Mahesa kembali menatap punggung Athalia dengan lamat, lekat, seolah hanya punggung itu saja pemandangan yang bisa dia tatap.
Mahesa sedang menikmati punggung ramping itu dengan matanya, sebelum beberapa jam lagi, Athalia akan keluar dari apartmennya.
Melipat lalu memasukkan pakaiannya ke dalam koper, Athalia tak sedikit pun mengangkat kepala untuk menatap Mahesa. Dia tak kuasa. Meski lelaki itu masih berdiri dengan tubuh menjulangnya.
Selesai berkemas, Athalia menurunkan kopernya dan menggeretnya menuju pintu. Langkahnya terhenti saat suara Mahesa terdengar.
“Apa kau akan pulang malam ini?” tanya Mahesa.
Athalia terpaku, tapi ia mengangguk tanpa menoleh ke belakang.
“Kurasa lebih cepat maka akan lebih baik. Bukankah begitu, Tuan Mahesa?”
Mahesa mengulum senyum kecut, Athalia seperti sedang menyindirnya dengan embel-embel tuan yang ia ucapkan.
“Sekarang sudah larut, ibu dan adikmu pasti akan bertany
Bola mata Mahesa makin berkabut gairah, matanya menatap wajah Athalia penuh hasrat.“Tunggu!” Mahesa mengerutkan kening, tiba-tiba Athalia menahan tangannya ketika Mahesa hendak membuka kaus yang Athalia kenakan.“Kenapa?” sebelah alis Mahesa terangkat, menatap Athalia dengan raut heran.Raut cemas terlihat di gurat wajah Athalia. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu mengatakannya.Athalia meneguk ludah kasar, menatap Mahesa dengan tatapan dalam, membuat sepasang manik mata mereka saling berserobok dalam beberapa saat, sebelum kemudian Athalia berani mengatakannya.“Setelah aku pergi, apa kau masih akan berjuang untuk melawan traumamu?” Sebelah sudut bibir Mahesa sedikit terangkat, tersenyum pahit. Ternyata hal itu yang ingin Athalia tanyakan.Mahesa tidak menggeleng, juga tidak menganggukkan kepalanya. “Kurasa kau tidak perlu menanyakan soal itu. Setelah kau lepas dariku, maka kau sudah tidak berhak menanyakan hal yang pribadi tentangku,” balas Mahesa yang membuat
Mahesa tampak sedang duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius ketika Athalia mengetuk pintu dari luar.“Masuk!” suara berat itu menyahut, membuat Athalia membuang napas pelan, sebelum kemudian memutar kenop, dan mendorong daun pintu hingga sedikit terbuka.“Maaf, Tuan. Ada laporan penting yang harus Anda periksa dan tanda tangani,” ucap Athalia, memberitahu, sambil satu tangannya menutup pintu dengan hati-hati.“Hmm … letakan saja di atas meja,” sahut Mahesa tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor di depannya.Athalia menelan berat salivanya, kerongkongannya tiba-tiba mendadak kering. Mahesa mengabaikannya. Seakan Athalia adalah makhluk yang menjijikan jika ditatap.“Baik, Tuan Mahesa.” namun Athalia mengangguk, tersenyum kecil dan membawa map itu dengan langkah jenjangnya.Setelah menaruhnya di atas meja, Athalia sedikit melirik Mahesa dengan ujung matanya, berharap ada sa
Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu ruang CEO.Tangannya terangkat dan memberanikan diri mengetuk pintu itu. Beberapa kali Athalia berseru dan mengucap permisi, namun tak ada sahutan dari dalam.Athalia jadi gelisah, bingung apa yang harus dia lakukan. Sekali lagi dia mengetuk pintu, tapi tetap sama.“Mungkin Mahesa sedang di kamar mandi,” pikirnya. Kemudian membuang napas pelan. “Sebaiknya aku simpan saja laporan ini di atas meja. Nanti juga dia akan memeriksanya,” lanjut Athalia.Setelah itu, Athalia mendorong pintu dan membentangkannya lebar-lebar. Namun detik selanjutnya, matanya membeliak, diikuti suara terkesiap dari mulutnya. Athalia terkejut, melihat pemandangan di hadapannya.“Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” sentak Mahesa, marah.Matanya tajam menatap ke arah Athalia, lalu mendelik kesal. Mahesa duduk di sofa biru panjang yang berad
