusap darah di perut yang mengalir di perutnya.
"Selamatkan anakku!" teriaknya kepada para anggota keluarga Beton.
"Tangkap anak itu!" Yon Beton langsung memerintahkan anggota keluarga Beton untuk menangkap Akara. Padahal anak itu sedang kebingungan dan masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi.
"Panggil ibunya ke sini!" lanjutnya.
…
Beberapa saat kemudian, mamanya Akara datang ke kediaman keluarga Beton. Di sana Akara sudah babak-belur, terikat pada tiang kayu dengan tatapan mata kosong.
"Akara!" teriaknya yang langsung berlari menghampiri anaknya.
Tatapan mata kesal terus terpancar dari para anggota keluarga Beton. Saat itu hanya ada Yon Beton, sedangkan ayah Cor Beton selaku kepala keluarga malah tidak terlihat. Dengan perlahan Yon Beton mendekati wanita yang tengah melepaskan tali di tubuh anaknya.
"Benar saja cantiknya luar biasa! Apa kamu tau, apa yang telah dilakukan anak itu?" ujar Yon Beton, namun diabaikan oleh wanita itu.
"Akara sst! Hei!" Ia lalu memegangi kedua pipi anaknya dan menatapnya dengan serius.
"Tidak apa-apa, tenang saja," lanjutnya dengan suara lembut, lalu memeluk tubuh anaknya. Ucapannya yang spontanitas itu ternyata membuat orang-orang di sana geram.
"Tidak apa-apa katamu!?"
"Hukuman kematian saja tidak cukup untuknya!"
"Anakmu pembunuh!"
"Sudah anak haram, pembunuh!"
Perkataan hujatan mereka ternyata membuat wanita itu tersentak, begitu juga Lisa yang tadinya ikut geram.
"Ahh, tamatlah riwayat keluarga Beton," ujar gadis di atas genteng sambil geleng-geleng kepala.
"Diam!" Yon Beton malah membentak anggota keluarganya, lalu berjongkok di samping wanita yang tengah memeluk anaknya.
"Aku bisa membantumu.." ucapan Yon Beton terhenti ketika ada hentakan energi dari arah belakangnya.
Blushh!
"Di mana pembunuh anakku!?" Ayah dari Cor Beton mengeluarkan aura ranahnya, aura 2 bulan berputar mengitari 5 bintang di belakang pundaknya.
Berbeda dengan aura ranah berbentuk bintang, aura bulan energi bergerak, berotasi mengelilingi aura bintang.
"Tenang saja, dia hanya ranah Mijil, sedangkan aku ranah Sinom. Jadilah selirku dan akan aku bantu menyelesaikan semuanya," ujar Yon Beton dengan penuh percaya diri, seolah-olah dirinya itu harapan terakhir mereka.
"Huhh!?" Wanita itu malah mengernyitkan dahinya, sambil menatapnya dengan tatapan merendahkan.
Begitu melihat Akara dan mamanya, ayah Cor Beton langsung mengumpulkan energi di kepalan tangannya. Setelah beberapa saat, ia tinju tanah di depannya hingga membentuk ombak tanah.
Dushh!! Busshhh!
Ombak yang jauh lebih besar dari milik Cor Beton, dengan sangat cepat menuju ke arah mereka.
"Hentikan!" Yon Beton ikut mengeluarkan aura ranahnya, aura 3 bulan energi dengan 3 bintang. Tanpa mengumpulkan energi di kepalan tangannya, ia memukul tanah di depannya dan membuat ombak tanah milik ayah Cor Beton terhenti.
Dummb! Blarr!
Semuanya terhenti, menyisakan kepulan debu akibat benturan 2 ombak tanah. Saat debu mulai hilang, Akara dan ibunya sudah tidak ada di tempat itu, mereka sudah berada di luar kediaman keluarga Beton. Anak kecil itu terus berlari sambil menarik tangan mamanya.
"Kejar!" teriak Yon Beton kepada para anggota keluarga Beton.
"Tapi jangan lukai mereka," lanjutnya, membuat semua orang bingung.
..
"Maafkan Akara," ujar Akara sembari meneteskan air matanya.
