"Mas ini rumah sakit lho," tukas Lara gelisah."Nggak dibilang juga Mas tau kok, ini rumah sakit."Tangan Rey terangkat, namun mengambang saja di udara ketika terdengar pintu diketuk.Rey mengusap wajahnya frustasi, membuat hati Lara tergelitik."Ada aja gangguannya, harus cepat-cepat Mas ngurus pernikahan kita, sebelum Mas stres," ucapan Rey sukses membuat Lara tergelak, wajahnya tampak bahagia melihat Rey yang blingsatan karena merasa terganggu."Mas, buka pintunya."Rey menyambar bibir Lara sebelum menuju pintu."Pagi, Den. Maaf saya kesiangan." Ternyata Bi Sri yang muncul dengan wajah bersalahnya."Nggak papa kok, Bi, nggak balik-balik juga lebih bagus."Mata Lara membola mendengar perkataan Rey."Maksudnya gimana, Den?""Maksud saya, bagus bibi sudah balik, biar saya ngurus administrasinya.""Oo, iya Den."Rey menuju ke ranjang, memandang wajah cantik itu sebentar, mengecup tangannya lembut."Mas ngurus administrasinya dulu, sayang."Lara membuang muka."Kenapa?" Alis tebal Rey
Rey menatap ke arah Lara yang menoleh padanya, saat mendengar kata-kata Dinda. Mata yang memancarkan kecemburuan, dan rasa ingin tahu.Rey berjongkok, menggenggam kedua tangan Lara, lalu mengecupnya."Jangan berpikir yang macam-macam, sayang." Berdiri lalu mengecup puncak kepala Lara, berharap gadis itu tidak berprasangka buruk padanya.Semua Itu diperhatikan oleh Dinda, yang sejak dulu menyukai Rey. Lelaki yang tampak sangat mencintai gadisnya dengan tulus. Dengan wajah dingin Rey berbalik dan menatap ke arah Dinda. Dia sebenarnya ingin mengacuhkan Dinda tapi kembali terpikir, jika dia berpura-pura tidak mendengar perkataan Dinda, beda halnya dengan Lara, kekasihnya itu pasti akan berpikir yang macam-macam. Kata-kata yang pasti memunculkan berbagai persepsi dari telinga yang mendengar."Anda seorang dokter dan berbicara di depan pasien anda, yang anda tahu betul keadaannya, jika dia tidak boleh stres. Apa anda tidak berpikir jika kata-kata anda bisa membuatnya drop."Dinda tampak ge
Tari menyikut Alex yang asal cuap."Tapi sobatku itu keren lho." Alex mengedipkan mata nakal ke arah Lara, membuat Lara semakin salah tingkah."Berani jamin, dia masih perjaka ting-ting yang belum tersentuh, cuma sama kamu doang.""Lex! Orang lagi sakit kamu becandain terus!" Cubitan Tari di pinggang Alex membuatnya meringis kesakitan."Sakit apa, kamu nggak lihat mukanya cerah gitu, sehat seketika, oy. Butuhnya tuh Rey bukan dokter. Nggak bakalan mempan obat dokter sebelum Rey datang. Iyaa kaan?" Alex memainkan kedua alisnya dengan kedipan mata nakal lagi, membuat Lara jengah."Lex, kamu mau tetap di sini atau mau aku usir." Alex cengengesan menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Di mana Letnanmu, itu." Alex penasaran dengan keberadaan Rey."Lagi cari makan.""Eh, bro! muncul juga. Udah bikin yang lain nginap di sini, baru muncul."Alex menuju Rey yang baru muncul dengan kantong di tangannya. Menonjok-nonjok bahu Rey lalu memukul-mukul dadanya dengan telapak, sapaan mereka ketik
