Esok hari sesampainya di kantor, Viola menyisir pandangan dari basement menuju gedung. Biasanya sosok Mayang sangat tidak dia harapkan, tapi kali ini berbeda."Kemana dia? Tumben dia menunggu ku seperti biasanya." Dalam hati Viola terus bertanya-tanya."Apa perlu disusul ke ruang kerjanya saja?" pikirnya membatin kemudian.Viola masih menyisir pandangannya di lobby kantor berharap menemukan orang yang dia cari, akan tetapi masih saja tak ditemui sosok perempuan yang satu bulan belakangan ini sudah mengusik dirinya. Lantas, sekarang saat Mayang tak tampak lagi, kenapa Viola seperti mencari-cari keberadaan perempuan itu?Pikiran Viola sangat tidak tenang."Mbak Mayang, tunggu!"Saat menuju ruangan Mayang yang beda lantai dengannya, di koridor, ketika baru keluar dari lift Viola melihat sosok perempuan di depannya seperti Mayang."Mbak Mayang," panggil Viola sekali lagi, karena Mayang sama sekali tak menoleh apalagi menghentikan langkahnya. Melihat gelagat Mayang seolah acuh tak acuh, Vi
[Assalamu'alaikum][Selamat pagi, Pak][Maaf saya mengirim pesannya Subuh begini][Ini, Pak. Saya izin tidak masuk hari ini, ya. Soalnya kurang enak badan]Selepas sholat Subuh, Viola memberanikan diri mengirim pesan pada Pak Tito, yang mana jelas dirinya berbohong karena Viola tidak dalam keadaan sakit. 'Maaf, Pak. Saya harus berbohong, karena saya perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi Maura.'Viola tak ingin berlarut dengan ribuan pertanyaan yang muncul di benaknya soal Maura.[Oh iya, Pak. Tadi saya juga udah input di aplikasi.]Pesan terakhir yang dikirim Viola pada Pak Tito.Pukul delapan Viola meninggalkan rumahnya, menuju rumah yang ditempati Mayang. Bukan tanpa sebab dirinya memilih berbohong kali ini, dia hanya mengambil kesempatan waktu, saat Mayang pergi bekerja, Viola berharap bisa menemui Maura dan mencari tahu tentang semuanya. Ada terbesit rasa penyesalan dan bersalah di hatinya.Di pinggir jalan depan rumah Mayang, Viola memantau keadaan, tak terlihat lagi mobil Maya
"Maaf sebelumnya, tadi aku terpaksa lacak kamu melalui nomor hape. Soalnya aku khawatir, apalagi kamu sempat menolak dengan usulku."Kedua mata Viola membola sempurna, penuturan Bobby sangat membuat dirinya terkejut.'Segitunya kamu, Mas? Sampai melakukan hal yang tak terpikirkan olehku.'"Kok diam? Kamu marah?""Mau marah juga nggak ada gunanya, Mas. Udah terlanjur kamu ke sini, tapi sebaiknya kamu pulang, lanjut kerja lagi. Ini aku bukan ngusir, ya. Tapi pasti kamu paham."'Semoga dia nggak bantah, yang ada bisa tahu kalau aku sama sekali nggak sakit.'Bobby mengangguk paham, sebelum beranjak dari tempat duduknya, dia masih sempat-sempatnya menenggak kopi dingin itu hingga tetesan terakhir."Sayang nggak dihabisin," ucapnya sebelum permisi.Viola hanya tersenyum tipis, ada kelegaan yang dia rasakan. Tak berlama-lama di teras, Viola membereskan buah dan gelas bekas minum Bobby tadi, dan membawanya kembali ke dalam rumah. Tak langsung mencucinya, Viola sengaja membiarkan gelas kotor i
Mayang bergeming di ambang pintu ruang kerja."Tidak. Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat sekalipun kamu memilih berhenti di perusahaan ini. Saya tahu, pasti hari-harimu kusut 'kan?"Mayang melipat tangan di dadanya, tampak dirinya mengejek Viola."Memang itu yang saya harapkan. Tapi ... kamu masih waras, masih punya harapan itu, dan masih bisa memperbaiki apa yang rusak, syukur-syukur kamu sadar atas dirimu yang sama sekali tidak punya hati nurani.""So ... jawaban saya pasti kamu sudah paham 'kan?"Meski hatinya terasa teriris dengan kata yang terucap dari mulut Mayang. Viola tetap tersenyum."Iya, Mbak. Nggak papa, kalau mbak masih pada pendirian awal. Saya doakan semoga Maura makin pulih, semoga ada rezeki besar untuknya. Dan, buat mbak juga. Saya ingin pamit."Viola mengulurkan tangannya, akan tetapi uluran tangannya itu tak disambut dengan baik oleh Mayang, dia malah bertolak ke meja kerjanya.Semua orang yang satu ruang kerja dengan Viola terdiam dan tak berani ikut campur