"Maaf kenapa?"
"Maaf, Akara telah membuat masalah,"
"Hmm masalah? Tidak kok," ujar mamanya dengan begitu riang, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Kalau saja Akara jadi anak baik, kalau saja Akara tidak mudah emosi, pasti semua ini tidak akan terjadi dan Akara tidak menjadi seorang pembunuh!" teriaknya sambil menangis, namun terus berlari menuju hutan di pinggir kota.
"Anakku.. Mereka memang pantas mendapatkan itu, kalau kamu tidak membunuhnya, pasti malah kamu yang dibunuh oleh mereka," ujar mamanya, malah membuat Akara menatapnya dengan bingung.
"Tapi…" Akara ingin menepis nasihat mamanya, tapi ia teringat kembali kejadian saat Cor Beton memukulinya secara membabi-buta.
"Baiklah!" Anak itu kini mengusap air matanya, lalu menoleh ke belakang dengan tatapan tajam, melihat anggota keluarga Beton yang sedang mengejarnya.
"Tenang saja mama, mama akan aku lindungi!" Ia tiba-tiba berhenti, aura ranah 3 bintangnya muncul bersamaan dengan energi dingin. Energi berwarna putih kebiruan yang menyelimuti tubuhnya, lalu dengan cepat terbentuk kristal es runcing di genggamannya. Dengan sekuat tenaga ia lempar ke arah orang-orang yang mengejarnya.
Sussshh! Clek!
Sempat ingin mengaktifkan aura ranah, namun kristal es telah menembus tubuhnya. Para pengejar lainnya langsung berhenti karena takut, namun kristal es dengan jumlah banyak langsung menyerang mereka.
Clek! Clek! Clek!
Belasan anggota keluarga Beton dengan cepat terbunuh oleh kristal es milik Akara.
Tubuh Akara kini diselimuti oleh energi dingin, bahkan tanah yang ia pijak berubah menjadi beku, lalu ada juga asap dingin yang menyebar di bawahnya.
Cuss! Crangg!
Akara tiba-tiba meluncurkan kristal es lagi, bertepatan dengan datangnya Yon Beton yang langsung menangkisnya. Anggota keluarga Beton lainnya lebih memilih menjaga jarak aman dari Akara, dan menyaksikan saja.
"Benar saja, kau bocah menjadi ancaman yang harus dibunuh!" Yon Beton kini benar-benar geram, berbeda pada saat sebelumnya yang terlihat berwibawa dan tegas.
"Tenang saja bocah, mama cantikmu itu pasti akan aku nikmati dengan baik," lanjutnya sambil menyeringai, namun malah memancing kemarahan Akara.
"Mama, mundur saja, biar aku yang ukhh!" Akara terlempar setelah perutnya ditendang dengan sangat kuat. Orang yang menendangnya ternyata ayahnya Cor Beton, ia muncul dengan tiba-tiba.
"Akara!?" Mamanya langsung panik, namun anak itu langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Jangan mama! Biar, Akara saja!" teriaknya sambil berusaha berdiri, lalu mengusap darah yang mengalir dari bibirnya.
"Bocah sialan!" Ayah Cor Beton berlari, mengepalkan tangannya yang sudah diselimuti oleh energi.
"Mati kau!" Kepalan tangannya dihantamkan pada anak itu, hingga menghancurkan tanah dan membuat sekitarnya bergetar.
Brall!!
Yon Beton langsung tersenyum lebar, sambil menunggu kepulan debu mulai menghilang. Akan tetapi, ia langsung kaget sekaligus panik begitu melihat kristal es besar menembus tubuh ayah Cor Beton. Kristal es yang semula warnanya biru, kini perlahan diselimuti oleh darah hingga berubah warnanya. Anggota keluarga Beton yang tadinya hanya menonton, kini malah terkena serangan mental.
"Tidak mungkin!"
"Dia benar-benar anak iblis!"
"Lebih baik kabur dari sini!" seru mereka sambil berlari menjauh, namun dihentikan oleh teriakan Yon Beton.
"Berhenti! Lihatlah keadaannya!"
Akara kini sudah sangat kelelahan, bahkan untuk berdiri saja ia sudah kesulitan.