"Kamu harus melepas impianmu, hanya demi Mas. Mas minta maaf.""Mas jangan muter-muter aku tambah pusing, Mas.""Muter-muter gimana, Dek. Jika kamu menikah dengan Mas, otomatis impianmu tidak terpenuhi karna mas tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu impikan. mas akan sering ninggalin kamu.""Stop Mas, aku tanya dulu, keputusan Mami dan Papi gimana, apa mereka menerima?""Tentu saja mereka menerima sayang ....""Duh, kenapa Mas ngerjain aku sih?""Kamu selalu bilang Mas ngerjain kamu, ngerjain gimana sayang.""Mas ngomong dengan wajah sedih gitu aku kirain nggak diterima Mas! mas bikin sport jantung aja.""Mas sedih, karna tidak bisa menjadi suami seperti yang Kamu impikan, yang ada di sisimu tiap saat tapi tetap kamu mau menikah dengan, Mas.""Kalo itu Aku tau Mas! Mas bikin deg-degan tau nggak!""Deg-degannya disimpan aja buat malam pengantin kita." Rey memencet hidung Lara, membuat gadis itu berteriak."Duh, sakit Mas.""Stt ... Jangan teriak-teriak gitu Dek, nanti dikirain Ma
"Tenang saja, aku pasti kembali sebelum waktunya," ujar Alex meyakinkan."Gimana, jika besok kalian menghadap beliau, setelah itu baru kamu pergi. Setidaknya pas hari H, langsung pemberkatan tanpa harus sibuk ngurus yang lainnya, jadi kamu datang langsung nikah. Sepertinya itu lebih baik, resikonya lebih kecil."Rey tampak berpikir."Jika setelah balik baru kamu mau menemui beliau, takutnya sudah mepet. Setidaknya kamu bisa menjelaskan keadaanmu besok saat ketemu beliau.""Ok, baiklah, itu sepertinya jalan terbaik."Alex melenggang menuju ke dapur lalu mengambil dua botol minuman dingin, melemparkan satu pada Rey yang ditangkap dengan tangan kirinya."Gimana hubunganmu dengan Tari?"Alex meneguk air di kemasan tutup biru itu sampai setengah, lalu menutupnya kembali."Aku sebelumnya menyangka jika dia hanya pelarianku saja, ternyata aku benar-benar mencintainya," ungkap Alex sambil menyeka mulutnya.Rey menatap pada kedua netra sahabatnya itu, mencari kebenaran dari kata-katanya."Jadi
Alex menghela napasnya. "Jadi aku harus menjawabnya?"Ditatapnya wanita yang menjadi sandarannya selama ini, yang telah mengobati luka hatinya. Dia tidak ingin kehilangannya, dan ingin menghabiskan hidup bersamanya. Bagian Lara menempati ruang tersendiri di hatinya begitu juga dengan Tari.Tari mengangguk cepat."Aku sudah menyingkirkannya sejak saat itu. Hanya ada kamu." Ada rasa bersalah menyelimuti hatinya, karena sudah membohongi Tari tapi biarlah itu menjadi rahasia hatinya, selamanya.Tari mencari kebenaran dari kata-kata itu, di kedua netra Alex. Dia yakin ada cinta untuk dirinya namun masih ada keraguan yang terselip di hatinya, Jika tidak ada lagi cinta selain dirinya."Mau kan menikah denganku?"Tari tak menjawabnya. Memungut pakaiannya lalu memakainya, Alex memperhatikan semua gerakannya. Lalu kemudian melakukan hal yang sama dengan Tari. Dengan tetap menanti jawaban dari Tari.Alex menarik tangannya
Rey meraih kedua tangan Lara, mengelusnya lembut. Dia dapat mengerti dengan kekuatiran Lara."Tolong percaya sama Mas. Mas akan kembali secepatnya. Waktunya dalam Minggu ini saja, Dek. Mas tidak akan tenang bertugas jika belum ada ikatan apa-apa di antara kita. Kamu akan selalu berpikiran macam-macam, bisa bikin kamu sakit, membuat Mas nggak fokus, Dek.""Aku takut Mas, bagaimana jika sudah waktunya dan Mas belum datang?" Mata Lara berkaca-kaca."Ssst ... Jangan nangis, Mas janji pasti akan datang sebelum waktunya, kamu percaya 'kan sama Mas?"Lara mengangguk dengan air matanya luruh begitu saja. Rey menghapusnya lalu membawa Lara dalam rengkuhannya."Mas selalu membuat kamu nangis, Dek. Mas tidak suka itu.""Aku tidak kenapa-napa Mas, hanya kuatir aja.""Jadi sekarang sudah percayakan, kita tetap lanjut seperti yang sudah di rencanakan ya?"Lara mengangguk, sambil mengambil tissu membersihkan wajahnya.