Ending Rahim yang Tak Bersalah"Nggak kok, cuma lagi sibuk aja." Viola hanya menjawab ala kadarnya, meskipun dia berbohong tak berucap sesuai hatinya."Oh, kirain aku kamu marah.""Emang alasan apa yang membuat aku harus marah sama kamu, Mas?""Ya ... soal ... Vio ... Maaf aku sudah membuat kamu tak nyaman. Dan, kamu memilih untuk mengakhiri karirmu, aku yakin itu pasti karena diriku.""Aku pikir awalnya akan membuat kamu tenang bahkan bisa berkembang, malah dapat masalah lain.""Maafkan aku, Vio." Ada rasa sesal di hati Bobby, tak menyangka terlalu jauh membawa Viola dalam masalah yang tak terduga, bahkan kembali membawanya ke masa lalu yang sudah susah payah dia lupakan"Untuk masalah itu, aku sedang tidak ingin membahasnya, lagi capek banget. Boleh aku izin masuk untuk istirahat?""Tapi ... ada hal lain yang ingin aku bicarakan sama kamu, bisa kita ngobrol sebentar di luar?" tanya Bobby dengan hati-hati."Pentingkah? Nggak bisa ditunda kapan-kapan, Mas?" Viola berusaha mengelak, be
Bab 1Puluhan tahun berlalu, hingga tanpa terasa lelaki yang dibesarkan tanpa figur seorang ayah itu. Namun, sisi lain hidup Ammar tampak sangat sempurna. Berbanding terbalik dengan perjalanan hidup Viola dari kecil hingga dewasa.Pendidikan Ammar juga tidak main-main, selesai homeschooling hingga kelas 6 SD, Ammar melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya di sekolah swasta, jelas saja Viola ingin Ammar dapat pendidikan yang lebih baik. SMA pun demikian masih melanjutkan di sekolah swasta. Tanpa tanggung-tanggung, dalam waktu 4 tahun Ammar berhasil menyelesaikan studinya sebagai mahasiswa jurusan teknik sipil. Setelah tamat, Ammar langsung dapat pekerjaan di perusahaan tempat dia magang dulu.Di tahun kelima, Ammar dapat tanggung jawab untuk proyek yang cukup besar jauh dari kota. Proyek berjalan kurun waktu satu tahun dan itu membuat Ammar menghabiskan waktu di sana. Dan, kota kecil itu juga hati Ammar terpaut dengan seorang gadis. Cantik, putih, tinggi, dan tubuhnya juga ideal."Ooo
Bab 2"Coba pastikan lagi, Pak. Atau bisa jadi dari gen istri bapak.""Gimana saya mau mencari tahu, jikalau dokter saja melarang untuk memberi tahu istri soal ini.""Jangan, Pak. Jangan. Bisa cari tahu diam-diam, tapi kalau memang tidak ada faktor genetik dari pihak bapak ataupun istri, bisa jadi saat pembelahan sel tidak terjadi secara sempurna, atau lain kemungkinan ini semua takdir Sang Pencipta.""Entah lah, Dok. Saya tidak bisa berpikir jernih soal ini.""Saya paham kalau bapak shock, tapi saya juga berharap masih ada keajaiban kedepannya.""Apa masih ada yang ingin dokter sampaikan? Kalau tidak saya mau pamit.""Sebenarnya banyak yang ingin saya diskusikan, tapi sepertinya timingnya nggak tepat. Lain kali saja."Lita tidak mau menyusui anak yang baru dilahirkannya itu. Hati dan juga jiwa raganya menolak."Kasih aja sufor, Mas! Aku tidak ingin menyusui anak ini.""Lita! Kamu kenapa? Kamu sadar tidak bicara apa barusan?"Hingga hari kedua, Lita masih saja tidak mau menyusui sang
Bab 3"Apa maksudmu? Kenapa berbicara seperti itu ke Bunda?" Viola menaruh Arumi kembi ke ranjang. Kemudian, menarik pelan tangan anaknya dan duduk di bibir ranjang.Ammar yang susah payah menahan air matanya, tak bisa lagi bersikap tegar di depan ibunya. Bulir bening itu menggenangi bola matanya dan bersiap-siap untuk tumpah, tapi buru-buru Ammar menyeka bulir bening itu."Apa ini alasan kamu meminta bunda untuk tidak datang ke rumah sakit saat Lita akan melahirkan? Apa ini juga alasan kamu tidak ditemani oleh siapapun, termasuk mertua dan ipar kamu?"Ammar mengangguk berat."Aku punya alasan, Bun. Bunda kecewa kah?""Ya ... bunda kecewa.""Bund, maaf, bukan bermaksud, tapi aku nggak siap liat bunda dan yang lainnya sedih. Anakku yang dinantikan selama ini tak sesuai dengan harapan kalian." "Bunda kecewa kenapa kamu nggak cerita dari awal. Kenapa kamu sembunyikan dari Bunda? Memangnya bunda pernah kecewa dengan apa yang kamu jalani? Apa karena bunda selama ini tidak pernah memperken