Bab 36. Lamaran Untuk Istriku"Rafa!" teriakku histeris.Aku melihat Rafa menangis menahan kesakitan, karena kakinya tertimpa air panas. Nyonya Rosmah membuatkan susu hangat. Mungkin atas permintaan Naina tadi sebelum pergi. Namun, yang membuatku bertanya-tanya, kenapa Rafa yang diminta untuk membawanya.Cepat-cepat kutarik Rafa, dan membersihkan tumpahan air yang menempel di kaki, lalu menyiramnya dengan air dingin. Air panas yang tertumpah, di atas kaki masih terlihat mengepulkan asap. Kaki Rafa yang tertimpa susu panas terlihat merah, dan melepuh. Aku segera mencari obat salep di kotak P3K, untuk mengobati luka bakarnya.Melihat luka di kaki mulai melepuh, hatiku terasa sakit. Kenapa ibu mertua tega. Meminta anak kecil untuk membawakan air panas. Jika memang tidak ikhlas untuk melayaniku, lebih baik tidak usah pura-pura baik."Sabar ya, Sayang. Ayah akan mengobati lukamu agar tidak semakin melepuh. Tahan sedikit ya, Nak! Kamu jangan menangis! Ayah tidak suka anak yang cengeng. Kamu
Bab 37. Permintaan IbuNaina seketika tersedak dan terbatuk-batuk. Begitu mendengar ucapan ibunya. Pun juga denganku yang sedari tadi menguping. Tak kalah terkejut, dengan apa yang diucapkan oleh Nyai Rosmah. Bagaimana bisa wanita itu, menjodohkan anaknya yang sudah menikah dengan pria lain.Buru-buru kulihat Naina menyambar gelas, yang berisi air putih di atas meja, lalu minum dan menghabiskan tanpa sisa."Nenek, Ibu sudah menikah dengan ayahku. Kenapa Nenek mau menikahkan dengan pria lain?" tanya Rafa. "Kasihan Ayah kalau Ibu mau menikah lagi. Dulu, ibuku pergi karena memilih punya suami baru. Mengapa Nenek tega menikahkan ibuku?""Diam!" Bentak ibu mertua. "Asal kau tahu saja. Naina itu bukanlah ibumu. Aku juga bukan nenekmu. Cam, kan itu bocah kecil!"Rafa langsung terdiam, saat ibu membentaknya. Kulihat wajahnya berubah menjadi masam. Dia tidak lagi menyuap nasi ke dalam mulutnya."Tapi, Nek ….""Diam! Tidak usah protes. Kau hanyalah anak kecil. Aku tidak butuh pendapatmu."Nyai
Bab 38. Talak SatuTerlihat beberapa pembantu, yang disewa ibu sedang menyiapkan acara lamaran Naina. Berbagai hiasan rumah telah didekorasi. Mereka memanggil MUA terbaik di kota ini.Ibu meminta para pekerja untuk menghias ruang tamu, dan juga kamar. Tak lupa gapura juga dihiasi bunga. Lusa kamar ini akan berubah menjadi kamar pengantin Naina, dan juga Farhan. Pagi itu, setelah salat Subuh aku mengemasi pakaian ke dalam koper kecil. Aku dan Rafa akan siap siap, untuk angkat kaki dari sini.Ruang tamu sudah dicat warna putih. MUA memilih untuk menghias memakai hiasan bunga, dan renda-renda. Saat ku dongakkan kepala ke atas ada lampu hias kristal mewah. Ibu mertua juga mengganti perabot dalam kamar dengan yang baru."Ayah, apa kita akan pergi dari sini?" tanya Rafa menatapku."Iya.""Apa kita akan kembali ke rumah yang lama?""Iya, untuk sementara.""Kenapa?""Ayah masih memikirkan rencana selanjutnya. Kita akan pergi ke mana.""Apa Ayah dan Ibu Naina ingin berpisah lagi?""Iya."Aku m
Bab 39. Jambret"Ayah, kita mau pergi ke mana?" tanya Rafa."Kita mau ke Jakarta, Nak.""Kenapa kita harus ke Jakarta, Yah? Nanti gimana dengan sekolahku?""Nanti Rafa bisa sekolah di sana.""Kita mau cari siapa di Jakarta?""Kakek.""Kakek?""Iya."Pertanyaan demi pertanyaan Rafa lontarkan. Rasa keingintahuan membuat bocah itu selalu bertanya.Bus yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Melakukan perjalanan dari Medan menuju ke Jakarta. Selama lima hari dan lima malam kami berada di perjalanan.Bus sudah tiba di Lampung tepat di pelabuhan Bakauheni. Kapal-kapal besar bersandar di dermaga. Lautnya yang biru terlihat sangat indah. Kini, tujuan sudah akan semakin dekat ke Jakarta. Kota yang dulu pernah memberiku kenangan bersama Erika."Ayah, sebentar lagi kita akan sampai di Jakarta. Apa kita akan tinggal di sana selamanya?""Iya, Nak. Kita akan mencari Kakek."Berbekal dengan surat wasiat dari ibu, aku dan Rafa mencari alamat yang tertera di sana. Mudah mudahan bisa menemuk