Rey mengintip sebentar di lubang kecil lalu membuka pintunya. Tampak seseorang dengan seragam khususnya memegang kantong di tangan.Dia tadi memesan makanan, mengingat seharian belum makan karena kesibukannya. Tadi di pesawat, dia tidak menyentuh makanan apapun, karena lebih menyempatkan diri untuk tidur sebentar."Terima kasih," ucap Rey menyerahkan sejumlah uang lalu kembali menutup pintu.Rey adalah orang yang sangat memperhatikan kesehatannya. Baginya waktu makan dan jam istirahat harus di perhatikan. Walaupun tugas nya selalu membuat kedua jadwal itu berantakan, baginya tidak masalah, selama masih sempat dibayar kembali. Makanannya belum juga habis setengahnya ketika ponsel berdering, Rey mengangkatnya dengan cepat sambil meneguk air di dalam gelas.[Oke, jam sekarang,] ujar Rey pada seseorang yang menelponnya.Dengan gerakan cepat, makanan yang masih ada sudah berpindah ke perutnya. Tak sampai hitung menit Rey sudah keluar dari apartemen menuju lokasi.Rey tancap gas motornya
Hengky memencet nomor yang ditujunya, hendak melakukan panggilan kepada seseorang yang sangat penting baginya. Orang yang saat ini menjadi satu-satunya orang kepercayaannya, yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya.[Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah melewati masa kritisnya?] tanya Hengky pada seseorang di seberang sana dengan raut kuatir.[Sudah tuan Hengky. Masa kritisnya telah lewat cuma sampai saat ini belum sadarkan diri.][Tidak mengapa, yang terpenting dia sudah melewati masa kritisnya. Lakukan pelayanan yang terbaik. Apapun itu, lakukanlah saya tidak ingin kehilangan dia.][Bagaimana jika dia siuman dan ingin kembali lagi ke Indonesia?][Saya tidak ingin dia kembali lagi ke sini. Jika kita tidak menyelamatkan dia, tentu saja saat ini dia sudah tiada. Mereka semua pengkhianat, karna itu kedua orang tuanya tiada. Saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.][Dia orang yang berdedikasi pasti akan kembali pada negara dan keluarganya.][Kamu tidak usah kuatir, ha
"Aku punya rahasia," bisik Lara.Alis tebal Alex tertaut, dengan wajah penuh tanya."Kamu ingin tau?"Alex mengganguk ragu."Mereka akan mengambil anak-anakku," bisik Lara tepat di telinga Alex."Jika aku bersedih mereka akan mengambil anak-anakku," ulang Lara dengan wajah serius."Jangan bilang-bilang sama mereka jika aku hanya berpura-pura bahagia, agar mereka tidak mengambil anak-anakku.""Janji kamu tidak akan memberitahu siapapun ya?"Alex mengganguk seperti orang kehilangan akal. Dengan mata lekat pada dua netra bening yang berselimut duka."Mereka siapa?""Dokter dan suster.""Dokter dan suster?""Ssttt ... jangan keras-keras, nanti kedengaran." Mata Lara melebar dengan telunjuk di bibirnya, seolah pembicaraan mereka sangat rahasia dan tidak boleh ada yang mendengarnya. Dengan mata melirik kiri kanan, kuatir ada orang lain di sekitar mereka.Alex menegakkan badannya bersandar di kursi, mengurut-ngurut pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia bingung dengan tingkah Lara yang ambigu,