"Serang secara bersamaan!" teriak Yon Beton sambil mengeluarkan aura ranahnya, dan mengumpulkan energi di kepalan tangannya ketika berlari.
Belasan anggota keluarga Beton lainnya juga langsung ikut berlari, mengeluarkan aura ranahnya yang rata-rata masih di bawah 2 bulan energi.
"Kemari kalian semua!" Akara berteriak, sambil mengangkat kedua tangannya dan muncul belasan kristal es yang melayang di sekitarnya.
Para anggota keluarga Beton cukup ragu dan gentar kala itu, namun tiba-tiba Akara terhuyung dan belasan kristal es yang ia buat mulai hancur.
Crangg!!
"Bunuh!" Yon Beton dengan semangat meluncurkan serangannya kepada bocah yang telah tidak berdaya itu.
Di kediaman keluarga Beton, Lisa mendatangi suatu bangunan, di sana terdengar suara tangisan banyak orang. Saat ia membuka pintu, ada beberapa orang yang sedang mengerumuni jasad Cor Beton. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan begitu melihat kedatangannya, satu-persatu tangisan mereka berhenti. Kedatangan wanita bertopeng misterius, tentu saja membuat mereka terkejut dan langsung berposisi menyerang. Dikeluarkan aura ranah mereka yang hanya aura satu bulan energi, ranah Maskumambang. "Siapa kau!?" "Berani-beraninya menyusup ke kediaman keluarga Beton!" Lisa tidak memperdulikannya dan dengan tenang berjalan menuju ke arah dua pedang kayu yang tergeletak di lantai. Pedang kayu yang ia berikan kepada Akara, kini telah berlumuran darah tuan muda keluarga Beton. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mengambilnya dan berjalan ke luar ruangan begitu saja. … Wush! Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang berdiri di depan Akara. Ia masih terlihat muda, bahkan seperti belum mencapai
Wilayah Kaisar Naga Sejati Lisa melayang di atas hutan yang begitu lebat nan luas, di depannya ada seorang gadis yang juga melayang. Gadis dengan rambut yang disanggul berwarna emas berkilau, menampakkan lehernya dengan rambut tipis. Kulitnya begitu putih bersih, dengan bibir tipis merah muda dan pupil mata yang sama dengan warna rambutnya. Dada dan panggulnya bulat berisi, dengan pinggul kecil dan kaki jenjang. Bisa dikatakan bahwa tubuhnya sangatlah ideal. "Mendistorsi ruang waktu yang menggagalkan teleportasiku, seharusnya ada satu orang yang bisa melakukannya di dunia fana ini," ujar Lisa sambil melepaskan topengnya perlahan-lahan, menunjukkan wajahnya yang tidak kalah cantik. "Kekuatanmu turun sejauh ini, apa masih berani mendatangi mereka?" Gadis berambut emas perlahan-lahan mendekati Lisa. "Apa ingin memberiku kekuatan, kak Viona?" Lisa tersenyum lebar sambil terus menatapnya. Gadis bernama Viona itu kemudian menjentikkan jarinya, membuat penghalang yang mengelilingi mereka
Kedua bilah pedang melesat dengan cepat ke arah Alice dan mengitari tubuhnya. Walau nampak terkejut dan ketakutan, gadis itu tetap diam dan mengamati pedang yang tebang mengitarinya. Brakk! Tiba-tiba saja pedang terjatuh, jatuhnya kedua pedang kayu membuat Akara terbangun. "Ahh Alice, ada apa?" Akara bangun dan mendekati adiknya yang masih mematung. "Kok pedangku di situ?" Ia lalu mengambil pedang kayu miliknya yang berada di bawah kaki adiknya. "Maaf kak," ujar Alice yang terlihat sedikit takut. "Tidak apa-apa," jawab Akara sambil tersenyum lebar, agar adiknya tidak merasa bersalah lagi. "Itu kak, mama sudah menunggu di ruang makan," "Oh ayo!" Ia langsung meraih tangan adiknya dan bergegas menuju ruang makan. Sesampainya di sana, ia langsung melepaskan tangan adiknya dan berlari ke arah ayahnya. Dengan cepat ia ayunkan pedangnya ke arah tengkuk ayahnya yang sedang duduk. Tass!! dalam sekejap mata, mama Violet sudah ada di sampingnya dan menangkis pedangnya menggunakan jari