Maaf ya! BAB INI harusnya publish tanggal 20 maret ke atas. Malah kepencet hari ini. Lanjutan yang aslinya ada di bab selanjutnya. Bab ini anggap tidak ada saja. Terima kasih. Terlihat kening Leuwis yang berkerut setelah mendengar ucapan Mahesa. Entah mengapa, Mahesa melihat ada raut terkejut di sana. “Kau masih ingat dengan temanmu?” tanya Leuwis, seperti ingin memastikan sesuatu. Tanpa ragu Mahesa menganggukan kepala. “Tentu saja. Dean itu temanku sejak dulu,” jawab Mahesa lagi. “Sudahlah, aku harus berangkat sekarang, Pa. Aku tidak mau terlambat sampai di sana.” Mahesa menarik diri dari hadapan Leuwis, ia melangkah melewati Leuwis. Namun, langkah itu terhenti seketika saat Leuwis berseru memanggilnya. “Mahesa!” Mahesa membuang napas kasar. Benaknya sudah bisa menebak apa yang akan Leuwis katakan setelah ini. “Kenapa kau tidak mengajak Kiran bersamamu?” Ya, tebakan Mahesa sangat tepat. Leuwis pasti akan menanyakan soal Kiran. Lagi dan lagi, tak ada hari dimana Leuwis
Athalia menggigit bibir, tidak mungkin ia menceritakan apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya kepada ibunya sendiri. Biarlah apa yang telah terjadi, hanya menjadi rahasianya bersama Mahesa.Athalia kembali menggelengkan kepala, meraih kedua tangan Narsih, lalu memaksakan sebuah senyum lebar yang mengembang di wajahnya.“Ibu lihat, aku baik-baik saja. Apa yang harus Ibu khawatirkan dariku? Aku hanya sedang mencoba untuk diet, jadi aku jarang ikut makan malam dengan kalian,” dusta Athalia.Narsih memindai manik mata Athalia, mencari kebohongan di sana. Tapi Athalia segera mengerjap dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan agar Narsih tak menemukan kebohongan itu.“Tapi khusus untuk malam ini aku akan melupakan dietku. Aku akan makan malam dengan Ibu dan Yasna. Oh iya, Ibu masak apa malam ini?” Athalia nyengir lebar, menampilkan deretan gigi yang rapi.Narsih tersenyum, mengelus rambut panjang Athalia yang terurai hingga ke
Mereka masuk ke dalam lift, Athalia berdiri di samping Mahesa dengan sesekali melirik ke arah lelaki itu dengan ujung matanya. Ia bingung, hatinya bertanya-tanya, akan ke mana Mahesa membawanya?Tiba di baseman kantor, Mahesa membukakan pintu untuk Athalia, tepat di samping kemudi.“Masuklah, Athalia!”Untuk yang pertama kalinya setelah Athalia meninggalkan apartmen Mahesa, hari ini Athalia bisa merasakan duduk berdua di dalam mobil lagi bersama dengan lelaki itu.Seketika jantungnya serasa melompat-lompat kegirangan, ada rasa senang yang tak bisa ia ungkap seberapa hebatnya.Ketika Mahesa mulai menyalakan mesin mobilnya, Athalia melirik ke arah lelaki itu. Tanpa bisa ditahan, selarik senyum tipis tersungging di bibirnya. Mahesa selalu terlihat menawan saat sedang fokus menyetir seperti ini.Athalia sudah bahagia, meski Mahesa belum mengatakan akan membawanya ke mana.***Mobil mewah berwarna hitam metalik itu ber
“Aku akan mengajakmu ke butik Ravella. Nanti kau bisa memilih gaun mana pun yang kau suka untuk dipakai saat pesta perusahaanku.”Catat! Mahesa akan mengajak Jessy. Lalu untuk apa Athalia ikut? Athalia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap dengan beberapa kali menghela napas, seakan berusaha menguatkan hati.“Really?” mata Jessy membulat senang. “Tapi aku memiliki banyak gaun yang masih sangat bagus untuk pesta nanti. Jadi menurutku tidak perlu. Aku bisa memakai gaun yang kupunya saja,” tolak Jessy, menggelengkan kepalanya.Athalia melirik sekilas, entah Jessy sedang menjaga imagenya di depan Mahesa agar tak terkesan matre, atau memang ia benar-benar tak ingin menambah koleksi gaunnya.“Jangan menolakku, Jessy! Kau tahu kalau aku adalah orang yang paling tidak suka ditolak. Aku hanya ingin kau terlihat paling cantik di pesta perusahaanku nanti. Kau mengerti?”Paling cantik? Athalia te
Sedikit ujung bibir Mahesa terangkat, membentuk lengkungan senyum tipis. Namun senyum itu berganti dengan raut bingung bercampur khawatir saat menyadari jika ada yang salah dengan Athalia.“Wajahmu pucat? Kau sakit?”“Tidak, Tuan. Aku baik-baik saja.”Ingin memastikan, Mahesa menjulurkan tangan, menempelkannya di kening dan leher Athalia. Tapi tidak panas.“Kau yakin?” tanya Mahesa, menyelidik.Athalia mengangguk. “Ya, Tuan. Aku yakin.”“Lalu bagaimana dengan hatimu, Athalia? Apa hatimu juga baik-baik saja?”Sedikit berisik, Mahesa menutup telinganya dengan telapak tangan, sedang matanya masih memejam dengan rapat. Suara gemercik air itu mengusik indera pendengarannya, membuat tidur lelapnya terganggu.“Athalia! Sudah berapa kali kubilang, jangan lupa matikan keran setelah kau menggunakannya!” Mahesa setengah berteriak, pada Athalia
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s