"A-apa ini kamu, Bang?" tanya Alex sangsi, ketika melihat tubuh yang terbujur kaku dengan seragam kebanggaannya.Saat ini Alex sedang berdiri di depan peti jenasah, yang telah berada di rumah Lara. Baru saja ibadah penutupan untuk selanjutnya akan mengantar jenasah menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.Alex yang penasaran mencoba membuka penutup benda yang terbuat dari kayu jati itu dengan ukiran di tiap sisinya. Namun tidak bisa, memang sudah didesain demikian agar tidak lagi bisa terbuka, harus membuka memakai kunci khusus. Alex hanya dapat melihat tanpa menyentuhnya, penutupnya terdiri dari dua lapisan. lapisan teratas terbuat dari kayu yang melindungi lapisan bawahnya yang terbuat dari kaca tapi hanya sebagian saja, dari batas dada ke atas kepala."I-ini bukan kamu, Bang! Aku tau ini bukan kamu." Alex menggeleng tak percaya, karena wajah itu tak dikenalinya. Sudah tak utuh, dan ada perban yang menutupi sebagian wajahnya. Mungkin untuk menutupi agar terlihat lebih baik
Metha berdiri berusaha menenangkan putrinya, namun kedua kakinya pun melemah, hingga sempoyongan, mencengkram piggiran ranjang. Bibi Sri panik, cepat-cepat membantu Metha."Maaass, sakiiit!" lengking Lara dengan kedua tangan masih memegang perutnya, wajahnya terlihat menahan kesakitan yang luar biasa."Dokter, suster!" teriak Bi Sri sekuat-kuatnya, tidak peduli jika itu akan mengganggu pasien lainnya. Memperbaiki duduk Metha lalu menuju tombol menekannya berulang-ulang. Kembali menahan tubuh Metha jangan sampai terjatuh. Metha berusaha mempertahankan dirinya sendiri, kesadarannya hampir hilang, namun kekuatiran pada putrinya membuatnya berusaha untuk tetap sadar."Tolong!"Merasa tidak ada yang mendengar, Bi Sri berlari menuju pintu."Tolooong. Dokter, Suster!"Suara Bi Sri menggema di koridor yang sunyi itu. Memancing gerakan dari orang sekitarnya yang langsung keluar dari ruangan masing-masing. Beberapa orang sudah menuju ruangan Lara lalu berusaha menenangkan Lara dan Metha. Seba
Lara terbangun, melirik ke arah Metha dan kedua kakak perempuannya di samping. Dia tidak tahu jika ayahnya dan Alex sudah menuju bandara untuk penyambutan dan penyerahan jenasah. Sebentar kedua kakaknya akan ikut serta juga, tentunya secara diam-diam tanpa diketahui oleh Lara."Mi, apa belum dapat ponsel Dedek, Mi?" tanya Lara pada Metha yang sedang sibuk menyiapkan sarapannya.Metha menjadi panik mendapat pertanyaan seperti itu lagi dari Lara. Sebelumnya mereka selalu beralasan jika ponselnya belum ditemukan. Sekarang akan tampak mencurigakan bila mengatakan hal itu lagi. Alex sudah menyarankan jika sebaiknya ponselnya diberikan. Sama juga, jika Lara hubungi suaminya, tidak akan tersambung, karena sejak hari itu ponsel Rey tidak aktif lagi.Metha melirik pada kedua saudara Lara yang juga tampak bingung. Kebohongan apalagi yang harus mereka buat untuk menutupi semua itu."Sebentar, Bik Sri akan bawakan, katanya sudah ketemu Dek." Metha mengambil ponselnya, mengirim pesan untuk Bi S
Kenapa kamu mencintaiku," tanya Alex tiba-tiba.Tari menoleh ke arah Alex dengan mimik heran. Tidak biasanya Alex menanyakan hal itu."Kenapa aku mencintaimu?" Tari mengulangi pertanyaan Alex."Iya, kenapa kamu mencintaiku?""A-aku ... apa aku harus menjawabnya?""Aku bertanya karna ingin mendengar jawabannya,tentu saja kamu harus menjawabnya.""Aku .... "Alex mengangkat keningnya menanti jawaban Tari. Tatapannya menghanyutkan. Semua wanita yang melihatnya akan terhanyut dalam pesonanya. Satu-satunya wanita yang tidak terseret dalam arusnya hanya Lara, karena dia telah memiliki Rey. Namun kini Rey telah pergi, menciptakan ketakutan tersendiri bagi Tari."Karena sejak awal aku menyukaimu. Semakin hari semakin dalam, bukan sekedar menyukai ... tapi sudah sangat mencintaimu, dan ... hatiku tidak bisa berpaling pada yang lain." Kedua pasang netra mereka saling memindai."Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?" lanjut Tari.Alex berjalan mendekat. Serta merta membawa Tari dalam p