Akara kini berada di atas altar pemurnian bersama dengan mama Lia dan juga Alice, sedangkan yang lainnya sudah tidak ada di sana. "Mama buatkan ramuan dulu." Mama Lia terlihat sedang menggerus beberapa tanaman obat menggunakan cobek kecilnya. "Terima kasih mama Lia," "Kak, tidak apa-apa?" ujar Alice kepada kakaknya yang telah telanjang dada, memperlihatkan luka lebam di tubuhnya. "Ahahaha sudah biasa, latihan dengan mama sering membuatku seperti ini," ujarnya dengan riang, padahal banyak luka lebam di tubuhnya. "Kalau terbiasa kenapa tidak bisa mengontrol emosimu?" ujar mama Lia yang masih menggerus tanaman obat. "Habisnya, ayah menjengkelkan!" "Kamu ini!" Mama Lia mendekati Akara, lalu mengoleskan ramuan obat yang ia buat pada lukanya. "Agh." Ia sedikit meringis menahan sakit, sedangkan adiknya terus melihat ke arah mama Lia yang tengah mengoleskan ramuan. "Mama, tolong ajari aku tentang obat-obatan!" seru Akara di tengah-tengah pengolesan ramuan. "Yakin?" ujar mama Lia sam
Saat malam hari, Akara berjalan melewati lorong rumah ditemani cahaya bulan dari dinding kaca. "Akara?" Mama Serin yang tengah berjalan melihatnya, lalu langsung mengikutinya. Akara menuju ke arah ruang makan, namun berhenti saat berada di depan kamar. Pintu dengan gantungan bunga-bunga, juga bertuliskan 'Alice'. Setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kemudian masuk ke dalam kamar adiknya. Kamar bernuansa merah muda yang begitu feminim, lalu tempat tidur dengan kasur dan selimut berwarna putih bersih. Di sana, Alice tengah terlelap dalam tidurnya. Dengan perlahan-lahan, ia mulai mendekati tempat tidur adiknya, lalu berdiri tepat di sampingnya. Disingkapnya selimut bagian atas hingga berada di perut adiknya, setelah itu kedua tangannya mengarah ke dada. Mama Serin yang tadi mengikuti Akara, kini membuat sebuah portal pada dinding. Portal terbentuk hingga seolah-olah dindingnya berlubang, lalu ia perhatikan apa yang anaknya lakukan. Aura ranah A
Saat hari sudah gelap dan keadaan mulai sunyi, Akara kembali mengendap-endap masuk ke dalam kamar adiknya. Hal yang sama ia lakukan, menyalurkan energi miliknya menuju ke dalam tubuh Alice. Kegiatan yang terus ia lakukan setiap malam hingga genap satu minggu. .. Esok harinya, saat kakak dan keempat mamanya akan melakukan sarapan, tiba-tiba saja pintu kamar Alice terbuka dengan keras, lalu sang pemilik kamar berlari keluar. "Ada apa!?" "Kenapa cantik!?" Mama Rani dan mama Serin begitu panik dan segera berdiri untuk mendekati anaknya. "Mama, ranahku naik!" seru Alice sambil berlari menuju ruang makan dan mengeluarkan aura ranahnya. Aura 2 bintang energi diperlihatkan kepada kakaknya dan keempat mamanya. Tangan kanannya diulurkan ke depan, lalu muncul aliran listrik berwarna merah muda. Listrik yang menyelimuti tangannya, lalu menyebar ke segala arah. "Wahh akhirnya!" Mama Serin langsung memeluk anaknya, sambil mengusap-usap rambut hitam lurusnya. Melihat usahanya berhasil, senyuma
Saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun, Akara berjalan sendirian di tengah hutan. Hutan tropis yang berada di lembah belakang rumahnya, belum cukup jauh karena masih terlihat jelas rumah di belakangnya. "Kak Akara!" teriak seorang gadis kecil dari kejauhan, ia sedang berlari mengejar kakaknya. Akar dan pohon tumbang yang lalu-lalang di hadapannya tidak menjadi rintangan, ia dengan mudah melompatinya walau setinggi dan sebesar apapun. "Kenapa mengikuti kakak?" ujar Akara begitu Alice sampai di sisinya. "Kak Akara ini! Setidaknya tanya dulu 'Cantik kenapa di sini?' 'Cantik mau ke mana?' belum tentu juga ke sini mengikuti kakak, tidak basa-basi sama sekali!" Alice cemberut kesal, namun langsung berubah ketika melihat kakaknya tersenyum. Gadis kecil ini langsung meraih lengan kakaknya dan memeluknya. "Mau cari tanaman obat apa kak?" lanjutnya. "Adek Alice ini! Setidaknya tanya dulu 'Kakak mau ke mana?' 'Ngapain di sini?' belum tentu juga ke sini mencari tanaman obat, tidak basa-
Ada sesuatu yang mengenai air rawa hingga membuat air menyiprat, namun setelah itu tidak ada apa-apa lagi, baik di darat maupun di dalam air. "Ada apa kak?" Alice masih di gendongan kakaknya dan membawa kantong semar di tangannya. "Tidak tau, ada yang menyerang tiba-tiba," ujar Akara dengan begitu serius mengamati ke sekitarnya. "Ada yang datang lagi." Akara kembali melompat, bertepatan dengan hancurnya tanah di bawahnya. "Keluar kalau berani!" Alice kesal, lalu mengeluarkan aura ranah Maskumambang 1 bola energi. Dibuatnya penghalang untuk menyelimuti tubuh mereka, lalu mengumpulkan energi petir di tangannya. Begitu mendarat, Akara melompat lagi, diikuti oleh hancurnya dahan pohon di belakangnya. Tanpa berfikir lagi, Alice meluncurkan serangan petir ke arah tempatnya sebelumnya. Blarrr!! Petir merah muda menyambar tanah, lalu menyebar ke segala sisi dengan jangkauan lebih dari 3 meter. Sekarang terlihat sesuatu dari dahan pohon yang hancur, sesuatu yang panjang menjulur beberap
Alhamdulillah selesai Season 1! Terima kasih buat yang sudah mendukung Author, semoga terhibur dengan imajinasi saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan author, baik penulisan kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca ataupun yang lainnya. Para pendukung semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya, jadi dapat terus mengikuti perkembangan author dan Akara. Author akan hiatus dulu dan akan mulai kembali bulan depan, semoga diberikan kelancaran untuk semuanya. Oh iya, Author sarankan untuk membaca ulang Arc 1 (bab1-52) percayalah, ada rencana bagus yang Author siapkan untuk Akara. ******* Penguasa Dewa Naga Season 2 Takdir merenggut semua orang terkasihnya, membuat kekuatannya lepas kendali dan menciptakan lubang hitam. Dirinya terhisap ke dalam lubang hitam, lalu muncul kembali di dunia yang dipenuhi oleh api dan kekerasan. Neraka? Seperti itulah gambaran dunia ini. Dengan ingatan yang masih membekas, Akara mencari cara untuk keluar dari dunia itu. Menggunakan nama samaran
Pemuda dengan pakaian compang camping penuh luka bakar dan menenteng sepasang pedang kayu hitam, muncul di atas sebuah sungai, di belakangnya ada gua di bawah air terjun yang sudah hancur. Ia lalu melihat ke arah hilir sungai, pemukiman di pinggir bantaran sungai sudah hancur berantakan, dengan pepohonan raksasa yang ambruk dari hutan di belakangnya. Selain tubuh manusia yang berserakan, juga banyak binatang sihir raksasa yang kondisinya tidak jauh berbeda. "Tuan Agera!" teriak seseorang yang wajah dan tubuhnya penuh bekas luka, namun kali ini banyak sekali tambahan luka di tubuhnya. Ia tertatih-tatih mendekat, lalu melesat terbang mendekati pemuda itu. "Marbun Bidara! Kekaisaran Gletser Abadi!"Akara langsung menoleh ke samping, kesadarannya langsung mendeteksi ribuan mil di depan sana. Wush!... Dalam sekejap, ia sudah berada di atas gletser kutub, meninggalkan robekan ruang yang gelap di udara, seakan menggaris langit sejauh ribuan mil. Gleng!... Ia melompat turun, membuat cekung