Bab 40. Bang Tagor"Bang Togar?!" wajah Rehan berubah menjadi pucat seketika.Suara teriakkan seorang laki-laki terdengar lantang. Terpaksa membuatku menghentikan aktivitas. Baru saja ingin menunaikan salat, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah luar.Kemudian, Rehan bergegas keluar menemui pria tadi. Dari belakang aku mengikuti langkahnya dengan menggunakan tongkat kaku. Terpaksa niat untuk menunaikan kewajiban lima waktu ditunda.Di luar berdiri sosok pria bertubuh tinggi besar. Kulitnya yang hitam dan berotot kekar memperlihatkan dia pria yang kuat. Sejenak aku terpaku. Menelan ludah yang terasa kering di tenggorokan."Bang Togar!" seru Rehan. "A … ada apa datang mencariku?"Suara Rehan terdengar gemetar. Sontak raut wajahnya menjadi pucat pasi. Pria berkulit hitam itu, lalu menarik kerah baju Rehan.Buk!Tangan Togar langsung meninju wajah Rehan. Darah segar langsung menetes dari sela-sela bibirnya."Rehan, kau tidak apa-apa?""Tidak, Bang."Kubantu Rehan untuk berdiri. Aku masi
Bab 41. Berita Bahagia"Ayah, kita mau pergi ke mana?" tanya Rafa."Kita mau ke Jakarta, Nak.""Kenapa kita harus ke Jakarta, Yah? Nanti gimana dengan sekolahku?""Nanti Rafa bisa sekolah di sana.""Kita mau cari siapa di Jakarta?""Kakek.""Kakek?""Iya."Pertanyaan demi pertanyaan Rafa lontarkan. Rasa keingintahuan membuat bocah itu selalu bertanya.Bus yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Melakukan perjalanan dari Medan menuju ke Jakarta. Selama lima hari dan lima malam kami berada di perjalanan.Bus sudah tiba di Lampung tepat di pelabuhan Bakauheni. Kapal-kapal besar bersandar di dermaga. Lautnya yang biru terlihat sangat indah. Kini, tujuan sudah akan semakin dekat ke Jakarta. Kota yang dulu pernah memberiku kenangan bersama Erika."Ayah, sebentar lagi kita akan sampai di Jakarta. Apa kita akan tinggal di sana selamanya?""Iya, Nak. Kita akan mencari Kakek."Berbekal dengan surat wasiat dari ibu, aku dan Rafa mencari alamat yang tertera di sana. Mudah mudahan bisa
Bab 42. Nafkah"Ayah, bagaimana dengan buku yang Ayah terbitkan?" tanya Rafa menatapku."Gagi Ayah satu bulan sudah dikirimkan, Nak. Tapi ….""Tapi kenapa, Yah?""Ayah belum buka rekening.""Nanti biar aku temani saja, Bang. Kalau Abang mau buka rekening.""Masalahnya Abang gak punya uang buat buka tabungan, Rehan.""Eh, iya, ya, Bang. Maaf, Bang. Aku juga gak bisa bantu.""Gapapa, Rehan. Abang ngerti kok. Abang juga gak mau kalau kamu mencuri hanya karena kita miskin."Rehan bergeming. Kami sama-sama diam seribu bahasa. Hanya suara deru mesin mobil yang terdengar. Gudang tua yang kami tempati tidak jauh dari jalan besar. Suara bising dari arus lalu lintas di jalan raya."Aku punya ide, Bang. Gimana kalau aku kerja jadi kuli pasar Tanah Abang. Lumayan hasilnya buat buka rekening tabungan.""Tapi bagaimana dengan anak buah Bang Togar jika melihatmu bekerja jadi kuli. Mereka pasti akan merampas hasil keringatmu."Rehan terdiam. Mungkin dia juga memikirkan apa yang baru saja kukatakan ta
Bab 43. Pahlawan WanitaSeorang wanita berpenampilan tomboy, dan berkulit sawo matang menangkis tangan Togar. Awalnya, Togar sudah bersiap melayangkan tinju ke wajahku. Namun, wanita itu membuang tangan; ke sembarang arah."Rani?!" Seru Togar."Kenapa?" mata wanita yang dipanggil Rani pun memandang tajam, ke arah Togar."Jangan ikut campur urusanku dengan pria cacat ini!" hardik Togar. "Minggir! Atau kau akan kuhabisi.""Dengan senang hati aku akan melayanimu, Togar," ucap Rani tersenyum tipis.Wanita yang bernama Rani, menatap tajam ke arah Togar. Seolah dia tidak takut menghadapi pria yang minim akhlak."Aku rasa kau sudah kehilangan nyali, Togar. Lebih baik ganti saja celanamu dengan rok. Masa pria kekar, otot kawat tulang besi Meu melawan pria lemah," sarkas Rani. "Atau urat saraf malumu sudah putus, ya. Hingga mengeroyok tiga orang lemah?""Ha ha ha!" anak buah Rani semua tertawa. Mereka empat pria yang juga bertubuh besar seperti Togar, dan Baron."Togar-Togar. Masa kau tidak pu