Tangan Alex menggenggam erat ponselnya hingga jari tangannya memutih. Dia baru saja menerima kabar jika jasat Rey telah ditemukan, bersama ketiga jasad lainnya.Sudah lima hari sejak penyambutan dua jenasah yang diterbangkan duluan. Hari ini baru mereka memberi kabar jika jenasah akan diterbangkan setelah melakukan persiapan di sana. Sesegera mungkin, paling terlambat besok, karena kondisi jasad yang tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama.Dunia Alex kembali hancur, sangat terasa lebih hancur dari sebelumnya. Setelah berangan-angan ada sedikit harapan dengan belum ditemukan jasad Rey, masih ada asa saat itu. Berharap Rey berada di suatu tempat dengan nyawa yang masih berada di badannya. Ternyata itu hanya harapan kosong. Rey telah pergi, semuanya sirna sudah.Bagaimana dengan Lara dan kembarnya, bagaimana dengan amanat yang Rey tinggalkan tiap kali dia pergi satgas, bagaimana dengan Tari? Semua itu berkecamuk dalam pikiran Alex."Kenapa kamu menempatkan aku dalam posis
"Aku mau mengecek persiapan penyambutan Jenasah. Setelah urusanku beres kita akan membahasnya.""Kamu tidak berubah pikirankan, Lex?" Mata Tari yang berkaca-kaca mulai menciptakan kristal. Dia ingin segera mendapat jawaban Alex agar hatinya tenang.Alex menoleh ke dalam, Lara masih terlelap. Meraup wajahnya lalu berpaling ke arah Tari. Sesaat dia bimbang, lalu kemudian menarik Tari dalam pelukkannya."Kasih aku waktu dua hari ini, untuk mengurus segalanya. Setelah itu kita bertemu."Tari mengganguk terpaksa."A-aku .... Aku takut kamu berubah pikiran." Kristal bening itu luruh begitu saja. Alex trenyuh menatap Tari, diusap pelan butiran yang mengalir. Dia telah memiliki impian untuk menghabiskan masa tua bersamanya. Ruang hatinya hampir terisi penuh oleh Tari."Kamu pake apa ke sini.""Taksi. Kamu tau mobilku ada di bengkel. Tidak mungkin aku pake motor, karna kamu pasti marah."Tari pernah dua kali kecelakaan dengan motor hingga tulangnya patah, karena balapan. Hal yang disukainya du
[Aku lagi di rumah sakit, sedang menjaga Lara.] Tari dengan cepat membaca pesan Alex yang masuk. Saat tahu jika orang yang melamarnya sedang bersama wanita idamannya, hati Tari menjadi tak karuan. Apalagi dia baru saja mengetahui kabar gugurnya Rey dari ayahnya. Tari semakin tak tenang saat nomor Alex tak lagi aktif.Tari mencoba tidak berpikir berlebihan. Hal yang wajar jika Alex ada di rumah sakit karena istri sahabatnya pasti syok, mendengar berita suaminya. Apalagi saat ini sedang hamil. Tari ingin memahami hal itu, namun sisi dirinya yang lain sangat kuatir. Kini tidak ada halangan lagi bagi Alex jika dia ingin meraih hati Lara.Tadinya Tari ingin menanyakan berita tentang Rey, dia akan membahas hal itu setelah mereka bertemu namun rupanya sudah terjawab, Lara berada di rumah sakit pasti karena berita itu. Tari memukul-mukul pelan kepalanya berulang kali."Kenapa kamu masih memikirkan hal konyol seperti itu, sudah jelas-jelas akan menikah kenapa masih cemburu juga." Tari beru