447Walau tubuhnya masih penuh luka bakar yang mulai mengering, ia mengangkat satu tangannya ke atas. Wush!... Ketiga Auranya menyala, membuat hembusan energi dan seketika energi meluap keluar dari tubuhnya, membentuk aliran energi yang bergerak ke atas. Enegi itu membentuk lingkaran energi besar yang memiliki pola rumit layaknya di atas altar teleportasi. "Kau ingin kabur!?" Sonic Boom terbentuk di belakang Rose, sambil mengulurkan satu tangan ke depan dan segera diselimuti oleh energi merah berbentuk cakar. Akan tetapi, lingkaran teleportasi sudah sepenuhnya menyala dan Whup!... Para master Alkemis menghilang, namun ternyata Akara masih berada di sana. Cring!... Ia menangkis cakar rubah menggunakan pedang kayunya sambil tersenyum menyeringai."Sudah aku bilang, aku akan membunuhmu!"Wush!... Rose melesat menjauh bagaikan bayangan, namun Akara langsung berada di depannya. Mereka melesat hingga luka bakar di tubuh keduanya terlepas sendiri-sendiri. Akara terus mengincar lehernya, mem
Laser menembus energi pelindung dan langsung menerpa tubuhnya, cukup lama laser bersinar hingga akhirnya padam. Gelombang radiasi panas masih memenuhi angkasa lepas, lalu ada bongkahan batu yang menyala merah. Krek!... Batu itu retak dan tidak lama kemudian hancur, muncullah pemuda berjaket hitam di dalamnya. Walau tubuhnya diselimuti oleh Esensi Surgawi, namun pakaian dan tubuhnya penuh luka bakar. "Apa aku bilang!" seru Komo, namun tuannya masih terlihat santai dan meraih kedua pedangnya kembali. Akan tetapi.."Agkh!" Ia langsung memegangi dadanya dan tatapannya begitu tajam melihat ke arah gadis rubah di depannya. "Ada apa Akara!?"Ia menjawabnya sambil menahan emosi dan giginya mengatup karena sangat geram. "Kubah pelindung di kota Bhinneka telah hancur, bahkan yang menyelimuti Gua Pelindung Harapan juga hancur!"Rose lalu tertawa puas, seolah-olah dia dapat mendengar apa yang Akara katakan. "Apa kau merasakannya!? Pasukanku telah menemukan keberadaan kekasih fanamu! Para gadism
335Di angkasa lepas yang gelap dan dihiasi cahaya bintang. Bruak!... Rose kembali tertahan oleh dinding transparan dan Akara langsung berada di depannya, memukul hidungnya dengan sekuat tenaga. Dinding transparan langsung hancur dan gadis itu terlempar ke belakang. Akara ingin membuat dinding transparan lagi, namun segera ada energi kematian yang menyelimuti tubuh Rose. Gadis itu tidak lagi menabrak dinding transparan dan menembusnya. Akan tetapi, Akara tetap muncul di depannya dengan mengayunkan pedangnya. Tring tring!... Benturan pedang dan cakar rubah menciptakan percikan api, lalu mereka saling menyerang sambil terus melesat. Bugh!... Rose menendang perut Akara hingga terlempar mundur, namun pemuda itu langsung berteleport di belakangnya. Crang!... Ia mengayunkan pedangnya, ditahan oleh selendang, namun tetap membuat meluncur jauh. Ia kembali berteleport dan menendang punggungnya, hingga melenting sebelum terlempar. Gadis itu terlempar menuju planet di dekatnya, terbakar saat mem
Kubah pelindung arena bergetar hebat, membuat semua orang menoleh, termasuk para penyandera dan yang di sandera. Pria bertopeng kucing oranye sempat melirik leher penyandera, namun getaran itu tidak berlangsung lama. ...Di dalam arena, bongkahan batu tadi sudah menyala merah layaknya bara api. Sedangkan Rose diselimuti oleh selendangnya yang perlahan-lahan membuka. Ia terkekeh saat melihat sekitarnya dipenuhi asap bekas terbakar. "Kau bodoh! Membakar seluruh tempat hanya akan membunuh dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi oksigen untukmu ber..." Ia terdiam saat bongkahan batu yang melayang-layang tersibak, nampaklah pemuda berjaket hitam yang melebarkan kedua tangannya ke samping. Di ujung telapak tangannya, ada sebuah benda seperti kelereng yang bercahaya sangat terang, dengan ketiga auranya yang menyala. Aliran energi sangat lebar layaknya selendang sutra merahnya, bergerak masuk ke dalam kedua titik bercahaya. "Sudah kubilang, aku akan membunuhmu!" Akara menyeringai, namun se
333Mengetahui kekasihnya disandera, puluhan bor spiral terbentuk dan langsung melesat, meliuk-liuk menghindari selendang merah yang hendak menangkisnya. Akan tetapi, ada energi kematian yang langsung membuat bor spiral melebur. Benar-benar lenyap di udara tanpa menyisakan sebutir debupun. Ia langsung berhenti, melihat Lina yang pergi bersama pasukan yang mengepungnya, memasuki portal dan menghilang. "Lihatlah! Apalagi yang bisa kau miliki!? Sang Peri Salju telah pergi, putri Kaisar Atla telah dikepung, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi!?" Wush tring tring tring tring!... Akara melesat dengan tatapan tajam ke arahnya. Walau banyak selendang yang menghadang, namun ia tebas begitu mudahnya. Karena terus mendekat, energi kematian seperti asap hitam kehijauan keluar dari tubuh Rose. Persis seperti seekor gurita yang menyemprotkan tintanya. Akan tetapi, ada angin yang berputar, menembus kepulan energi kematian. Ia melesat dan sudah siap posisi Cakaran Naga Hitam, membuat gadis itu terb
Kedua peserta sudah berada di atas arena, mereka masih terlihat begitu tenang, walau gong tanda mulainya pertandingan sudah berbunyi. "Apa yang kau lakukan? Cepat menyerah!" Komo yang tidak sabar langsung melompat dan bertengger di pundaknya."Iya iya!" Akara ingin mengangkat tangannya, namun gadis yang menjadi lawannya berbicara. "Kau mirip dengan ayahmu!"Akara langsung menarik kembali tangannya dan menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Kau kenal ayahku?"Rose langsung tertawa lepas, lalu berjalan mendekat sambil berkata. "Tidak hanya kenal!" Ia mengangkat satu tangannya. "Dengan tangan ini aku membunuhnya!" Akara langsung terbelalak dan mengepal erat, namun masih berusaha menahan emosinya. "Apa maksudmu!?"Gadis itu kembali tertawa puas dan terdengar menakutkan, lalu berkata dengan ritme cepat. "Kau tau bagaimana ekspresi ibumu si Rani yang marah meluap-luap? Kau tau bagaimana ekspresi Violet yang dingin dan menak
Akara berjalan di sebuah lorong sambil menggandeng tangan kekasihnya. Di lorong yang sepi, namun terdengar suara riuh dari penonton dari sebuah tribun di atas mereka. Saat itulah mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah dan bercadar. Langkahnya begitu tenang dan mantap saat melewati lorong, ditemani oleh seorang pemuda berpakaian rapi. Akara langsung mengenali pemuda itu, sang wakil komandan pasukan Bintang, Baester. Ia langsung mempercepat langkahnya dan mendekat, lalu melebarkan tangan kanannya ke samping, menyentuh dinding lorong dan menghalangi jalan mereka.Melihat nonanya dihadang, Baester langsung menghardiknya. "Akara, apa yang kau lakukan!?"Akara lalu menatapnya dan berkata dengan tenang. "Pergilah!" Ia langsung membuat pemuda itu tehentak, lalu gadis bercadar berkata tanpa menoleh. "Pergilah terlebih dahulu!""Baik nona!" Ia langsung melesat pergi, sedangkan Akara langsung tersenyum lebar dan berkata."Kenapa memak